Menaiki angkutan umum, Embun pergi ke sebuah villa sederhana dekat hutan pinus yang ia tinggali saat menjalani pernikahan dengan Danar Yudistira.
Setelah dipersunting oleh Danar, Embun langsung diboyong oleh pria itu untuk menempati villa yang sepi dan sunyi itu. Letak villa itu jauh dari pemukiman warga. Di sana Embun tinggal dengan seorang asisten rumah tangga dan seorang security. Namun villa itu kini kosong!
Usai ijab qabul, Danar hanya menginap semalam untuk melakukan ritual malam pertama dengan Embun. Keesokan harinya Danar pergi keluar kota karena harus bekerja. Perusahaan miliknya berada di luar kota.
Semenjak menikahi Embun, hanya dalam hitungan jari, Danar pulang ke villa itu. Lagi, ia hanya datang untuk meminta haknya sebagai suami dan mengecek kehamilan Embun. Embun yang lugu tidak pernah menaruh curiga pada Danar.
Air mata Embun kini tak terbendung ketika mengingat keping demi keping kenangan yang dilewatinya bersama Danar. Pantas saja, Danar hanya bersikap seperlunya padanya. Sebaliknya, Embun selalu menyambutnya bagaikan seorang raja. Kepulangannya ialah hal yang paling ditunggunya. Ia melayani Danar dengan sangat baik.
“Tuan Danar, mengapa kau tega berbuat ini padaku?”
Baru saja kakinya melangkah, menginjak halaman villa, hatinya berdenyut pilu. Di sana, biasanya Danar memarkirkan mobil jeep Cherokee miliknya, dekat tanaman bunga mawar yang ditanamnya.
Embun pun mengayunkan kakinya menuju dalam villa. Ia masih menyimpan kuncinya. Ia masuk ke dalam dengan perasaan yang pedih. Ia berjalan perlahan menuju kamar miliknya bersama dengan Danar. Ia pun menatap sesaat foto dirinya bersama Danar saat walimah. Frame foto berukuran kecil yang ditaruhnya di atas nakas samping tempat tidur. Kemudian tatapannya tertuju pada ranjang bayi yang sudah ia persiapkan untuk bayi mereka.
Melihat pemandangan itu, air mata Embun kembali deras. Tubuhnya kembali merosot ke lantai. Seketika bayangan indah melintas. Di kamar itu, untuk pertama kalinya Danar menyentuhnya dengan lembut. Namun ternyata di balik semua itu Danar hanyalah seorang penipu ulung. Semua orang telah memanfaatkan kepolosan dirinya.
Selang satu kedipan mata, tatapan Embun tertuju pada sebuah sofa bed yang berada di samping ranjang besar itu, di sanalah ia duduk sembari mengajak mengobrol janinnya saat masih di dalam perutnya.
Malam itu, Embun tidur di atas ranjangnya sembari memeluk selimut bayi untuk bayi lelakinya. Sungguh, ia merindukannya.
“Anak Mama, kau sedang apa? Maafkan Mama ya Nak, belum bisa menjemputmu!” gumamnya dengan perasaan yang teriris sembilu. Selimut itu sudah basàh oleh air matanya.
Tangisan Embun semakin kencang saat ia menghidu selimut bayi itu dengan membayangkan bahwa dirinya sedang memeluk bayinya yang sudah direnggut dari sisinya secara tiba-tiba.
****
“Dari mana saja kau?”
Bagas-ayah Embun langsung membentak putrinya kala ia baru saja tiba di rumah. Pria bertubuh tinggi besar itu memasang wajah garang di depan Embun.
Seketika Embun bergidik ngeri saat melihat kemarahan sang ayah. Ketika ia mengingat amarah sang ayah, mengingatkannya pada hukuman yang harus diterimanya. Ia akan dikurung di gudang sendirian sehari semalam. Padahal seharusnya Embun yang marah atas perlakuan sang ayah padanya. Bagas telah menjualnya pada Tuan Danar.
Mencengkram roknya dengan erat, Embun memberanikan diri menengadah, menatap sang ayah.
“A-Ayah, mengapa kau tega menjualku?”
Bagas tersentak mendengar pertanyaan Embun. Namun ia juga tahu pasti Embun akan kecewa dan kesal padanya atas perjanjian yang dilakukan dirinya dengan Danar.
“Kau mau tau jawabannya?”
Bagas menjawab dengan suara pelan namun terdengar dingin dan serius. Kemudian ia berjalan masuk dan meninggalkan putrinya di belakangnya.
Embun pun mengikuti langkah besar kaki sang ayah. Bagas duduk di sofa dengan wajah tegang.
Embun ikut duduk di seberangnya, tak sabar menunggu jawaban.
Bagas mengeluarkan setumpuk kertas lalu menaruhnya di atas meja.
Bola mata Embun membeliak saat melihat tumpukan kertas itu adalah bon berisi jumlah nominal utang bekas pengobatan ibunya yang menderita leukimia.
“Jadi Ibu selama ini sakit leukimia?”
Embun bertanya dengan suara yang sesak. Air matanya kembali luruh. Ibu Embun meninggal saat ia masih berusia tiga tahun. Embun mengira jika ibunya sakit biasa. Ternyata ibunya sakit leukimia.
Embun menatap kertas itu lalu menatap ayahnya. “Kenapa Ayah tidak bilang sebelumnya?”
“Embun, kau tahu rumah ini juga bukan rumah Ayah. Ini rumah milik Indira. Jika A-Ayah tidak menikahi Indira, bahkan Ayah tidak bisa menghidupimu!”
Embun merasa sesak. Ia sempat berpikir jika ayahnya memang telah menjualnya karena tidak menginginkannya.
“Tapi, Ayah, perbuatanmu itu sudah keterlaluan! Mengapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?”
Tatapan Embun beralih dari tumpukan kertas itu tertuju pada sang ayah.
Bagas memandang lurus putrinya kemudian menjawab. “Memberitahumu soal pernikahan kontrak? Memang kau bersedia?”
“Um, bukan begitu, Ayah! Tapi … cara ini tidaklah benar. Aku telah kehilangan bayiku, Ayah! Bayi itu makhluk hidup, Ayah! Bagaimana bisa kau memisahkan ibu dan bayinya. Itu bukan solusi, Ayah!”
Meskipun tindakan Ayahnya berniat baik. Namun tetap saja cara yang diambil keliru. Ia tidak menerima ide sang ayah.
“Terus, kau mau menjual diri?” sergah Bagas tak terima dengan respon putrinya. Kehadiran putrinya juga sangat tidak diharapkan. Baginya, Embun hanyalah beban.
“Astagfirullah, Ayah!” lirih Embun dengan hati yang mencelos. Betapa frontal kata-kata sang ayah padanya. Di manakah sosok ayah itu? Seharusnya sosok ayah itu bisa mengayomi putrinya, bukan melimpahkan kesalahan pada putrinya.
“Sudah, Embun! Maafkan Ayah! Ayah benar-benar bingung. Ayah tidak punya uang lagi. Ini juga A-Ayah sedang mencari modal untuk kebun kopi kita.”
Bagas berkelit sesuka hatinya. Ia menyalakan sebatang rokok kemudian menghisapnya dengan candu.
Embun menahan kelu di lidah. Ia bingung harus berbuat apa. Ternyata hutang ayahnya sangat banyak akibat ibu kandungnya. Pantas saja, Indira terlihat membencinya.
Namun Embun tak bisa menerima begitu saja. Ia ingin bayinya, bagaimanapun caranya!
‘Mungkin jika aku bisa mempunyai uang, aku bisa memperoleh bayiku kembali. Satu miliar? Dari mana aku bisa punya uang sebesar itu? Mereka pasti punya pengacara. Mereka pasti akan memilih jalur hukum untuk mendapatkan hak asuh bayiku,’
Embun hanya menghela nafas berat. Apakah mungkin ia bisa mendapatkan putranya kembali?
Dua minggu berlalu dengan cepat.Danar yang baru saja pulang dari kantor, langsung berjalan menuju kamar bayinya. Namun, pria itu tampak begitu terkejut.“Kenapa dia menangis?” gumamnya.Baru pertama kali mendengar bayinya menangis kencang. Seingatnya jika bayi itu menangis kencang maka pasti ia kehausan. “Anu, Tuan, dia mau menyusu!” jawab babysitter dengan perasaan cemas. Ia begitu takut saat berhadapan dengan Tuan Danar yang pemarah dan dingin. Babysitter berusia dua puluh tahunan itu pun menyingkir dan memberi jalan pada Danar untuk masuk ruangan khusus bayinya.Danar tidak langsung memangku bayinya. Ia baru saja pulang bekerja. Ia tidak ingin mengambil resiko menyentuh bayinya dalam keadaan tubuhnya kotor akibat bersimbah keringat. Pria berwajah dingin itu hanya menatap bayinya dengan tatapan teduh. Lantas ia bertanya pada babysitter yang mengasuh putranya. “Di mana Nyonya, Maya?”Maya-babysitter itu menjawab dengan tergeragap. “Anu … Tuan … Nyonya sedang di kamar.”Mendengar ja
Dua pekan sudah Embun berusaha menegarkan dirinya. Ia bertekad akan melanjutkan hidupnya. Ia akan mencoba mencari pengalaman baru bekerja di luar kota. Selain itu, ada hal yang mendesak pula sebagai alasan yaitu sang ayah yang ternyata masih terlilit hutang pada beberapa orang rentenir. Oleh karena itu, Embun akan mencoba peruntungan bekerja di kota kendati tidak memiliki pengalaman sedikit pun. Nyaris dua puluh satu tahun, Embun Ganita hanya menghabiskan waktunya di kota kembang. Setelah lulus sekolah menengah atas, Embun hanya menghabiskan waktunya di rumah, melakukan pekerjaan rumah tangga, sejak dini hari hingga malam menjemput. Adapun Bibik Lilis mulai bekerja di rumahnya ketika Embun dinikahi oleh Danar. Sebetulnya, Bagas tidak memberikan ijin Embun pergi keluar kota. Ia sudah memiliki rencana lain setelah putrinya itu berhenti nifas. Namun untuk mengendalikan kondisi psikis Embun yang tengah hancur akibat kehilangan bayinya, ia mengijinkannya. Ia yakin, Embun tidak akan berta
Barangkali bukan rezeki Embun untuk bekerja di cafe milik saudara temannya Yasmin?Ibu satu anak itu pun menghela napas.Digantinya seragam cafe dengan pakaian sebelumnya. Ia memutuskan berjalan keluar kafe dan berdiri mematung di tepi jalan dengan perasaan yang runyam. Ia bingung harus pulang ke apartemen Yasmin. Yasmin pasti marah padanya karena ia sudah merusak kepercayaan Yasmin. Padahal adik sambungnya itu sudah bersusah payah mencarikannya pekerjaan. “Ternyata, benar apa kata Ayah. Mencari kerja di kota sangat sulit. Apalagi aku hanya lulusan SMA di kampung.”Embun menghela nafas panjang. Tatapannya menyapu seluruh sudut jalan. Ia merasa dunianya kosong. Tangannya begitu saja mengusap perutnya. Lupa jika ia telah melahirkan. Mengingat bayinya yang tampan, dada Embun merasa sesak sekali. Hatinya terasa perih. Namun ia berusaha menegarkan dirinya kendati merasa hidup tidak adil baginya! Mengapa ia harus menanggung masalah ke dua orang tuanya?Jangan tanyakan perasaannya saat in
Di sisi lain, Danar langsung menyuruh asisten pribadinya--Gilang--untuk mencarikan ibu susu yang cocok untuk putranya. Untungnya, ia pun langsung membuka lowongan kerja untuk ibu susu anak tuannya dengan syarat yang ketat.Calon ibu susu untuk Sagara harus berasal dari wanita yang bertubuh sehat, resik dan berusia di bawah tiga puluh tahun. Selain itu, wanita itu juga harus mengikuti pemeriksaan medis oleh tim dokter yang khusus diundang datang ke sana.Saat Danar dan Mita berada di kantor masing-masing, di kediaman mewah Danar, Gilang dan Maya-babysitter mendadak menjadi Tim HRD yang tengah melakukan interview pada calon ibu susu untuk Sagara.Tak butuh waktu lama, para pelamar pun berdatangan. Hal pertama yang akan mereka jalani yakni proses interview. Bukan tanpa alasan, Gilang harus memastikan jika asal usul keluarga calon ibu susu jelas. Setelah itu, tahap ke dua yakni mereka akan menjalani pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu oleh tim dokter spesialis. Barulah di tahap terakhi
Embun pun pergi bersama Mbak Nuri menuju kediaman mewah Danar Yudistira. Dalam waktu empat puluh menit, akhirnya mereka tiba di sana. Kedatangan mereka disambut oleh pemandangan yang luar biasa indahnya. Sebuah hunian berlantai tiga yang menampilkan desain modern-kontemporer. Rumah mewah itu dibangun dengan perpaduan beberapa unsur di antaranya material kayu, material non finish dan material batu alam. Hingga tanpa sàdar, Embun menganga melihatnya.Belum lagi pemandangan hamparan taman yang luas mirip permadani karena ditumbuhi rumput gajah yang estetis. Area garasi dan carport yang lengkap diisi oleh mobil-mobil mewah yang berjejer rapi. Ia seperti tengah memasuki negeri dongeng.Namun hanya dalam hitungan sepersekian detik, senyum Embun memudar setelah mengagumi keindahan yang terpampang di depan matanya. Hatinya merasa teriris. Rupanya, suaminya itu bukan orang sembarangan. Suaminya seorang sultan dengan harta kekayaan yang melimpah. Ironis, baginya ia tidak peduli asal usul siapa
Tak lama, senyum kelegaan terbit di wajah mereka yang seharian letih mencari ibu susu untuk Tuan muda itu.Di sisi lain, Embun menatap bayinya dengan penuh kasih sayang dan rindu.‘Sayang, jadi selama ini kau hanya minum susu formula? Betapa tega Papamu, Nak. Tapi tenang saja, mulai saat ini Mama akan merawatmu. Apapun yang terjadi.’Masih menggendong Sagara, Embun pun memilih duduk. Ia akan menyusui bayinya. Namun seketika tatapannya tertuju pada Gilang yang masih berada di kamar itu.Menyadari tatapan Embun tertuju padanya, Gilang berkata padanya. “Hum, maaf ya Mbak Embun, Tuan Danar meminta saya untuk tetap mengawasi Tuan Sagara saat Anda menyusuinya. Tidak selamanya, hanya saat masa training. Ya begitu,” katanya dengan sedikit sungkan. Embun merasa kecewa karena ia merasa risih jika harus menyusui di depan orang lain baik itu wanita maupun pria. Ia pun berinisiatif memunggungi Gilang dan ke dua babysitter Sagara. Ia segera melepas empat kancing kemeja teratas yang dipakainya. Ia
Saat hendak pulang dari kantor, tiba-tiba saja Danar mendengar kabar buruk yang menimpa istri tercinta. Mita mengalami kecelakaan. Ia pun segera pergi ke rumah sakit.Awalnya, Danar akan segera pulang karena harus mengurus perihal calon ibu susu untuk anaknya. Namun saat yang sama Gilang pun mengabarinya bahwa ia sudah mendapatkan ibu susu yang tepat untuk Sagara.Danar pun merasa lega dan memutuskan untuk melihat istrinya ke rumah sakit. Mita tertabrak motor saat pulang dari kantornya. Ke dua suami istri tersebut memang memiliki perusahaan masing-masing. Sehingga mereka memiliki kantor yang jelas berbeda tempat. Mereka hanya bertemu saat jam makan siang. Itupun ketika ke duanya tidak sibuk.“Sayang, kenapa kau tidak hati-hati!” imbuh Danar membelai lembut pipi istrinya. Ia sangat syok saat mendengar kabar tentang istrinya yang tertabrak motor ketika ia sedang menepikan kendaraan beroda empat miliknya di depan sebuah restoran.Area parkir restoran itu penuh sehingga dengan terpaksa, Mi
Setelah sedikit berdebat dengan Yasmin, akhirnya Embun bisa pergi dari apartemennya. Kali ini Embun membuat sebuah penolakan. Yasmin sampai tidak percaya akan keputusan kakak sambungnya itu. Embun mengatakan padanya bahwa ia bekerja menjadi seorang art di salah satu perumahan elit di sana.Embun pun tiba kembali di kediaman mantan suaminya hampir larut malam. Sebelum diantar menuju paviliun yang akan ditempatinya, Maya meminta Embun untuk memompa susunya dan menyimpannya dalam botol. Sagara terbiasa bangun malam dan pasti akan meminta susu. Tak mungkin ‘kan Maya menyuruh Embun datang malam-malam ke sana. Mengingat aturan yang dibuat oleh Danar untuk ibu susu Sagara.Embun memompa ASI nya dengan senang hati. Setelahnya, ia pun diantara Mbak Nuri menuju ke paviliun di mana ia akan tinggal di sana bersama beberapa art wanita lainnya. Berbeda dengan Mbak Nuri yang sudah mendapat kepercayaan penuh dari Danar hingga ia bisa menempati rumah utama.“Makasih, Mbak Nuri,” kata Embun menatap wan
“Sulis, kemana calon cucu menantu? Mama pengen ketemu. Sudah lama dia gak datang. Apa hubungan mereka baik-baik aja?”Hanum bertanya pada Sulis soal Serina. Dengan berjalan tertatih, Hanum menghampiri Sulis yang tengah berdiri di depan kompor. Sulis sedang memasak puding untuk mertua kesayangannya. Ia sedang menginap di rumah Hanum.Mendengar suara Hanum, Sulis buru-buru mematikan kompor dan menghampirinya. “Mama, mau apa? Nanti Sulis ambilin. Mama kan lagi kurang sehat. Mama diam aja di kamar.”Hanum terlihat berwajah masam mendengar nasehat menantunya. Ia tidak mau diperlakukan seperti orang sakit dan orang jompo meskipun kenyataannya demikian.Alih-alih merespon menantunya, Hanum kembali berkata dan menanyakan Serina. “Kenapa kamu gak ajak Serina? Mama kepikiran dia terus. Bagaimana kabarnya?”Sulis terdiam mendengar rentetan kalimat yang mama mertuanya sampaikan. Ia malas membahas soal gadis itu. Sebagai seorang ibu, ia bisa merasakan jika Serina sepertinya bukan gadis yang cocok
“Jangan! Please! Aku gak tau siapa dia!” seru pria bertato dengan perasaan takut. Cairan bening sudah menggenang di sudut matanya. Rian tidak main-main dengan ancamannya. Cengkraman tangannya sangat kuat. Pria itu nyaris kehilangan pasokan oksigen.Mata Rian nyaris loncat dari tempatnya saat mendengar pengakuan pria itu. Pria bajingan itu ingin lepas begitu saja namun ia tidak mau membeberkan Bos yang menyuruh mereka.“Lempar saja dari rooftop!” pekik Rian kemudian menendang perut pria itu.Pria itu terbatuk-batuk. Ia terlihat sangat ketakutan. Dua orang pria yang tak lain rekan Rian langsung menarik lengan pria yang diikat dengan tambang. Mereka menyeret pria itu dan segera membawanya ke lantai atas. Pria itu sontak berkata kembali.“Jangan! Aku benar gak tau! Wajahnya pake masker. Dia cuma ngasih perintah dan bayar kami. Udah gitu dia pergi!”“Benar, emang dia gak lihatin wajahnya,” timpal pria asing lainnya.Rian mendengus pelan. Benar-benar tidak masuk akal!Namun dari tatapan me
Tak terasa hari demi hari telah dilewati oleh Jeena dengan latihan persiapan debut. Ia senang sekali karena ia dan Dion mulai mendapatkan chemistry. Mereka bisa menunjukan penampilan perdana untuk debut sebentar lagi.Tak hanya itu, Jeena juga merasa senang karena semenjak ia melapor pada pihak kampus, mobilnya kini tidak ada lagi yang merusak. Jeena tidak tahu jika di balik semua itu ada campur tangan Manggala. Manggala telah menemukan orang yang berusaha mengganggu Jeena. Meskipun mereka menjalani hubungan LDR, Manggala menempatkan beberapa pengawal untuk menjaganya dari jarak jauh. “Sekarang kita akan pergi ke butik! Ayo semangat! Kita akan cari kostum untuk tampil,” seru Laura di depan para mahasiswa calon peserta debut acara Amal.Jeena ikut rombongan Laura pergi ke butik langganannya. Mereka akan memilih kostum untuk tampil. Mobil-mobil mewah dari area kampus itu pun keluar dan merangkak membelah jalan di kota NY menuju sebuah butik milik desainer ternama."Jeena dan Dion kema
Akhirnya, terpaksa, Laila ikut bersedia menumpang mobil milik Beryl. Daya ponsel miliknya mati oleh karena itu ia tidak bisa memesan ojek online. Jika ia menunggu angkutan umum akan lama dan ia bisa terlambat pulang ke rumah.Sisi lain, Serina sebetulnya keberatan Laila ikut. Namun salah sendiri ia mencoba membujuk Beryl–yang ternyata di luar dugaan bersedia mengantar Laila pulang. Sungguh, tidak sesuai rencana.Sial, Serina harus lebih dulu turun di kontrakan elit yang disewa oleh Hanum untuknya. Oleh karena itu pasti Beryl akan berduaan dengan Laila. Gadis bermata biru itu merasa menyesal telah mengajak Laila.Selama perjalanan pulang, Serina begitu berisik. Ia bercerita banyak hal pada Beryl. Padahal Beryl hanya menanggapinya dengan gumaman dan anggukan kecil. Gadis itu tampak seperti gadis lugu yang polos.“Dulu waktu di Jogja, aku dan Laila berteman. Kami diam-diam suka pergi jalan-jalan untuk makan bakso. Laila suka diam-diam keluar pondok. Masih ingat gak Laila?”Serina mulai m
[Pak, pengawal Nona Jeena pulang. Tapi sepertinya, Nona Jeena tidak mengatakan pada siapapun. Terbukti ibunya juga tidak tahu kalau pengawalnya pulang.][Apa? Jadi dia sendirian di apartemen?][Iya, Pak.]Manggala mengepalkan ke dua tangannya erat. Mengapa Jeena berdusta padanya? Mungkin Jeena tidak ingin membuatnya khawatir. Namun sikapnya seperti itu justru semakin membuat Manggala khawatir. [Pak, satu lagi, hari ini mobil Nona ada yang mencorat coret. Maaf, saya tidak menyaksikan langsung. Soalnya saya tidak bisa masuk ke kampus begitu saja. Saya hanya mengamati Nona Jeena dari kejauhan. Nona Jeena naik mobil seorang pria bernama Dion. Mobilnya dibawa ke bengkel oleh orang suruhannya.]Manggala semakin geram mendengar laporan dari anak buahnya. Pasti ada orang yang berusaha mengganggu Jeena atau bahkan mencelakainya. [Kamu lihat siapa pelakunya?]Manggala mulai menginterogasi anak buahnya.[Maaf, Pak. Saya tadi sempat buang air kecil. Jadi, saya buru-buru cari toilet. Kejadiannya
Jeena mulai latihan kembali di kampus. Sore itu ia berlatih piano dengan Dion. Hampir dua jam lamanya mereka berlatih dengan keras di bawah bimbingan Laura.Clap, clap, clap,Beberapa anak mahasiswa yang ikut masuk untuk melihat latihan bertepuk tangan. Mereka menatap pertunjukan Jeena dan Dion dengan penuh takjub.Tak lama kemudian Laura mengangkat ke dua tangannya dan meminta Jeena dan Dion berhenti.“Cukup untuk hari ini!” pekik Laura dengan mengusap keningnya dengan yang basah karena keringat. Wanita yang sudah tidak lagi muda itu harus segera pulang. Sore sudah menjelang dan ia tidak ingin pulang kemalaman karena jarak rumah dan kampus sangat jauh, berbeda dengan Jeena dan Dion.Jeena dan Dion saling tatap dan melempar senyum. Mereka cukup puas latihan hari itu. Mereka merasa sudah berusaha menampilkan Performa yang maksimal. Selanjutnya, mereka akan mencari dress code untuk dipakai saat acara nanti. Mereka harus berpenampilan sempurna dengan pakaian yang senada.“Makasih buat har
Jam terasa merangkak lama. Setelah mengakhiri panggilan dari Manggala, Jeena pasrah untuk tidak menelepon yang lain. Ia sudah keburu ngantuk dan kesal.Nada bicara Manggala terdengar marah dan cemburu. Ia selalu memperingati Jeena untuk menjauhi Dion. Namun ia juga tidak memberikan alasannya. Jeena merasa pikiran Manggala itu terlalu dibuat-buat. Padahal Jeena hanya berurusan dengan Dion terkait dengan persiapan debut. Selebihnya ia tidak pernah berhubungan secara langsung. Mungkin satu-satunya alasan Manggala menyuruhnya menjauhi Dion hanyalah karena cemburu buta.“Mas Gala berlebihan,” gumam Jeena yang mulai menguap. Sebetulnya Jeena ingin mengadu soal ia menemukan sebuah surat misterius dari seseorang pada Manggala. Namun pasti Manggala akan semakin cemas padanya. Semua akan semakin rumit bagi wanita bermanik almond itu. Terlebih ia merasa sangat lelah. Biarlah besok ia akan membahasnya dengan Rosa.Jeena pun pergi ke kamar tidur setelah mematikan lampu seluruh ruangan apartemen.
Saat ini Laila seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Ia tidak bisa maju maupun mundur. Jika ia mengundurkan diri dari pekerjaan, maka ia akan mendapatkan penalti karena gadis itu sudah menandatangani surat perjanjian kontrak kerja. Ia tidak bisa mengundurkan diri dari pekerjaan apapun yang terjadi dalam kurung waktu satu tahun jabatannya.Sebaliknya, jika ia terus bekerja, ia akan terus merasa menderita. Karena kesalahan yang tidak dilakukannya akhirnya jabatannya di kantor diturunkan menjadi seorang staf. Otomatis gaji yang diperolehnya tiap bulan lebih kecil dari sebelumnya. Namun gadis bercadar itu tidak punya pilihan. Ia pasrah sampai ia bisa bekerja di sana selama setahun sesuai perjanjian kontrak.“Laila, aku turut prihatin. Aku gak tahu kenapa Pak Beryl sampai marah besar padamu gara-gara Pak Surya. Tapi kamu masih beruntung lo. Soalnya waktu itu Pak Beryl pernah pecat manajer SDM dan gak ada drama jabatannya turun. Padahal kesalahannya kecil banget.”Serina menepuk-nep
“Panggil Laila!"Beryl membentak Zuned sesaat mereka telah melakukan meeting internal para petinggi di kantornya. Semua peserta rapat terdiri dari pemimpin di semua divisi. Zuned tergugu kaget mendengar bentakan Beryl padanya. Pemuda itu memang pemarah mirip seperti ayahnya. Namun ia lebih pemarah karena sering memecat pegawai dengan seenaknya jika melakukan hal sepele.“Maaf, Pak Beryl. Kalau boleh saya tahu mengapa Bapak meminta saya untuk memanggil Laila? Apa Laila berbuat kesalahan?” tanya Zuned sangat berhati-hati. Ia sangat ketat dalam mengajari Laila. Laila juga cepat menguasai pekerjaannya. Selama dalam masa probation, kinerja Laila cukup memuaskan.Mengapa Beryl semarah itu pada Laila? Pasti Laila telah berbuat kesalahan."Pak Surya membatalkan kerjasama!" lanjut Beryl bernada emosi.Setelah dipanggil oleh Beryl, Zuned segera menuju ruangannya dengan wajah merah karena kesal. Baru saja ia menikmati euforia karena menenangkan pesanan yang banyak dari India melalui Surya Pradi