Kabar Bahagia 1Mas Rafli menyenderkan tubuhnya di tembok depan kamar mandi kamar kami. Wajahnya penuh harap, diraihnya tanganku yang menggenggam alat tes kehamilan. Tadi kami menyempatkan diri untuk mampir ke apotek untuk membeli alat tersebut. "Garis dua? Artinya… ." Mas Rafli menatapku lekat. Wajahnya menanti jawaban dariku untuk memastikan penglihatannya. Berkali-kali dia membesarkan matanya agar tak salah melihat. Tetapi aku… sudah dua kali aku mengalami hal serupa sehingga langsung yakin dengan apa yang tertera pada alat tersebut. "Sayang? Apakah artinya kamu… hamil?" Aku tersenyum sambil menentramkan debaran jantungku. Tanganku sedikit bergetar karena sangat bahagia. Kuanggukkan kepala perlahan seraya mengucapkan syukur pada Sang Pencipta. "Allah… alhamdulillah… alhamdulillah… alhamdulillah," ucap Mas Rafli sambil memeluk tubuhku. Dihujaninya puncak kepalaku berkali-kali. Bibirnya tak henti berucap terima kasih padaku. "Sayang… Terima kasih," lirihnya di telingaku. Bebera
Kabar Bahagia 2Kami berdua berpandangan. Sudah pasti ibu marah dengan apapun alasan kami menemui wanita itu. Apalagi jika dia tahu kerudung yang kugunakan ditarik paksa oleh Wita. Aku sendiri sangsi tidak ada yang mengabadikan melalui video mengenai kejadian tidak menyenangkan di kafe tadi. "Bu… tadi… ." Mas Rafli mencoba memberi penjelasan pada ibu. "Pokoknya jangan kamu dekat-dekat wanita itu lagi! Apalagi jika dia tahu Vinda hamil. Ibu tak mau Vinda kenapa-kenapa karena ulahnya. Kamu dengar Rafli, jangan mendekati wanita itu! " Ibu mengeraskan suaranya lagi. Wajah Mas Rafli terlihat pias karena reaksi wanita itu. Ibu memutus panggilan secara sepihak. Tetapi tak lama kemudian dia melakukan panggilan video pada ponsel suamiku. Dengan ragu Mas Rafli mengusap tombol hijau dan menghadapkan ponselnya di depan kami berdua. "Selamat sayang… akhirnya kamu hamil. Kau bisa membuktikan bukan betapa perkasanya anakku?" Ibu bertanya dengan nada bercanda pada kalimat yang dia lontarkan. Aku
Kedatangan Orang Tua Wita 1Aku melambaikan tangan ke arah Mas Rafli yang akan berangkat ke kantornya. Mulai saat ini aku diminta membatasi kegiatanku di restoran. Tentu saja mau menyanggupi perintahnya karena keberadaan Putri yang sudah sangat bisa dipercaya untuk mengelola usahaku itu. Aku hanya akan memantaunya beberapa kali dalam seminggu. Mas Rafli juga mewanti-wanti Mbok Minem untuk tak membiarkan aku terlalu lelah mengerjakan urusan rumah. Menurutku sangat berlebihan, mengingat aku yang terbiasa melakukan pekerjaan berat. Tetapi demi baktiku pada suami, aku lagi-lagi menyanggupinya. Belum lagi tingkah konyolnya beberapa hari ini. Tiap pagi saat bangun tidur, dia langsung beringsut mendekati perutku, mengajak bicara janin yang bahkan baru berusia kurang lebih satu bulan itu. "Selamat pagi anak Ayah… jangan nakal di perut Bunda… sehat selalu sayang… ." Kemudian dia akan menghujani ciuman di perutku itu. "Mas. Baru usia sebulan. Belum ada nyawanya, jadi belum bisa diajak ngobr
Kedatangan Orang Tua Wita 2"Mohon maaf, Mas Rafli sedang tidak ada di rumah. Perlukah aku menghubungi suamiku karena kedatangan kalian?" tanyaku hati-hati. Aku kira mereka orang yang dekat dengn Mas Rafli. Buktinya pria ini memanggil suamiku tanpa sapaan apapun. Kupersilahkan mereka masuk. Aku beranjak ke dapur untuk membuatkan minuman mereka. "Ada tamu, Mbak?" tanya Mbok Minem. Aku mengangguk. "Bisakah Mbok mengantar minuman ke depan? Aku mau menelepon Mas Rafli. Sepertinya tamu penting. Mereka bahkan ingin bertemu dengan suamiku langsung." Mbok Minem menuruti permintaanku. Segera kuhubungi Mas Rafli. Beruntung suamiku sedang meninjau swalayannya yang tak jauh dari rumah. Dia mengiyakan untuk pulang sebentar menemui tamunya. Sayangnya aku lupa bertanya siapa pasangan suami istri itu hingga tak bisa menjawab pertanyaan darinya. "Mbak. Serius meminta Mas Rafli pulang?" tanya Mbok Minem. Raut wajahnya terlihat berbeda dengan saat dia keluar tadi. "Kenapa, Mbok?""Itu… yang di dep
Pernyataan Menohok Mas Rafli 1"Apakah Wita tidak memberitahu kalian? Saat kutanyakan apakah Wita menginginkan swalayan yang di Candipura dia menolaknya. Alasannya karena ingin mengembangkan karirnya sendiri. Akhirnya kuberi separuh total nilai swalayan itu. Uangnya sudah kukirimkan ke rekening Wita bahkan tidak sampai satu bulan perceraian kami."Keterangan dari Mas Rafli membuat dua orang di depan kami membelalak. Kalimat Mas Rafli sepertinya memberi pukulan telak untuk mereka. "Kurasa aku sudah memberikan seluruh hak Wita. Tak ada yang terabaikan sama sekali. Jika kalian merasa Wita tak mendapatkan keadilan, sepertinya putri kalian sendiri yang sudah membohongi kalian berdua."Kedua orang itu saling menatap dengan ekspresi yang sulit ditebak. Setelah itu mereka menatapku dengan wajah tak suka. "Bisa kita bicara denganmu saja? Maksud kami, tidak ada orang lain selain kita bertiga?" Pertanyaan dari ibunya Wita membuatku agak tersentak. Panas dingin kutunggu reaksi dari Mas Rafli.
Pernyataan Menohok Mas Rafli 2"Maaf, Bu. Sepertinya saya tak bisa menjenguknya. Meskipun istriku ternyata mengizinkannya, aku tetap tak akan pergi. Aku laki-laki, punya prinsip yang harus kupedomani. Sebagai seorang laki-laki dan suami, tentu saja itu mencederai diri saya. Maaf, sampaikan salamku saja untuk Wita. Hiduplah dengan baik. Aku tak ingin dia larut dalam penyesalan. Bimbing dan dukunglah dia. Wita masih muda, masih bisa mengejar dan menggapai mimpi sekaligus membangun rumah tangganya. Percayalah, dia akan mendapatkan orang yang tepat untuknya." "Orang yang tepat itu kamu, Rafli. Kami setuju saat Wita menyampaikan keinginannya untuk menjadi istri kedua untukmu. Kami tak keberatan. Apalagi Wita sudah bersedia punya anak. Tentu impianmu masih sama seperti dulu, bukan?" Ucapan ibunya Wita membuatku menggigit bibirku kencang. Rasanya aku ingin memukulkan tas jinjing yang kutahu harganya di atas dua puluh juta yang dipakai wanita itu. Apakah dia sudah gila?Tanpa berpikir banya
Pesan Ibu Mertua 1Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur. Mas Rafli mengikutiku dari belakang. Aku tak bisa berpura-pura biasa saja atau tak terpengaruh dengan permintaan gila orang tua Wita tadi. Jika tak ingat mereka orang tua, aku sungguh ingin mencaci maki mereka. Sama seperti yang anaknya lakukan padaku beberapa waktu lalu. Beruntung aku masih bisa mengontrol emosi, aku masih bisa membaca keadaan. Rasanya tak pantas aku melakukan hal seburuk itu terlebih pada orang tua. "Sayang," ucap lembut Mas Rafli. Aku berpura-pura memejamkan mata sejenak. Rasanya aku belum siap menghadapi suamiku setelah kejadian ini. Aku takut rasa kesalku pada orang tua Wita kulampiaskan pada suamiku. "Mas, aku ingin tidur. Pergilah. Bukankah urusanmu belum selesai?" Kudengar suara napas Mas Rafli berhembus kasar. Kurasakan sentuhan lembut di pipiku. Jika tak sedang merasa kesal, sudah pasti aku akan menghambur di pelukannya setelah diperlakukan semanis ini. "Bahkan aku tak ingin berangkat lagi, ken
Pesan Ibu Mertua 2"Mas?" kusentuh tangan suamiku agar dia menjelaskan pada ibunya. "Apa? Sudah kuingatkan, di kehamilan muda ini rawan melakukan hal itu. Astaga Rafli. Apakah kau tak percaya kata-kata Ibu? Bahkan kau membahayakan anakmu sendiri!" "Bu. Maaf, tak ada kejadian apapun tadi di kamar. Aku berani jamin. Hanya saja aku tak tahu mengapa Mas Rafli mengunci kamar," ucapku membela diri. Tentu aku tak ingin dicap menantu pembangkang meski pada akhirnya aku terkesan mengumpankan suamiku sendiri. "Benarkah? Lalu mengapa kau tak bekerja, Rafli? Kau kira hartamu yang tak seberapa sudah lebih dari cukup memenuhi kebutuhan keempat anakmu nanti?" Ibu menajamkan pandangannya ke arah suamiku. Aku hanya melihat suamiku tersenyum sedikit saat mendengar penuturan ibunya. "Tenang, Bu. Aku sudah tahu sampai dimana kemapanan finansialku," jawab Mas Rafli sedikit jumawa. "Astaga! Apakah perlu kubenturkan kepalamu ke tembok? Pergi bekerja sekarang! Bahkan tahun depan Zoya harus masuk ke play