“Mas, kamu ini bagaimana? Aku memintamu agar menjemput Alma, tapi kenapa tak dijemput?” Suara Inara yang tak bisa menahan rasa kecewa dan marah langsung menyerang telinga Damian begitu masuk ke rumah.
Suami Inara itu membuang napas berat, menaruh tas kerjanya di meja, sebelum menghempaskan tubuh ke sofa, lalu berkata dengan santai. “Aku tadi ada urusan mendesak, Ra. Maaf.” “Urusan mendesak yang lebih penting dari anakmu sendiri?!” Nada suara Inara sedikit meninggi kali ini. Raut wajah yang biasanya tenang kini memerah, menahan emosi yang siap meledak kapan saja. “Sebelumnya kamu bilang bisa. Aku sudah percaya padamu.” Damian mengusap wajahnya dengan kasar. “Iya, aku tau, tapi ....” Suaranya tercekat. Ingin menjelaskan, tetapi kata-katanya terasa terhenti di tenggorokan. “Padahal aku hanya minta tolong karena harus ke rumah sakit.” Inara menggeleng kecewa. Jika kakinya tak tertusuk paku yang cukup dalam, ia jelas akan menjemput putrinya tanpa harus meminta bantuan sang suami, tapi apa ini? “Untung saja gurunya Alma meneleponku karena dia menangis tak ada yang jemput,” tambah Inara kembali. Damian tampak menunduk. “Aku tau aku salah, Ra. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud mengabaikan Alma, tapi tadi ... saat perjalanan ke sekolah Alma, Selena tiba-tiba meneleponku. Dia panik karena anaknya hilang di mal. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja.” Inara tertawa sinis, jelas itu sebuah ejekan. Matanya berkilat tajam mendengar pengakuan suaminya. “Oh, jadi kamu lebih khawatir anak orang lain hilang, sampai-sampai kamu tidak memikirkan bagaimana kalau anakmu yang hilang jika terlambat dijemput?” “Ra, kamu terlalu berlebihan.” Damian menatap Inara dengan tatapan memohon. “Tolong, tidak usah diperpanjang. Aku sudah minta maaf tadi, kan? Lagi pula, Alma tidak kenapa-kenapa.” Kalimat itu seperti cambuk bagi Inara. Ia terdiam beberapa saat, berusaha menguasai emosinya yang hampir meledak. Dia tak menyangka kalau Damian akan mengeluarkan kalimat seperti itu. Apakah putri mereka tak lebih penting dari putra wanita itu? Inara tersenyum masam, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba saja menghalangi pandangannya. Sayangnya, ia tak bisa menahan getaran pada suaranya. “Iya, kamu benar. Alma baik-baik saja karena yang kamu takutkan kenapa-kenapa itu hanya Selena dan anaknya.” Air mata wanita itu akhirnya jatuh, tetapi buru-buru memalingkan pandangan dan diam-diam menghapusnya sedikit kasar. Tanpa berkata lagi, dia memilih pergi dengan langkah tertatih karena kakinya sakit akibat tertusuk paku berkarat tadi pagi. Di sisi lain, Damian hanya duduk di sofa dan memandangi punggung Inara yang makin menjauh hingga pintu ditutup dengan keras. Pria itu memegang kepala, frustrasi, seketika menyesali telah berbicara seperti tadi pada istrinya. Damian tahu dirinya bersalah, tetapi ia tak bermaksud lalai menjemput sang putri. Namun, dia juga merasa tak bisa mengabaikan Selena yang membutuhkan pertolongannya. Setelah beberapa saat saling mendiamkan, Damian membuka pintu kamar dengan perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada Inara yang duduk di tepi ranjang. Punggungnya sedikit membungkuk, kedua tangan terlipat di pangkuan, menatap pada lantai dengan tatapan kosong. Tanpa ragu, Damian mendekat dan duduk di sampingnya. Dia memperhatikan kaki Inara yang terbungkus perban dan tampak sedikit bengkak. “Bagaimana dengan kakimu?” tanyanya dengan suara yang sarat kekhawatiran. Inara mengangkat wajahnya sedikit, lalu menjawab dengan nada datar. “Baik-baik aja, Mas.” “Lain kali, kamu harus lebih hati-hati lagi.” “Iya, Mas. Terima kasih sudah peduli padaku,” ucap Inara yang membuat Damian mengernyit, merasa ada sesuatu yang tidak bisa dipahami dari kalimat itu. “Loh, kamu ini bicara apa? Aku ini suamimu, sudah pasti aku peduli padamu.” Damian berkata tegas. Inara sendiri hanya mengangguk pelan, mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia tak bisa begitu saja mengabaikan sisi lain hatinya yang terluka dengan perkataan sang suami beberapa saat lalu, yang secara tidak langsung menganggapnya sudah tak begitu penting. Tanpa berkata-kata lagi, Inara mengangkat kaki ke atas ranjang dan berbaring membelakangi suaminya. Damian juga hendak berbaring ketika suara pelan Inara terdengar. “Besok ulang tahun Alma. Aku harap kamu bisa pulang lebih awal dan kita sama-sama merayakan ulang tahunnya.” Damian menoleh, menatap punggung istrinya. “Pasti, aku tidak akan melewatkannya.” Kali ini, Inara bisa sedikit bernapas lega mendengar respons sang suami. Setidaknya, dia berharap Damian tak mengecewakannya lagi. *** “Bunda, kenapa Papa lama sekali?” Alma mengangkat kepala, menatap Inara penuh tanya tanpa bisa menyembunyikan kesedihan. Wanita itu perlahan berjongkok di hadapan sang putri, tersenyum seolah-olah tak ada beban. “Papa mungkin masih sibuk, Sayang. Jadi, terlambat datang.” Kata-katanya begitu ringan, tetapi sungguh di dalam sana dadanya cukup sesak. Saat ini, ulang tahun kelima Alma, putrinya dengan Damian, seharusnya bocah perempuan itu hanya boleh bahagia, bukan malah kecewa karena salah satu orang tuanya malah tak hadir di hari pentingnya. Berkali-kali, Inara memeriksa Ponsel. Namun, tidak ada pesan ataupun panggilan lagi dari Damian, sejak pria itu bilang sudah pulang dari kantor 2 jam yang lalu. Akan tetapi, hingga kini ujung rambutnya belum tampak ada di rumah. “Ke mana dia tersesat?” Inara membatin kesal. “Bunda, Papa pasti datang, kan?” tanya Alma, mulai cemberut. Cukup lama Inara bergeming, bingung harus menjawab apa. Sebenarnya, ia juga tak begitu yakin kalau Damian akan segera datang. Terlebih, ini bukan kali pertama dia menghilang tanpa kabar di saat penting. ‘Selena?’ batin Inara curiga pada satu sosok yang selalu membuat suaminya lupa segala hal.“Bunda?”“Kita tunggu sebentar lagi, ya, Sayang.” Inara yang tak mau mengecewakan sang putri yang sangat menginginkan kehadiran papanya pun terpaksa memberinya sedikit harapan. Untungnya, Alma mengangguk kecil. Beralih duduk di sofa sambil menopang wajah dengan kedua tangan. Sesekali, memajukan bibir bawah dengan mata yang mulai berkaca-kaca, menandakan kalau ia benar-benar sedang bersedih.“Kasihan kamu, Nak,” ucap Inara dalam hati. Ditatapnya pintu depan, berharap sosok kepala keluarga itu muncul dengan alasan yang bisa diterima.Akan tetapi, sepertinya ini hanya khayalan belaka karena Damian mungkin kembali melewatkan kebersamaan mereka kali ini.Inara lantas mendekati lalu mengusap-usap rambut Alma dengan lembut sambil berkata, “Kita potong aja kuenya sekarang. Mau, enggak? Nanti Papa menyusul.”“Tapi, Bunda ... Papa udah janji akan pulang cepat dan rayain ulang tahunku sama-sama.” Suara Alma lemah dan bergetar. Inara pun tahu kalau putrinya berusaha menahan tangis.Tak ada yang
Setelah beberapa saat, Damian kembali ke hadapan Inara dengan raut cemas. “Sayang, aku harus keluar sebentar.” “Selena lagi?” Inara mencoba menebak. Dan, diamnya Damian membuatnya langsung bisa menyimpulkan kalau dugaannya memang benar. Selalu saja begitu, ‘kan? “Anaknya Selena jatuh dari sepeda, Ra. Dia terluka dan butuh dibawa ke rumah sakit, tapi mobilnya masih di bengkel. Jadi, dia minta tolong aku untuk mengantarnya dulu,” jelas Damian, berharap sang istri memahaminya. “Kenapa harus kamu?” “Kamu tau sendiri kalau Selena sudah enggak punya siapa-siapa di sini, Ra.” Inara menggeleng kuat-kuat. Tak habis pikir lagi dengan sikap Damian yang seakan-akan mementingkan membantu mantan kekasihnya daripada menghabiskan waktu bersama keluarganya sendiri. “Kamu pikir aku dan Alma punya siapa-siapa di sini selain kamu? Putrimu hanya ingin menghabiskan waktu denganmu di hari libur, loh, Mas. Mau kamu merusak kebahagiaannya lagi? Kamu lupa tadi malam aku susah payah membujuknya, menyakink
Dalam perjalanan pulang, suasana di mobil cukup sunyi. Alma sibuk memeluk kelinci mainan barunya, sedangkan Inara memandang jalan dengan tatapan kosong.Bayangan Damian bersama Selena dan bocah laki-laki itu terus terputar di kepalanya. Mereka terlihat bahagia sekali. Namun, bukankah Damian bilang akan mengantarnya ke rumah sakit? Lantas, mengapa mereka ada di mal?Hati Inara sakit mengingat pemandangan itu, tetapi dia menahan setiap emosi agar tidak terlihat oleh putrinya.Tiba di rumah, Inara langsung membawa Alma ke kamarnya. “Sayang, kamu istirahat dulu, ya. Pasti capek dari jalan-jalan.”Alma mengangguk, setidaknya raut wajahnya sudah tak lagi menyiratkan kesedihan seperti tadi. “Oke, Bunda.”Setelah memastikan sang putri nyaman di tempat tidurnya. Inara menutup pintu kamar dengan perlahan, kemudian melangkah ke kamarnya yang berada di sebelah kamar Alma.Sampai di kamar, dia bersandar di balik pintu, menatap kosong ke arah lantai. Napasnya berat, pikirannya sangat kacau, tetapi
Di depan pintu kamarnya, Inara berdiri mematung. Tangannya gemetar saat menyeka air mata yang mulai membasahi pipinya.Ia menarik napas panjang, mencoba menahan isakan yang hampir meluncur dari bibirnya. Hatinya hancur oleh sikap suaminya sendiri yang seakan-akan tak bisa menentukan pilihan.“Bunda ....”Inara terkejut. Cepat-cepat berbalik dan melihat Alma sudah berdiri di hadapannya, memeluk boneka kelinci barunya dengan tatapan bingung.“Kenapa Bunda menangis? Bunda bertengkar sama Papa?” tanya Alma dengan raut polos, matanya menatap langsung ke arah ibunya.Inara tergagap, mencoba mencari alasan tepat. Dia menggeleng, kemudian berjongkok agar sejajar dengan Alma.Sambil tersenyum sedikit terpaksa, Inara menjawab, “Enggak, kok, Sayang. Bunda cuma kelilipan aja, tadi ada hewan kecil yang masuk mata Bunda.”Alma terlihat ragu dengan jawaban Inara sebelum akhirnya berkata, “Bunda ... Alma enggak apa-apa, kok, kalau Papa belum punya waktu buat main sama Alma.”Kata-kata itu seakan-akan
Pintu rumah terbuka perlahan. Damian masuk dengan langkah pelan agar suara langkahnya tak membangunkan siapa pun.Hanya saja, langkahnya mendadak terhenti saat melihat lampu ruang tamu ternyata menyala. Di sana, istrinya duduk dengan wajah datar, kedua tangannya dilipat di depan dada.Pemandangan itu, seketika membuat Damian canggung. Bukankah tadi, Inara sudah tidur ketika ia pergi?“Ra? Kenapa kamu belum tidur?” Damian memberanikan diri bertanya.Wanita itu bangkit dari sofa, menatap Damian tajam. “Aku bangun karena mendapati kamu tidak ada di kamar. Malam-malam begini pergi ke mana kamu dan baru pulang saat sudah dini hari?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.Damian terdiam sejenak, jelas tidak menyangka kalau akan dihantam dengan pertanyaan itu. Sebelumnya, dia berpikir kalau Inara akan tetap tidur ketika ia kembali, seperti saat memutuskan diam-diam keluar dari rumah tadi.Dia berdehem pelan, terlihat berpikir sebelum akhirnya menjawab, “Tadi tiba-tiba sekretarisku telepon, katan
Mobil yang ditumpangi Inara berhenti di seberang kantor suaminya agar keberadaannya tak menarik perhatian. Dia melirik jam tangan, memastikan bahwa jam kerja Damian sebentar lagi selesai.Benar saja, begitu hari mulai gelap dan suasana kantor juga sudah lenggang, Inara melihat Damian tiba-tiba muncul di pintu keluar kantor dan langsung menuju mobilnya. Seketika ia mengepalkan tangan saat hatinya sedang diliputi kegelisahaan.“Bukankah katanya akan lembur, tapi mengapa dia pulang tepat waktu?” Inara merasa napasnya tercekat. Semakin yakin kalau memang ada yang disembunyikan Damian darinya.Ketika mobil suaminya itu berlalu, Inara juga meminta sopir taksi untuk mengikuti dengan perlahan, membiarkan mobil Damian tetap dalam jangkauan pandangannya.Hatinya berdebar kencang, tidak percaya bahwa ia sampai harus memata-matai suaminya sendiri seperti seorang target yang melakukan kejahatan.Semua bermula karena Damian yang mulai bertingkah, diam-diam keluar rumah tadi malam membuat istrinya m
“Dam, aku mohon, tinggallah dulu … demi Vano. Sudah lama, dia tidak merasakan makan malam bersama ayahnya, jadi dia sangat berharap bisa makan malam bersamamu, meskipun kamu bukan ayah kandungnya. Setidaknya, kehadiranmu bisa mengobati rindu pada ayahnya.” Damian mengusap wajah frustrasi, perasaannya campur aduk. Ia makin bingung apakah harus menyusul istrinya untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini atau tinggal menemani Vano yang juga sangat mengharapkan kehadirannya. Sekali lagi, Damian menatap putra Selena yang masih berdiri di dekat pintu dengan tampang polosnya membuat hati kecil ayah anak satu itu tak bisa mengabaikan begitu saja. Akhirnya, setelah berpikir, Damian dengan berat hati mengangguk. “Baiklah ….” Selena tersenyum samar mendengar keputusan Damian. Matanya berbinar, merasa puas atas keberhasilan rencananya menahan Damian berada di sisinya lebih lama. Mereka berjalan kembali ke rumah Selena. Damian berusaha tersenyum di depan Vano walau nyatanya beban di dad
Alih-alih mengakui kesalahan, Damian justru bersikap seolah-olah ia melakukan tindakan yang benar. “Ra, jangan berkata begitu. Aku benar-benar hanya ingin memastikan Vano tidak merasa kehilangan figur ayah. Dia masih kecil, Ra,” katanya. Inara menggeleng, makin tak mengerti dengan jalan pikiran suaminya. “Lalu bagaimana dengan Alma, Mas? Apa menurutmu, dia tidak kehilangan figur ayah dengan sikap kamu yang seperti ini?” Ia mendengus kecil, mecoba menahan tawa sarkas yang nyaris meledak. “Alma dan Vano beda, Ra. Rasa sayangku ke Alma tidak sama seperti Vano. Tentu, aku sangat menyanyangi Alma. Tapi, kamu juga harus mengerti kalau Vano kehilangan ayahnya dan harus tumbuh tanpa sosok ayah, sedangkan Alma, dia masih punya orang tua lengkap.” Siapa yang tahu kalau kalimat pembelaan diri Damian itu justru semakin menyakitkan hati istrinya. “Begitu yang kamu pikirkan?” Senyum bengis Inara tercetak dari bibirnya, dia melipat tangan di depan dada, mencoba menahan amarahnya yang makin mem
Alih-alih mengakui kesalahan, Damian justru bersikap seolah-olah ia melakukan tindakan yang benar. “Ra, jangan berkata begitu. Aku benar-benar hanya ingin memastikan Vano tidak merasa kehilangan figur ayah. Dia masih kecil, Ra,” katanya. Inara menggeleng, makin tak mengerti dengan jalan pikiran suaminya. “Lalu bagaimana dengan Alma, Mas? Apa menurutmu, dia tidak kehilangan figur ayah dengan sikap kamu yang seperti ini?” Ia mendengus kecil, mecoba menahan tawa sarkas yang nyaris meledak. “Alma dan Vano beda, Ra. Rasa sayangku ke Alma tidak sama seperti Vano. Tentu, aku sangat menyanyangi Alma. Tapi, kamu juga harus mengerti kalau Vano kehilangan ayahnya dan harus tumbuh tanpa sosok ayah, sedangkan Alma, dia masih punya orang tua lengkap.” Siapa yang tahu kalau kalimat pembelaan diri Damian itu justru semakin menyakitkan hati istrinya. “Begitu yang kamu pikirkan?” Senyum bengis Inara tercetak dari bibirnya, dia melipat tangan di depan dada, mencoba menahan amarahnya yang makin mem
“Dam, aku mohon, tinggallah dulu … demi Vano. Sudah lama, dia tidak merasakan makan malam bersama ayahnya, jadi dia sangat berharap bisa makan malam bersamamu, meskipun kamu bukan ayah kandungnya. Setidaknya, kehadiranmu bisa mengobati rindu pada ayahnya.” Damian mengusap wajah frustrasi, perasaannya campur aduk. Ia makin bingung apakah harus menyusul istrinya untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini atau tinggal menemani Vano yang juga sangat mengharapkan kehadirannya. Sekali lagi, Damian menatap putra Selena yang masih berdiri di dekat pintu dengan tampang polosnya membuat hati kecil ayah anak satu itu tak bisa mengabaikan begitu saja. Akhirnya, setelah berpikir, Damian dengan berat hati mengangguk. “Baiklah ….” Selena tersenyum samar mendengar keputusan Damian. Matanya berbinar, merasa puas atas keberhasilan rencananya menahan Damian berada di sisinya lebih lama. Mereka berjalan kembali ke rumah Selena. Damian berusaha tersenyum di depan Vano walau nyatanya beban di dad
Mobil yang ditumpangi Inara berhenti di seberang kantor suaminya agar keberadaannya tak menarik perhatian. Dia melirik jam tangan, memastikan bahwa jam kerja Damian sebentar lagi selesai.Benar saja, begitu hari mulai gelap dan suasana kantor juga sudah lenggang, Inara melihat Damian tiba-tiba muncul di pintu keluar kantor dan langsung menuju mobilnya. Seketika ia mengepalkan tangan saat hatinya sedang diliputi kegelisahaan.“Bukankah katanya akan lembur, tapi mengapa dia pulang tepat waktu?” Inara merasa napasnya tercekat. Semakin yakin kalau memang ada yang disembunyikan Damian darinya.Ketika mobil suaminya itu berlalu, Inara juga meminta sopir taksi untuk mengikuti dengan perlahan, membiarkan mobil Damian tetap dalam jangkauan pandangannya.Hatinya berdebar kencang, tidak percaya bahwa ia sampai harus memata-matai suaminya sendiri seperti seorang target yang melakukan kejahatan.Semua bermula karena Damian yang mulai bertingkah, diam-diam keluar rumah tadi malam membuat istrinya m
Pintu rumah terbuka perlahan. Damian masuk dengan langkah pelan agar suara langkahnya tak membangunkan siapa pun.Hanya saja, langkahnya mendadak terhenti saat melihat lampu ruang tamu ternyata menyala. Di sana, istrinya duduk dengan wajah datar, kedua tangannya dilipat di depan dada.Pemandangan itu, seketika membuat Damian canggung. Bukankah tadi, Inara sudah tidur ketika ia pergi?“Ra? Kenapa kamu belum tidur?” Damian memberanikan diri bertanya.Wanita itu bangkit dari sofa, menatap Damian tajam. “Aku bangun karena mendapati kamu tidak ada di kamar. Malam-malam begini pergi ke mana kamu dan baru pulang saat sudah dini hari?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.Damian terdiam sejenak, jelas tidak menyangka kalau akan dihantam dengan pertanyaan itu. Sebelumnya, dia berpikir kalau Inara akan tetap tidur ketika ia kembali, seperti saat memutuskan diam-diam keluar dari rumah tadi.Dia berdehem pelan, terlihat berpikir sebelum akhirnya menjawab, “Tadi tiba-tiba sekretarisku telepon, katan
Di depan pintu kamarnya, Inara berdiri mematung. Tangannya gemetar saat menyeka air mata yang mulai membasahi pipinya.Ia menarik napas panjang, mencoba menahan isakan yang hampir meluncur dari bibirnya. Hatinya hancur oleh sikap suaminya sendiri yang seakan-akan tak bisa menentukan pilihan.“Bunda ....”Inara terkejut. Cepat-cepat berbalik dan melihat Alma sudah berdiri di hadapannya, memeluk boneka kelinci barunya dengan tatapan bingung.“Kenapa Bunda menangis? Bunda bertengkar sama Papa?” tanya Alma dengan raut polos, matanya menatap langsung ke arah ibunya.Inara tergagap, mencoba mencari alasan tepat. Dia menggeleng, kemudian berjongkok agar sejajar dengan Alma.Sambil tersenyum sedikit terpaksa, Inara menjawab, “Enggak, kok, Sayang. Bunda cuma kelilipan aja, tadi ada hewan kecil yang masuk mata Bunda.”Alma terlihat ragu dengan jawaban Inara sebelum akhirnya berkata, “Bunda ... Alma enggak apa-apa, kok, kalau Papa belum punya waktu buat main sama Alma.”Kata-kata itu seakan-akan
Dalam perjalanan pulang, suasana di mobil cukup sunyi. Alma sibuk memeluk kelinci mainan barunya, sedangkan Inara memandang jalan dengan tatapan kosong.Bayangan Damian bersama Selena dan bocah laki-laki itu terus terputar di kepalanya. Mereka terlihat bahagia sekali. Namun, bukankah Damian bilang akan mengantarnya ke rumah sakit? Lantas, mengapa mereka ada di mal?Hati Inara sakit mengingat pemandangan itu, tetapi dia menahan setiap emosi agar tidak terlihat oleh putrinya.Tiba di rumah, Inara langsung membawa Alma ke kamarnya. “Sayang, kamu istirahat dulu, ya. Pasti capek dari jalan-jalan.”Alma mengangguk, setidaknya raut wajahnya sudah tak lagi menyiratkan kesedihan seperti tadi. “Oke, Bunda.”Setelah memastikan sang putri nyaman di tempat tidurnya. Inara menutup pintu kamar dengan perlahan, kemudian melangkah ke kamarnya yang berada di sebelah kamar Alma.Sampai di kamar, dia bersandar di balik pintu, menatap kosong ke arah lantai. Napasnya berat, pikirannya sangat kacau, tetapi
Setelah beberapa saat, Damian kembali ke hadapan Inara dengan raut cemas. “Sayang, aku harus keluar sebentar.” “Selena lagi?” Inara mencoba menebak. Dan, diamnya Damian membuatnya langsung bisa menyimpulkan kalau dugaannya memang benar. Selalu saja begitu, ‘kan? “Anaknya Selena jatuh dari sepeda, Ra. Dia terluka dan butuh dibawa ke rumah sakit, tapi mobilnya masih di bengkel. Jadi, dia minta tolong aku untuk mengantarnya dulu,” jelas Damian, berharap sang istri memahaminya. “Kenapa harus kamu?” “Kamu tau sendiri kalau Selena sudah enggak punya siapa-siapa di sini, Ra.” Inara menggeleng kuat-kuat. Tak habis pikir lagi dengan sikap Damian yang seakan-akan mementingkan membantu mantan kekasihnya daripada menghabiskan waktu bersama keluarganya sendiri. “Kamu pikir aku dan Alma punya siapa-siapa di sini selain kamu? Putrimu hanya ingin menghabiskan waktu denganmu di hari libur, loh, Mas. Mau kamu merusak kebahagiaannya lagi? Kamu lupa tadi malam aku susah payah membujuknya, menyakink
“Bunda?”“Kita tunggu sebentar lagi, ya, Sayang.” Inara yang tak mau mengecewakan sang putri yang sangat menginginkan kehadiran papanya pun terpaksa memberinya sedikit harapan. Untungnya, Alma mengangguk kecil. Beralih duduk di sofa sambil menopang wajah dengan kedua tangan. Sesekali, memajukan bibir bawah dengan mata yang mulai berkaca-kaca, menandakan kalau ia benar-benar sedang bersedih.“Kasihan kamu, Nak,” ucap Inara dalam hati. Ditatapnya pintu depan, berharap sosok kepala keluarga itu muncul dengan alasan yang bisa diterima.Akan tetapi, sepertinya ini hanya khayalan belaka karena Damian mungkin kembali melewatkan kebersamaan mereka kali ini.Inara lantas mendekati lalu mengusap-usap rambut Alma dengan lembut sambil berkata, “Kita potong aja kuenya sekarang. Mau, enggak? Nanti Papa menyusul.”“Tapi, Bunda ... Papa udah janji akan pulang cepat dan rayain ulang tahunku sama-sama.” Suara Alma lemah dan bergetar. Inara pun tahu kalau putrinya berusaha menahan tangis.Tak ada yang
“Mas, kamu ini bagaimana? Aku memintamu agar menjemput Alma, tapi kenapa tak dijemput?” Suara Inara yang tak bisa menahan rasa kecewa dan marah langsung menyerang telinga Damian begitu masuk ke rumah.Suami Inara itu membuang napas berat, menaruh tas kerjanya di meja, sebelum menghempaskan tubuh ke sofa, lalu berkata dengan santai. “Aku tadi ada urusan mendesak, Ra. Maaf.”“Urusan mendesak yang lebih penting dari anakmu sendiri?!” Nada suara Inara sedikit meninggi kali ini. Raut wajah yang biasanya tenang kini memerah, menahan emosi yang siap meledak kapan saja. “Sebelumnya kamu bilang bisa. Aku sudah percaya padamu.”Damian mengusap wajahnya dengan kasar. “Iya, aku tau, tapi ....” Suaranya tercekat. Ingin menjelaskan, tetapi kata-katanya terasa terhenti di tenggorokan.“Padahal aku hanya minta tolong karena harus ke rumah sakit.” Inara menggeleng kecewa. Jika kakinya tak tertusuk paku yang cukup dalam, ia jelas akan menjemput putrinya tanpa harus meminta bantuan sang suami, tapi ap