Di depan pintu kamarnya, Inara berdiri mematung. Tangannya gemetar saat menyeka air mata yang mulai membasahi pipinya.
Ia menarik napas panjang, mencoba menahan isakan yang hampir meluncur dari bibirnya. Hatinya hancur oleh sikap suaminya sendiri yang seakan-akan tak bisa menentukan pilihan. “Bunda ....” Inara terkejut. Cepat-cepat berbalik dan melihat Alma sudah berdiri di hadapannya, memeluk boneka kelinci barunya dengan tatapan bingung. “Kenapa Bunda menangis? Bunda bertengkar sama Papa?” tanya Alma dengan raut polos, matanya menatap langsung ke arah ibunya. Inara tergagap, mencoba mencari alasan tepat. Dia menggeleng, kemudian berjongkok agar sejajar dengan Alma. Sambil tersenyum sedikit terpaksa, Inara menjawab, “Enggak, kok, Sayang. Bunda cuma kelilipan aja, tadi ada hewan kecil yang masuk mata Bunda.” Alma terlihat ragu dengan jawaban Inara sebelum akhirnya berkata, “Bunda ... Alma enggak apa-apa, kok, kalau Papa belum punya waktu buat main sama Alma.” Kata-kata itu seakan-akan menembus hingga ke dasar hati Inara seperti ribuan belati tajam yang menghantam. Dia tak lagi mampu membendung air mata yang tiba-tiba kembali jatuh. Tanpa berpikir panjang, Inara memeluk Alma erat-erat. “Bunda sayang banget sama kamu, Sayang,” bisiknya dengan suara bergetar di telinga Alma. Gadis kecil itu mengangguk dalam pelukan ibunya, meskipun sejatinya ia masih belum sepenuhnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi? “Alma juga sayang sama Bunda.” Sementara itu, di dalam kamar, Damian berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka. Dia mendengar setiap kata yang diucapkan putrinya. Suara lembut Alma tadi seakan-akan mengguncang dunianya. Dia mulai berpikir, kalau sudah terlalu jauh mengabaikan keluarga kecilnya. *** Keesokan paginya. Di meja makan, Alma sedang fokus menyendokkan sereal ke mulutnya, Inara duduk di sampingnya dengan secangkir teh di depannya. Kedua wanita itu langsung menoleh begitu Damian menarik kursi dan duduk di seberang mereka. “Alma, hari ini Papa yang antar kamu ke sekolah, ya,” ujar Damian sambil tersenyum hangat pada putrinya. Dia bertekad untuk memperbaiki hubungan dengan anak istrinya karena tak ingin Inara benar-benar meninggalkannya. Alma langsung meletakkan sendok, menatap Damian dengan mata berbinar. Itu saat yang ditunggu-tunggu sedari kemarin. “Beneran, Pa? Papa mau antar Alma?” tanyanya penuh semangat, nyaris tak percaya. Damian tersenyum tipis, lalu mengangguk cepat. “Iya, beneran. Papa enggak sibuk, kok. Lagi pula, kaki Bunda masih sakit. Harus istirahat dulu. Jadi, Alma biar berangkat sama Papa aja.” Tanpa pikir panjang, Alma tiba-tiba meloncat dari kursinya, berlari ke arah Damian, dan memeluknya erat. “Alma senang banget Papa yang antar aku hari ini.” Melihat reaksi Alma, senyum Inara merekah. Hatinya menghangat saat melihat putrinya bahagia, meskipun sebenarnya ia sedikit bingung dengan sikap Damian yang mendadak ingin mengantar Alma ke sekolah pagi ini. Biasanya, dia selalu beralasan sudah telat atau ada meeting pagi-pagi. Hanya saja, meskipun tersenyum yang tampak tulus, Inara masih menyimpan keraguan di balik senyumnya itu, apakah kebahagiaan kecil ini akan bertahan lama atau hanya sekadar omong kosong Damian? “Alma, ayo cepat habiskan sarapanmu. Jangan sampai Papa jadi telat ke kantor karena nunggu kamu,” titah Inara lembut. “Iya, Bunda.” Alma kembali ke kursinya dengan antusias. Selesai sarapan, Inara mengantar suami dan putrinya hingga ke depan. Bocah berseragam TK itu, jelas terlihat bahagia akan diantar oleh papanya. Setelah Alma duduk nyaman. Damian menutup pintu mobil dengan lembut. Kemudian, menghampiri Inara yang masih berdiri di teras rumah memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Ra, istirahatlah dulu di rumah, ya. Kaki kamu masih perlu pemulihan,” ujarnya dengan suara lembut dan penuh perhatian, “biar aku yang jemput Alma ketika ia pulang nanti.” Tatapan Inara pada Damian jelas menyiratkan keraguan. Dia sedikit trauma jika mengingat kejadian kemarin, di mana Damian tak menjemput putri mereka. Bagaimana kalau dia mengulanginya lagi hari ini? “Aku ... aku enggak yakin padamu, Mas,” ucapnya pelan, tetapi berhasil membuat dada Damian terasa sesak. “Aku takut kamu tidak menjemput Alma lagi seperti kemarin.” Kepercayaan Inara setidaknya sudah terkikis, sehingga kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Damian menelan ludah, menatap istrinya penuh rasa bersalah. Namun, semua ini terjadi juga karenanya. Penolakan halus dari sang istri itu tak membuat Damian menyerah. Ia meraih tangan Inara dan menggenggamnya dengan lembut, berusaha meyakinkan. “Ra, aku minta maaf,” lirihnya, suaranya terdengar berat. Aku sadar, dua bulan ini mengabaikan kamu dan Alma.” Dia menghela napas panjang sebelum kembali melanjutkan ucapan. “Tapi, kali ini, aku benar-benar akan menepati janjiku, Ra. Kamu tenang saja karena aku sudah berjanji akan memperbaiki semuanya, tapi aku mohon ... jangan tinggalkan aku. Aku tidak bisa kehilangan kamu dan Alma.” Inara tertegun mendengar kata-kata Damian yang terdengar penuh penyesalan. Hatinya memang masih sedikit ragu, tetapi ia juga dapat merasakan kesungguhan sang suami. “Aku ingat janjimu.” Berharap, ini adalah secercah harapan untuk kebahagiaan keluarga kecil mereka ke depannya. Hari itu berlalu dengan Damian yang berusaha memperbaiki hubungan dengan keluarga kecilnya. Dia menepati janji menjemput putri mereka tepat waktu, bahkan sepulang dari kantor, dia menghabiskan waktu bersama Alma. Begitu malam sudah larut, keheningan menyelimuti kamar saat Inara terbangun tiba-tiba. Begitu berbalik, tangannya tak sengaja menyapu kasur membuatnya seketika menyadari kalau Damian tidak ada di sebelahnya. Inara mengangkat kepala, menatap ke arah sisi tempat tidur yang kosong. Jantungnya berdegup kencang. “Mas?” panggilnya pelan, tetapi hanya kesunyian yang menjawab. Dia mencoba menghalau pikiran-pikiran buruk yang mulai memenuhi kepalanya, meskipun hatinya terlanjur gelisah. Perlahan, ia bangkit dari ranjang, mengenakan sandal rumah, lalu melangkah keluar kamar untuk mencari Damian. Matanya menelusuri setiap sudut rumah yang gelap dan sepi. Namun, suaminya tetap tak terlihat. “Apa dia pergi menemui Selena lagi?” gumam Inara dalam hati. Air matanya tiba-tiba saja terjatuh.Pintu rumah terbuka perlahan. Damian masuk dengan langkah pelan agar suara langkahnya tak membangunkan siapa pun.Hanya saja, langkahnya mendadak terhenti saat melihat lampu ruang tamu ternyata menyala. Di sana, istrinya duduk dengan wajah datar, kedua tangannya dilipat di depan dada.Pemandangan itu, seketika membuat Damian canggung. Bukankah tadi, Inara sudah tidur ketika ia pergi?“Ra? Kenapa kamu belum tidur?” Damian memberanikan diri bertanya.Wanita itu bangkit dari sofa, menatap Damian tajam. “Aku bangun karena mendapati kamu tidak ada di kamar. Malam-malam begini pergi ke mana kamu dan baru pulang saat sudah dini hari?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.Damian terdiam sejenak, jelas tidak menyangka kalau akan dihantam dengan pertanyaan itu. Sebelumnya, dia berpikir kalau Inara akan tetap tidur ketika ia kembali, seperti saat memutuskan diam-diam keluar dari rumah tadi.Dia berdehem pelan, terlihat berpikir sebelum akhirnya menjawab, “Tadi tiba-tiba sekretarisku telepon, katan
Mobil yang ditumpangi Inara berhenti di seberang kantor suaminya agar keberadaannya tak menarik perhatian. Dia melirik jam tangan, memastikan bahwa jam kerja Damian sebentar lagi selesai.Benar saja, begitu hari mulai gelap dan suasana kantor juga sudah lenggang, Inara melihat Damian tiba-tiba muncul di pintu keluar kantor dan langsung menuju mobilnya. Seketika ia mengepalkan tangan saat hatinya sedang diliputi kegelisahaan.“Bukankah katanya akan lembur, tapi mengapa dia pulang tepat waktu?” Inara merasa napasnya tercekat. Semakin yakin kalau memang ada yang disembunyikan Damian darinya.Ketika mobil suaminya itu berlalu, Inara juga meminta sopir taksi untuk mengikuti dengan perlahan, membiarkan mobil Damian tetap dalam jangkauan pandangannya.Hatinya berdebar kencang, tidak percaya bahwa ia sampai harus memata-matai suaminya sendiri seperti seorang target yang melakukan kejahatan.Semua bermula karena Damian yang mulai bertingkah, diam-diam keluar rumah tadi malam membuat istrinya m
“Dam, aku mohon, tinggallah dulu … demi Vano. Sudah lama, dia tidak merasakan makan malam bersama ayahnya, jadi dia sangat berharap bisa makan malam bersamamu, meskipun kamu bukan ayah kandungnya. Setidaknya, kehadiranmu bisa mengobati rindu pada ayahnya.” Damian mengusap wajah frustrasi, perasaannya campur aduk. Ia makin bingung apakah harus menyusul istrinya untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini atau tinggal menemani Vano yang juga sangat mengharapkan kehadirannya. Sekali lagi, Damian menatap putra Selena yang masih berdiri di dekat pintu dengan tampang polosnya membuat hati kecil ayah anak satu itu tak bisa mengabaikan begitu saja. Akhirnya, setelah berpikir, Damian dengan berat hati mengangguk. “Baiklah ….” Selena tersenyum samar mendengar keputusan Damian. Matanya berbinar, merasa puas atas keberhasilan rencananya menahan Damian berada di sisinya lebih lama. Mereka berjalan kembali ke rumah Selena. Damian berusaha tersenyum di depan Vano walau nyatanya beban di dad
Alih-alih mengakui kesalahan, Damian justru bersikap seolah-olah ia melakukan tindakan yang benar. “Ra, jangan berkata begitu. Aku benar-benar hanya ingin memastikan Vano tidak merasa kehilangan figur ayah. Dia masih kecil, Ra,” katanya. Inara menggeleng, makin tak mengerti dengan jalan pikiran suaminya. “Lalu bagaimana dengan Alma, Mas? Apa menurutmu, dia tidak kehilangan figur ayah dengan sikap kamu yang seperti ini?” Ia mendengus kecil, mecoba menahan tawa sarkas yang nyaris meledak. “Alma dan Vano beda, Ra. Rasa sayangku ke Alma tidak sama seperti Vano. Tentu, aku sangat menyanyangi Alma. Tapi, kamu juga harus mengerti kalau Vano kehilangan ayahnya dan harus tumbuh tanpa sosok ayah, sedangkan Alma, dia masih punya orang tua lengkap.” Siapa yang tahu kalau kalimat pembelaan diri Damian itu justru semakin menyakitkan hati istrinya. “Begitu yang kamu pikirkan?” Senyum bengis Inara tercetak dari bibirnya, dia melipat tangan di depan dada, mencoba menahan amarahnya yang makin mem
[Kamu tau kalau aku dan Damian pernah bersama selama 7 tahun sebelum kamu hadir dalam hidupnya. Mana mungkin dia bisa begitu cepat melupakanku, meskipun ada dirimu, Inara?] Inara menggigit bibir, jemarinya mengepal di atas selimut. Jantungnya berdetak cepat, tapi ia memaksa tetap membaca pesan itu. [Aku menyesal pernah meninggalkan Damian dulu, tapi sekarang aku sudah kembali. Oh, iya, kamu juga harus tau kalau sebelum bertemu denganmu, Damian itu cinta mati padaku. Mungkin, sekarang kamu memang istrinya, tapi cinta sejatinya tetap aku.] Mata Inara perlahan memanas. Hatinya terasa seperti ditusuk pisau tak kasat mata berkali-kali. Tangannya gemetar membaca pesan demi pesan dari mantan kekasih suaminya, tetapi bukannya berhenti, ia terus melanjutkan. [Kamu tau, kan, kalau seorang pria sangat sulit melupakan cinta pertamanya? Ya, itu aku, Inara. Kamu hanya pelariannya. Cepat atau lambat, aku akan merebut Damianku kembali.]
Inara menggigit bibir dengan hati gelisah. Berusaha menahan tangisnya yang hampir meledak. Ponsel masih digenggam erat, terus mencoba menghubungi Damian. Namun, hasilnya tetap sama—tak ada jawaban.Air matanya mulai jatuh. Suaranya tercekat penuh kepiluan. “Di saat penting seperti ini, kamu ke mana, Mas?”Kembali menatap sang putri di pangkuannya. Bibir mungil itu makin pucat membuat Inara sangat khawatir Alma akan kenapa-kenapa.Pandangannya menyapu sekeliling, berusaha mencari pertolongan. Akan tetapi, suasana malam cukup sepi membuat Inara mengembuskan napas putus asa. Mau minta tolong pada tetangga, rumah tetangganya pada jauh-jauh, kemungkinan tak ada yang menyadari ada kebakaran di sini.Tak ada pilihan lain. Di tengah rasa khawatir pada kondisi Alma serta rasa kecewa dan frustrasinya pada Damian yang hilang bagai ditelan bumi, tangannya kembali bergerak, menekan nomor lain dengan cepat. Begitu panggilan tersamb
“Dam?” Setelah beberapa saat berpikir, Damian mengangguk kecil meskipun dengan sedikit berat hati. “Baiklah. Aku akan tetap di sini,” katanya langsung menciptakan senyum penuh kemenangan dari bibir Selena. Begitu Selena masuk ke ruang perawatan Vano, Damian meraih ponsel untuk memberi kabar istrinya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat puluhan panggilan dari Inara. Nahasnya, karena baru saja ia akan menelepon balik, ponselnya tiba-tiba mati. Damian mendengus frustrasi. “Sial ... kenapa malah mati sekarang?” gumamnya sambil menggenggam ponsel itu kuat-kuat. Perasaannya mulai tak tenang dengan banyaknya panggilan Inara. Tanpa ia sadari, di lorong rumah sakit yang lain, sebuah brankar melaju dengan cepat, didorong oleh dua perawat yang tergesa-gesa. Di atas ranjang itu, Alma terbaring dengan masker oksigen menutupi wajahnya. Tubuh kecil itu lemah, nyaris tak bergerak. Ditemani 2 pria yang tadi
Dari celah pintu, Inara bisa melihat pemandangan yang membuat hatinya berdenyut perih. Suami yang sedari tadi dihubunginya, kini duduk di tepi ranjang, tersenyum dan tertawa bersama dengan putra mantan kekasihnya. Damian terlihat begitu santai, seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi. “Om, aku senang Om Damian berada di sini,” kata Vano disambut dengan senyum manis Damian. Ayah satu anak itu beralih mengusap kepala Vano dengan penuh kelembutan. Jelas sekali terlihat kalau ia sangat menyayangi anak itu. “Pasti, Om di sini untuk menemani kamu. Jadi, cepatlah sembuh. Nanti Om akan membelikanmu mainan baru.” “Janji, ya, Om?” tanya Vano dengan mata berbinar, jari kelingkingnya diacungkan ke arah Damian. Damian mengaitkan kelingking pada kelingking kecil Vano. “Janji,” katanya mantap. Di sudut ruangan, Selena tersenyum puas, lalu menghampiri mereka. “Lihat, kan? Mama bilang apa? Om Da
Hari ini, Alma sudah siap pulang, tetapi Inara masih menemui dokter untuk membahas kondisi terakhirnya.Sementara itu, Damian tetap di ruang rawat, menemani putrinya yang tengah duduk di ranjang dengan wajah berbinar, penuh semangat.“Papa ... Papa ikut Alma dan Bunda pulang ke rumah Oma, kan?” tanya Alma tiba-tiba, menatap sang papa penuh harap.Damian terdiam sejenak. Ada jeda singkat sebelum akhirnya dia menggeleng pelan. “Papa tidak bisa ikut pulang ke sana, Sayang.”Alma mengernyit, penasaran. “Terus Papa bobo di mana?”“Papa bobo di apartemen, Sayang.” Damian tersenyum, berusaha terlihat baik-baik saja di depan putrinya. “Nanti kapan-kapan kalau Alma mau, bisa bobo di apartemen Papa.”Namun, bukannya senang, wajah Alma malah berubah cemberut. Bocah perempuan itu menyilangkan tangan di dada. “Kenapa Papa tidak ikut pulang aja? Papa bertengkar sama Bunda, ya?”Damian menghela napas, menatap mata putrinya lekat. Dia t
“Apa yang kamu katakan, Inara?” Damian bertanya sambil menatap dalam ke arah wanita itu. Ada kepedihan di matanya, seolah tuduhan Inara telah melukai sesuatu dalam dirinya.“Mana mungkin aku melakukannya?” Suaranya bergetar kini.Namun, bukannya langsung percaya, Inara justru tersenyum miris, menatap Damian masih penuh dengan rasa curiga. Pria itu, terlalu banyak membohonginya semenjak Selena hadir dalam hidup mereka. “Mengapa tidak? Bukankah kamu selalu ada untuk Selena?” Suara Inara cukup dingin, menusuk hingga ke dasar hati Damian. “Bahkan, dulu ketika aku dan Selena membutuhkanmu di saat bersamaan, kamu lebih memilih membantu dia lebih dulu, dibanding aku sebagai istrimu. Jadi, bukan tidak mungkin, kamu juga membantunya kabur karena kasihan padanya.”Damian terkesiap. Kata-kata Inara makin membuatnya sesak dan merasa bersalah. Tak bisa mengelak, karena ia memang selalu tak bisa menolak membantu Selena. Namun, itu dulu. Bukan sekarang.Sebuah gelengan diberikan Damian, tidak perca
Inara menelan ludah, tangannya refleks menggenggam erat selimut Alma. “Kok bisa?” tanyanya dengan suara bergetar, nyaris berbisik. “Dia melarikan diri lewat pintu belakang rumahnya bersama putranya. Polisi sempat mengejar, tapi kehilangan jejak,” jawab Rafa dengan nada serius. “Sampai sekarang, polisi masih terus mencarinya.” Inara menggigit bibir bawahnya sambil menggeleng pelan. Selena benar-benar licik! “Aku cuma mau bilang, Kakak jaga diri dan jaga Alma baik-baik,” lanjut Rafa, suaranya terdengar makin tegas. “Takutnya Selena tidak akan tinggal diam setelah ini. Dia mungkin akan mencari celah untuk kembali mengusik Kakak ... atau bahkan Alma.” Kepalan tangan Inara kian erat. Hidupnya sudah cukup kacau karena Selena. Rumah tangganya porak-poranda, dan lebih dari itu, putrinya kini mengalami penyakit serius karena perbuatan Selena. Setelah sambungan telepon dengan Rafa berakhir, Inara menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin Selena bisa lolos b
Damian mengeratkan rahang. Terlintas di benaknya, bayangan rumah yang penuh kenangan itu kini tinggal puing-puing. Juga bagaimana putrinya berjuang di kolam yang hampir merenggut nyawanya, di mana insiden itu ada campur tangan Selena.“Kami menyerahkan semuanya kepada pihak berwenang dan percaya pada proses hukum yang berlaku.”Setelah mengucapkan itu, Damian melangkah masuk ke gedung PrimaTex, meninggalkan para wartawan yang masih terus melemparkan pertanyaan. Keamanan segera bergerak cepat untuk menutup akses, memastikan tidak ada yang mencoba masuk.Begitu berada di dalam lift, Damian menarik napas panjang. Masalah Selena ternyata berdampak luas. Namun, ia tidak akan membiarkan hal itu menghancurkan reputasi perusahaannya.Lebih dari itu, ia tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi niatnya untuk mendapatkan kembali keluarganya.Di tempat lain, tepatnya di rumah Selena yang mendadak terasa pengap, wanita itu mondar-mandir g
“Aku tidak bisa,” jawab Damian akhirnya. Tidak mau diperdaya lagi oleh Selena. Sudah cukup rumah tangganya hancur gara-gara wanita yang seharusnya tidak pernah muncul lagi dalam kehidupannya itu.“Tapi, Mas! Aku punya anak! Vano butuh aku! Kalau aku dibawa polisi, bagaimana dengannya? Kamu tidak lupa, kan, kalau di sini aku tidak punya siapa-siapa?”Damian terdiam. Tidak melupakan hal itu. Selena selalu menggunakan kalimat itu sebagai senjata agar ia padanya. Sekilas, Damian juga mengingat bocah kecil yang selama ini dikasihani karena harus tumbuh tanpa sosok ayah.Damian peduli pada Vano dengan maksud agar bocah itu merasakan kasih sayang ayah meskipun bukan dari ayah kandung, tetapi seketika ingatannya juga tertuju pada Alma.Putrinya itu harus kehilangan kasih sayang ayah karena Damian tanpa sadar mengabaikan peran sebagai ayah untuk putri kandungnya, demi rasa kasihannya pada Selena dan Vano. Inara sering kali mengingatkan, tetapi ia
Damian berdiri mematung di ambang pintu, menatap Inara berdiri di hadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Meski demikian, Damian tetap menunggu wanita itu melanjutkan kalimatnya.Helaan napas Inara terdengar selang beberapa saat, wanita dengan tahi lalat di pipi kanan itu tersenyum sebelum akhirnya berkata, “Sebenarnya, ini tidak pantas kukatakan, mengingat hubungan kita sudah berakhir.”Mendengarnya, Damian seketika menahan napas. Kata-kata itu terdengar sederhana, tetapi menamparnya, cukup untuk menyakitinya lebih dari yang ia bayangkan.“Tapi, aku hanya ingin kamu tau satu hal.” Inara menatap Damian dalam-dalam. “Selena ingin kembali padamu. Dia pernah mengatakan padaku bahwa cepat atau lambat, dia akan merebutmu dariku. Dia juga bilang kalau kalian masih punya rasa satu sama lain makanya kamu tidak bisa mengabaikannya setiap kali ia meminta bantuan.”Damian membeku. Napasnya tercekat, bahkan untuk menelan ludahnya saja, ia cukup kesusa
Inara melangkah masuk ke ruang rawat putrinya dengan kedua tangan penuh kantong berisi sarapan dan beberapa jajanan kecil pagi itu.Akan tetapi, langkahnya begitu saja terhenti ketika pandangannya tertuju ke ranjang Alma. Bukan ibunya yang ada di sana seperti saat ia pamit keluar tadi, melainkan Damian. Pria itu benar-benar datang pagi-pagi sekali, duduk di tepi ranjang, dan tampak berbicara seru dengan Alma sambil menunjukkan sesuatu di ponselnya.Pandangan Inara menyapu pada sofa yang tak jauh dari ranjang, sebuah boneka beruang besar tergeletak di tempat tidur, betul-betul sesuai dengan permintaan Alma, bahkan sama persis dengan boneka lamanya.Senyum tipis muncul di wajah Inara. Dadanya langsung menghangat melihat Damian benar-benar memenuhi janji kali ini. Walaupun, sebenarnya Inara sudah tidak ingin berharap banyak, tetapi setidaknya, Damian tak membuat putri mereka kecewa kalo ini.Berjalan mendekat, Inara meletakkan bar
Selena mengerjap pelan, wajahnya tampak lugu, seolah-olah tak mengerti arah pembicaraan Damian.“Ma—maksudmu apa, Mas? Apa yang kulakukan?” Nada suara wanita itu terdengar bergetar, tetapi ia tetap berusaha terlihat seakan-akan tak ada sesuatu yang terjadi.Damian tertawa sinis, sorot tajam tatapannya terlihat penuh dengan kekecewaan. Sekarang, ia baru menyadari sepenuhnya, betapa banyak kebohongan yang telah ia telan mentah-mentah dari wanita yang ia kira betul-betul membutuhkan bantuannya selama ini.“Jangan pura-pura bodoh, Selena!” bentak Damian. Telunjuknya langsung teracung tajam pada Selena. Menggertakkan rahang, menahan amarah yang sudah meluap-luap di dadanya. “Kamu sengaja menyuruh Vano mendorong Alma ke kolam tadi?”Raut wajah Selena seketika berubah, nyaris terlihat seperti orang panik. Namun, dalam hitungan detik, ekspresinya langsung berubah, memelas.“Mas, kamu bicara apa?” Selena tertawa kecil. Tawa yang mencoba
Damian masih menatap ponselnya di tangan. Melihat nama sekretarisnya tertera di sana. Sejenak, ia melirik ke arah Inara yang sedang mengusap-usap kepala Alma. Putrinya itu masih terlihat lemah. Damian menghela napas, sedikit ragu sebelum akhirnya berkata, “Aku terima telepon di luar sebentar.” Inara hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, tetapi hati kecilnya, sebenarnya ia sangat kesal. Di saat seperti ini pun Damian masih sempat menerima telepon? Tak perlu menebak jauh-jauh, pasti ada hubungannya dengan Selena lagi. Hanya wanita itu yang selalu membuat mantan suaminya itu tak bisa abai, sekalipun saat itu ia juga butuh kehadiran Damian. Hanya saja, Inara tak ada hak untuk protes. Dia tak ada hubungan apa-apa lagi dengan Damian sekarang. Pria itu bangkit dari tepi ranjang, tak menyadari tatapan Inara yang berubah dingin padanya. Segera ia keluar dan menjawab telepon. “Ya, Andrew? Ada info yang kamu dapatkan?” Damian tidak ingin membuang-buang waktu. “Bapak sudah