“Dam?”
Setelah beberapa saat berpikir, Damian mengangguk kecil meskipun dengan sedikit berat hati. “Baiklah. Aku akan tetap di sini,” katanya langsung menciptakan senyum penuh kemenangan dari bibir Selena. Begitu Selena masuk ke ruang perawatan Vano, Damian meraih ponsel untuk memberi kabar istrinya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat puluhan panggilan dari Inara. Nahasnya, karena baru saja ia akan menelepon balik, ponselnya tiba-tiba mati. Damian mendengus frustrasi. “Sial ... kenapa malah mati sekarang?” gumamnya sambil menggenggam ponsel itu kuat-kuat. Perasaannya mulai tak tenang dengan banyaknya panggilan Inara. Tanpa ia sadari, di lorong rumah sakit yang lain, sebuah brankar melaju dengan cepat, didorong oleh dua perawat yang tergesa-gesa. Di atas ranjang itu, Alma terbaring dengan masker oksigen menutupi wajahnya. Tubuh kecil itu lemah, nyaris tak bergerak. Ditemani 2 pria yang tadiDari celah pintu, Inara bisa melihat pemandangan yang membuat hatinya berdenyut perih. Suami yang sedari tadi dihubunginya, kini duduk di tepi ranjang, tersenyum dan tertawa bersama dengan putra mantan kekasihnya. Damian terlihat begitu santai, seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi. “Om, aku senang Om Damian berada di sini,” kata Vano disambut dengan senyum manis Damian. Ayah satu anak itu beralih mengusap kepala Vano dengan penuh kelembutan. Jelas sekali terlihat kalau ia sangat menyayangi anak itu. “Pasti, Om di sini untuk menemani kamu. Jadi, cepatlah sembuh. Nanti Om akan membelikanmu mainan baru.” “Janji, ya, Om?” tanya Vano dengan mata berbinar, jari kelingkingnya diacungkan ke arah Damian. Damian mengaitkan kelingking pada kelingking kecil Vano. “Janji,” katanya mantap. Di sudut ruangan, Selena tersenyum puas, lalu menghampiri mereka. “Lihat, kan? Mama bilang apa? Om Da
Dengan sedikit gelisah, Inara membuka pintu ruangan dokter setelah mengetuknya beberapa kali. Pintu terbuka menampilkan dokter wanita yang tengah duduk di balik mejanya, sementara seorang pria duduk di kursi lain sambil mengutak-atik ponsel.Benar kata Daffa, di sini ada kakaknya yang sedang menunggu. Inara tak menyangka hal ini.“Duduklah,” ujar pria itu dengan suara tenang begitu melihat Inara berjalan mendekat. Inara mengernyit. “Kak Rafiq? Kakak di sini?”Rafiq—kakak kandung Inara mengangguk pelan. “Aku langsung pulang dari kantor begitu dapat kabar dari Rafa,” jawabnya, menatap Inara yang tak bisa menyembunyikan raut cemasnya.Tanpa membuang waktu, Inara menoleh ke arah dokter dan bertanya, “Dok, bagaimana keadaan Alma?”Dokter menghela napas, menatap mereka bergantian, sebelum dengan berat hati menjawab, “Bu Inara, putri Anda mengalami ARDS atau Sindrom Gangguan Pernapasan Akut akibat paparan asap.”Dahi
Inara kembali menatap wajah kecil yang masih tertidur itu. Dia yang terlalu rapuh, tanpa sadar mengeluarkan air matanya lagi, tetapi buru-buru dihapus sebelum dua saudaranya menyadari.Sayangnya, karena Rafiq sudah lebih dulu melihatnya. Pria itu menghela napas berat, seakan-akan mengerti suasana hati saudara perempuannya itu. Rafiq lantas saja menegur adik bungsunya. “Rafa, ini bukan waktunya membahas masalah seperti itu. Jangan membuat pikiran Inara makin kacau.”“Bukan waktunya katamu, Kak?” Rafa mendengus sinis. “Terus kapan waktunya?”“Kak Inara terluka saat berusaha menolong Alma dari kebakaran itu. Dia sampai berlari ke sana kemari mencari pertolongan. Dan, di saat itu ke mana suaminya? Sibuk? Mau alasan kerja? Emang jabatannya apa sampai sesibuk itu? CEO? Presiden? Penguasa negara? Bahkan, kalaupun iya, dia tetap enggak bakal seharusnya begitu sibuk untuk orang yang disayanginya. Kalau beneran sayang.”Hening. Inara menunduk, men
Bukannya merasa bersalah, Damian justru berusaha membela diri. “Ponselku tiba-tiba mati, Ra. Aku enggak tau kalau—”“Menemui Selena,” potong Inara cepat sambil tersenyum sinis. Matanya berkilat marah membuat Damian terdiam.Bibir pria itu sedikit terbuka, tetapi tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Di dalam sana, jantungnya berdetak kencang, tak menyangka kalau tebakan istrinya akan tepat sasaran.Tangan Damian seketika bergetar, merasa takut melihat raut wajah Inara yang jelas sangat marah. Tadinya, ia tak bermaksud menemui Selena, tetapi juga tak bisa mengabaikan begitu saja. Dan, andai saja tahu istri dan anaknya dalam bahaya, ia pasti pulang dan menolong mereka. Inara menunduk, kini air matanya jatuh bersama hatinya yang kian rapuh, walaupun ia tetap berusaha agar suaranya terdengar tegar. “Kamu sudah berjanji, tapi kamu mengingkarinya lagi. Kamu selalu bilang hanya membantunya, tetapi setiap kali dia butuh, kamu selalu
“Jangan sok tau kamu,” cecar Rafiq yang baru membuka mata. Ia tahu betul, adik bungsunya itu biang onar di rumah, paling iseng. “Curigaan terus sama adik sendiri.” Rafa mendengus sambil melipat tangannya di dada. “Soalnya kamu sering bohong,” balas Rafiq sengit. “Tapi kali ini aku serius.” Rafa bersikeras. “Aku melihatnya sendiri saat dia keluar tadi. Kelihatan banget kayak orang khawatir.” Setelah mengatakan itu, Rafa bangkit dari duduknya dan berjalan ke sofa yang tadi digunakan Inara untuk tidur. Dengan santai, dia merebahkan diri di sana. Tadi malam, tidurnya tak begitu nyenyak. Sementara itu, Inara yang mendengar perkataan Rafa membuatnya semakin yakin kalau ini pasti ada hubungannya dengan Selena. Damian mungkin pergi menemui wanita itu. Pasalnya, putra Selena juga sedang dirawat di rumah sakit ini. “Dia tak pernah bisa menunda waktu, jika berkaitan dengan Selena.” Inara memastikan suar
Kekesalan Rafa hampir saja meledak, andai saja Rafiq tak buru-buru menahan adiknya itu. “Sabar. Alma masih kecil.” Rafa mengangkat bahu, masih tak menyangka ada yang mengatakan kalau mereka berdua cantik. Dan, pelakunya keponakan mereka sendiri. “Kita dikatain cantik, kamu diam saja?” “Ambil sisi positifnya, haha.” Sementara itu, Inara hanya terkekeh kecil sambil menggeleng. Dia mengusap lembut rambut Alma, mencoba memberi pengertian. “Sayang, cantik itu khusus untuk perempuan. Kalau laki-laki bilangnya tampan.” Alma mengangguk mengerti, lalu tersenyum kecil menatap kedua pria di hadapannya. “Iya, Bunda. Om Afi dan Om Afa cantik.” “Tampan!” seru Rafiq dan Rafa kompak. Alma menahan tawa melihat ekspresi kedua pamannya yang lucu. Dia kembali menatap Rafiq dengan mata berbinar. “Om Afi serius mau temenin Alma main?” Rafiq tersenyum, mengangguk mantap. “Serius, dong.” Mendengar itu, Alma sangat senang. Ia kemudian menoleh ke arah Rafa yang masih tersenyum geli. “Om Afa engg
Vano terbatuk berulang kali, tangannya mencengkeram lengan Selena yang panik.Damian menelan ludah, ekspresinya langsung berubah drastis. Tanpa pikir panjang, dia segera berlari menghampiri mereka.“Vano kenapa?” tanyanya panik. “Tidak tahu, tiba-tiba saja sesak napasnya kumat.”Damian tak mengatakan apa-apa lagi, langsung menggendong Vano dan membawanya pergi. Sementara itu, Inara berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya mengepal erat, rasa sakit lagi-lagi menghujam dadanya dengan ganas. Selalu saja seperti ini ….Damian masih tetap memilih wanita itu, bagaimanapun keadaannya? Inara menghela napas panjang. Senyum miris tercetak dari sudut bibirnya, lantas menggumam pelan. “Sudah kuduga.”Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi, Inara berbalik dan melangkah menuju mobil. Di sana, Rafa yang memperhatikan dari kejauhan hanya menghela napas panjang, sedangkan Rafiq menggeleng pelan.Rafa langs
Di sisi lain, Alma yang masih dalam gendongan Rafa menatap bingung pada ibunya yang menangis sambil minta maaf. “Om Afa, Bunda kenapa nangis?” bisiknya polos pada Rafa. Rafa tersenyum kecil, mendekatkan mulut ke telinga Alma, lalu menjawab, “Karena Bunda kangen banget sama Oma dan Opa.” Alma mengangguk seolah-olah paham, menoleh ke Nyonya Anastasia lebih dulu, lalu kembali berbisik, “Jadi, ibu ini Oma-nya Alma?” Bisikannya terdengar membuat Nyonya besar rumah itu buru-buru menghapus air mata begitu sadar kalau putrinya datang tak hanya sendiri, melainkan bersama dengan anaknya. Air mata harunya kembali menggenang di pelupuk ketika ia kini bisa melihat wajah Alma secara langsung untuk pertama kali. “Iya, Sayang. Ini Oma. Sini, biar Oma yang gendong.” Nyonya Anastasia mengambil alih Alma dari gendongan Rafa. Dia mengecup pipi Alma dengan gemes. Di sudut lain, Inara juga sudah memeluk sang ayah. Tubuhnya terguncang oleh tangis, terlebih mendengar perkataan pria itu. “Maafka
Hari ini, Alma sudah siap pulang, tetapi Inara masih menemui dokter untuk membahas kondisi terakhirnya.Sementara itu, Damian tetap di ruang rawat, menemani putrinya yang tengah duduk di ranjang dengan wajah berbinar, penuh semangat.“Papa ... Papa ikut Alma dan Bunda pulang ke rumah Oma, kan?” tanya Alma tiba-tiba, menatap sang papa penuh harap.Damian terdiam sejenak. Ada jeda singkat sebelum akhirnya dia menggeleng pelan. “Papa tidak bisa ikut pulang ke sana, Sayang.”Alma mengernyit, penasaran. “Terus Papa bobo di mana?”“Papa bobo di apartemen, Sayang.” Damian tersenyum, berusaha terlihat baik-baik saja di depan putrinya. “Nanti kapan-kapan kalau Alma mau, bisa bobo di apartemen Papa.”Namun, bukannya senang, wajah Alma malah berubah cemberut. Bocah perempuan itu menyilangkan tangan di dada. “Kenapa Papa tidak ikut pulang aja? Papa bertengkar sama Bunda, ya?”Damian menghela napas, menatap mata putrinya lekat. Dia t
“Apa yang kamu katakan, Inara?” Damian bertanya sambil menatap dalam ke arah wanita itu. Ada kepedihan di matanya, seolah tuduhan Inara telah melukai sesuatu dalam dirinya.“Mana mungkin aku melakukannya?” Suaranya bergetar kini.Namun, bukannya langsung percaya, Inara justru tersenyum miris, menatap Damian masih penuh dengan rasa curiga. Pria itu, terlalu banyak membohonginya semenjak Selena hadir dalam hidup mereka. “Mengapa tidak? Bukankah kamu selalu ada untuk Selena?” Suara Inara cukup dingin, menusuk hingga ke dasar hati Damian. “Bahkan, dulu ketika aku dan Selena membutuhkanmu di saat bersamaan, kamu lebih memilih membantu dia lebih dulu, dibanding aku sebagai istrimu. Jadi, bukan tidak mungkin, kamu juga membantunya kabur karena kasihan padanya.”Damian terkesiap. Kata-kata Inara makin membuatnya sesak dan merasa bersalah. Tak bisa mengelak, karena ia memang selalu tak bisa menolak membantu Selena. Namun, itu dulu. Bukan sekarang.Sebuah gelengan diberikan Damian, tidak perca
Inara menelan ludah, tangannya refleks menggenggam erat selimut Alma. “Kok bisa?” tanyanya dengan suara bergetar, nyaris berbisik. “Dia melarikan diri lewat pintu belakang rumahnya bersama putranya. Polisi sempat mengejar, tapi kehilangan jejak,” jawab Rafa dengan nada serius. “Sampai sekarang, polisi masih terus mencarinya.” Inara menggigit bibir bawahnya sambil menggeleng pelan. Selena benar-benar licik! “Aku cuma mau bilang, Kakak jaga diri dan jaga Alma baik-baik,” lanjut Rafa, suaranya terdengar makin tegas. “Takutnya Selena tidak akan tinggal diam setelah ini. Dia mungkin akan mencari celah untuk kembali mengusik Kakak ... atau bahkan Alma.” Kepalan tangan Inara kian erat. Hidupnya sudah cukup kacau karena Selena. Rumah tangganya porak-poranda, dan lebih dari itu, putrinya kini mengalami penyakit serius karena perbuatan Selena. Setelah sambungan telepon dengan Rafa berakhir, Inara menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin Selena bisa lolos b
Damian mengeratkan rahang. Terlintas di benaknya, bayangan rumah yang penuh kenangan itu kini tinggal puing-puing. Juga bagaimana putrinya berjuang di kolam yang hampir merenggut nyawanya, di mana insiden itu ada campur tangan Selena.“Kami menyerahkan semuanya kepada pihak berwenang dan percaya pada proses hukum yang berlaku.”Setelah mengucapkan itu, Damian melangkah masuk ke gedung PrimaTex, meninggalkan para wartawan yang masih terus melemparkan pertanyaan. Keamanan segera bergerak cepat untuk menutup akses, memastikan tidak ada yang mencoba masuk.Begitu berada di dalam lift, Damian menarik napas panjang. Masalah Selena ternyata berdampak luas. Namun, ia tidak akan membiarkan hal itu menghancurkan reputasi perusahaannya.Lebih dari itu, ia tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi niatnya untuk mendapatkan kembali keluarganya.Di tempat lain, tepatnya di rumah Selena yang mendadak terasa pengap, wanita itu mondar-mandir g
“Aku tidak bisa,” jawab Damian akhirnya. Tidak mau diperdaya lagi oleh Selena. Sudah cukup rumah tangganya hancur gara-gara wanita yang seharusnya tidak pernah muncul lagi dalam kehidupannya itu.“Tapi, Mas! Aku punya anak! Vano butuh aku! Kalau aku dibawa polisi, bagaimana dengannya? Kamu tidak lupa, kan, kalau di sini aku tidak punya siapa-siapa?”Damian terdiam. Tidak melupakan hal itu. Selena selalu menggunakan kalimat itu sebagai senjata agar ia padanya. Sekilas, Damian juga mengingat bocah kecil yang selama ini dikasihani karena harus tumbuh tanpa sosok ayah.Damian peduli pada Vano dengan maksud agar bocah itu merasakan kasih sayang ayah meskipun bukan dari ayah kandung, tetapi seketika ingatannya juga tertuju pada Alma.Putrinya itu harus kehilangan kasih sayang ayah karena Damian tanpa sadar mengabaikan peran sebagai ayah untuk putri kandungnya, demi rasa kasihannya pada Selena dan Vano. Inara sering kali mengingatkan, tetapi ia
Damian berdiri mematung di ambang pintu, menatap Inara berdiri di hadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Meski demikian, Damian tetap menunggu wanita itu melanjutkan kalimatnya.Helaan napas Inara terdengar selang beberapa saat, wanita dengan tahi lalat di pipi kanan itu tersenyum sebelum akhirnya berkata, “Sebenarnya, ini tidak pantas kukatakan, mengingat hubungan kita sudah berakhir.”Mendengarnya, Damian seketika menahan napas. Kata-kata itu terdengar sederhana, tetapi menamparnya, cukup untuk menyakitinya lebih dari yang ia bayangkan.“Tapi, aku hanya ingin kamu tau satu hal.” Inara menatap Damian dalam-dalam. “Selena ingin kembali padamu. Dia pernah mengatakan padaku bahwa cepat atau lambat, dia akan merebutmu dariku. Dia juga bilang kalau kalian masih punya rasa satu sama lain makanya kamu tidak bisa mengabaikannya setiap kali ia meminta bantuan.”Damian membeku. Napasnya tercekat, bahkan untuk menelan ludahnya saja, ia cukup kesusa
Inara melangkah masuk ke ruang rawat putrinya dengan kedua tangan penuh kantong berisi sarapan dan beberapa jajanan kecil pagi itu.Akan tetapi, langkahnya begitu saja terhenti ketika pandangannya tertuju ke ranjang Alma. Bukan ibunya yang ada di sana seperti saat ia pamit keluar tadi, melainkan Damian. Pria itu benar-benar datang pagi-pagi sekali, duduk di tepi ranjang, dan tampak berbicara seru dengan Alma sambil menunjukkan sesuatu di ponselnya.Pandangan Inara menyapu pada sofa yang tak jauh dari ranjang, sebuah boneka beruang besar tergeletak di tempat tidur, betul-betul sesuai dengan permintaan Alma, bahkan sama persis dengan boneka lamanya.Senyum tipis muncul di wajah Inara. Dadanya langsung menghangat melihat Damian benar-benar memenuhi janji kali ini. Walaupun, sebenarnya Inara sudah tidak ingin berharap banyak, tetapi setidaknya, Damian tak membuat putri mereka kecewa kalo ini.Berjalan mendekat, Inara meletakkan bar
Selena mengerjap pelan, wajahnya tampak lugu, seolah-olah tak mengerti arah pembicaraan Damian.“Ma—maksudmu apa, Mas? Apa yang kulakukan?” Nada suara wanita itu terdengar bergetar, tetapi ia tetap berusaha terlihat seakan-akan tak ada sesuatu yang terjadi.Damian tertawa sinis, sorot tajam tatapannya terlihat penuh dengan kekecewaan. Sekarang, ia baru menyadari sepenuhnya, betapa banyak kebohongan yang telah ia telan mentah-mentah dari wanita yang ia kira betul-betul membutuhkan bantuannya selama ini.“Jangan pura-pura bodoh, Selena!” bentak Damian. Telunjuknya langsung teracung tajam pada Selena. Menggertakkan rahang, menahan amarah yang sudah meluap-luap di dadanya. “Kamu sengaja menyuruh Vano mendorong Alma ke kolam tadi?”Raut wajah Selena seketika berubah, nyaris terlihat seperti orang panik. Namun, dalam hitungan detik, ekspresinya langsung berubah, memelas.“Mas, kamu bicara apa?” Selena tertawa kecil. Tawa yang mencoba
Damian masih menatap ponselnya di tangan. Melihat nama sekretarisnya tertera di sana. Sejenak, ia melirik ke arah Inara yang sedang mengusap-usap kepala Alma. Putrinya itu masih terlihat lemah. Damian menghela napas, sedikit ragu sebelum akhirnya berkata, “Aku terima telepon di luar sebentar.” Inara hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, tetapi hati kecilnya, sebenarnya ia sangat kesal. Di saat seperti ini pun Damian masih sempat menerima telepon? Tak perlu menebak jauh-jauh, pasti ada hubungannya dengan Selena lagi. Hanya wanita itu yang selalu membuat mantan suaminya itu tak bisa abai, sekalipun saat itu ia juga butuh kehadiran Damian. Hanya saja, Inara tak ada hak untuk protes. Dia tak ada hubungan apa-apa lagi dengan Damian sekarang. Pria itu bangkit dari tepi ranjang, tak menyadari tatapan Inara yang berubah dingin padanya. Segera ia keluar dan menjawab telepon. “Ya, Andrew? Ada info yang kamu dapatkan?” Damian tidak ingin membuang-buang waktu. “Bapak sudah