Kenyataan Wita di Masa Lalu 2"Ibu, mau kubuatkan teh hangat?" tawarku sambil mencium punggung tangannya. Zoya mengikuti langkahku dan segera duduk di samping eyangnya. Matanya menelisik wajah ibu dengan tatapan penuh tanya. "Tidak. Duduklah," Ibu menepuk sofa di samping kirinya yang masih kosong. Tanpa pikir panjang aku segera duduk di sampingnya. Tiba-tiba wanita yang mengenakan dress selutut dengan motif bunga itu mengusap perutku dengan lembut. Wajahnya nampak serius menatap perutku yang masih rata. "Berjanjilah dengan eyang, jadilah anak yang kuat. Bantu bundamu untuk tetap tegar karena ke depan banyak sekali halangan yang akan mengganggu perjalanannya. Jadilah peneduh saat keadaan sekelilingnya berhawa panas. Berjanjilah dengan eyang, Nak. Jadilah penguat hubungan kedua orang tuamu." Tiba-tiba matanya melelehkan butiran kristal bening yang makin lama makin menderas. Tak ada yang dapat aku lakukan selain memeluknya dengan erat. Aku tak bisa membayangkan wanita yang sangat meny
Jangan Mengusik Anak-Anakku! 1Pov Ibu MertuaDadaku rasanya sesak melihat kedua manusia itu sudah merusuh sepagi ini di rumahku. Aku yang tengah menyiapkan bubur kacang hijau untuk anakku Vinda harus menunda kegiatanku di dapur. Mereka masih seperti tiga tahun yang lalu, menampakkan wajah angkuh dan menganggap semua orang berada jauh di bawahnya. Aku tak gentar meski berkali-kali mereka memandangku penuh intimidasi. Aku penasaran apa yang mereka inginkan hingga mendatangiku seperti ini. Kuyakin ada hubungannya dengan anak mereka, Wita. Tanpa kuminta Mbok Tum sudah menyajikan dua cangkir teh hangat untuk mereka. Meskipun aku sendiri ragu, apakah mereka akan meminum buatan Mbok Tum mengingat berapa angkuh dan arogannya mereka sekeluarga. "Apa kabar, Jeng Pur?" tanya Bu Tika, ibunya Wita. Sementara Pak Santoso yang duduk di sampingnya masih terdiam. Tetapi matanya masih memandangku dengan sorot mata yang dingin penuh kebekuan. "Alhamdulillah, makin sehat dan bahagia," jawabku penuh
Jangan Mengusik Anak-anakku! 2"Tak perlu takut mengetahui reaksi orang jika mereka tahu latar belakang Vinda. Justru kalianlah yang harus takut jika orang-orang tahu seperti apa tingkah laku anak kalian itu!" "Apa maksudmu, Mbak? Kau tengah membicarakan anakku Wita? Apakah ada yang ingin kau jelaskan?" "Kau tanyakan istrimu. Aku yakin dia sudah tahu apa yang kukatakan. Sebagai ibunya kau pasti sudah paham aib apa yang dimiliki oleh anak perempuanmu!" tunjukku pada Bu Tika. Wanita itu melotot setelah kuberikan serangan mendadak. "Bu? Apa yang Mbak Pur katakan?" tanya Pak Santoso pada istrinya. Aku jadi tahu selama ini laki-laki itu tak benar-benar paham alasan apa yang membuat putrinya bercerai dengan anakku. "Tak perlu didengarkan. Wanita ini sedang mempermainkan kita dengan memfitnah Wita." Bu Tika berusaha menutupi kebusukan anaknya. Padahal saat menjelang perceraian Wita dan Rafli, aku sudah menceritakan kebusukan anaknya yang terang-terangan mencoba mengusik kehidupan rumah
Pil KB Wita 1Kutekan dadaku yang terasa nyeri sesaat setelah kepergian kedua manusia itu. Rasanya sekelilingku berputar setelah beradu argumen dengan mereka. Gondok luar biasa kurasakan menghadapi mantan besanku itu. Nyatanya mereka benar-benar tak punya malu sedikitpun. Terutama Bu Tika, ibunya Wita. Sudah kuberitahu kelakuan anak perempuannya saat menjelang sidang pertama perceraian Wita dan Rafli. Seharusnya dia punya sedikit malu mengajukan permintaan tersebut. Aku sedikit kasihan pada Pak Santoso, sepertinya dia tak diberitahu oleh istrinya mengenai kelakuan Wita sesungguhnya. Buktinya dia terlihat bingung dengan serangan yang kutujukan untuk istrinya. Aku sengaja memberitahu Bu Tika karena aku tak ingin dicap sebagai mertua dzalim, yang hanya perkara anak justru mendukung sebuah perceraian. Meski Wita yang memakai KB diam-diam juga merupakan kesalahan yang fatal, mengingat tujuan berumah tangga salah satunya memiliki keturunan. Akan lain ceritanya jika memang Wita atau Rafli
Pil KB Wita 2Aku tahu, Rafli termasuk orang yang tertutup mengenai kehidupan rumah tangganya. Jauh-jauh hari aku sudah meyakinkan diriku untuk tak mengusik kehidupan rumah tangga anak-anak sejauh mereka tak menemui permasalahan. Tetapi yang terjadi kini, nyatanya Wita berlaku curang. Aku tak boleh diam saja. Hingga beberapa hari setelah itu, Rafli bersikap biasa saja, terlebih pada istrinya. Wita yang memang tak menyadari kebohongannya sudah diketahui anakku pun bersikap layaknya istri pada umumnya. Aku sangat mengerti dia yang tak pernah mau terjun menyiapkan makanan untuk suami karena pekerjaannya sebagai konsultan keuangan di perusahaan swasta menyita banyak waktu. Hanya saja kali ini Rafli terlihat mulai jengah dengan kehidupannya karena Wita terlalu keras untuk diatur. "Mas, minggu depan aku ke Surabaya," ucap Wita di sela-sela makan malam. Rafli menghentikan aktivitas mengunyahnya. Dia menatap datar ke wajah istrinya. Pakaian rumahan yang memperlihatkan lengan dan punggungnya
Kebusukan Wita 1"Ada yang mau Ibu tanyakan. Duduklah!" ucapku pada anak pertamaku. Tanpa ragu Tama duduk di depanku. Dilihat dari postur tubuhnya Tama hampir sama dengan Rafli. Hanya kulitnya saja yang lebih gelap dari Rafli. Wajah mereka pun memiliki kemiripan, sama-sama menuruni alis tebal milik ayah mereka yang sudah meninggalkanku belasan tahun silam. "Ada apa, Bu? Sepertinya penting sekali hingga menunggu semua orang pergi beraktivitas," tanya Tama yang sepertinya masih belum tahu apa yang akan kukatakan dan kutanyakan padanya. Tama lebih pendiam daripada Rafli yang terkadang masih memiliki sifat jahil. Sedangkan Tama, dia tak pernah berkata untuk hal-hal yang tidak penting. Terkadang dia harus kutanya terlebih dahulu baru bisa mendengar suaranya. "Tama. Ibu melihat apa yang terjadi antara kamu dan Wita di kamarmu!" ucapku dengan nada tinggi. Tama sedikit tersentak mendengar kalimatku. Sebenarnya aku sangat takut mendengar apa yang akan Tama katakan. Aku takut jika ternyata me
"Kejadian di kamarku kemarin itu adalah yang kedua, Bu." Tama menyugar rambutnya kasar. Wajahnya merah menahan amarah. "Apakah kita harus memberi tahu Rafli?" tanyaku memberi pertanyaan yang tak perlu dijawab. Kami berdua sama-sama tahu, bagaimana kelanjutan cerita ini. "Jangan, Bu. Aku tak ingin dia terluka. Terlebih hingga saat ini mereka belum dikaruniai anak. Aku takut Rafli makin kehilangan percaya dirinya karena Wita sudah terbukti tak bermasalah. Aku yakin Rafli akan menyalahkan dirinya karena tak mampu menunaikan tugas sebagai seorang suami hingga Wita menempuh langkah sejauh itu." " Kita akan tahu hasilnya sebentar lagi. Apakah Rafli memang bermasalah atau memang kelicikan Wita adalah satu-satunya penyebab mereka belum memiliki anak.""Maksud Ibu?" Aku tak menjawab pertanyaan Tama. Kulayangkan tatapanku ke arah luar memandang hijaunya tanaman bungaku. Rasanya kepalaku mau pecah mengetahui kebusukan tersimpan lama di rumahku ini. "Kita tunggu beberapa waktu lagi, Ibu tak
Kecurigaan Mbak Fatma 1Aku hanya mematung mendengar cerita yang mengalir dari mulut ibu mertuaku. Aku bisa merasakan harga diri yang ikut tercabik karena tingkah wanita bernama Wita itu. Sangat wajar jika hingga detik ini ibu tak bisa memaafkan wanita itu. Jika ibu masih bisa bersikap baik selama ini pada Wita, entah bagaimana dengan besok. Kedatangan orang tua Wita menyulut amarah ibu yang selama ini seolah terpendam dalam lautan sunyi. Ibu bisa menyembunyikan rasa kecewa dan marahnya pada Wita demi menghargai perasaan Mas Rafli. Ada iba yang sangat kurasakan membayangkan bagaimana suamiku dulu begitu dicurangi oleh mantan istrinya. Laki-laki yang begitu baik itu nyatanya tak juga cukup di mata Wita. Tak ada rasa hormatku lagi padanya dan memanggilnya tanpa sebutan Mbak. Rasanya mubadzir dan sangat sia-sia menghormati wanita yang bahkan kehormatan dirinya tak bisa dijaga. "Hingga hasil tes yang Rafli lakukan keluar. Bisa ditebak bukan bagaimana diagnosa dokter? Rafli dinyatakan s