Dua minggu berlalu dengan cepat.
Danar yang baru saja pulang dari kantor, langsung berjalan menuju kamar bayinya. Namun, pria itu tampak begitu terkejut.
“Kenapa dia menangis?” gumamnya.
Baru pertama kali mendengar bayinya menangis kencang. Seingatnya jika bayi itu menangis kencang maka pasti ia kehausan.
“Anu, Tuan, dia mau menyusu!” jawab babysitter dengan perasaan cemas. Ia begitu takut saat berhadapan dengan Tuan Danar yang pemarah dan dingin. Babysitter berusia dua puluh tahunan itu pun menyingkir dan memberi jalan pada Danar untuk masuk ruangan khusus bayinya.
Danar tidak langsung memangku bayinya. Ia baru saja pulang bekerja. Ia tidak ingin mengambil resiko menyentuh bayinya dalam keadaan tubuhnya kotor akibat bersimbah keringat. Pria berwajah dingin itu hanya menatap bayinya dengan tatapan teduh. Lantas ia bertanya pada babysitter yang mengasuh putranya. “Di mana Nyonya, Maya?”
Maya-babysitter itu menjawab dengan tergeragap. “Anu … Tuan … Nyonya sedang di kamar.”
Mendengar jawaban Maya, Danar hanya menghela nafas pelan kemudian seketika ia mengernyitkan keningnya tatkala melihat sebuah botol susu yang dipegang oleh babysitter.
“Apa itu?” tanya Danar bernada dingin. Tatapannya menelisik botol susu berukuran 50 ml yang dipegang oleh Maya.
“Bukan apa-apa, Tuan. Ya … botol. Biasa Nyonya Mita suka memompa ASI nya untuk stock kalau malam dia terbangun.”
Maya terlihat tegang saat menjawab pertanyaan Danar. Danar merupakan sosok pria yang tak mudah percaya. Apalagi melihat gerak gerik Maya yang mencurigakan membuatnya berpikir jika Maya telah menyembunyikan sesuatu darinya.
Danar pun menyambar botol susu itu kemudian menggeleng ribut. “Kau berikan anakku susu formula? Beraninya kau!” berang Danar membuat Maya bergidik ngeri. Tubuhnya seketika bergetar hebat. Bagaimana bisa pria dingin itu mengetahui jika botol susu itu berisi susu formula.
“Bukan sufor, Tuan,” ucapnya bersikukuh. Jelas saja, hanya dengan mencium baunya, Danar sudah pernah mengenalinya. Dulu ia tinggal dengan tantenya yang baru melahirkan. Oleh karena itu, ia bisa membedakan antara ASI dan susu formula.
Tanpa tedeng aling-aling, Danar menghentakkan kakinya kesal saat melihat ada botol susu yang dipegang oleh babysitter. Ia berjalan menuju kamarnya. Di sana Mita sedang tertawa menonton asik drama Korea favoritnya.
Danar memang pria pemarah. Namun ketika berhadapan dengan istrinya ia selalu berusaha mengendalikan emosinya. Ia tidak bisa marah pada wanita yang tulus mencintainya dan mengorbankan hidupnya untuknya.
Semarah apapun Danar, maka ia akan menahan itu agar tidak melukai hati Mita. Ia pun duduk dekat Mita dan langsung bicara padanya.
“Mita, mengapa kau tak menyusui bayi kita? Bukankah kau sudah sepakat, kau akan menyusuinya? Seperti keinginanmu, aku sudah membawakan seorang anak untuk kita! Dan, kau bertugas menyusuinya!”
Meski kesal, Danar berkata dengan nada lembut pada istri tercinta.
Tapi, Mita justru menarik nafas dalam kemudian berkata enteng. “Mas, aku tidak jadi ikut induksi laktasi!”
“Apa?” tukas Danar terkesiap. “Mita, ini tidak benar! Jadi selama ini putra kita minum susu formula?”
Mita memang mandul dan tidak bisa memberikan Danar keturunan. Sementara itu, Danar adalah pewaris perusahaan keluarga Yudistira. Ia akan memperoleh hak waris jika bisa memiliki seorang anak lelaki. Namun bagi pria itu, harta bukanlah segalanya. Tanpa warisan pun ia bisa menjalankan usahanya secara mandiri.
Hingga Mita memaksa Danar untuk mencari seorang wanita agar bisa hamil anak Danar. Dengan catatan ia pun akan menjadi ibu susunya dengan mengikuti induksi laktasi agar bisa menyusui bayi itu setelah dipisahkan dari ibunya. Namun siapa sangka, Mita berubah pikiran karena sebuah alasan!
“Aku takut tubuhku rusak.”
Mita berterus terang. “Menurut teman-temanku induksi laktasi bisa merusak tubuh si wanita. Karena tubuh terpaksa memproduksi hormon yang merangsang ASI.”
“Astaga, Mita! Kau sendiri yang menyanggupinya? Aku tak rela jika anak kita minum sufor! Demi apapun aku sebagai ayahnya tak rela! Aku gak mau tahu, Sagara harus mendapat ASI eksklusif minimal selama satu tahun, demi daya tahan tubuhnya.”
Intonasi bicara Danar mulai naik meskipun ia berusaha menyembunyikan emosinya di matanya.
“Mas, besok kita cari ibu susu saja,” usul Mita terdengar masuk akal.
Sebetulnya ada yang lebih masuk akal, Embun ibunya, dia lah yang harus menyusui putra mereka. Namun Mita tak mau jika Embun yang akan menyusui Sagara. Ia takut suaminya justru berpaling padanya!
Di sisi lain, Danar masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran Mita. Niat mereka dari awal ialah Mita menjadi ibu susu untuk anak mereka agar mereka terikat hubungan secara emosional antara ibu dan anak.
Rahang Danar menegang. “Omong kosong macam apa ini, Mita?” Ia bahkan berbicara sedikit menyentak.
Seketika cairan hangat menggenang di sudut mata Mita. Ia sedih karena Danar membentak dirinya hanya karena bayi itu.
Danar menarik nafas dalam. Ia merasa menyesal karena telah membuat Mita menangis. Ia paling tidak bisa melihat istri tercintanya menangis.
“Mas gak bermaksud apa-apa, Mita. Punya anak dari wanita lain juga itu ide darimu. Kau tahu, sebetulnya Mas keberatan,” bujuk Danar seraya mengusap pucuk kepala istrinya dengan lembut, "tapi, dia sudah tanggung jawab kita."
Bukannya mengerti, Mita malah memilih merebahkan tubuhnya kemudian memunggungi Danar dengan pundak yang berguncang.
Alih-alih merespon perkataan suaminya, ia memilih menangis tersedu-sedu.
Danar hanya bisa menghela nafas pelan. Mungkin ia akan segera mencari ibu susu untuk putra tampannya. Ataukah … dia harus menghubungi Embun kembali? Tangan pria itu mengepal--berusaha menghempaskan pikirannya kala tertuju pada istri kontrak yang mata duitan itu.
"Itu tak akan terjadi," batinnya.
Dua pekan sudah Embun berusaha menegarkan dirinya. Ia bertekad akan melanjutkan hidupnya. Ia akan mencoba mencari pengalaman baru bekerja di luar kota. Selain itu, ada hal yang mendesak pula sebagai alasan yaitu sang ayah yang ternyata masih terlilit hutang pada beberapa orang rentenir. Oleh karena itu, Embun akan mencoba peruntungan bekerja di kota kendati tidak memiliki pengalaman sedikit pun. Nyaris dua puluh satu tahun, Embun Ganita hanya menghabiskan waktunya di kota kembang. Setelah lulus sekolah menengah atas, Embun hanya menghabiskan waktunya di rumah, melakukan pekerjaan rumah tangga, sejak dini hari hingga malam menjemput. Adapun Bibik Lilis mulai bekerja di rumahnya ketika Embun dinikahi oleh Danar. Sebetulnya, Bagas tidak memberikan ijin Embun pergi keluar kota. Ia sudah memiliki rencana lain setelah putrinya itu berhenti nifas. Namun untuk mengendalikan kondisi psikis Embun yang tengah hancur akibat kehilangan bayinya, ia mengijinkannya. Ia yakin, Embun tidak akan berta
Barangkali bukan rezeki Embun untuk bekerja di cafe milik saudara temannya Yasmin?Ibu satu anak itu pun menghela napas.Digantinya seragam cafe dengan pakaian sebelumnya. Ia memutuskan berjalan keluar kafe dan berdiri mematung di tepi jalan dengan perasaan yang runyam. Ia bingung harus pulang ke apartemen Yasmin. Yasmin pasti marah padanya karena ia sudah merusak kepercayaan Yasmin. Padahal adik sambungnya itu sudah bersusah payah mencarikannya pekerjaan. “Ternyata, benar apa kata Ayah. Mencari kerja di kota sangat sulit. Apalagi aku hanya lulusan SMA di kampung.”Embun menghela nafas panjang. Tatapannya menyapu seluruh sudut jalan. Ia merasa dunianya kosong. Tangannya begitu saja mengusap perutnya. Lupa jika ia telah melahirkan. Mengingat bayinya yang tampan, dada Embun merasa sesak sekali. Hatinya terasa perih. Namun ia berusaha menegarkan dirinya kendati merasa hidup tidak adil baginya! Mengapa ia harus menanggung masalah ke dua orang tuanya?Jangan tanyakan perasaannya saat in
Di sisi lain, Danar langsung menyuruh asisten pribadinya--Gilang--untuk mencarikan ibu susu yang cocok untuk putranya. Untungnya, ia pun langsung membuka lowongan kerja untuk ibu susu anak tuannya dengan syarat yang ketat.Calon ibu susu untuk Sagara harus berasal dari wanita yang bertubuh sehat, resik dan berusia di bawah tiga puluh tahun. Selain itu, wanita itu juga harus mengikuti pemeriksaan medis oleh tim dokter yang khusus diundang datang ke sana.Saat Danar dan Mita berada di kantor masing-masing, di kediaman mewah Danar, Gilang dan Maya-babysitter mendadak menjadi Tim HRD yang tengah melakukan interview pada calon ibu susu untuk Sagara.Tak butuh waktu lama, para pelamar pun berdatangan. Hal pertama yang akan mereka jalani yakni proses interview. Bukan tanpa alasan, Gilang harus memastikan jika asal usul keluarga calon ibu susu jelas. Setelah itu, tahap ke dua yakni mereka akan menjalani pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu oleh tim dokter spesialis. Barulah di tahap terakhi
Embun pun pergi bersama Mbak Nuri menuju kediaman mewah Danar Yudistira. Dalam waktu empat puluh menit, akhirnya mereka tiba di sana. Kedatangan mereka disambut oleh pemandangan yang luar biasa indahnya. Sebuah hunian berlantai tiga yang menampilkan desain modern-kontemporer. Rumah mewah itu dibangun dengan perpaduan beberapa unsur di antaranya material kayu, material non finish dan material batu alam. Hingga tanpa sàdar, Embun menganga melihatnya.Belum lagi pemandangan hamparan taman yang luas mirip permadani karena ditumbuhi rumput gajah yang estetis. Area garasi dan carport yang lengkap diisi oleh mobil-mobil mewah yang berjejer rapi. Ia seperti tengah memasuki negeri dongeng.Namun hanya dalam hitungan sepersekian detik, senyum Embun memudar setelah mengagumi keindahan yang terpampang di depan matanya. Hatinya merasa teriris. Rupanya, suaminya itu bukan orang sembarangan. Suaminya seorang sultan dengan harta kekayaan yang melimpah. Ironis, baginya ia tidak peduli asal usul siapa
Tak lama, senyum kelegaan terbit di wajah mereka yang seharian letih mencari ibu susu untuk Tuan muda itu.Di sisi lain, Embun menatap bayinya dengan penuh kasih sayang dan rindu.‘Sayang, jadi selama ini kau hanya minum susu formula? Betapa tega Papamu, Nak. Tapi tenang saja, mulai saat ini Mama akan merawatmu. Apapun yang terjadi.’Masih menggendong Sagara, Embun pun memilih duduk. Ia akan menyusui bayinya. Namun seketika tatapannya tertuju pada Gilang yang masih berada di kamar itu.Menyadari tatapan Embun tertuju padanya, Gilang berkata padanya. “Hum, maaf ya Mbak Embun, Tuan Danar meminta saya untuk tetap mengawasi Tuan Sagara saat Anda menyusuinya. Tidak selamanya, hanya saat masa training. Ya begitu,” katanya dengan sedikit sungkan. Embun merasa kecewa karena ia merasa risih jika harus menyusui di depan orang lain baik itu wanita maupun pria. Ia pun berinisiatif memunggungi Gilang dan ke dua babysitter Sagara. Ia segera melepas empat kancing kemeja teratas yang dipakainya. Ia
Saat hendak pulang dari kantor, tiba-tiba saja Danar mendengar kabar buruk yang menimpa istri tercinta. Mita mengalami kecelakaan. Ia pun segera pergi ke rumah sakit.Awalnya, Danar akan segera pulang karena harus mengurus perihal calon ibu susu untuk anaknya. Namun saat yang sama Gilang pun mengabarinya bahwa ia sudah mendapatkan ibu susu yang tepat untuk Sagara.Danar pun merasa lega dan memutuskan untuk melihat istrinya ke rumah sakit. Mita tertabrak motor saat pulang dari kantornya. Ke dua suami istri tersebut memang memiliki perusahaan masing-masing. Sehingga mereka memiliki kantor yang jelas berbeda tempat. Mereka hanya bertemu saat jam makan siang. Itupun ketika ke duanya tidak sibuk.“Sayang, kenapa kau tidak hati-hati!” imbuh Danar membelai lembut pipi istrinya. Ia sangat syok saat mendengar kabar tentang istrinya yang tertabrak motor ketika ia sedang menepikan kendaraan beroda empat miliknya di depan sebuah restoran.Area parkir restoran itu penuh sehingga dengan terpaksa, Mi
Setelah sedikit berdebat dengan Yasmin, akhirnya Embun bisa pergi dari apartemennya. Kali ini Embun membuat sebuah penolakan. Yasmin sampai tidak percaya akan keputusan kakak sambungnya itu. Embun mengatakan padanya bahwa ia bekerja menjadi seorang art di salah satu perumahan elit di sana.Embun pun tiba kembali di kediaman mantan suaminya hampir larut malam. Sebelum diantar menuju paviliun yang akan ditempatinya, Maya meminta Embun untuk memompa susunya dan menyimpannya dalam botol. Sagara terbiasa bangun malam dan pasti akan meminta susu. Tak mungkin ‘kan Maya menyuruh Embun datang malam-malam ke sana. Mengingat aturan yang dibuat oleh Danar untuk ibu susu Sagara.Embun memompa ASI nya dengan senang hati. Setelahnya, ia pun diantara Mbak Nuri menuju ke paviliun di mana ia akan tinggal di sana bersama beberapa art wanita lainnya. Berbeda dengan Mbak Nuri yang sudah mendapat kepercayaan penuh dari Danar hingga ia bisa menempati rumah utama.“Makasih, Mbak Nuri,” kata Embun menatap wan
“Sayang, aku mencarimu. Ternyata kau di sini rupanya.”Suara yang lembut merambat di telinga Danar Yudistira. Ia pun menoleh ke arah istrinya yang tengah memeluknya dari belakang.“Lihatlah! Anak kita sekarang sudah bisa tenang dan mendapatkan ASI.”Danar berbisik lirih pada istrinya dengan perasaan membuncah bahagia.Tatapan Mita pun tertuju pada wanita yang kini tengah menyusui bayi mereka. Namun ia tidak bisa melihat wajahnya karena posisi Embun yang membelakangi mereka. “Tidur yuk! Biarin Gara tidur. Biasanya kalau kenyang bayi suka langsung tidur,”Mita merangkul lengan suaminya dengan mesra. Tatapan yang bikin jengkel bagi Maya dan Linda yang masih jomblo. Ke dua babysitter Tuan muda itu saling lirik penuh arti.Sebetulnya mereka kurang menyukai kepribadian majikan wanitanya yang manja dan sedikit menyebalkan. Mereka terkadang melihat wanita itu seperti memiliki dua kepribadian. Di depan Danar, Mita selalu bersikap lemah lembut dan manja. Namun di belakang suaminya, wanita itu t
Levina baru saja selesai minum obat ketika pintu kamar klinik terbuka. Ia mengangkat kepalanya dan terkejut melihat Roger berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh penyesalan.“Levina…” suara Roger terdengar berat. “Aku minta maaf.”Levina terdiam. Perasaannya bercampur aduk. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Roger, dalam keadaan mabuk, mencoba melecehkannya di pantai. Jantungnya berdegup lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena amarah yang masih mengendap.Sebelum Levina sempat merespons, sebuah bayangan melesat di hadapannya.BUGH!Alby, yang tadinya duduk santai di kursi dekat tempat tidur, kini telah menerjang Roger dengan tinjunya.Roger terhuyung ke belakang, terkejut. “Apa-apaan kau?!”Alby, yang biasanya penuh candaan, kini tampak berbeda. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap Roger dengan penuh kebencian. “Kau masih punya muka buat datang ke sini setelah apa yang kau lakukan pada Levina?”Levina terkesiap. Ia tidak menyangka Alby akan bereaksi seperti ini.Roger men
Tiba-tiba, seseorang menangkap tangan Levina.Levina refleks ingin menyerang, tapi pandangannya berputar. Dunia seolah bergoyang, napasnya pendek dan berat. Matanya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Alby.“Levina!” suara Alby penuh kepanikan.Levina mencoba mengatakan sesuatu, tapi suaranya tersendat di tenggorokan. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak bicara. Namun ini untuk pertama kalinya, Levina yang terkenal kuat, dingin dan misterius itu merasa ketakutan dan kepanikan. Jantungnya masih berdegup kencang, tapi kali ini bukan karena takut—melainkan karena keterkejutan yang luar biasa. Ia tidak menyangka jika Roger akan melecehkannya. Ia sangat syok. Insiden yang baru saja terjadi mengingatkannya pada memori tempo dulu yang pernah ia alami.Saat Levina masih duduk di bangku sekolah dasar, ia dilecehkan oleh gurunya di sekolah. Sejak saat itu ia berusaha mati-matian belajar bela diri.“Alby...?”Dalam hitungan detik, tubuh Levina ambruk ke tanah. Alby pun merasa panik. “Levina!” p
Levina menikmati suasana pantai di balkon kamar hotelnya. Ombak berderu pelan, langit keemasan mencerminkan kehangatan yang seharusnya ia rasakan di dalam hatinya. Namun, kenyataannya ia justru merasa gelisah. Sejak pertemuan pertamanya dengan Roger, putra teman ayahnya, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.Roger memang tampan, berpakaian necis, dan memiliki senyum yang bisa membuat wanita jatuh hati dalam hitungan detik. Tapi Levina tahu, di balik pesona itu ada sesuatu yang tidak beres. Dari cara Roger berbicara, dari tatapan matanya yang terlalu tajam dan gerakan tangannya yang selalu berusaha menyentuhnya, Levina merasa ia harus tetap waspada.Hari itu, Roger mengundangnya untuk makan malam di restoran seafood mewah di tepi pantai. Awalnya, Levina ingin menolak, tapi Roger terlalu gigih. “Hanya makan malam santai, Levina. Kau bisa anggap ini sebagai pertemanan,” ujarnya dengan nada santai.Levina akhirnya mengiyakan, namun tetap membatasi diri. Ia mengenakan dress biru sederha
Langit sore berpendar jingga ketika Alby memarkirkan mobilnya di halaman rumah Ana. Ia keluar dengan langkah ringan, meski ada kegelisahan yang bersembunyi di balik tatapan matanya. Rindu dalam dadanya tak bisa lagi ia bendung. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Levina, pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan wanita itu. Ia ingin mengajaknya pergi, mungkin sekadar mengobrol sambil menikmati kopi di kafe favoritnya.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Ana akhirnya membukakan pintu dengan senyum ramah. Namun, ekspresi wajahnya sedikit berubah ketika melihat Alby berdiri di ambang pintu.“Alby? Ada apa?” tanya Ana, meski sudah bisa menebak alasan kedatangannya.Alby mengusap tengkuknya, sedikit canggung. “Aku mau ketemu Levina, Tante. Dia ada?”Ana tersenyum tipis, lalu menghela napas pelan. “Levina sedang pulang kampung. Dia izin libur beberapa hari untuk mengunjungi keluarganya.”Alby tertegun. Matanya berkedip beberapa kali, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Ana mulai mencurigai sesuatu. Beberapa kali ia melihat Alby dan Levina berbincang diam-diam. Tidak seperti biasanya. Mata Ana mengerut curiga, tetapi ia memilih diam. Hanya mengamati dari jauh.Pertama Alby mau menjemput Jeena di bandara. Tunggu, bukan pertama kali. Tapi setahun yang lalu, Alby juga mengantar Jeena ke bandara! Tentu saja, bukan karena tidak ada supir. Alby memang tengah melakukan pendekatan pada Levina. Seperti saat ini, saat yang lain sibuk mengobrol dengan Jeena di ruang tamu, di taman belakang, Alby dan Levina tengah berdiri berhadapan. Seperti biasa, perdebatan kecil pun terjadi di antara mereka.“Kau terlalu keras kepala,” ucap Alby sambil menyilangkan tangan.“Dan kau terlalu sok tahu,” balas Levina, menghela napas panjang.Alby mengangkat dagunya. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kau tidak bisa terus bersembunyi di balik sikap dinginmu.”Levina terdiam. Tatapan matanya lebih lembut dari biasanya. “Alby, kenapa kau selalu ingin mengorek isi kepalaku?”“Kar
Levina menundukkan wajahnya, merasakan telapak tangannya yang mulai berkeringat. Ia tidak menyangka Alby akan mengatakannya secara gamblang seperti ini. Hatinya bergetar, tetapi pikirannya menolak. Ia tidak boleh percaya pada pria seperti Alby. Tidak boleh.Makan siang itu berakhir dalam keheningan. Jeena yang kembali dari toilet hanya mengangkat alis melihat atmosfer yang berbeda antara Levina dan Alby. Namun, ia memilih diam. Tidak mau mengusik apa yang sedang terjadi di antara mereka.Saat mereka kembali ke mobil, Levina tetap menjaga jarak dari Alby. Namun, pria itu tidak menyerah. Bahkan ketika mereka sudah tiba di depan rumah Ana, Alby masih bersikeras ingin berbicara.“Lev, aku serius dengan perasaanku,” ujarnya pelan, tetapi tegas.Levina menatapnya tajam. “Jangan buang waktumu, Alby. Aku tidak akan berubah pikiran.”“Aku tidak meminta jawaban sekarang. Aku akan menunggumu,” Alby tersenyum tipis. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku akan tetap ada. Sampai kapan pun.”Levina mena
Setahun berlaluBandara Internasional Soekarno-HattaJeena menghela napas lega saat pesawat mendarat dengan mulus di landasan. Setelah setahun di Manhattan, akhirnya ia pulang ke Indonesia. Selama ini ia hanya pulang beberapa kali ke Indo, selebihnya keluarganya yang rutin menjenguknya. Di sebelahnya, Levina tampak sibuk mengecek ponselnya, memastikan tidak ada pesan penting yang terlewat.“Akhirnya, pulang juga,” gumam Jeena sambil meregangkan tubuhnya. “Aku sudah kangen makanan Indonesia.”Levina hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Sebenarnya, hatinya sedang sedikit gelisah, meski ia sendiri enggan mengakuinya. Kenapa? Karena orang yang menjemput mereka bukan sembarang orang.Alby.Pria itu sudah menunggu mereka di pintu kedatangan, bersandar santai di mobilnya dengan kacamata hitam bertengger di hidungnya. Dari kejauhan, ia terlihat seperti tokoh dalam film, menunggu dengan ekspresi tenang namun penuh keyakinan.Saat Jeena melihatnya, ia langsung tersenyum penuh arti. “Wah, wah…
Pasha memasuki kamar dengan langkah perlahan. Malam yang panjang baru saja ia lalui, mencoba menenangkan Selina yang nyaris mengakhiri hidupnya karena patah hati. Pikirannya masih kalut, rasa bersalah menggumpal di dadanya. Namun, saat matanya menangkap sosok Rosa yang tertidur di sofa, rasa bersalah itu semakin menyesakkan.Rambut panjang istrinya tergerai di atas bantal kecil. Napasnya terdengar teratur, wajahnya tampak begitu damai dalam tidur. Tapi Pasha tahu, Rosa pasti sudah lama menunggunya. Bahkan mungkin ia tertidur dalam kekhawatiran. Sejenak, ia hanya berdiri di ambang pintu, menatap wanita yang kini menjadi istrinya. Hatinya bergetar.Dengan hati-hati, ia melangkah mendekat, berlutut di samping sofa. Jarinya terulur, menyelipkan anak rambut Rosa yang jatuh ke wajahnya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berbisik, “Rosa…”Kelopak mata Rosa bergerak perlahan. Sejenak, ia tampak bingung sebelum akhirnya kesadarannya pulih. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan. Tak a
Setelah Selina berhasil ditenangkan, Pasha, Dasha, Ana dan Sulis membawanya turun ke apartemen untuk beristirahat. Beryl pun ikut menemani, meninggalkan Alby dan Levina yang masih berdiri di rooftop, dikelilingi angin malam yang dingin.Alby akhirnya melangkah mendekat, berdiri di belakang Levina. Levina sedang memandang kerlap kerlip lampu kota yang begitu indah saat malam. Alby menatapnya dari belakang dan tanpa sadar bergumam, “Aku semakin kagum padamu, Lev.”Levina menoleh sekilas. Rambutnya yang tergerai berkibar diterpa angin malam membuatnya tampak cantik bahkan masih memakai piyama tidur yang dibalut jaket kulitnya. “Apa?”Alby tersenyum kecil. “Tidak ada. Kau luar biasa, itu saja.”Levina mengerutkan kening. “Jangan cari gara-gara di saat begini, Al.”Alby hanya terkekeh pelan. Tapi dalam hati, ia tahu satu hal.Ia baru saja melihat sisi lain dari Levina—dan semakin sulit baginya untuk mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh di hatinya.Alby menatap Levina dengan senyum menyeb