Harapan 2Mas Rafli menuntun tanganku untuk melingkar di lengannya. Dengan gerakan cukup cepat kami berjalan ke arah mobil. Teriakan Mbak Wita sama sekali tak menyurutkan langkah kami agar segera meninggalkan tempat itu. Umpatan-umpatan kasar keluar berlarik-larik dari bibir cantik wanita itu. Sungguh sangat disayangkan. Dia yang amat berkelas itu menjatuhkan harga diri serendah-rendahnya demi laki-laki yang sudah sah menjadi milik orang lain. Aku mengeratkan peganganku. Bahkan setelah di dalam mobil, aku merebahkan diri di lengan Mas Rafli hingga dia berkali-kali harus memastikan aku baik-baik saja. "Kamu sakit?" tanyanya khawatir. Aku tak menjawab, memang rasanya kepalaku mendadak pusing. Pandangan mataku berkunang-kunang. Aku sendiri tak yakin apakah efek serangan dari Mbak Wita atau bukan. Karena sore tadi saat aku berada di kamar mandi, kepalaku tiba-tiba terasa berat seperti ini. Bahkan aku sempat duduk beberapa saat di atas kloset duduk demi meredakan nyeri yang menyerang k
Kabar Bahagia 1Mas Rafli menyenderkan tubuhnya di tembok depan kamar mandi kamar kami. Wajahnya penuh harap, diraihnya tanganku yang menggenggam alat tes kehamilan. Tadi kami menyempatkan diri untuk mampir ke apotek untuk membeli alat tersebut. "Garis dua? Artinya… ." Mas Rafli menatapku lekat. Wajahnya menanti jawaban dariku untuk memastikan penglihatannya. Berkali-kali dia membesarkan matanya agar tak salah melihat. Tetapi aku… sudah dua kali aku mengalami hal serupa sehingga langsung yakin dengan apa yang tertera pada alat tersebut. "Sayang? Apakah artinya kamu… hamil?" Aku tersenyum sambil menentramkan debaran jantungku. Tanganku sedikit bergetar karena sangat bahagia. Kuanggukkan kepala perlahan seraya mengucapkan syukur pada Sang Pencipta. "Allah… alhamdulillah… alhamdulillah… alhamdulillah," ucap Mas Rafli sambil memeluk tubuhku. Dihujaninya puncak kepalaku berkali-kali. Bibirnya tak henti berucap terima kasih padaku. "Sayang… Terima kasih," lirihnya di telingaku. Bebera
Kabar Bahagia 2Kami berdua berpandangan. Sudah pasti ibu marah dengan apapun alasan kami menemui wanita itu. Apalagi jika dia tahu kerudung yang kugunakan ditarik paksa oleh Wita. Aku sendiri sangsi tidak ada yang mengabadikan melalui video mengenai kejadian tidak menyenangkan di kafe tadi. "Bu… tadi… ." Mas Rafli mencoba memberi penjelasan pada ibu. "Pokoknya jangan kamu dekat-dekat wanita itu lagi! Apalagi jika dia tahu Vinda hamil. Ibu tak mau Vinda kenapa-kenapa karena ulahnya. Kamu dengar Rafli, jangan mendekati wanita itu! " Ibu mengeraskan suaranya lagi. Wajah Mas Rafli terlihat pias karena reaksi wanita itu. Ibu memutus panggilan secara sepihak. Tetapi tak lama kemudian dia melakukan panggilan video pada ponsel suamiku. Dengan ragu Mas Rafli mengusap tombol hijau dan menghadapkan ponselnya di depan kami berdua. "Selamat sayang… akhirnya kamu hamil. Kau bisa membuktikan bukan betapa perkasanya anakku?" Ibu bertanya dengan nada bercanda pada kalimat yang dia lontarkan. Aku
Kedatangan Orang Tua Wita 1Aku melambaikan tangan ke arah Mas Rafli yang akan berangkat ke kantornya. Mulai saat ini aku diminta membatasi kegiatanku di restoran. Tentu saja mau menyanggupi perintahnya karena keberadaan Putri yang sudah sangat bisa dipercaya untuk mengelola usahaku itu. Aku hanya akan memantaunya beberapa kali dalam seminggu. Mas Rafli juga mewanti-wanti Mbok Minem untuk tak membiarkan aku terlalu lelah mengerjakan urusan rumah. Menurutku sangat berlebihan, mengingat aku yang terbiasa melakukan pekerjaan berat. Tetapi demi baktiku pada suami, aku lagi-lagi menyanggupinya. Belum lagi tingkah konyolnya beberapa hari ini. Tiap pagi saat bangun tidur, dia langsung beringsut mendekati perutku, mengajak bicara janin yang bahkan baru berusia kurang lebih satu bulan itu. "Selamat pagi anak Ayah… jangan nakal di perut Bunda… sehat selalu sayang… ." Kemudian dia akan menghujani ciuman di perutku itu. "Mas. Baru usia sebulan. Belum ada nyawanya, jadi belum bisa diajak ngobr
Kedatangan Orang Tua Wita 2"Mohon maaf, Mas Rafli sedang tidak ada di rumah. Perlukah aku menghubungi suamiku karena kedatangan kalian?" tanyaku hati-hati. Aku kira mereka orang yang dekat dengn Mas Rafli. Buktinya pria ini memanggil suamiku tanpa sapaan apapun. Kupersilahkan mereka masuk. Aku beranjak ke dapur untuk membuatkan minuman mereka. "Ada tamu, Mbak?" tanya Mbok Minem. Aku mengangguk. "Bisakah Mbok mengantar minuman ke depan? Aku mau menelepon Mas Rafli. Sepertinya tamu penting. Mereka bahkan ingin bertemu dengan suamiku langsung." Mbok Minem menuruti permintaanku. Segera kuhubungi Mas Rafli. Beruntung suamiku sedang meninjau swalayannya yang tak jauh dari rumah. Dia mengiyakan untuk pulang sebentar menemui tamunya. Sayangnya aku lupa bertanya siapa pasangan suami istri itu hingga tak bisa menjawab pertanyaan darinya. "Mbak. Serius meminta Mas Rafli pulang?" tanya Mbok Minem. Raut wajahnya terlihat berbeda dengan saat dia keluar tadi. "Kenapa, Mbok?""Itu… yang di dep
Pernyataan Menohok Mas Rafli 1"Apakah Wita tidak memberitahu kalian? Saat kutanyakan apakah Wita menginginkan swalayan yang di Candipura dia menolaknya. Alasannya karena ingin mengembangkan karirnya sendiri. Akhirnya kuberi separuh total nilai swalayan itu. Uangnya sudah kukirimkan ke rekening Wita bahkan tidak sampai satu bulan perceraian kami."Keterangan dari Mas Rafli membuat dua orang di depan kami membelalak. Kalimat Mas Rafli sepertinya memberi pukulan telak untuk mereka. "Kurasa aku sudah memberikan seluruh hak Wita. Tak ada yang terabaikan sama sekali. Jika kalian merasa Wita tak mendapatkan keadilan, sepertinya putri kalian sendiri yang sudah membohongi kalian berdua."Kedua orang itu saling menatap dengan ekspresi yang sulit ditebak. Setelah itu mereka menatapku dengan wajah tak suka. "Bisa kita bicara denganmu saja? Maksud kami, tidak ada orang lain selain kita bertiga?" Pertanyaan dari ibunya Wita membuatku agak tersentak. Panas dingin kutunggu reaksi dari Mas Rafli.
Pernyataan Menohok Mas Rafli 2"Maaf, Bu. Sepertinya saya tak bisa menjenguknya. Meskipun istriku ternyata mengizinkannya, aku tetap tak akan pergi. Aku laki-laki, punya prinsip yang harus kupedomani. Sebagai seorang laki-laki dan suami, tentu saja itu mencederai diri saya. Maaf, sampaikan salamku saja untuk Wita. Hiduplah dengan baik. Aku tak ingin dia larut dalam penyesalan. Bimbing dan dukunglah dia. Wita masih muda, masih bisa mengejar dan menggapai mimpi sekaligus membangun rumah tangganya. Percayalah, dia akan mendapatkan orang yang tepat untuknya." "Orang yang tepat itu kamu, Rafli. Kami setuju saat Wita menyampaikan keinginannya untuk menjadi istri kedua untukmu. Kami tak keberatan. Apalagi Wita sudah bersedia punya anak. Tentu impianmu masih sama seperti dulu, bukan?" Ucapan ibunya Wita membuatku menggigit bibirku kencang. Rasanya aku ingin memukulkan tas jinjing yang kutahu harganya di atas dua puluh juta yang dipakai wanita itu. Apakah dia sudah gila?Tanpa berpikir banya
Pesan Ibu Mertua 1Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur. Mas Rafli mengikutiku dari belakang. Aku tak bisa berpura-pura biasa saja atau tak terpengaruh dengan permintaan gila orang tua Wita tadi. Jika tak ingat mereka orang tua, aku sungguh ingin mencaci maki mereka. Sama seperti yang anaknya lakukan padaku beberapa waktu lalu. Beruntung aku masih bisa mengontrol emosi, aku masih bisa membaca keadaan. Rasanya tak pantas aku melakukan hal seburuk itu terlebih pada orang tua. "Sayang," ucap lembut Mas Rafli. Aku berpura-pura memejamkan mata sejenak. Rasanya aku belum siap menghadapi suamiku setelah kejadian ini. Aku takut rasa kesalku pada orang tua Wita kulampiaskan pada suamiku. "Mas, aku ingin tidur. Pergilah. Bukankah urusanmu belum selesai?" Kudengar suara napas Mas Rafli berhembus kasar. Kurasakan sentuhan lembut di pipiku. Jika tak sedang merasa kesal, sudah pasti aku akan menghambur di pelukannya setelah diperlakukan semanis ini. "Bahkan aku tak ingin berangkat lagi, ken
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa