Menaiki angkutan umum, Embun pergi ke sebuah villa sederhana dekat hutan pinus yang ia tinggali saat menjalani pernikahan dengan Danar Yudistira.
Setelah dipersunting oleh Danar, Embun langsung diboyong oleh pria itu untuk menempati villa yang sepi dan sunyi itu. Letak villa itu jauh dari pemukiman warga. Di sana Embun tinggal dengan seorang asisten rumah tangga dan seorang security. Namun villa itu kini kosong!
Usai ijab qabul, Danar hanya menginap semalam untuk melakukan ritual malam pertama dengan Embun. Keesokan harinya Danar pergi keluar kota karena harus bekerja. Perusahaan miliknya berada di luar kota.
Semenjak menikahi Embun, hanya dalam hitungan jari, Danar pulang ke villa itu. Lagi, ia hanya datang untuk meminta haknya sebagai suami dan mengecek kehamilan Embun. Embun yang lugu tidak pernah menaruh curiga pada Danar.
Air mata Embun kini tak terbendung ketika mengingat keping demi keping kenangan yang dilewatinya bersama Danar. Pantas saja, Danar hanya bersikap seperlunya padanya. Sebaliknya, Embun selalu menyambutnya bagaikan seorang raja. Kepulangannya ialah hal yang paling ditunggunya. Ia melayani Danar dengan sangat baik.
“Tuan Danar, mengapa kau tega berbuat ini padaku?”
Baru saja kakinya melangkah, menginjak halaman villa, hatinya berdenyut pilu. Di sana, biasanya Danar memarkirkan mobil jeep Cherokee miliknya, dekat tanaman bunga mawar yang ditanamnya.
Embun pun mengayunkan kakinya menuju dalam villa. Ia masih menyimpan kuncinya. Ia masuk ke dalam dengan perasaan yang pedih. Ia berjalan perlahan menuju kamar miliknya bersama dengan Danar. Ia pun menatap sesaat foto dirinya bersama Danar saat walimah. Frame foto berukuran kecil yang ditaruhnya di atas nakas samping tempat tidur. Kemudian tatapannya tertuju pada ranjang bayi yang sudah ia persiapkan untuk bayi mereka.
Melihat pemandangan itu, air mata Embun kembali deras. Tubuhnya kembali merosot ke lantai. Seketika bayangan indah melintas. Di kamar itu, untuk pertama kalinya Danar menyentuhnya dengan lembut. Namun ternyata di balik semua itu Danar hanyalah seorang penipu ulung. Semua orang telah memanfaatkan kepolosan dirinya.
Selang satu kedipan mata, tatapan Embun tertuju pada sebuah sofa bed yang berada di samping ranjang besar itu, di sanalah ia duduk sembari mengajak mengobrol janinnya saat masih di dalam perutnya.
Malam itu, Embun tidur di atas ranjangnya sembari memeluk selimut bayi untuk bayi lelakinya. Sungguh, ia merindukannya.
“Anak Mama, kau sedang apa? Maafkan Mama ya Nak, belum bisa menjemputmu!” gumamnya dengan perasaan yang teriris sembilu. Selimut itu sudah basàh oleh air matanya.
Tangisan Embun semakin kencang saat ia menghidu selimut bayi itu dengan membayangkan bahwa dirinya sedang memeluk bayinya yang sudah direnggut dari sisinya secara tiba-tiba.
****
“Dari mana saja kau?”
Bagas-ayah Embun langsung membentak putrinya kala ia baru saja tiba di rumah. Pria bertubuh tinggi besar itu memasang wajah garang di depan Embun.
Seketika Embun bergidik ngeri saat melihat kemarahan sang ayah. Ketika ia mengingat amarah sang ayah, mengingatkannya pada hukuman yang harus diterimanya. Ia akan dikurung di gudang sendirian sehari semalam. Padahal seharusnya Embun yang marah atas perlakuan sang ayah padanya. Bagas telah menjualnya pada Tuan Danar.
Mencengkram roknya dengan erat, Embun memberanikan diri menengadah, menatap sang ayah.
“A-Ayah, mengapa kau tega menjualku?”
Bagas tersentak mendengar pertanyaan Embun. Namun ia juga tahu pasti Embun akan kecewa dan kesal padanya atas perjanjian yang dilakukan dirinya dengan Danar.
“Kau mau tau jawabannya?”
Bagas menjawab dengan suara pelan namun terdengar dingin dan serius. Kemudian ia berjalan masuk dan meninggalkan putrinya di belakangnya.
Embun pun mengikuti langkah besar kaki sang ayah. Bagas duduk di sofa dengan wajah tegang.
Embun ikut duduk di seberangnya, tak sabar menunggu jawaban.
Bagas mengeluarkan setumpuk kertas lalu menaruhnya di atas meja.
Bola mata Embun membeliak saat melihat tumpukan kertas itu adalah bon berisi jumlah nominal utang bekas pengobatan ibunya yang menderita leukimia.
“Jadi Ibu selama ini sakit leukimia?”
Embun bertanya dengan suara yang sesak. Air matanya kembali luruh. Ibu Embun meninggal saat ia masih berusia tiga tahun. Embun mengira jika ibunya sakit biasa. Ternyata ibunya sakit leukimia.
Embun menatap kertas itu lalu menatap ayahnya. “Kenapa Ayah tidak bilang sebelumnya?”
“Embun, kau tahu rumah ini juga bukan rumah Ayah. Ini rumah milik Indira. Jika A-Ayah tidak menikahi Indira, bahkan Ayah tidak bisa menghidupimu!”
Embun merasa sesak. Ia sempat berpikir jika ayahnya memang telah menjualnya karena tidak menginginkannya.
“Tapi, Ayah, perbuatanmu itu sudah keterlaluan! Mengapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?”
Tatapan Embun beralih dari tumpukan kertas itu tertuju pada sang ayah.
Bagas memandang lurus putrinya kemudian menjawab. “Memberitahumu soal pernikahan kontrak? Memang kau bersedia?”
“Um, bukan begitu, Ayah! Tapi … cara ini tidaklah benar. Aku telah kehilangan bayiku, Ayah! Bayi itu makhluk hidup, Ayah! Bagaimana bisa kau memisahkan ibu dan bayinya. Itu bukan solusi, Ayah!”
Meskipun tindakan Ayahnya berniat baik. Namun tetap saja cara yang diambil keliru. Ia tidak menerima ide sang ayah.
“Terus, kau mau menjual diri?” sergah Bagas tak terima dengan respon putrinya. Kehadiran putrinya juga sangat tidak diharapkan. Baginya, Embun hanyalah beban.
“Astagfirullah, Ayah!” lirih Embun dengan hati yang mencelos. Betapa frontal kata-kata sang ayah padanya. Di manakah sosok ayah itu? Seharusnya sosok ayah itu bisa mengayomi putrinya, bukan melimpahkan kesalahan pada putrinya.
“Sudah, Embun! Maafkan Ayah! Ayah benar-benar bingung. Ayah tidak punya uang lagi. Ini juga A-Ayah sedang mencari modal untuk kebun kopi kita.”
Bagas berkelit sesuka hatinya. Ia menyalakan sebatang rokok kemudian menghisapnya dengan candu.
Embun menahan kelu di lidah. Ia bingung harus berbuat apa. Ternyata hutang ayahnya sangat banyak akibat ibu kandungnya. Pantas saja, Indira terlihat membencinya.
Namun Embun tak bisa menerima begitu saja. Ia ingin bayinya, bagaimanapun caranya!
‘Mungkin jika aku bisa mempunyai uang, aku bisa memperoleh bayiku kembali. Satu miliar? Dari mana aku bisa punya uang sebesar itu? Mereka pasti punya pengacara. Mereka pasti akan memilih jalur hukum untuk mendapatkan hak asuh bayiku,’
Embun hanya menghela nafas berat. Apakah mungkin ia bisa mendapatkan putranya kembali?
Dua minggu berlalu dengan cepat.Danar yang baru saja pulang dari kantor, langsung berjalan menuju kamar bayinya. Namun, pria itu tampak begitu terkejut.“Kenapa dia menangis?” gumamnya.Baru pertama kali mendengar bayinya menangis kencang. Seingatnya jika bayi itu menangis kencang maka pasti ia kehausan. “Anu, Tuan, dia mau menyusu!” jawab babysitter dengan perasaan cemas. Ia begitu takut saat berhadapan dengan Tuan Danar yang pemarah dan dingin. Babysitter berusia dua puluh tahunan itu pun menyingkir dan memberi jalan pada Danar untuk masuk ruangan khusus bayinya.Danar tidak langsung memangku bayinya. Ia baru saja pulang bekerja. Ia tidak ingin mengambil resiko menyentuh bayinya dalam keadaan tubuhnya kotor akibat bersimbah keringat. Pria berwajah dingin itu hanya menatap bayinya dengan tatapan teduh. Lantas ia bertanya pada babysitter yang mengasuh putranya. “Di mana Nyonya, Maya?”Maya-babysitter itu menjawab dengan tergeragap. “Anu … Tuan … Nyonya sedang di kamar.”Mendengar ja
Dua pekan sudah Embun berusaha menegarkan dirinya. Ia bertekad akan melanjutkan hidupnya. Ia akan mencoba mencari pengalaman baru bekerja di luar kota. Selain itu, ada hal yang mendesak pula sebagai alasan yaitu sang ayah yang ternyata masih terlilit hutang pada beberapa orang rentenir. Oleh karena itu, Embun akan mencoba peruntungan bekerja di kota kendati tidak memiliki pengalaman sedikit pun. Nyaris dua puluh satu tahun, Embun Ganita hanya menghabiskan waktunya di kota kembang. Setelah lulus sekolah menengah atas, Embun hanya menghabiskan waktunya di rumah, melakukan pekerjaan rumah tangga, sejak dini hari hingga malam menjemput. Adapun Bibik Lilis mulai bekerja di rumahnya ketika Embun dinikahi oleh Danar. Sebetulnya, Bagas tidak memberikan ijin Embun pergi keluar kota. Ia sudah memiliki rencana lain setelah putrinya itu berhenti nifas. Namun untuk mengendalikan kondisi psikis Embun yang tengah hancur akibat kehilangan bayinya, ia mengijinkannya. Ia yakin, Embun tidak akan berta
Barangkali bukan rezeki Embun untuk bekerja di cafe milik saudara temannya Yasmin?Ibu satu anak itu pun menghela napas.Digantinya seragam cafe dengan pakaian sebelumnya. Ia memutuskan berjalan keluar kafe dan berdiri mematung di tepi jalan dengan perasaan yang runyam. Ia bingung harus pulang ke apartemen Yasmin. Yasmin pasti marah padanya karena ia sudah merusak kepercayaan Yasmin. Padahal adik sambungnya itu sudah bersusah payah mencarikannya pekerjaan. “Ternyata, benar apa kata Ayah. Mencari kerja di kota sangat sulit. Apalagi aku hanya lulusan SMA di kampung.”Embun menghela nafas panjang. Tatapannya menyapu seluruh sudut jalan. Ia merasa dunianya kosong. Tangannya begitu saja mengusap perutnya. Lupa jika ia telah melahirkan. Mengingat bayinya yang tampan, dada Embun merasa sesak sekali. Hatinya terasa perih. Namun ia berusaha menegarkan dirinya kendati merasa hidup tidak adil baginya! Mengapa ia harus menanggung masalah ke dua orang tuanya?Jangan tanyakan perasaannya saat in
Di sisi lain, Danar langsung menyuruh asisten pribadinya--Gilang--untuk mencarikan ibu susu yang cocok untuk putranya. Untungnya, ia pun langsung membuka lowongan kerja untuk ibu susu anak tuannya dengan syarat yang ketat.Calon ibu susu untuk Sagara harus berasal dari wanita yang bertubuh sehat, resik dan berusia di bawah tiga puluh tahun. Selain itu, wanita itu juga harus mengikuti pemeriksaan medis oleh tim dokter yang khusus diundang datang ke sana.Saat Danar dan Mita berada di kantor masing-masing, di kediaman mewah Danar, Gilang dan Maya-babysitter mendadak menjadi Tim HRD yang tengah melakukan interview pada calon ibu susu untuk Sagara.Tak butuh waktu lama, para pelamar pun berdatangan. Hal pertama yang akan mereka jalani yakni proses interview. Bukan tanpa alasan, Gilang harus memastikan jika asal usul keluarga calon ibu susu jelas. Setelah itu, tahap ke dua yakni mereka akan menjalani pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu oleh tim dokter spesialis. Barulah di tahap terakhi
Embun pun pergi bersama Mbak Nuri menuju kediaman mewah Danar Yudistira. Dalam waktu empat puluh menit, akhirnya mereka tiba di sana. Kedatangan mereka disambut oleh pemandangan yang luar biasa indahnya. Sebuah hunian berlantai tiga yang menampilkan desain modern-kontemporer. Rumah mewah itu dibangun dengan perpaduan beberapa unsur di antaranya material kayu, material non finish dan material batu alam. Hingga tanpa sàdar, Embun menganga melihatnya.Belum lagi pemandangan hamparan taman yang luas mirip permadani karena ditumbuhi rumput gajah yang estetis. Area garasi dan carport yang lengkap diisi oleh mobil-mobil mewah yang berjejer rapi. Ia seperti tengah memasuki negeri dongeng.Namun hanya dalam hitungan sepersekian detik, senyum Embun memudar setelah mengagumi keindahan yang terpampang di depan matanya. Hatinya merasa teriris. Rupanya, suaminya itu bukan orang sembarangan. Suaminya seorang sultan dengan harta kekayaan yang melimpah. Ironis, baginya ia tidak peduli asal usul siapa
Tak lama, senyum kelegaan terbit di wajah mereka yang seharian letih mencari ibu susu untuk Tuan muda itu.Di sisi lain, Embun menatap bayinya dengan penuh kasih sayang dan rindu.‘Sayang, jadi selama ini kau hanya minum susu formula? Betapa tega Papamu, Nak. Tapi tenang saja, mulai saat ini Mama akan merawatmu. Apapun yang terjadi.’Masih menggendong Sagara, Embun pun memilih duduk. Ia akan menyusui bayinya. Namun seketika tatapannya tertuju pada Gilang yang masih berada di kamar itu.Menyadari tatapan Embun tertuju padanya, Gilang berkata padanya. “Hum, maaf ya Mbak Embun, Tuan Danar meminta saya untuk tetap mengawasi Tuan Sagara saat Anda menyusuinya. Tidak selamanya, hanya saat masa training. Ya begitu,” katanya dengan sedikit sungkan. Embun merasa kecewa karena ia merasa risih jika harus menyusui di depan orang lain baik itu wanita maupun pria. Ia pun berinisiatif memunggungi Gilang dan ke dua babysitter Sagara. Ia segera melepas empat kancing kemeja teratas yang dipakainya. Ia
Saat hendak pulang dari kantor, tiba-tiba saja Danar mendengar kabar buruk yang menimpa istri tercinta. Mita mengalami kecelakaan. Ia pun segera pergi ke rumah sakit.Awalnya, Danar akan segera pulang karena harus mengurus perihal calon ibu susu untuk anaknya. Namun saat yang sama Gilang pun mengabarinya bahwa ia sudah mendapatkan ibu susu yang tepat untuk Sagara.Danar pun merasa lega dan memutuskan untuk melihat istrinya ke rumah sakit. Mita tertabrak motor saat pulang dari kantornya. Ke dua suami istri tersebut memang memiliki perusahaan masing-masing. Sehingga mereka memiliki kantor yang jelas berbeda tempat. Mereka hanya bertemu saat jam makan siang. Itupun ketika ke duanya tidak sibuk.“Sayang, kenapa kau tidak hati-hati!” imbuh Danar membelai lembut pipi istrinya. Ia sangat syok saat mendengar kabar tentang istrinya yang tertabrak motor ketika ia sedang menepikan kendaraan beroda empat miliknya di depan sebuah restoran.Area parkir restoran itu penuh sehingga dengan terpaksa, Mi
Setelah sedikit berdebat dengan Yasmin, akhirnya Embun bisa pergi dari apartemennya. Kali ini Embun membuat sebuah penolakan. Yasmin sampai tidak percaya akan keputusan kakak sambungnya itu. Embun mengatakan padanya bahwa ia bekerja menjadi seorang art di salah satu perumahan elit di sana.Embun pun tiba kembali di kediaman mantan suaminya hampir larut malam. Sebelum diantar menuju paviliun yang akan ditempatinya, Maya meminta Embun untuk memompa susunya dan menyimpannya dalam botol. Sagara terbiasa bangun malam dan pasti akan meminta susu. Tak mungkin ‘kan Maya menyuruh Embun datang malam-malam ke sana. Mengingat aturan yang dibuat oleh Danar untuk ibu susu Sagara.Embun memompa ASI nya dengan senang hati. Setelahnya, ia pun diantara Mbak Nuri menuju ke paviliun di mana ia akan tinggal di sana bersama beberapa art wanita lainnya. Berbeda dengan Mbak Nuri yang sudah mendapat kepercayaan penuh dari Danar hingga ia bisa menempati rumah utama.“Makasih, Mbak Nuri,” kata Embun menatap wan
Hari demi hari berlalu, dan Laila semakin merasakan betapa beratnya perjuangan untuk kembali berjalan. Setiap pagi, ia memulai rutinitasnya dengan latihan fisik yang direkomendasikan oleh terapisnya. Namun, meskipun telah mengerahkan segala tenaga, kemajuannya terasa seperti langkah siput—lambat dan nyaris tak berarti. Rasa sakit menyengat di setiap sendi, kelelahan menggerogoti tubuhnya, tetapi yang lebih menyiksa adalah perasaan tidak berdaya yang mulai merayap ke dalam jiwanya.Setiap kali ia mencoba menggerakan kakinya dan gagal, rasa frustrasi semakin menguasai dirinya. Ia mulai meragukan kemampuannya sendiri, bertanya-tanya apakah semua ini sia-sia. Suatu sore yang dingin dan suram, setelah sesi terapi yang melelahkan, Laila duduk diam di kursi rodanya, menatap ke luar jendela. Hujan turun deras, menciptakan simfoni kesedihan yang seakan menggema dalam hatinya. Air mata menggenang di pelupuk matanya, lalu jatuh perlahan, bercampur dengan keputusasaan yang semakin dalam. Ia mer
Malam itu, Rahes duduk di ruang kerjanya, menatap kosong laporan yang baru saja ia terima dari detektif pribadinya. Akhir-akhir ini ia seringkali berurusan dengan detektif setelah menemukan putrinya. Apalagi, ia sedang mencari tahu putrinya yang lain—yang masih belum ditemukan.Tangannya mencengkeram kertas itu erat, hampir meremasnya. Matanya menelusuri setiap detail yang tertulis, tetapi pikirannya masih berusaha mencerna kenyataan yang baru saja terungkap. Serina, putrinya yang baru saja ia temukan setelah bertahun-tahun mencari, ternyata terlibat masalah dengan keluarga Basalamah. Dan bukan sekadar masalah biasa—ia berpura-pura menjadi penyelamat dalam insiden kebakaran yang menimpa Hanum, salah satu anggota keluarga itu. Pantas pria bernama Beryl terlihat marah saat bertemu dengannya.Sisi lain, dalam laporan itu ternyata meskipun putrinya telah ketahuan berdusta, namun keluarga itu masih mempekerjakan Serina di sana.Rahes menghela napas berat. Ia tidak habis pikir. Apa yang t
Keesokan harinya, meski Raihan tidak memberinya informasi langsung, Beryl tidak akan menyerah untuk bisa menemukan Laila. Dia akan mencari cara lain untuk mengungkapkan rahasia yang terselubung, bahkan jika itu berarti harus berhadapan dengan Yuda secara langsung.Beryl memang dikenal dengan tekad baja yang tak mudah goyah. Dan, kali ini ia benar-benar nekat melebihi baja, mungkin logam mulia lain bisa mewakili tekadnya itu. Ya, grafena! Setelah bertemu dengan Raihan yang hanya memberinya sedikit petunjuk dengan banyak sekali misteri, Beryl merasa sudah waktunya menghadapi Yuda secara langsung. Tak peduli apa risikonya, Beryl harus tahu kondisi Laila. Jika menyerahkan itu pada detektif akan butuh waktu lama. Atau, jika ia meminta bantuan ibunya, ayahnya masih akan menertawakannya. Seperti tidak ada gadis lain saja.Suatu pagi yang cerah, dengan niat yang sudah bulat, Beryl mendatangi sekolah tempat Yuda mengajar. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat penuh kedamaian dan pembelajaran
Raihan sedang duduk di ruang kerjanya di kampus ketika Beryl datang, mengetuk pintu dengan ekspresi serius. “Pak Raihan, saya ingin bicara empat mata,” kata Beryl dengan nada tegas. Beberapa orang dosen menoleh ke arahnya dengan tatapan ingin tahu.Tentu saja, wajah Beryl yang kearab-araban seringkali mencuri atensi warga lokal. Mereka berpikir jika ada turis asing datang.Raihan yang merasa sedikit terkejut, mempersilakan Beryl masuk dan duduk. “Ada apa, Pak Beryl? Ada yang bisa saya bantu?”Raihan sempat terkesiap saat melihat siapa tamu yang datang. Rupanya, tamu itu adalah bos di mana Laila bekerja. Namun ia berusaha tenang setenang air danau.Beryl duduk di depan Raihan, matanya tajam menatapnya. “Saya sengaja datang kemari karena ada satu hal yang penting! Saya tidak suka basa-basi. Saya hanya ingin tahu tentang Laila. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Kenapa dia bisa menghilang begitu saja? Mengapa keluarganya mengatakan bahwa Laila sudah menikah padahal belum? Saya tahu, ka
Manggala dan Jeena tiba di pantai yang indah, menikmati momen kebahagiaan mereka saat honeymoon. Angin laut yang sejuk dan suara ombak yang menghantam pantai memberikan suasana yang sempurna untuk beristirahat dan merayakan cinta mereka. Namun, suasana tenang itu tiba-tiba pecah saat mereka melihat seseorang yang tak asing di kejauhan.Luna, wanita yang dulu pernah terlibat dalam skandal yang membuat Manggala terjebak, sedang berdiri bersama seorang pria yang tampak sangat berkuasa. Pria itu mengenakan jas mahal, dengan penampilan yang menunjukkan statusnya sebagai orang kaya dan berpengaruh. Manggala merasa cemas dan bingung melihat Luna di tempat ini, lebih-lebih bersama pria tersebut. Luna yang semula seharusnya menjalani hukuman penjara karena perbuatannya terhadap Manggala, kini tampak bebas, seolah tidak ada yang salah.Jeena yang melihat ekspresi Manggala yang berubah, bertanya dengan khawatir, “Mas, ada apa?”Manggala menghela napas, matanya terfokus pada Luna dan pria itu.
“Ada masalah?”Ali bertanya pada putranya saat mereka sudah selesai menyantap hidangan sarapan pagi. Pria berhidung bangir itu menaruh sendok dan garpu, menatap putranya dengan tenang. Tidak mudah menjadi seorang CEO, Beryl masih harus banyak belajar. Ali mendengar jika Beryl saat ini tengah mengalami masalah di kantor. Beberapa kliennya telah berpindah haluan dan membatalkan kerjasama dengan perusahaan Basalamah Group tanpa alasan yang jelas.Ali berpikir karena patah hati membuat Beryl menjadi tidak fokus dalam menyelesaikan pekerjaannya. Namun ternyata setelah mendengar dari orang kantor, ada pengusaha yang terang-terangan mengambil klien mereka. Ia adalah Rahes Pramudya.Beryl meneguk air minum sebelum menjawab sang ayah. “Aku masih bisa menghandlenya,” katanya dengan singkat.Beryl pun berdiri dan berpamitan meninggalkan ke dua orang tuanya dan Alby yang masih menyantap nasi goreng.“Aku duluan,”Ali dan Sulis saling pandang penuh arti. “Sayang, Beryl sudah mulai move on, bagus
Setelah pesta pernikahan yang megah dan meninggalkan Beryl yang sudah mulai membaik, Manggala dan Jeena akhirnya bisa bernapas lega. Mereka memutuskan melakukan honeymoon yang tertunda.Setelah menempuh perjalanan udara, akhirnya mereka tiba di pulau Dewata menjelang senja, saat langit berwarna jingga keemasan. Jeena tersenyum kagum saat melihat villa mewah yang berdiri congak di tepi pantai yang telah disiapkan Manggala untuk bulan madu mereka. Villa itu memiliki kolam renang pribadi dan pemandangan langsung ke arah laut dan tentunya bersifat private karena hanya ada mereka berdua yang akan menghuni villa tersebut selain seorang pegawai villa, wanita renta yang mengurus villa tersebut.Begitu masuk ke dalam vila, Jeena langsung melepas sepatunya dan berjalan dengan kaki telanjang ke balkon, membiarkan angin pantai menyapu wajahnya. “Indah sekali,” bisiknya tak bisa menyembunyikan perasaan kekagumannya pada landskap yang begitu indah di hadapannya. Manggala mendekat dan memeluknya
Putri Melati berdiri di depan ruang rawat inap dengan perasaan campur aduk. Matanya menangkap sosok Yuda yang sedang berbicara dengan dokter, wajahnya penuh ketegangan. Ia juga mengikuti Yuda hingga pria itu berada di bagian administrasi pembayaran, menyerahkan sejumlah uang. Namun dari raut wajahnya, jelas terlihat bahwa uang itu tidak cukup. Tak lama kemudian, ia mendengar bagian keuangan itu menjelaskan rincian biaya rumah sakit yang harus dibayar olehnya. “Maaf, Pak, biaya perawatan di sini memang segini. Tidak bisa kurang. Ini termasuk yang paling murah. Coba, Bapak bandingkan dengan rumah sakit lain! Biaya rawat inap lebih mahal.”Bagian administrasi itu mencoba memberi pengertian pada Yuda. Yuda bermaksud meminta keringanan rumah sakit namun bagian administrasi tidak memiliki wewenang dalam menentukan kisaran biaya rumah sakit.Yuda terlihat menarik nafas dalam. Uang sepuluh juta yang diserahkan padanya itu adalah uang terakhir di dalam dompetnya untuk biaya rawat inap.“Pak Y
Melati menatap suaminya dengan tajam. Baru saja ia menyimak curhatan suaminya di mana Yuda ingin meminjam uang padanya namun Aldino tidak memberikannya pinjaman hanya karena Yuda tidak mengatakan apa masalah yang dihadapinya.“Mas, kenapa kamu gak kasih pinjamannya? Pak Yuda sahabatmu. Kalau dia sampai meminjam uang, berarti dia benar-benar butuh! Dia tidak perlu menyebutkan alasannya. Mungkin dia memang sangat terdesak.”Putri Melati memperingati suaminya. Ia tak habis pikir dengan pemikiran suaminya yang tak bisa membaca situasi. Mungkin ada alasan tertentu Yuda merahasiakannya. Mentang-mentang Aldino tidak pernah merasakan kesulitan finansial dalam hidupnya karena ia terbiasa hidup enak.Aldino meletakkan cangkir tehnya dengan kasar di meja. “Sayang, bukannya nggak mau bantu. Tapi Yuda bukan tipe orang yang mudah meminta bantuan, apalagi soal uang. Ada sesuatu yang dia sembunyikan. Mas hanya ingin tahu dulu untuk apa uang itu. Tentu saja, Mas akan membantunya! Mas sedang menunggu d