Pil KB Wita 2Aku tahu, Rafli termasuk orang yang tertutup mengenai kehidupan rumah tangganya. Jauh-jauh hari aku sudah meyakinkan diriku untuk tak mengusik kehidupan rumah tangga anak-anak sejauh mereka tak menemui permasalahan. Tetapi yang terjadi kini, nyatanya Wita berlaku curang. Aku tak boleh diam saja. Hingga beberapa hari setelah itu, Rafli bersikap biasa saja, terlebih pada istrinya. Wita yang memang tak menyadari kebohongannya sudah diketahui anakku pun bersikap layaknya istri pada umumnya. Aku sangat mengerti dia yang tak pernah mau terjun menyiapkan makanan untuk suami karena pekerjaannya sebagai konsultan keuangan di perusahaan swasta menyita banyak waktu. Hanya saja kali ini Rafli terlihat mulai jengah dengan kehidupannya karena Wita terlalu keras untuk diatur. "Mas, minggu depan aku ke Surabaya," ucap Wita di sela-sela makan malam. Rafli menghentikan aktivitas mengunyahnya. Dia menatap datar ke wajah istrinya. Pakaian rumahan yang memperlihatkan lengan dan punggungnya
Kebusukan Wita 1"Ada yang mau Ibu tanyakan. Duduklah!" ucapku pada anak pertamaku. Tanpa ragu Tama duduk di depanku. Dilihat dari postur tubuhnya Tama hampir sama dengan Rafli. Hanya kulitnya saja yang lebih gelap dari Rafli. Wajah mereka pun memiliki kemiripan, sama-sama menuruni alis tebal milik ayah mereka yang sudah meninggalkanku belasan tahun silam. "Ada apa, Bu? Sepertinya penting sekali hingga menunggu semua orang pergi beraktivitas," tanya Tama yang sepertinya masih belum tahu apa yang akan kukatakan dan kutanyakan padanya. Tama lebih pendiam daripada Rafli yang terkadang masih memiliki sifat jahil. Sedangkan Tama, dia tak pernah berkata untuk hal-hal yang tidak penting. Terkadang dia harus kutanya terlebih dahulu baru bisa mendengar suaranya. "Tama. Ibu melihat apa yang terjadi antara kamu dan Wita di kamarmu!" ucapku dengan nada tinggi. Tama sedikit tersentak mendengar kalimatku. Sebenarnya aku sangat takut mendengar apa yang akan Tama katakan. Aku takut jika ternyata me
"Kejadian di kamarku kemarin itu adalah yang kedua, Bu." Tama menyugar rambutnya kasar. Wajahnya merah menahan amarah. "Apakah kita harus memberi tahu Rafli?" tanyaku memberi pertanyaan yang tak perlu dijawab. Kami berdua sama-sama tahu, bagaimana kelanjutan cerita ini. "Jangan, Bu. Aku tak ingin dia terluka. Terlebih hingga saat ini mereka belum dikaruniai anak. Aku takut Rafli makin kehilangan percaya dirinya karena Wita sudah terbukti tak bermasalah. Aku yakin Rafli akan menyalahkan dirinya karena tak mampu menunaikan tugas sebagai seorang suami hingga Wita menempuh langkah sejauh itu." " Kita akan tahu hasilnya sebentar lagi. Apakah Rafli memang bermasalah atau memang kelicikan Wita adalah satu-satunya penyebab mereka belum memiliki anak.""Maksud Ibu?" Aku tak menjawab pertanyaan Tama. Kulayangkan tatapanku ke arah luar memandang hijaunya tanaman bungaku. Rasanya kepalaku mau pecah mengetahui kebusukan tersimpan lama di rumahku ini. "Kita tunggu beberapa waktu lagi, Ibu tak
Kecurigaan Mbak Fatma 1Aku hanya mematung mendengar cerita yang mengalir dari mulut ibu mertuaku. Aku bisa merasakan harga diri yang ikut tercabik karena tingkah wanita bernama Wita itu. Sangat wajar jika hingga detik ini ibu tak bisa memaafkan wanita itu. Jika ibu masih bisa bersikap baik selama ini pada Wita, entah bagaimana dengan besok. Kedatangan orang tua Wita menyulut amarah ibu yang selama ini seolah terpendam dalam lautan sunyi. Ibu bisa menyembunyikan rasa kecewa dan marahnya pada Wita demi menghargai perasaan Mas Rafli. Ada iba yang sangat kurasakan membayangkan bagaimana suamiku dulu begitu dicurangi oleh mantan istrinya. Laki-laki yang begitu baik itu nyatanya tak juga cukup di mata Wita. Tak ada rasa hormatku lagi padanya dan memanggilnya tanpa sebutan Mbak. Rasanya mubadzir dan sangat sia-sia menghormati wanita yang bahkan kehormatan dirinya tak bisa dijaga. "Hingga hasil tes yang Rafli lakukan keluar. Bisa ditebak bukan bagaimana diagnosa dokter? Rafli dinyatakan s
Menginjakkan kaki di restoran yang kurintis susah payah setelah berhari-hari rehat menimbulkan sensasi luar biasa. Ada sesuatu yang membuncah meski terkesan berlebihan. Seperti sebuah rumah yang lama kutinggal dan aku menginjakkan kaki lagi untuk pertama kali. Putri yang tidak kukabari berteriak histeris melihatku tiba-tiba muncul di depannya yang tengah duduk di meja kasir. Dia langsung menghambur memelukku. "Mbak Vindaa… Kangen. Rasanya aku pengin nyerah Mbak. Pusing ngatur sendirian. Mbak Vinda seriusan nggak bisa sering-sering kemari?" tanyanya sambil menggandeng lenganku. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mengerucut. "InsyaAllah sekarang bisa sering ke mari. Morning sickku sudah lewat." Aku memang merasa agak baikan setelah melewati masa kehamilan trimester pertamaku. Rasanya sudah mulai enak makan, meski tiap pagi aku harus tetap berjuang meminum air putih hangat yang tetap menyisakan rasa pahit di akhir tegukan. "Meski Pak Rafli sering kemari untuk menengok restoran teta
Saling Menguatkan 1"Dari mana saja seharian ini?" tanya Mas Rafli sesaat setelah aku masuk ke dalam rumah. Pertemuanku dengan Mbak Fatma selama berjam-jam membuatku lupa diri. Mbak Fatma yang bercerita panjang lebar mengenai kecurigaannya membuatku tak tega. Apalagi dia berkata hanya bercerita padaku saja. Artinya dia memang butuh teman bicara. "Maaf, Mas. Habis ketemu Mbak Fatma langsung ke rumah ibu, tetapi Zoya nggak mau pulang. Dia bilang mau menginap," jawabku. Mas Rafli yang kali ini pulang lebih awal terlihat sudah segar di atas pembaringan kami. Kaos warna merah nampak cocok melekat di tubuhnya. Dia beringsut mendekatiku, aku buru-buru menghindar dan langsung menyelinap ke kamar mandi. Kulepaskan tawaku di dalam. Seperti biasa, Mas Rafli menggodaku dari luar sana. "Jangan terlalu lama, aku rindu." Astaga. Kutepuk dahiku mendapati lelaki yang lebih tua beberapa tahun dariku itu bertingkah bak remaja kasmaran. Tak hanya itu, Mas Rafli bahkan mengetuk pintu kamar mandi dengan
"Kemana kalian?" Baru akan masuk ke dalam mobil, langkah kami tertahan karena mendengar suara seorang wanita. Kuarahkan pandanganku pada sumber suara. Ibunya Wita berdiri tak jauh dari pintu gerbang yang baru saja dibuka oleh Mbok Tum. Aku dan Mas Rafli berpandangan. Seolah menyadari datangnya bahaya, Mas Rafli segera meraih tanganku saat wanita itu mendekat. "Rafli. Kumohon kali ini ikutlah denganku. Kami membutuhkan bantuanmu kali ini. Tak tahu kemana lagi untuk membujuk Wita. Kau satu-satunya harapan kami. Wita sudah mengurung diri di kamarnya selama dua hari setelah kepulangannya dari rumah sakit. Jika pun aku harus berlutut memohon padamu aku akan melakukannya," ucap wanita itu yang siap-siap bersimpuh. Mas Rafli meraih tubuh mantan mertuanya dengan sebelah tangannya."Jangan melakukan hal ini, Bu. Tak pantas dilihat. Berdirilah!" ucap Mas Rafli penuh ketegasan. Bu Tika berdiri dan menangkupkan tangannya. Kali ini dia yang datang sendiri tanpa ditemani suaminya terlihat sangat
Membongkar Rahasia 1"Mas. Sekarang jawab pertanyaanku. Ada hubungan apa kamu dengan Wita?!" Mbak Fatma setengah berteriak pada suaminya yang duduk di depannya. Sementara ibu yang duduk di sebelahku nampak memejamkan mata. Sebuah keributan besar terjadi antara Mas Tama dan Mbak Fatma karena wanita itu sudah tak mampu menahan emosinya. Beberapa malam terakhir Mas Tama menerima panggilan di tengah malam. Hingga entah sial atau sudah tiba waktunya si karma itu datang, dia melihat sebuah panggilan video masuk ke ponsel Mas Tama saat suaminya itu ke kamar mandi. Karena penasaran dia menggeser tombol hijau dan mengarahkan ponselnya ke atas. Namun dari arah samping dia masih mampu melihat dengan jelas siapa orang yang berada di dalam panggilan tersebut. Wita dengan gaun tidur yang transparan tengah memainkan rambutnya yang menurut Mbak Fatma sungguh membuat malu seluruh wanita normal dan sehat. Wanita itu murka dan secepat kilat mematikan panggilan video tersebut. Saat itu dia langsung me
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa