Mobil yang ditumpangi Inara berhenti di seberang kantor suaminya agar keberadaannya tak menarik perhatian. Dia melirik jam tangan, memastikan bahwa jam kerja Damian sebentar lagi selesai.
Benar saja, begitu hari mulai gelap dan suasana kantor juga sudah lenggang, Inara melihat Damian tiba-tiba muncul di pintu keluar kantor dan langsung menuju mobilnya. Seketika ia mengepalkan tangan saat hatinya sedang diliputi kegelisahaan. “Bukankah katanya akan lembur, tapi mengapa dia pulang tepat waktu?” Inara merasa napasnya tercekat. Semakin yakin kalau memang ada yang disembunyikan Damian darinya. Ketika mobil suaminya itu berlalu, Inara juga meminta sopir taksi untuk mengikuti dengan perlahan, membiarkan mobil Damian tetap dalam jangkauan pandangannya. Hatinya berdebar kencang, tidak percaya bahwa ia sampai harus memata-matai suaminya sendiri seperti seorang target yang melakukan kejahatan. Semua bermula karena Damian yang mulai bertingkah, diam-diam keluar rumah tadi malam membuat istrinya menaruh curiga dan terpaksa mencari tahu kebenaran, meskipun mungkin ini akan menyakitinya. Mobil Damian melaju menuju daerah perumahan, sedangkan mobil yang membawa Inara menepi di ujung jalan sembari memperhatikan mobil sang suami kini berhenti di depan sebuah rumah yang ia tidak tahu itu rumah siapa? “Rumah siapa itu dan untuk apa Mas Damian ke sini?” “Apa dia sedang ada pertemuan dengan klien di sini?” Ia masih mencoba berpikir positif. Tak lama, bocah laki-laki keluar rumah dan langsung berlari memeluk Damian, disusul seorang wanita yang cukup Inara kenal. Ingatannya cukup kuat meskipun cuma pernah bertemu sekali, di restoran—saat makan malam dengan keluarga kecilnya, tetapi wanita itu tiba-tiba datang dan diminta Damian bergabung dengan mereka. “Selena?” Pemandangan di depan terlihat seperti pertemuan ayah dan anak yang sedang melepas rindu. Namun, pemandangan hangat itu justru membuat hati Inara seperti ditusuk ribuan jarum hingga air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. “Mas Damian mengatakan akan lembur, ternyata ini dia lembur yang dimaksud?” bisiknya dengan suara bergetar. Air matanya buru-buru dihapus dengan kasar. Keluar dari mobil dan berdiri di sebelah mobil. Masih menatap suaminya dari kejauhan yang tersenyum hangat pada wanita lain. “Ini yang kamu bilang tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya, bahkan kamu rela menemuinya saat malam-malam begini?” Inara menggeleng tak percaya. Tak lama, mereka bertiga terlihat berjalan masuk ke rumah. Namun, di saat bersamaan, Inara mengambil ponsel dan segera menelepon Damian. Pandangannya tak lepas mengawasi setiap pergerakan suaminya yang terlihat meminta izin pada Selena untuk menerima telepon. Setelah beberapa saat, terdengar suara di balik benda pipih tersebut. “Halo, Ra.” “Mas di mana?” tanya Inara, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun dadanya bergemuruh penuh emosi. “Di kantor, Ra.Tadi pagi bukannya sudah kubilang akan lembur? Soalnya banyak kerjaan akhir bulan yang harus diselesaikan,” jawab Damian tanpa sedikit pun merasa ragu. “Bahkan, sekarang kamu sudah lihai berbohong demi wanita itu, Mas.” Inara mengatakannya dalam hati sambil mengepalkan tangan erat-erat. “Sudah makan, Mas?” tanyanya lagi, sengaja basa-basi. Hanya ingin tahu respons Damian. “Belum, tapi nanti aku pesan makanan. Kamu sendiri gimana? Jangan tunggu aku, tidur aja dulu kalau sudah ngantuk,” ujar Damian, suaranya terdengar seolah-olah semuanya baik-baik saja. Inara menarik napas panjang. Amarahnya yang sudah di ubun-ubun sudah tak tertahankan lagi. “Lembur bersama Selena?” Suaranya terdengar dingin, tetapi cukup tajam. Damian terdiam. Seketika gugup, bahkan gelagatnya tampak gelisah. “A-apa maksudmu, Ra?” “Aku tak habis pikir, kamu rela berbohong, demi menemuinya,” kata Inara pelan. Namun, berhasil membuat Damian gelagapan. Suami sah Inara itu sontak menoleh sekeliling. Dia membelalakkan mata saat pandangannya melihat sebuah mobil dan Inara berdiri di sebelahnya dengan tatapan terluka. “Ra, ini enggak ....” Tut ... tut ... tut! Tangan Inara bergetar saat sambungan telpon diakhiri sepihak olehnya. Ia mendongak, berusaha menahan air mata sebelum masuk ke mobil. Sesak sudah memenuhi dadanya, seperti ada sesuatu yang berhimpitan di dalam, tetapi ia juga tahu tak boleh tetap berada di tempat itu agar emosinya tak meledak. Di si lain, Damian tak tinggal diam. Pria itu berlari keluar dari halaman rumah Selena mendekati mobil Inara. “Inara! Tunggu!” Suaranya menggema di malam yang sunyi. Hanya saja, Inara tak peduli. “Jalan, Pak!” titahnya. “Ra, dengarkan aku. Kamu salah paham!” Damian berteriak lebih keras sambil berlari, berusaha menghentikan laju mobil itu, bahkan menggedor-gedor pintu mobil di sebelah istrinya, berharap Inara akan mendengarkan penjelasannya. “Aku bisa jelaskan semuanya!” “Jalan cepat aja, Pak. Tidak usah pedulikan dia,” kata Inara lagi dengan pandangan lurus ke depan. “Ra! Tunggu, tolong dengar aku!” Damian hampir kehilangan keseimbangannya saat mobil melesat makin cepat. Dia berhenti, terengah-engah di tengah jalan, hanya mampu menatap punggung mobil yang membawa istrinya itu makin jauh. Damian yang diliputi rasa bersalah buru-buru berbalik, hendak mengambil mobil dan mengejar. Tahu kalau Inara sangat kecewa padanya sekarang sehingga ia merasa harus memberikan penjelasan agar tak ada kesalahpahaman yang membuat hubungan dengan istrinya makin merenggang. Hanya saja, sebelum sempat membuka pintu mobil, Selena memanggilnya. “Mas Damian!” Gerakan tangannya terhenti, berbalik pada Selena yang sudah berada di belakangnya. “Kamu mau ke mana? Vano sudah lapar. Ayo, kita ke dalam dan mulai makan malamnya,” katanya membuat Damian kebingungan untuk memilih. Kemarin, dia sudah berjanji pada Vano untuk makan malam bersama hari ini, tetapi bagaimana dengan Inara? Damian tidak ingin Inara berpikir yang tidak-tidak tentangnya. “Aku pergi sebentar, nanti kembali lagi.” Damian akan pergi, tetapi lagi-lagi, Selena memegang pergelangan tangannya. “Tapi, Damian, Vano ....” Selena menjeda ucapannya, melirik ke arah putranya, begitu Damian melihat Vano dengan tatapan penuh pengharapan di dekat pintu. “Dia sangat menantikan makan malam ini bersamamu. Dari tadi dia terus bertanya kapan kamu datang. Kalau kamu pergi sekarang, dia pasti kecewa berat.” Mata Selena tampak berkaca-kaca, menambah kesan pilu pada wajahnya yang selalu bisan membuat Damian iba.“Dam, aku mohon, tinggallah dulu … demi Vano. Sudah lama, dia tidak merasakan makan malam bersama ayahnya, jadi dia sangat berharap bisa makan malam bersamamu, meskipun kamu bukan ayah kandungnya. Setidaknya, kehadiranmu bisa mengobati rindu pada ayahnya.” Damian mengusap wajah frustrasi, perasaannya campur aduk. Ia makin bingung apakah harus menyusul istrinya untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini atau tinggal menemani Vano yang juga sangat mengharapkan kehadirannya. Sekali lagi, Damian menatap putra Selena yang masih berdiri di dekat pintu dengan tampang polosnya membuat hati kecil ayah anak satu itu tak bisa mengabaikan begitu saja. Akhirnya, setelah berpikir, Damian dengan berat hati mengangguk. “Baiklah ….” Selena tersenyum samar mendengar keputusan Damian. Matanya berbinar, merasa puas atas keberhasilan rencananya menahan Damian berada di sisinya lebih lama. Mereka berjalan kembali ke rumah Selena. Damian berusaha tersenyum di depan Vano walau nyatanya beban di dad
Alih-alih mengakui kesalahan, Damian justru bersikap seolah-olah ia melakukan tindakan yang benar. “Ra, jangan berkata begitu. Aku benar-benar hanya ingin memastikan Vano tidak merasa kehilangan figur ayah. Dia masih kecil, Ra,” katanya. Inara menggeleng, makin tak mengerti dengan jalan pikiran suaminya. “Lalu bagaimana dengan Alma, Mas? Apa menurutmu, dia tidak kehilangan figur ayah dengan sikap kamu yang seperti ini?” Ia mendengus kecil, mecoba menahan tawa sarkas yang nyaris meledak. “Alma dan Vano beda, Ra. Rasa sayangku ke Alma tidak sama seperti Vano. Tentu, aku sangat menyanyangi Alma. Tapi, kamu juga harus mengerti kalau Vano kehilangan ayahnya dan harus tumbuh tanpa sosok ayah, sedangkan Alma, dia masih punya orang tua lengkap.” Siapa yang tahu kalau kalimat pembelaan diri Damian itu justru semakin menyakitkan hati istrinya. “Begitu yang kamu pikirkan?” Senyum bengis Inara tercetak dari bibirnya, dia melipat tangan di depan dada, mencoba menahan amarahnya yang makin mem
[Kamu tau kalau aku dan Damian pernah bersama selama 7 tahun sebelum kamu hadir dalam hidupnya. Mana mungkin dia bisa begitu cepat melupakanku, meskipun ada dirimu, Inara?] Inara menggigit bibir, jemarinya mengepal di atas selimut. Jantungnya berdetak cepat, tapi ia memaksa tetap membaca pesan itu. [Aku menyesal pernah meninggalkan Damian dulu, tapi sekarang aku sudah kembali. Oh, iya, kamu juga harus tau kalau sebelum bertemu denganmu, Damian itu cinta mati padaku. Mungkin, sekarang kamu memang istrinya, tapi cinta sejatinya tetap aku.] Mata Inara perlahan memanas. Hatinya terasa seperti ditusuk pisau tak kasat mata berkali-kali. Tangannya gemetar membaca pesan demi pesan dari mantan kekasih suaminya, tetapi bukannya berhenti, ia terus melanjutkan. [Kamu tau, kan, kalau seorang pria sangat sulit melupakan cinta pertamanya? Ya, itu aku, Inara. Kamu hanya pelariannya. Cepat atau lambat, aku akan merebut Damianku kembali.]
Inara menggigit bibir dengan hati gelisah. Berusaha menahan tangisnya yang hampir meledak. Ponsel masih digenggam erat, terus mencoba menghubungi Damian. Namun, hasilnya tetap sama—tak ada jawaban.Air matanya mulai jatuh. Suaranya tercekat penuh kepiluan. “Di saat penting seperti ini, kamu ke mana, Mas?”Kembali menatap sang putri di pangkuannya. Bibir mungil itu makin pucat membuat Inara sangat khawatir Alma akan kenapa-kenapa.Pandangannya menyapu sekeliling, berusaha mencari pertolongan. Akan tetapi, suasana malam cukup sepi membuat Inara mengembuskan napas putus asa. Mau minta tolong pada tetangga, rumah tetangganya pada jauh-jauh, kemungkinan tak ada yang menyadari ada kebakaran di sini.Tak ada pilihan lain. Di tengah rasa khawatir pada kondisi Alma serta rasa kecewa dan frustrasinya pada Damian yang hilang bagai ditelan bumi, tangannya kembali bergerak, menekan nomor lain dengan cepat. Begitu panggilan tersamb
“Dam?” Setelah beberapa saat berpikir, Damian mengangguk kecil meskipun dengan sedikit berat hati. “Baiklah. Aku akan tetap di sini,” katanya langsung menciptakan senyum penuh kemenangan dari bibir Selena. Begitu Selena masuk ke ruang perawatan Vano, Damian meraih ponsel untuk memberi kabar istrinya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat puluhan panggilan dari Inara. Nahasnya, karena baru saja ia akan menelepon balik, ponselnya tiba-tiba mati. Damian mendengus frustrasi. “Sial ... kenapa malah mati sekarang?” gumamnya sambil menggenggam ponsel itu kuat-kuat. Perasaannya mulai tak tenang dengan banyaknya panggilan Inara. Tanpa ia sadari, di lorong rumah sakit yang lain, sebuah brankar melaju dengan cepat, didorong oleh dua perawat yang tergesa-gesa. Di atas ranjang itu, Alma terbaring dengan masker oksigen menutupi wajahnya. Tubuh kecil itu lemah, nyaris tak bergerak. Ditemani 2 pria yang tadi
Dari celah pintu, Inara bisa melihat pemandangan yang membuat hatinya berdenyut perih. Suami yang sedari tadi dihubunginya, kini duduk di tepi ranjang, tersenyum dan tertawa bersama dengan putra mantan kekasihnya. Damian terlihat begitu santai, seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi. “Om, aku senang Om Damian berada di sini,” kata Vano disambut dengan senyum manis Damian. Ayah satu anak itu beralih mengusap kepala Vano dengan penuh kelembutan. Jelas sekali terlihat kalau ia sangat menyayangi anak itu. “Pasti, Om di sini untuk menemani kamu. Jadi, cepatlah sembuh. Nanti Om akan membelikanmu mainan baru.” “Janji, ya, Om?” tanya Vano dengan mata berbinar, jari kelingkingnya diacungkan ke arah Damian. Damian mengaitkan kelingking pada kelingking kecil Vano. “Janji,” katanya mantap. Di sudut ruangan, Selena tersenyum puas, lalu menghampiri mereka. “Lihat, kan? Mama bilang apa? Om Da
Dengan sedikit gelisah, Inara membuka pintu ruangan dokter setelah mengetuknya beberapa kali. Pintu terbuka menampilkan dokter wanita yang tengah duduk di balik mejanya, sementara seorang pria duduk di kursi lain sambil mengutak-atik ponsel.Benar kata Daffa, di sini ada kakaknya yang sedang menunggu. Inara tak menyangka hal ini.“Duduklah,” ujar pria itu dengan suara tenang begitu melihat Inara berjalan mendekat. Inara mengernyit. “Kak Rafiq? Kakak di sini?”Rafiq—kakak kandung Inara mengangguk pelan. “Aku langsung pulang dari kantor begitu dapat kabar dari Rafa,” jawabnya, menatap Inara yang tak bisa menyembunyikan raut cemasnya.Tanpa membuang waktu, Inara menoleh ke arah dokter dan bertanya, “Dok, bagaimana keadaan Alma?”Dokter menghela napas, menatap mereka bergantian, sebelum dengan berat hati menjawab, “Bu Inara, putri Anda mengalami ARDS atau Sindrom Gangguan Pernapasan Akut akibat paparan asap.”Dahi
Inara kembali menatap wajah kecil yang masih tertidur itu. Dia yang terlalu rapuh, tanpa sadar mengeluarkan air matanya lagi, tetapi buru-buru dihapus sebelum dua saudaranya menyadari.Sayangnya, karena Rafiq sudah lebih dulu melihatnya. Pria itu menghela napas berat, seakan-akan mengerti suasana hati saudara perempuannya itu. Rafiq lantas saja menegur adik bungsunya. “Rafa, ini bukan waktunya membahas masalah seperti itu. Jangan membuat pikiran Inara makin kacau.”“Bukan waktunya katamu, Kak?” Rafa mendengus sinis. “Terus kapan waktunya?”“Kak Inara terluka saat berusaha menolong Alma dari kebakaran itu. Dia sampai berlari ke sana kemari mencari pertolongan. Dan, di saat itu ke mana suaminya? Sibuk? Mau alasan kerja? Emang jabatannya apa sampai sesibuk itu? CEO? Presiden? Penguasa negara? Bahkan, kalaupun iya, dia tetap enggak bakal seharusnya begitu sibuk untuk orang yang disayanginya. Kalau beneran sayang.”Hening. Inara menunduk, men
Seperginya Inara, Daffa kembali ke rumahnya. Rambutnya acak-acakan. Pintu dibanting keras. Dengan napas yang memburu, langsung menyapu meja konsol di dekat pintu. Vas bunga, figura, dan pajangan kristal berjatuhan ke lantai, pecah berkeping-keping.Tangannya gemetar marah saat meraih hiasan lain dan melemparnya ke dinding. “Sialan!” teriaknya sambil terus mengobrak-abrik isi ruangan.Satu per satu benda pecah berserakan. Suara kaca pecah menggema ke seluruh rumah. Dalam waktu singkat, ruang tamu itu berubah menjadi ladang kekacauan menunjukkan ada amarah dan rasa frustrasi yang membara di dada pemiliknya.ART dan beberapa karyawan rumah terkejut berhamburan datang. Mereka berdiri terpaku di ambang ruangan, menunduk ketakutan.Tak lama, Daffa menoleh tajam ke arah mereka, napasnya tersengal dengan mata menyala marah.“Saya sudah bilang, jangan biarkan siapa pun masuk ke rumah ini!” bentaknya sambil menunjuk mereka satu per satu.
Mobil mewah milik Inara itu berhenti perlahan di depan rumah dua lantai yang tampak tak asing dalam pandangan. Keisya melirik pada Inara yang duduk di sebelahnya, wajahnya terlihat tegang juga bertanya-tanya. Kenapa dibawa ke rumah Daffa? “Keisya kenapa kita ke sini? Apa kamu pikir Daffa akan jujur kalau kita bertanya padanya langsung?” Inara tak yakin. Dia mendengus kesal. “Siapa juga yang mau jujur soal keburukannya?” Keisya mengangkat bahu. “Ikut saja.” Langsung keluar dari mobil. Inara walaupun sangat enggan, terpaksa mengikuti. Entah apa yang direncanakan wanita yang mengaku sebagai mantan kekasih calon suaminya itu? Keisya langsung mengetuk pintu dan tak lama seorang ART paruh baya membuka. Begitu melihat mereka, wajahnya tampak berubah, seperti orang panik. “Cari siapa, Non?” tanyanya. “Kak Daffa ada, Bi?” tanya Inara. “Maaf, Non ... tapi, sekarang Tuan Daf
Pada akhirnya, Inara berusaha menepis keraguan dan memutuskan pergi ke lokasi yang dikirimkan orang tersebut. Siapa pun orang ini, Inara berharap dia betul-betul tahu banyak tentang Daffa agar rasa curiga serta praduganya bisa terjawab.Kini ibu dari Alma itu sudah berada di lantai 2 kafe sesuai petunjuk lokasi pertemuan. Tempat ini cukup tenang. Lampu-lampu gantung yang menggantung rendah memancarkan cahaya kekuningan yang temaram, memantul di permukaan meja kayu dan gelas-gelas yang tertata rapi. Dia memilih duduk di pojok ruangan, membelakangi jendela besar. Pandangannya gelisah menyapu setiap orang yang melintas. Sayangnya, dia tidak tahu seperti apa rupa orang itu sehingga sulit baginya untuk mengenalinya. Dan, hingga kini belum ada satu pun orang yang menghampirinya.Ia melirik jam di ponsel, lalu kembali membuka pesan dari nomor misterius itu. Wajahnya tegang dengan segala persepsi buruk yang tiba-tiba menyerang kepalanya.Bagaim
Inara baru saja selesai bersih-bersih setelah hari yang panjang dan melelahkan. Angin malam yang sejuk masuk melalui jendela besar di kamarnya yang masih terbuka.Beberapa saat kemudian, ia memilih duduk di dekat jendela sambil memegang buku, sesekali menatap halaman mansion yang tenang. Dia baru saja membuka buku, hendak mulai membaca ketika tiba-tiba terdengar pintu kamarnya terbuka pelan.Ketika menoleh, ia mendapati gadis kecilnya melangkah mendekat. Dan, langsung memeluk pinggang ibunya erat. Inara menyimpan bukunya. Tak jadi membaca. Langsung mengangkat Alma ke pangkuannya. Mungkin bocah itu rindu bermanja dengannya.“Ada PR tidak?” tanya Inara. “Enggak ada, Bunda, tapi ada kabar seru!” Alma mengatakan itu dengan semangat, membuat Inara tersenyum. Memasang ekspresi serius, seolah siap mendengarkan. “Wah ... kabar apa, Sayang?” tanyanya sambil merapikan rambut Alma ke belakang telinganya.Alma
“Aku sudah mencoba segalanya, bahkan mencari pembelaan netizen dan mencemarkan nama baiknya, tapi Damian bebal! Dia tidak mau bertanggung jawab!” Suara Selena terdengar jelas dari speaker laptop. “Harusnya kamu yang tanggung jawab karena anak ini … anakmu!”Tangan Damian mengepal kuat. Berusaha menekan emosinya. Genta, Arvin, dan Andrew saling pandang, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.Pria di hadapan Selena masih mengenakan masker dan topi yang nyaris tidak memperlihatkan matanya hingga wajahnya sangat sulit dikenali. Dia mendengus kasar.“Kamu jangan sembarangan! Aku sudah bilang tidak akan menikahimu! Kamu tau aku melakukannya karena tidak sengaja, kan?!” tegas sang pria. Selena tampak tertegun di sana. Namun, ia tetap menyerah. Tetap memperjuangkan hak anaknya. “Kamu pikir aku melakukannya dengan sengaja? Aku juga tidak menginginkan bayi ini, brengsek! Pokoknya aku tidak mau anak ini lahir tanpa ayah. Atau … aku gu
Damian tak sabar ingin segera mengumpulkan bukti dan mengungkap kebohongan Selena demi mengembalikan nama baiknya.Mereka masih mengobrol, menyusun strategi menyelesaikan masalah ketika ponsel Genta bergetar. Leo memanggil.“Leo menelepon,” ucapnya sambil menatap ke arah Damian seakan meminta persetujuan. “Angkat ... angkat.” Damian memperbaiki posisi duduknya. Berharap Leo membawa kabar baik.Genta menekan tombol loud speaker lebih dulu agar mereka semua mendengarnya sebelum berkata, “Halo?”“Saya sudah di depan apartemen Selena. Namun, belum ada tanda-tanda dia keluar. Keamanan di sini ketat banget, tamu aja harus dijemput penghuni. Jadi, saya tidak bisa masuk ke sana.” Leo melapor dari seberang. Saat ini, memarkir motor sportnya di seberang bangunan megah itu.“Terus awasi di sana. Jangan sampai kita kehilangan jejaknya lagi,” titah Damian.“Siap, Pak. Tempat saya sekarang cukup sepi dan aman untuk mengawasinya, pura
Tiba di kantor, langkah Inara yang baru saja memasuki pintu utama terhenti seketika saat melihat Daffa duduk santai di sofa ruang tamu kantor. Menggenggam secangkir kopi yang sudah tinggal separuh. Begitu melihat kedatangannya, pria itu langsung berdiri. Senyumnya merekah seolah tidak ada masalah yang terjadi. Inara memang balas tersenyum kecil, tetapi hatinya sangat kesal gara-gara Daffa mengadu yang tidak-tidak pada orang tuanya, dia sampai ditampar. “Ra,” sapa Daffa mendekati Inara, “kamu sangat cantik, seperti biasa.” Rafiq yang berdiri di samping Inara langsung mendengus pelan. “Astaga, kamu ini terlalu nganggur apa gimana, Daf? Pagi-pagi sekali sudah datang merayu di kantor kami?” cibirnya dengan nada bercanda. Daffa menoleh dan membalas dengan senyum diplomatis. “Di sini juga penting, Calon Kakak Ipar. Aku mau membahas sesuatu yang penting dengan Inara. Soal pernikahan. Dari kemarin selalu sibuk, jadi jarang sekali bertemu.” “Hm. Ya sudah, kalian bicara berdua dulu saja
Setelah menenangkan Inara serta Alma yang terus menangis, Bu Anastasia kembali ke kamar. Di sana, sudah ada suaminya yang sedang duduk di tepi ranjang dengan wajah murung. Kedua tangannya saling menggenggam, jemarinya terlihat gemetar. Pria yang paling dihormati di kediaman megah itu akhirnya mengangkat kepala ketika menyadari kehadiran istrinya.“Bagaimana keadaan Inara, Bu?” tanyanya cepat. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang amat besar.“Tidak ada yang baik-baik saja,” jawab Bu Anastasia dingin.“Maaf. Aku ... aku kehilangan kendali,” gumam Pak Baskara. “Aku tidak pernah bermaksud menyakiti anakku sendiri.”“Tapi, kamu melakukannya, Mas. Kamu tampar anakmu sendiri, bahkan kamu tidak lihat ada cucumu di sana. Entah sejak kapan, kamu jadi sekejam ini?”Pak Baskara menunduk. “Aku hanya takut. Inara ... terlalu dekat dengan Damian lagi. Kamu tidak mungkin lupa pria itu sudah menyakitinya. Aku tidak mau dia disakiti
“Inara, Nak Daffa pria baik, Nak. Dia melakukan ini karena mengkhawatirkanmu sebagai calon istrinya.” Sang Ibu ikut angkat bicara. Dengan lembut mencoba memberikan pengertian untuk Inara. “Dengan bertemu Damian, dia mungkin takut kamu berubah pikiran.”“Khawatir, sampai-sampai menuduhku selingkuh? Baru begini saja, dia sudah seenaknya menuduhku. Bagaimana nanti kalau kami sudah menikah?” Inara tersenyum bengis. Merasa hidupnya terlalu miris. Berharap kata-kata badai pasti berlalu berlaku padanya, ternyata setelah berlalu, malah terbit badai baru. Memang benar, berlalu. Berlalu-lalang. Sekarang, ia justru meragukan keputusannya menikah lagi.“Menjawab terus kamu, ya!” bentak Pak Baskara. Dia menunjuk Inara dengan wajah geram. “Kamu pikir keluarga ini mau menanggung malu kalau sampai media tau kamu mondar-mandir ke rumah mantan suamimu? Sudah benar Nak Daffa tidak membongkar perselingkuhanmu ke publik. Kalau sampai itu terjadi, mau disimpan di mana muka kit