Menaiki angkutan umum, Embun pergi ke sebuah villa sederhana dekat hutan pinus yang ia tinggali saat menjalani pernikahan dengan Danar Yudistira.
Setelah dipersunting oleh Danar, Embun langsung diboyong oleh pria itu untuk menempati villa yang sepi dan sunyi itu. Letak villa itu jauh dari pemukiman warga. Di sana Embun tinggal dengan seorang asisten rumah tangga dan seorang security. Namun villa itu kini kosong!
Usai ijab qabul, Danar hanya menginap semalam untuk melakukan ritual malam pertama dengan Embun. Keesokan harinya Danar pergi keluar kota karena harus bekerja. Perusahaan miliknya berada di luar kota.
Semenjak menikahi Embun, hanya dalam hitungan jari, Danar pulang ke villa itu. Lagi, ia hanya datang untuk meminta haknya sebagai suami dan mengecek kehamilan Embun. Embun yang lugu tidak pernah menaruh curiga pada Danar.
Air mata Embun kini tak terbendung ketika mengingat keping demi keping kenangan yang dilewatinya bersama Danar. Pantas saja, Danar hanya bersikap seperlunya padanya. Sebaliknya, Embun selalu menyambutnya bagaikan seorang raja. Kepulangannya ialah hal yang paling ditunggunya. Ia melayani Danar dengan sangat baik.
“Tuan Danar, mengapa kau tega berbuat ini padaku?”
Baru saja kakinya melangkah, menginjak halaman villa, hatinya berdenyut pilu. Di sana, biasanya Danar memarkirkan mobil jeep Cherokee miliknya, dekat tanaman bunga mawar yang ditanamnya.
Embun pun mengayunkan kakinya menuju dalam villa. Ia masih menyimpan kuncinya. Ia masuk ke dalam dengan perasaan yang pedih. Ia berjalan perlahan menuju kamar miliknya bersama dengan Danar. Ia pun menatap sesaat foto dirinya bersama Danar saat walimah. Frame foto berukuran kecil yang ditaruhnya di atas nakas samping tempat tidur. Kemudian tatapannya tertuju pada ranjang bayi yang sudah ia persiapkan untuk bayi mereka.
Melihat pemandangan itu, air mata Embun kembali deras. Tubuhnya kembali merosot ke lantai. Seketika bayangan indah melintas. Di kamar itu, untuk pertama kalinya Danar menyentuhnya dengan lembut. Namun ternyata di balik semua itu Danar hanyalah seorang penipu ulung. Semua orang telah memanfaatkan kepolosan dirinya.
Selang satu kedipan mata, tatapan Embun tertuju pada sebuah sofa bed yang berada di samping ranjang besar itu, di sanalah ia duduk sembari mengajak mengobrol janinnya saat masih di dalam perutnya.
Malam itu, Embun tidur di atas ranjangnya sembari memeluk selimut bayi untuk bayi lelakinya. Sungguh, ia merindukannya.
“Anak Mama, kau sedang apa? Maafkan Mama ya Nak, belum bisa menjemputmu!” gumamnya dengan perasaan yang teriris sembilu. Selimut itu sudah basàh oleh air matanya.
Tangisan Embun semakin kencang saat ia menghidu selimut bayi itu dengan membayangkan bahwa dirinya sedang memeluk bayinya yang sudah direnggut dari sisinya secara tiba-tiba.
****
“Dari mana saja kau?”
Bagas-ayah Embun langsung membentak putrinya kala ia baru saja tiba di rumah. Pria bertubuh tinggi besar itu memasang wajah garang di depan Embun.
Seketika Embun bergidik ngeri saat melihat kemarahan sang ayah. Ketika ia mengingat amarah sang ayah, mengingatkannya pada hukuman yang harus diterimanya. Ia akan dikurung di gudang sendirian sehari semalam. Padahal seharusnya Embun yang marah atas perlakuan sang ayah padanya. Bagas telah menjualnya pada Tuan Danar.
Mencengkram roknya dengan erat, Embun memberanikan diri menengadah, menatap sang ayah.
“A-Ayah, mengapa kau tega menjualku?”
Bagas tersentak mendengar pertanyaan Embun. Namun ia juga tahu pasti Embun akan kecewa dan kesal padanya atas perjanjian yang dilakukan dirinya dengan Danar.
“Kau mau tau jawabannya?”
Bagas menjawab dengan suara pelan namun terdengar dingin dan serius. Kemudian ia berjalan masuk dan meninggalkan putrinya di belakangnya.
Embun pun mengikuti langkah besar kaki sang ayah. Bagas duduk di sofa dengan wajah tegang.
Embun ikut duduk di seberangnya, tak sabar menunggu jawaban.
Bagas mengeluarkan setumpuk kertas lalu menaruhnya di atas meja.
Bola mata Embun membeliak saat melihat tumpukan kertas itu adalah bon berisi jumlah nominal utang bekas pengobatan ibunya yang menderita leukimia.
“Jadi Ibu selama ini sakit leukimia?”
Embun bertanya dengan suara yang sesak. Air matanya kembali luruh. Ibu Embun meninggal saat ia masih berusia tiga tahun. Embun mengira jika ibunya sakit biasa. Ternyata ibunya sakit leukimia.
Embun menatap kertas itu lalu menatap ayahnya. “Kenapa Ayah tidak bilang sebelumnya?”
“Embun, kau tahu rumah ini juga bukan rumah Ayah. Ini rumah milik Indira. Jika A-Ayah tidak menikahi Indira, bahkan Ayah tidak bisa menghidupimu!”
Embun merasa sesak. Ia sempat berpikir jika ayahnya memang telah menjualnya karena tidak menginginkannya.
“Tapi, Ayah, perbuatanmu itu sudah keterlaluan! Mengapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?”
Tatapan Embun beralih dari tumpukan kertas itu tertuju pada sang ayah.
Bagas memandang lurus putrinya kemudian menjawab. “Memberitahumu soal pernikahan kontrak? Memang kau bersedia?”
“Um, bukan begitu, Ayah! Tapi … cara ini tidaklah benar. Aku telah kehilangan bayiku, Ayah! Bayi itu makhluk hidup, Ayah! Bagaimana bisa kau memisahkan ibu dan bayinya. Itu bukan solusi, Ayah!”
Meskipun tindakan Ayahnya berniat baik. Namun tetap saja cara yang diambil keliru. Ia tidak menerima ide sang ayah.
“Terus, kau mau menjual diri?” sergah Bagas tak terima dengan respon putrinya. Kehadiran putrinya juga sangat tidak diharapkan. Baginya, Embun hanyalah beban.
“Astagfirullah, Ayah!” lirih Embun dengan hati yang mencelos. Betapa frontal kata-kata sang ayah padanya. Di manakah sosok ayah itu? Seharusnya sosok ayah itu bisa mengayomi putrinya, bukan melimpahkan kesalahan pada putrinya.
“Sudah, Embun! Maafkan Ayah! Ayah benar-benar bingung. Ayah tidak punya uang lagi. Ini juga A-Ayah sedang mencari modal untuk kebun kopi kita.”
Bagas berkelit sesuka hatinya. Ia menyalakan sebatang rokok kemudian menghisapnya dengan candu.
Embun menahan kelu di lidah. Ia bingung harus berbuat apa. Ternyata hutang ayahnya sangat banyak akibat ibu kandungnya. Pantas saja, Indira terlihat membencinya.
Namun Embun tak bisa menerima begitu saja. Ia ingin bayinya, bagaimanapun caranya!
‘Mungkin jika aku bisa mempunyai uang, aku bisa memperoleh bayiku kembali. Satu miliar? Dari mana aku bisa punya uang sebesar itu? Mereka pasti punya pengacara. Mereka pasti akan memilih jalur hukum untuk mendapatkan hak asuh bayiku,’
Embun hanya menghela nafas berat. Apakah mungkin ia bisa mendapatkan putranya kembali?
Dua minggu berlalu dengan cepat.Danar yang baru saja pulang dari kantor, langsung berjalan menuju kamar bayinya. Namun, pria itu tampak begitu terkejut.“Kenapa dia menangis?” gumamnya.Baru pertama kali mendengar bayinya menangis kencang. Seingatnya jika bayi itu menangis kencang maka pasti ia kehausan. “Anu, Tuan, dia mau menyusu!” jawab babysitter dengan perasaan cemas. Ia begitu takut saat berhadapan dengan Tuan Danar yang pemarah dan dingin. Babysitter berusia dua puluh tahunan itu pun menyingkir dan memberi jalan pada Danar untuk masuk ruangan khusus bayinya.Danar tidak langsung memangku bayinya. Ia baru saja pulang bekerja. Ia tidak ingin mengambil resiko menyentuh bayinya dalam keadaan tubuhnya kotor akibat bersimbah keringat. Pria berwajah dingin itu hanya menatap bayinya dengan tatapan teduh. Lantas ia bertanya pada babysitter yang mengasuh putranya. “Di mana Nyonya, Maya?”Maya-babysitter itu menjawab dengan tergeragap. “Anu … Tuan … Nyonya sedang di kamar.”Mendengar ja
Dua pekan sudah Embun berusaha menegarkan dirinya. Ia bertekad akan melanjutkan hidupnya. Ia akan mencoba mencari pengalaman baru bekerja di luar kota. Selain itu, ada hal yang mendesak pula sebagai alasan yaitu sang ayah yang ternyata masih terlilit hutang pada beberapa orang rentenir. Oleh karena itu, Embun akan mencoba peruntungan bekerja di kota kendati tidak memiliki pengalaman sedikit pun. Nyaris dua puluh satu tahun, Embun Ganita hanya menghabiskan waktunya di kota kembang. Setelah lulus sekolah menengah atas, Embun hanya menghabiskan waktunya di rumah, melakukan pekerjaan rumah tangga, sejak dini hari hingga malam menjemput. Adapun Bibik Lilis mulai bekerja di rumahnya ketika Embun dinikahi oleh Danar. Sebetulnya, Bagas tidak memberikan ijin Embun pergi keluar kota. Ia sudah memiliki rencana lain setelah putrinya itu berhenti nifas. Namun untuk mengendalikan kondisi psikis Embun yang tengah hancur akibat kehilangan bayinya, ia mengijinkannya. Ia yakin, Embun tidak akan berta
Barangkali bukan rezeki Embun untuk bekerja di cafe milik saudara temannya Yasmin?Ibu satu anak itu pun menghela napas.Digantinya seragam cafe dengan pakaian sebelumnya. Ia memutuskan berjalan keluar kafe dan berdiri mematung di tepi jalan dengan perasaan yang runyam. Ia bingung harus pulang ke apartemen Yasmin. Yasmin pasti marah padanya karena ia sudah merusak kepercayaan Yasmin. Padahal adik sambungnya itu sudah bersusah payah mencarikannya pekerjaan. “Ternyata, benar apa kata Ayah. Mencari kerja di kota sangat sulit. Apalagi aku hanya lulusan SMA di kampung.”Embun menghela nafas panjang. Tatapannya menyapu seluruh sudut jalan. Ia merasa dunianya kosong. Tangannya begitu saja mengusap perutnya. Lupa jika ia telah melahirkan. Mengingat bayinya yang tampan, dada Embun merasa sesak sekali. Hatinya terasa perih. Namun ia berusaha menegarkan dirinya kendati merasa hidup tidak adil baginya! Mengapa ia harus menanggung masalah ke dua orang tuanya?Jangan tanyakan perasaannya saat in
Di sisi lain, Danar langsung menyuruh asisten pribadinya--Gilang--untuk mencarikan ibu susu yang cocok untuk putranya. Untungnya, ia pun langsung membuka lowongan kerja untuk ibu susu anak tuannya dengan syarat yang ketat.Calon ibu susu untuk Sagara harus berasal dari wanita yang bertubuh sehat, resik dan berusia di bawah tiga puluh tahun. Selain itu, wanita itu juga harus mengikuti pemeriksaan medis oleh tim dokter yang khusus diundang datang ke sana.Saat Danar dan Mita berada di kantor masing-masing, di kediaman mewah Danar, Gilang dan Maya-babysitter mendadak menjadi Tim HRD yang tengah melakukan interview pada calon ibu susu untuk Sagara.Tak butuh waktu lama, para pelamar pun berdatangan. Hal pertama yang akan mereka jalani yakni proses interview. Bukan tanpa alasan, Gilang harus memastikan jika asal usul keluarga calon ibu susu jelas. Setelah itu, tahap ke dua yakni mereka akan menjalani pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu oleh tim dokter spesialis. Barulah di tahap terakhi
Embun pun pergi bersama Mbak Nuri menuju kediaman mewah Danar Yudistira. Dalam waktu empat puluh menit, akhirnya mereka tiba di sana. Kedatangan mereka disambut oleh pemandangan yang luar biasa indahnya. Sebuah hunian berlantai tiga yang menampilkan desain modern-kontemporer. Rumah mewah itu dibangun dengan perpaduan beberapa unsur di antaranya material kayu, material non finish dan material batu alam. Hingga tanpa sàdar, Embun menganga melihatnya.Belum lagi pemandangan hamparan taman yang luas mirip permadani karena ditumbuhi rumput gajah yang estetis. Area garasi dan carport yang lengkap diisi oleh mobil-mobil mewah yang berjejer rapi. Ia seperti tengah memasuki negeri dongeng.Namun hanya dalam hitungan sepersekian detik, senyum Embun memudar setelah mengagumi keindahan yang terpampang di depan matanya. Hatinya merasa teriris. Rupanya, suaminya itu bukan orang sembarangan. Suaminya seorang sultan dengan harta kekayaan yang melimpah. Ironis, baginya ia tidak peduli asal usul siapa
Tak lama, senyum kelegaan terbit di wajah mereka yang seharian letih mencari ibu susu untuk Tuan muda itu.Di sisi lain, Embun menatap bayinya dengan penuh kasih sayang dan rindu.‘Sayang, jadi selama ini kau hanya minum susu formula? Betapa tega Papamu, Nak. Tapi tenang saja, mulai saat ini Mama akan merawatmu. Apapun yang terjadi.’Masih menggendong Sagara, Embun pun memilih duduk. Ia akan menyusui bayinya. Namun seketika tatapannya tertuju pada Gilang yang masih berada di kamar itu.Menyadari tatapan Embun tertuju padanya, Gilang berkata padanya. “Hum, maaf ya Mbak Embun, Tuan Danar meminta saya untuk tetap mengawasi Tuan Sagara saat Anda menyusuinya. Tidak selamanya, hanya saat masa training. Ya begitu,” katanya dengan sedikit sungkan. Embun merasa kecewa karena ia merasa risih jika harus menyusui di depan orang lain baik itu wanita maupun pria. Ia pun berinisiatif memunggungi Gilang dan ke dua babysitter Sagara. Ia segera melepas empat kancing kemeja teratas yang dipakainya. Ia
Saat hendak pulang dari kantor, tiba-tiba saja Danar mendengar kabar buruk yang menimpa istri tercinta. Mita mengalami kecelakaan. Ia pun segera pergi ke rumah sakit.Awalnya, Danar akan segera pulang karena harus mengurus perihal calon ibu susu untuk anaknya. Namun saat yang sama Gilang pun mengabarinya bahwa ia sudah mendapatkan ibu susu yang tepat untuk Sagara.Danar pun merasa lega dan memutuskan untuk melihat istrinya ke rumah sakit. Mita tertabrak motor saat pulang dari kantornya. Ke dua suami istri tersebut memang memiliki perusahaan masing-masing. Sehingga mereka memiliki kantor yang jelas berbeda tempat. Mereka hanya bertemu saat jam makan siang. Itupun ketika ke duanya tidak sibuk.“Sayang, kenapa kau tidak hati-hati!” imbuh Danar membelai lembut pipi istrinya. Ia sangat syok saat mendengar kabar tentang istrinya yang tertabrak motor ketika ia sedang menepikan kendaraan beroda empat miliknya di depan sebuah restoran.Area parkir restoran itu penuh sehingga dengan terpaksa, Mi
Setelah sedikit berdebat dengan Yasmin, akhirnya Embun bisa pergi dari apartemennya. Kali ini Embun membuat sebuah penolakan. Yasmin sampai tidak percaya akan keputusan kakak sambungnya itu. Embun mengatakan padanya bahwa ia bekerja menjadi seorang art di salah satu perumahan elit di sana.Embun pun tiba kembali di kediaman mantan suaminya hampir larut malam. Sebelum diantar menuju paviliun yang akan ditempatinya, Maya meminta Embun untuk memompa susunya dan menyimpannya dalam botol. Sagara terbiasa bangun malam dan pasti akan meminta susu. Tak mungkin ‘kan Maya menyuruh Embun datang malam-malam ke sana. Mengingat aturan yang dibuat oleh Danar untuk ibu susu Sagara.Embun memompa ASI nya dengan senang hati. Setelahnya, ia pun diantara Mbak Nuri menuju ke paviliun di mana ia akan tinggal di sana bersama beberapa art wanita lainnya. Berbeda dengan Mbak Nuri yang sudah mendapat kepercayaan penuh dari Danar hingga ia bisa menempati rumah utama.“Makasih, Mbak Nuri,” kata Embun menatap wan
Parkiran itu masih basah sisa hujan semalam. Lampu-lampu jalan menerangi aspal dengan cahaya kuning pucat. Alby sedang duduk di atas motornya, memainkan nada-nada pelan dengan jemari di pahanya, seolah ada piano tak kasat mata di sana.Levina berdiri di depannya. Dingin, seperti biasa. Jaket hitamnya masih basah di pundak, tapi wajahnya tak menunjukkan rasa dingin sedikit pun.Levina menatap Alby dengan tatapan rumit. “Menikahlah denganku.”Hening.Lalu Alby menjatuhkan jaket yang tadi disampirkan di bahunya. “Aku mimpi, kan?”“Tidak.”Levina mengeluarkan map cokelat dari tasnya. “Ini kontrak pernikahan. Setahun. Aku butuh ini untuk memenuhi syarat warisan. Ayah ngotot aku harus menikah dulu sebelum bisa dapat akses ke sebagian aset dan warisan almarhum Kakek.”Alby menatap map itu seolah sedang menatap alat musik rusak. “Jadi... bukan karena kamu nerima cintaku?”“Tidak,” jawab Levina cepat. Lalu menambahkan, “Tapi karena kamu bisa diandalkan.”Alby mengerjapkan mata. “Itu pujian ata
“Gue punya Mariyam sekarang,” ucap Beryl pelan. “Anak perempuan mungil yang matanya selalu nyariin bapaknya kalau bangun. Lo tahu perasaan itu? Lo gak bisa bayangin jadi seorang papa,”Alby tidak menjawab. Ia juga ingin merasakan menjadi seorang ayah. Namun, naasnya, ia belum mendapat jodohnya.“Laila pasti kecewa banget kalau tahu gue balik ke jalanan, meskipun cuman jadi penonton. Buat Laila, gue udah selesai sama kegiatan unfaedah. Gak ada balapan, minum dan nongkrong yang gak jelas. Gue … udah tobat.”Alby menunduk, menyembunyikan ekspresi kecewa yang mulai muncul. Tapi ia tidak marah. Ia mengerti. Hanya saja, hatinya terasa hampa malam itu, dan ia berharap kebersamaan mereka bisa mengisi ruang kosong itu meski sebentar.“Aku bukan ayah. Bukan suami. Dan satu-satunya hal yang kurasa aku bisa lakukan dengan benar adalah menaklukkan aspal dan tikungan,” gumam Alby.“Lo lebih dari itu,” potong Beryl lembut. “Lo adalah saudara kembar gue. Dan gue lebih kenal lo daripada lo sendiri, By,
Pukul satu dini hari. Salah satu kamar di kediaman Sulis yang sunyi kini terdengar berisik karena suara cucunya. Laila melahirkan seorang bayi perempuan untuk keluarga Basalamah. Kini bayi cantik yang mirip sekali sang ayah sudah berusia lima bulan.Malam itu buah hati hasil pernikahan Laila dan Beryl sedang sakit setelah menempuh perjalanan udara dari Malaysia, menemui kakeknya.Beryl membuka mata dengan satu kelopak, pelan-pelan, berharap itu cuma mimpi. Tapi tangisan itu nyata dan makin keras. Tangisan Mariyam memantul di dinding kamar.“Sayang… giliran kamu…” gumamnya sambil menepuk sisi ranjang yang kosong.Sayang, Laila tidak ada di sisinya.Beryl langsung terduduk, panik. “Laila?”Dari kamar mandi terdengar suara orang muntah. Beryl menghela napas. “Lagi?”Beryl pun berinisiatif langsung memangku bayi cantiknya yang berada di dalam box bayi ke dalam pelukannya. “Sayang, mau minum susu ya? Tunggu Ummi ya,”Naasnya, Mariyam tidak mau diam. Ia terus menangis dan meronta hingga memb
Suara sendok dan garpu beradu pelan di ruang makan besar yang dingin. Levina menatap kosong piring di depannya, sementara Mahesa, mantan jenderal yang kini lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerjanya, duduk tegak seperti sedang memimpin rapat penting. Agatha, ibu tiri Levina, menyajikan sup dengan senyum dipaksakan, seakan tak ingin suasana makan malam itu berubah menjadi perang dingin seperti sebelumnya.Setelah sekian lama, akhirnya Levina bersedia datang ke rumah sang ayah malam itu. Ia berusaha berdamai dengan keadaan. Ia pulang ke rumah Mahesa.“Bagaimana pekerjaanmu sekarang, Levina?” tanya Agatha, berusaha mencairkan suasana.Levina hanya mengangguk. “Baik.”Mahesa menaruh garpunya. “Kamu kerja sebagai pengawal di keluarga Basalamah!”Deg,Dari mana ayahnya tahu soal pekerjaan yang dilakukannya? Oh, Levina lupa jika ayahnya masih punya kekuasan. Dengan mudah ia menyuruh seseorang untuk membuntutinya.Levina diam tidak berkomentar. Ia sàdar, jika ia salah ucap, bisa terjadi
“Wah, topimu keren banget, Levina. Tapi sepertinya... terlalu besar buat kamu.” Dengan cepat, Alby meraih topi itu dan menaruhnya di kepalanya dengan senyum tengilnya.Bisa-bisanya pemuda berhidung mancung itu menggoda Levina di depan ayah Levina. Bahkan mereka masih berada di lingkungan kantor polisi.Levina sontak terkejut, mencoba meraih topi itu. “By, itu topiku! Apaan sih kamu,” protes Levina dengan wajah serius seperti biasa. Naasnya, topi itu sudah ada di kepala Alby yang tersenyum lebar. Alby memasang wajah sok serius, “Hmm, topi ini lebih cocok di aku, Levina. Coba lihat, kan aku terlihat keren!” Dia mulai berjalan beberapa langkah menjauh, pura-pura seperti seorang model.Sulis yang sedang mengobrol dengan Mahesa hanya mendengus pelan melihat kelakuan mereka. Levina menyipitkan mata dan bersiap-siap mengejar. “Kamu pikir topi itu cocok di kamu? Kalau begitu, aku harus ambil kembali!” Dengan cepat, Levina berlari ke arah Alby.Mereka sudah berada di tempat parkir kantor po
Di kediaman Sulis, suasana menjadi tegang. Sulis hampir saja menjatuhkan gelas tehnya saat seorang polisi mengetuk pintu rumahnya. Dengan wajah cemas, ia buru-buru membuka pintu dan mendapati dua petugas kepolisian berdiri tegap.“Bu Sulis? Kami dari kepolisian ingin berbicara dengan putra Anda, Alby. Ada laporan insiden perkelahian yang melibatkan dirinya.”Sulis merasakan jantungnya hampir berhenti. “Perkelahian? Alby? Tidak mungkin. Dia pianis, bukan petarung jalanan!”Salah satu polisi menunjukkan dokumen laporan. “Kami hanya menjalankan tugas, Bu. Menurut laporan, putra Anda terlibat dalam baku hantam dengan seorang pria bernama Roger, di sebuah pantai di Bali.”Sulis memijit pelipisnya, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba meledak ini. “Ini pasti ada kesalahpahaman. Alby tidak mungkin mencari gara-gara.”Semalam Alby baru pulang namun ia langsung masuk ke dalam kamarnya dan tidak menceritakan apapun soal kejadian di Bali.“Kami akan tetap membutuhkan keterangannya. Bisa kami t
Setelah konser selesai, Levina berpikir mereka akan langsung pulang. Namun, Alby malah berbelok ke arah pantai. Tentu saja, pemuda itu tidak akan menyia-nyiakan waktu bersamanya. Ia tahu, sangat sulit mengajak Levina pergi berdua. Dan, ini adalah kesempatan emas baginya. “Aku mau pulang ke hotel,” kata Levina dengan ekspresi datarnya.Alby menoleh sambil tersenyum. “Kau serius? Setelah menghabiskan tiga jam mendengarkan konser tanpa ekspresi, aku yakin kau butuh udara segar.”Levina mendengus. “Konsernya bagus, hanya saja terlalu lama.”Alby terkekeh. “Oh? Lalu kenapa kau ketiduran?”Levina mendelik. “Aku tidak ketiduran.”“Aku harus menyenggolmu supaya kau tidak jatuh dari kursi,” balas Alby sambil menggoda.Levina mendecak, malas berdebat. Mereka berjalan menyusuri pasir pantai yang dingin, diterangi cahaya bulan yang memantul di permukaan laut. Suara deburan ombak menemani langkah mereka.Dari kejauhan, mereka seperti sepasang kekasih yang sedang menghabiskan waktu berduaan.Alby
Levina baru saja selesai minum obat ketika pintu kamar klinik terbuka. Ia mengangkat kepalanya dan terkejut melihat Roger berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh penyesalan.“Levina…” suara Roger terdengar berat. “Aku minta maaf.”Levina terdiam. Perasaannya bercampur aduk. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Roger, dalam keadaan mabuk, mencoba melecehkannya di pantai. Jantungnya berdegup lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena amarah yang masih mengendap.Sebelum Levina sempat merespons, sebuah bayangan melesat di hadapannya.BUGH!Alby, yang tadinya duduk santai di kursi dekat tempat tidur, kini telah menerjang Roger dengan tinjunya.Roger terhuyung ke belakang, terkejut. “Apa-apaan kau?!”Alby, yang biasanya penuh candaan, kini tampak berbeda. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap Roger dengan penuh kebencian. “Kau masih punya muka buat datang ke sini setelah apa yang kau lakukan pada Levina?”Levina terkesiap. Ia tidak menyangka Alby akan bereaksi seperti ini.Roger meng
Tiba-tiba, seseorang menangkap tangan Levina.Levina refleks ingin menyerang, tapi pandangannya berputar. Dunia seolah bergoyang, napasnya pendek dan berat. Matanya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Alby.“Levina!” suara Alby penuh kepanikan.Levina mencoba mengatakan sesuatu, tapi suaranya tersendat di tenggorokan. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak bicara. Namun ini untuk pertama kalinya, Levina yang terkenal kuat, dingin dan misterius itu merasa ketakutan dan kepanikan. Jantungnya masih berdegup kencang, tapi kali ini bukan karena takut—melainkan karena keterkejutan yang luar biasa. Ia tidak menyangka jika Roger akan melecehkannya. Ia sangat syok. Insiden yang baru saja terjadi mengingatkannya pada memori tempo dulu yang pernah ia alami.Saat Levina masih duduk di bangku sekolah dasar, ia dilecehkan oleh gurunya di sekolah. Sejak saat itu ia berusaha mati-matian belajar bela diri.“Alby...?”Dalam hitungan detik, tubuh Levina ambruk ke tanah. Alby pun merasa panik. “Levina!” p