Share

Bab 4

Dua minggu berlalu dengan cepat.

Danar yang baru saja pulang dari kantor, langsung berjalan menuju kamar bayinya. Namun, pria itu tampak begitu terkejut.

“Kenapa dia menangis?” gumamnya.

Baru pertama kali mendengar bayinya menangis kencang. Seingatnya jika bayi itu menangis kencang maka pasti ia kehausan. 

“Anu, Tuan, dia mau menyusu!” jawab babysitter dengan perasaan cemas. Ia begitu takut saat berhadapan dengan Tuan Danar yang pemarah dan dingin. Babysitter berusia dua puluh tahunan itu pun menyingkir dan memberi jalan pada Danar untuk masuk ruangan khusus bayinya.

Danar tidak langsung memangku bayinya. Ia baru saja pulang bekerja. Ia tidak ingin mengambil resiko menyentuh bayinya dalam keadaan tubuhnya kotor akibat bersimbah keringat. Pria berwajah dingin itu hanya menatap bayinya dengan tatapan teduh. Lantas ia bertanya pada babysitter yang mengasuh putranya. “Di mana Nyonya, Maya?”

Maya-babysitter itu menjawab dengan tergeragap. “Anu … Tuan … Nyonya sedang di kamar.”

Mendengar jawaban Maya, Danar hanya menghela nafas pelan kemudian seketika ia mengernyitkan keningnya tatkala melihat sebuah botol susu yang dipegang oleh babysitter.

“Apa itu?” tanya Danar bernada dingin. Tatapannya menelisik botol susu berukuran 50 ml yang dipegang oleh Maya.

“Bukan apa-apa, Tuan. Ya … botol. Biasa Nyonya Mita suka memompa ASI nya untuk stock kalau malam dia terbangun.”

Maya terlihat tegang saat menjawab pertanyaan Danar. Danar merupakan sosok pria yang tak mudah percaya. Apalagi melihat gerak gerik Maya yang mencurigakan membuatnya berpikir jika Maya telah menyembunyikan sesuatu darinya.

Danar pun menyambar botol susu itu kemudian menggeleng ribut. “Kau berikan anakku susu formula? Beraninya kau!” berang Danar membuat Maya bergidik ngeri. Tubuhnya seketika bergetar hebat. Bagaimana bisa pria dingin itu mengetahui jika botol susu itu berisi susu formula. 

“Bukan sufor, Tuan,” ucapnya bersikukuh. Jelas saja, hanya dengan mencium baunya, Danar sudah pernah mengenalinya. Dulu ia tinggal dengan tantenya yang baru melahirkan. Oleh karena itu, ia bisa membedakan antara ASI dan susu formula.

Tanpa tedeng aling-aling, Danar menghentakkan kakinya kesal saat melihat ada botol susu yang dipegang oleh babysitter. Ia berjalan menuju kamarnya. Di sana Mita sedang tertawa menonton asik drama Korea favoritnya. 

Danar memang pria pemarah. Namun ketika berhadapan dengan istrinya ia selalu berusaha mengendalikan emosinya. Ia tidak bisa marah pada wanita yang tulus mencintainya dan mengorbankan hidupnya untuknya. 

Semarah apapun Danar, maka ia akan menahan itu agar tidak melukai hati Mita. Ia pun duduk dekat Mita dan langsung bicara padanya.

 “Mita, mengapa kau tak menyusui bayi kita? Bukankah kau sudah sepakat, kau akan menyusuinya? Seperti keinginanmu, aku sudah membawakan seorang anak untuk kita! Dan, kau bertugas menyusuinya!”

Meski kesal, Danar berkata dengan nada lembut pada istri tercinta. 

Tapi, Mita justru menarik nafas dalam kemudian berkata enteng. “Mas, aku tidak jadi ikut induksi laktasi!”

“Apa?” tukas Danar terkesiap. “Mita, ini tidak benar! Jadi selama ini putra kita minum susu formula?”

Mita memang mandul dan tidak bisa memberikan Danar keturunan. Sementara itu, Danar adalah pewaris perusahaan keluarga Yudistira. Ia akan memperoleh hak waris jika bisa memiliki seorang anak lelaki. Namun bagi pria itu, harta bukanlah segalanya. Tanpa warisan pun ia bisa menjalankan usahanya secara mandiri. 

Hingga Mita memaksa Danar untuk mencari seorang wanita agar bisa hamil anak Danar. Dengan catatan ia pun akan menjadi ibu susunya dengan mengikuti induksi laktasi agar bisa menyusui bayi itu setelah dipisahkan dari ibunya. Namun siapa sangka, Mita berubah pikiran karena sebuah alasan!

“Aku takut tubuhku rusak.”

Mita berterus terang. “Menurut teman-temanku induksi laktasi bisa merusak tubuh si wanita. Karena tubuh terpaksa memproduksi hormon yang merangsang ASI.”

“Astaga, Mita! Kau sendiri yang menyanggupinya? Aku tak rela jika anak kita minum sufor! Demi apapun aku sebagai ayahnya tak rela! Aku gak mau tahu, Sagara harus mendapat ASI eksklusif minimal selama satu tahun, demi daya tahan tubuhnya.”

Intonasi bicara Danar mulai naik meskipun ia berusaha menyembunyikan emosinya di matanya. 

“Mas, besok kita cari ibu susu saja,” usul Mita terdengar masuk akal. 

Sebetulnya ada yang lebih masuk akal, Embun ibunya, dia lah yang harus menyusui putra mereka. Namun Mita tak mau jika Embun yang akan menyusui Sagara. Ia takut suaminya justru berpaling padanya!

Di sisi lain, Danar masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran Mita. Niat mereka dari awal ialah Mita menjadi ibu susu untuk anak mereka agar mereka terikat hubungan secara emosional antara ibu dan anak.

Rahang Danar menegang. “Omong kosong macam apa ini, Mita?” Ia bahkan berbicara sedikit menyentak.

Seketika cairan hangat menggenang di sudut mata Mita. Ia sedih karena Danar membentak dirinya hanya karena bayi itu.

Danar menarik nafas dalam. Ia merasa menyesal karena telah membuat Mita menangis. Ia paling tidak bisa melihat istri tercintanya menangis.

“Mas gak bermaksud apa-apa, Mita. Punya anak dari wanita lain juga itu ide darimu. Kau tahu, sebetulnya Mas keberatan,” bujuk Danar seraya mengusap pucuk kepala istrinya dengan lembut, "tapi, dia sudah tanggung jawab kita."

Bukannya mengerti, Mita malah memilih merebahkan tubuhnya kemudian memunggungi Danar dengan pundak yang berguncang.

Alih-alih merespon perkataan suaminya, ia memilih menangis tersedu-sedu.

Danar hanya bisa menghela nafas pelan. Mungkin ia akan segera mencari ibu susu untuk putra tampannya. Ataukah … dia harus menghubungi Embun kembali?

Tangan pria itu mengepal--berusaha menghempaskan pikirannya kala tertuju pada istri kontrak yang mata duitan itu.

"Itu tak akan terjadi," batinnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status