Bukannya merasa bersalah, Damian justru berusaha membela diri. “Ponselku tiba-tiba mati, Ra. Aku enggak tau kalau—”
“Menemui Selena,” potong Inara cepat sambil tersenyum sinis. Matanya berkilat marah membuat Damian terdiam.Bibir pria itu sedikit terbuka, tetapi tak ada kata yang keluar dari mulutnya.Di dalam sana, jantungnya berdetak kencang, tak menyangka kalau tebakan istrinya akan tepat sasaran.Tangan Damian seketika bergetar, merasa takut melihat raut wajah Inara yang jelas sangat marah.Tadinya, ia tak bermaksud menemui Selena, tetapi juga tak bisa mengabaikan begitu saja. Dan, andai saja tahu istri dan anaknya dalam bahaya, ia pasti pulang dan menolong mereka.Inara menunduk, kini air matanya jatuh bersama hatinya yang kian rapuh, walaupun ia tetap berusaha agar suaranya terdengar tegar. “Kamu sudah berjanji, tapi kamu mengingkarinya lagi. Kamu selalu bilang hanya membantunya, tetapi setiap kali dia butuh, kamu selalu“Jangan sok tau kamu,” cecar Rafiq yang baru membuka mata. Ia tahu betul, adik bungsunya itu biang onar di rumah, paling iseng. “Curigaan terus sama adik sendiri.” Rafa mendengus sambil melipat tangannya di dada. “Soalnya kamu sering bohong,” balas Rafiq sengit. “Tapi kali ini aku serius.” Rafa bersikeras. “Aku melihatnya sendiri saat dia keluar tadi. Kelihatan banget kayak orang khawatir.” Setelah mengatakan itu, Rafa bangkit dari duduknya dan berjalan ke sofa yang tadi digunakan Inara untuk tidur. Dengan santai, dia merebahkan diri di sana. Tadi malam, tidurnya tak begitu nyenyak. Sementara itu, Inara yang mendengar perkataan Rafa membuatnya semakin yakin kalau ini pasti ada hubungannya dengan Selena. Damian mungkin pergi menemui wanita itu. Pasalnya, putra Selena juga sedang dirawat di rumah sakit ini. “Dia tak pernah bisa menunda waktu, jika berkaitan dengan Selena.” Inara memastikan suar
Kekesalan Rafa hampir saja meledak, andai saja Rafiq tak buru-buru menahan adiknya itu. “Sabar. Alma masih kecil.” Rafa mengangkat bahu, masih tak menyangka ada yang mengatakan kalau mereka berdua cantik. Dan, pelakunya keponakan mereka sendiri. “Kita dikatain cantik, kamu diam saja?” “Ambil sisi positifnya, haha.” Sementara itu, Inara hanya terkekeh kecil sambil menggeleng. Dia mengusap lembut rambut Alma, mencoba memberi pengertian. “Sayang, cantik itu khusus untuk perempuan. Kalau laki-laki bilangnya tampan.” Alma mengangguk mengerti, lalu tersenyum kecil menatap kedua pria di hadapannya. “Iya, Bunda. Om Afi dan Om Afa cantik.” “Tampan!” seru Rafiq dan Rafa kompak. Alma menahan tawa melihat ekspresi kedua pamannya yang lucu. Dia kembali menatap Rafiq dengan mata berbinar. “Om Afi serius mau temenin Alma main?” Rafiq tersenyum, mengangguk mantap. “Serius, dong.” Mendengar itu, Alma sangat senang. Ia kemudian menoleh ke arah Rafa yang masih tersenyum geli. “Om Afa engg
Vano terbatuk berulang kali, tangannya mencengkeram lengan Selena yang panik.Damian menelan ludah, ekspresinya langsung berubah drastis. Tanpa pikir panjang, dia segera berlari menghampiri mereka.“Vano kenapa?” tanyanya panik. “Tidak tahu, tiba-tiba saja sesak napasnya kumat.”Damian tak mengatakan apa-apa lagi, langsung menggendong Vano dan membawanya pergi. Sementara itu, Inara berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya mengepal erat, rasa sakit lagi-lagi menghujam dadanya dengan ganas. Selalu saja seperti ini ….Damian masih tetap memilih wanita itu, bagaimanapun keadaannya? Inara menghela napas panjang. Senyum miris tercetak dari sudut bibirnya, lantas menggumam pelan. “Sudah kuduga.”Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi, Inara berbalik dan melangkah menuju mobil. Di sana, Rafa yang memperhatikan dari kejauhan hanya menghela napas panjang, sedangkan Rafiq menggeleng pelan.Rafa langs
Di sisi lain, Alma yang masih dalam gendongan Rafa menatap bingung pada ibunya yang menangis sambil minta maaf. “Om Afa, Bunda kenapa nangis?” bisiknya polos pada Rafa. Rafa tersenyum kecil, mendekatkan mulut ke telinga Alma, lalu menjawab, “Karena Bunda kangen banget sama Oma dan Opa.” Alma mengangguk seolah-olah paham, menoleh ke Nyonya Anastasia lebih dulu, lalu kembali berbisik, “Jadi, ibu ini Oma-nya Alma?” Bisikannya terdengar membuat Nyonya besar rumah itu buru-buru menghapus air mata begitu sadar kalau putrinya datang tak hanya sendiri, melainkan bersama dengan anaknya. Air mata harunya kembali menggenang di pelupuk ketika ia kini bisa melihat wajah Alma secara langsung untuk pertama kali. “Iya, Sayang. Ini Oma. Sini, biar Oma yang gendong.” Nyonya Anastasia mengambil alih Alma dari gendongan Rafa. Dia mengecup pipi Alma dengan gemes. Di sudut lain, Inara juga sudah memeluk sang ayah. Tubuhnya terguncang oleh tangis, terlebih mendengar perkataan pria itu. “Maafka
The Imperial Grand Ballroom Hotel Amarthya. Terlihat begitu mewah di setiap sudut. Para tamu, terdiri dari pengusaha papan atas dan tokoh penting industri sudah banyak yang hadir. Beberapa berbincang satu sama lain, ada yang menikmati hidangan yang disiapkan. Tentu, selain karena untuk mendapatkan relasi bisnis dan mengeratkan hubungan bisnis pada pertemuan yang menghadirkan banyak pemangku-pemangku kepentingan ini, mereka juga penasaran akan sosok penting dari Genus Group yang memiliki acara ini. Damian juga terlihat hadir. Ia mengenakan jas hitam dengan dasi kupu-kupunya. Kini, dia melangkah masuk ke ruangan sambil memasukkan tangan ke saku celananya. Dia datang tak hanya sendiri, melainkan bersama sekretarisnya, juga Selena dan Vano yang bersikeras untuk ikut hadir karena penasaran dengan acara-acara besar seperti ini. “Mewah sekali …,” gumam Selena dengan tatapan berbinar. Baik Damian atau Andrew—sang sekretaris, tidak ada yang menanggapi perkataan Selena. Bagi mereka, h
Inara mengangkat alis begitu mendapati Selena sudah berdiri di dekat Damian. Bersamaan dengan itu, Daffa yang baru saja tiba juga mendekati Inara.“Ada apa, Ra?” Baru saja Inara membuka mulut hendak menjawab, tetapi Selena langsung menyela. “Belagu banget. Kayak orang penting saja!” cecarnya. Inara tertawa sinis, lipatan di ujung bibirnya itu jelas sebuah ejekan. “Aku memang bukan orang penting buatmu, tapi jika mau, aku bisa meminta seseorang untuk mengusirmu dari sini.”“Cih! Sok berkuasa. Palingan juga dapat undangan pakai jalur miring. Desainer aja bukan,” ujar Selena dengan tampang meremehkan.Tangan Inara mengepal, tetapi dia mencoba bersikap tenang. Menghadapi orang seperti Selena harus dengan kepala dingin.Dia melirik Damian, berharap pria itu membelanya. Akan tetapi, ia malah tetap diam. “Lalu kamu? Punya undangan, tidak? Jangan-jangan kamu menyelinap lagi? Setahuku, Genus Group hanya mengundang para pimpina
Damian mencengkeram ponselnya dengan erat. Tatapannya masih terpaku ke depan, sementara pikirannya sudah berputar, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Perjalanan ini tentu tidaklah mudah.” Suara Tuan Baskara yang lebih dikenal melalui nama belakangnya, yakni Tuan Wardhana terdengar penuh keyakinan. “Saya memulai bisnis ini dari nol, hanya dengan modal keberanian dan kerja keras. Saya berasal dari keluarga kelas menengah, tanpa warisan ataupun koneksi besar, tetapi dengan tekad dan strategi yang tepat, saya berhasil membangun perusahaan yang kami beri nama Gemilang Nusantara yang lebih dikenal sebagai Genus Group, perusahan konglomerasi menaungi berbagai lini bisnis.” Damian ingin fokus mendengarkan, tetapi pikirannya sangat sulit diajak kerjasama. Dia menatap ke arah istrinya lagi, wanita itu duduk tenang sambil tersenyum bangga pada ayahnya. Selama ini, Damian tak pernah tahu kalau istrinya berasal dari keluarga
Mobil Damian berhenti di depan rumah Selena. Wanita itu kemudian tersenyum tipis, lalu berkata, “Terima kasih sudah mengizinkan ikut ke acara tadi sampai diantar pulang juga.”Damian hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Namun, sebenarnya isi kepalanya tak benar-benar bisa dialihkan dari pikiran tentang sang istri yang ternyata banyak hal tidak ia ketahui selama ini.Dia pikir rumah tangganya dengan Inara sangat sempurna—dengan saling mencintai. Itu benar, tetapi di baliknya, ternyata ibu dari putrinya itu menanggung luka yang begitu berat sendirian. “Aku juga mau minta maaf … soal Inara. Gara-gara aku, rumah tanggamu dengannya jadi berantakan.” Inara mengatakan itu sambil menunduk dengan raut tampak bersalah, tepatnya pura-pura merasa bersalah. “Baguslah kalau berantakan. Wanita itu memang harusnya sadar diri, karena yang pantas untuk Damian, hanyalah aku.” Selena melanjutkan perkataannya dalam hati.Suami sah Inara itu menghela nap
Tanpa pikir panjang, Inara langsung menelepon Daffa. Curiga kalau pria itu yang sengaja balas dendam padanya menggunakan Alma.Tidak butuh waktu lama hingga panggilan itu terhubung.“Inara?” Suara Daffa terdengar di seberang. Agak terkejut, tetapi juga sangat senang. Suaranya sangat lembut ketika berkata, “Akhirnya kamu mau bicara denganku juga. Aku pikir kita bisa obrolin baik-baik soal kejadian kemarin. Aku—”“Aku menelepon pun bukan untuk itu, Kak Daffa!” potong Inara tegas. Muak sekali mendengar pembelaan diri Daffa yang seolah-olah sangat percaya diri tidak bersalah.“Tolong katakan padaku di mana kamu bawa Alma?” tanya Inara tanpa ingin basa-basi.Sejenak, Daffa terdiam di seberang. Berusaha mencerna pertanyaan Inara.“Apa maksudmu?” tanyanya bingung. “Inara, aku tidak mengerti. Memangnya Alma ke mana? Kenapa kamu malah bertanya ke aku?”“Jangan bohong!” bentak Inara. “Aku tau kita ada masalah, Kak Daffa. Tapi, tol
Pria itu tersenyum tipis, walau wajah tertutup masker, tetapi terlihat matanya yang menyipit. “Ah, papanya Alma katanya rindu, jadi menyuruh Om untuk jemput Alma. Mau tidak ikut ke rumah Papa?”Alma yang polos pun langsung mengangguk. Lagipula, ia sebenarnya juga ingin bertemu papanya untuk meminta datang ke acara sekolah pekan depan bersama sang bunda. Namun, bundanya belum ada waktu menemani dan juga tidak membolehkan Alma ke rumah sang papa sendiri selama pria itu masih dalam pemulihan, takut merepotkannya dengan kehadiran Alma.“Oke, Om! Alma ikut. Alma pulang, ya, Bu Guru.” Alma mencium tangan wanita itu takzim. “Iya, Alma. Hati-hati, ya.”Sambil melambai-lambai ceria pada Bu Guru, Alma mengikuti langkah pria yang tidak dikenalinya itu ke mobil.Ibu Guru hanya bisa mematung sesaat. Merasa ada yang aneh, tetapi ia cepat-cepat menggeleng. Berusaha berpikir positif dan menganggap tak ada yang salah dari semua ini.Al
Setelah memutuskan hubungan dengan Daffa, Inara berpikir semuanya sudah selesai, ternyata tidak. Bahkan, kini mobil mewah Daffa tampak berhenti di pelataran depan mansion. Pria itu turun dengan tampang percaya diri seolah semuanya baik-baik saja. Ia membawa sebuket bunga lili putih dan paper bag berisi makanan yang dibawah khusus untuk Inara. Bibi Asih, kepala pelayan di keluarga Wardhana itu buru-buru membukakan pintu depan dan menyambut pria yang dikenal sebagai calon suami dari Nona Mudanya itu dengan sedikit membungkuk. “Selamat siang, Tuan Daffa.” “Selamat siang, Bi. Nona Muda ada? Saya ingin bertemu dengannya. Saya sudah menghubunginya, tetapi ponselnya tidak aktif. Saya mencarinya ke kantor, ternyata kata asistennya dia tidak masuk. Apa Inara baik-baik saja?” Bibi Asih menunduk sopan. “Mohon tunggu sebentar. Saya akan menyampaikan pada Nona Muda.” Daffa mengangguk, berjalan perlahan ke r
Seperginya Inara, Daffa kembali ke rumahnya. Rambutnya acak-acakan. Pintu dibanting keras. Dengan napas yang memburu, langsung menyapu meja konsol di dekat pintu. Vas bunga, figura, dan pajangan kristal berjatuhan ke lantai, pecah berkeping-keping.Tangannya gemetar marah saat meraih hiasan lain dan melemparnya ke dinding. “Sialan!” teriaknya sambil terus mengobrak-abrik isi ruangan.Satu per satu benda pecah berserakan. Suara kaca pecah menggema ke seluruh rumah. Dalam waktu singkat, ruang tamu itu berubah menjadi ladang kekacauan menunjukkan ada amarah dan rasa frustrasi yang membara di dada pemiliknya.ART dan beberapa karyawan rumah terkejut berhamburan datang. Mereka berdiri terpaku di ambang ruangan, menunduk ketakutan.Tak lama, Daffa menoleh tajam ke arah mereka, napasnya tersengal dengan mata menyala marah.“Saya sudah bilang, jangan biarkan siapa pun masuk ke rumah ini!” bentaknya sambil menunjuk mereka satu per satu.
Mobil mewah milik Inara itu berhenti perlahan di depan rumah dua lantai yang tampak tak asing dalam pandangan. Keisya melirik pada Inara yang duduk di sebelahnya, wajahnya terlihat tegang juga bertanya-tanya. Kenapa dibawa ke rumah Daffa? “Keisya kenapa kita ke sini? Apa kamu pikir Daffa akan jujur kalau kita bertanya padanya langsung?” Inara tak yakin. Dia mendengus kesal. “Siapa juga yang mau jujur soal keburukannya?” Keisya mengangkat bahu. “Ikut saja.” Langsung keluar dari mobil. Inara walaupun sangat enggan, terpaksa mengikuti. Entah apa yang direncanakan wanita yang mengaku sebagai mantan kekasih calon suaminya itu? Keisya langsung mengetuk pintu dan tak lama seorang ART paruh baya membuka. Begitu melihat mereka, wajahnya tampak berubah, seperti orang panik. “Cari siapa, Non?” tanyanya. “Kak Daffa ada, Bi?” tanya Inara. “Maaf, Non ... tapi, sekarang Tuan Daf
Pada akhirnya, Inara berusaha menepis keraguan dan memutuskan pergi ke lokasi yang dikirimkan orang tersebut. Siapa pun orang ini, Inara berharap dia betul-betul tahu banyak tentang Daffa agar rasa curiga serta praduganya bisa terjawab.Kini ibu dari Alma itu sudah berada di lantai 2 kafe sesuai petunjuk lokasi pertemuan. Tempat ini cukup tenang. Lampu-lampu gantung yang menggantung rendah memancarkan cahaya kekuningan yang temaram, memantul di permukaan meja kayu dan gelas-gelas yang tertata rapi. Dia memilih duduk di pojok ruangan, membelakangi jendela besar. Pandangannya gelisah menyapu setiap orang yang melintas. Sayangnya, dia tidak tahu seperti apa rupa orang itu sehingga sulit baginya untuk mengenalinya. Dan, hingga kini belum ada satu pun orang yang menghampirinya.Ia melirik jam di ponsel, lalu kembali membuka pesan dari nomor misterius itu. Wajahnya tegang dengan segala persepsi buruk yang tiba-tiba menyerang kepalanya.Bagaim
Inara baru saja selesai bersih-bersih setelah hari yang panjang dan melelahkan. Angin malam yang sejuk masuk melalui jendela besar di kamarnya yang masih terbuka.Beberapa saat kemudian, ia memilih duduk di dekat jendela sambil memegang buku, sesekali menatap halaman mansion yang tenang. Dia baru saja membuka buku, hendak mulai membaca ketika tiba-tiba terdengar pintu kamarnya terbuka pelan.Ketika menoleh, ia mendapati gadis kecilnya melangkah mendekat. Dan, langsung memeluk pinggang ibunya erat. Inara menyimpan bukunya. Tak jadi membaca. Langsung mengangkat Alma ke pangkuannya. Mungkin bocah itu rindu bermanja dengannya.“Ada PR tidak?” tanya Inara. “Enggak ada, Bunda, tapi ada kabar seru!” Alma mengatakan itu dengan semangat, membuat Inara tersenyum. Memasang ekspresi serius, seolah siap mendengarkan. “Wah ... kabar apa, Sayang?” tanyanya sambil merapikan rambut Alma ke belakang telinganya.Alma
“Aku sudah mencoba segalanya, bahkan mencari pembelaan netizen dan mencemarkan nama baiknya, tapi Damian bebal! Dia tidak mau bertanggung jawab!” Suara Selena terdengar jelas dari speaker laptop. “Harusnya kamu yang tanggung jawab karena anak ini … anakmu!”Tangan Damian mengepal kuat. Berusaha menekan emosinya. Genta, Arvin, dan Andrew saling pandang, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.Pria di hadapan Selena masih mengenakan masker dan topi yang nyaris tidak memperlihatkan matanya hingga wajahnya sangat sulit dikenali. Dia mendengus kasar.“Kamu jangan sembarangan! Aku sudah bilang tidak akan menikahimu! Kamu tau aku melakukannya karena tidak sengaja, kan?!” tegas sang pria. Selena tampak tertegun di sana. Namun, ia tetap menyerah. Tetap memperjuangkan hak anaknya. “Kamu pikir aku melakukannya dengan sengaja? Aku juga tidak menginginkan bayi ini, brengsek! Pokoknya aku tidak mau anak ini lahir tanpa ayah. Atau … aku gu
Damian tak sabar ingin segera mengumpulkan bukti dan mengungkap kebohongan Selena demi mengembalikan nama baiknya.Mereka masih mengobrol, menyusun strategi menyelesaikan masalah ketika ponsel Genta bergetar. Leo memanggil.“Leo menelepon,” ucapnya sambil menatap ke arah Damian seakan meminta persetujuan. “Angkat ... angkat.” Damian memperbaiki posisi duduknya. Berharap Leo membawa kabar baik.Genta menekan tombol loud speaker lebih dulu agar mereka semua mendengarnya sebelum berkata, “Halo?”“Saya sudah di depan apartemen Selena. Namun, belum ada tanda-tanda dia keluar. Keamanan di sini ketat banget, tamu aja harus dijemput penghuni. Jadi, saya tidak bisa masuk ke sana.” Leo melapor dari seberang. Saat ini, memarkir motor sportnya di seberang bangunan megah itu.“Terus awasi di sana. Jangan sampai kita kehilangan jejaknya lagi,” titah Damian.“Siap, Pak. Tempat saya sekarang cukup sepi dan aman untuk mengawasinya, pura