"Aaa..."
Embun terbangun saat merasakan cipratan air mengenai wajahnya. Ia merasa tersentak lalu membelakan mata almondnya dengan penuh keterkejutan. Tangannya buru-buru mengusap air dingin yang membasahi wajahnya.
Sepasang mata tajam langsung menyambut Embun. Seketika perempuan muda itu langsung menggerakan bibirnya, ingin menanyakan soal perjanjian yang dibuat antara ayahnya dan suaminya. Atau, mungkin wanita pesolek yang berdiri di hadapannya itu ikut terlibat di dalamnya!
Sembari mencengkram sprei dan berusaha menegakkan tubuhnya, Embun langsung membuka mulutnya. “Tante, perjanjian apa yang dilakukan Ayah dengan Tuan Danar?”
Suara Embun bergetar hebat. Sebetulnya sudah jelas Embun membaca surat kontrak yang dibawa suaminya. Hanya saja, ia tak terima karena merasa tidak pernah membuat kesepakatan apapun dengan Danar.
Embun menyukai Danar dan jatuh hati pada pandangan pertama. Ketika Danar melamarnya di depan sang ayah, ia langsung menerimanya dengan penuh sukacita.
Indira-ibu tiri Embun seketika tersenyum sinis. “Perjanjian apa? Memang perjanjian apa lagi? Kau ini bodoh atau dungu sih Embun! Mana mungkin Tuan Danar Yudistira, sosok pengusaha kaya raya menikahi gadis kampung jelek sepertimu kalau bukan karena sebuah kepentingan!”
“Kepentingan?”
Embun mengulangi kata-kata ibu tirinya. Sungguh, terdengar enteng sekali! Namun Embun yang mendengarnya merasa dihantam palu godam. Terbuat dari apakah hati wanita itu?
Embun pun menurunkan ke dua tungkai kakinya yang masih lemah dan berusaha berdiri lalu menghampiri ibu tirinya. Baik ayah dan Ibu tirinya berhutang penjelasan padanya.
Indira menatap cemooh anak sambungnya itu. Sebetulnya ia tak sudi tinggal bersama dengannya. Hanya saja, suaminya yang memintanya membawa pulang ke sana. Embun bisa menjadi ladang emas bagi mereka.
“A-Apa?” salak Indira dengan melotot tajam pada Embun.
“Tante, kalian tega sekali! Aku tak pernah menandatangani surat kontrak apapun dengan Tuan Danar. Mengapa kalian melakukan hal sekeji ini padaku?”
Sebelumnya Embun memang gadis yang penurut dan lugu. Sekalipun ia seringkali diperlakukan tidak adil oleh ayah dan ibu tirinya, ia tidak pernah mengeluh apalagi membangkang.
Namun hari itu, Embun merasa kesabarannya sudah menipis. Satu-satunya keluarga yang dimilikinya ternyata memperdaya dan memanfaatkan kepolosannya.
Ingin sekali meneriaki dan membentak ibu tirinya itu. Namun Embun tidak memiliki keberanian sejauh itu. Ia hanya menahan kemarahannya dalam hati.
Tawa pecah di bibir Indira. “Kau mau tau alasannya? Tanyakan saja pada Ayahmu!”
Indira mendekati Embun lalu menudingkan telunjuknya di depan muka Embun. Sedetik kemudian telunjuknya turun lalu menekan dada Embun dengan keras hingga tubuh Embun yang masih lesu dan tak bertenaga langsung terhuyung jatuh ke atas lantai.
Embun mengaduh kesakitan karena merasakan betapa sakitnya bagian sensitifnya membentur lantai. Namun tak ada gunanya ia mengeluh. Indira sama sekali tidak merasa simpatik padanya.
Sebaliknya, Indira tersenyum puas melihat penderitaan anak sambungnya. Wanita angkuh itu berjalan keluar kamar Embun.
Embun hanya bisa meratapi nasib malangnya. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa ia lakukannya hanyalah menangis lirih.
Melihat Embun tepekur di lantai dengan satu tangan mengalung pada ranjang, salah satu pelayan yang bekerja di rumahnya menghampirinya dengan penuh keterkejutan.
“Teh Embun! Ya Allah, Teh!” imbuhnya dengan panik. Wanita dengan kerutan di wajahnya itu langsung menundukan tubuhnya, berusaha membantu Embun untuk bangun.
Embun berpegangan pada ke dua tangan yang menolongnya. Sekonyong-konyong ia memeluk pelayan itu. “Bibik!!” katanya dengan isak tangis.
Wanita tua yang dipanggil Bibik itu ikut bersedih hati melihat takdir yang menimpa anak majikannya itu. Ia pun memeluk Embun dengan penuh kehangatan. Ia mengusap-usap punggung Embun dengan lembut, bermaksud memberikan dukungan moril padanya.
Mungkin Bibik Lilis tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Embun dan keluarganya. Ia hanya datang tiga kali dalam seminggu untuk mencuci pakaian dan beres-beres di rumah itu. Ia hanya menduga jika memang telah terjadi sesuatu yang besar menimpa Embun. Mungkin bayinya meninggal, pikirnya. Sebab setahunya Embun seperti baru melahirkan. Tubuhnya lesu dan perutnya kempes.
Bibik Lilis membantu Embun untuk berbaring di atas ranjang. Ia pun memberikannya air minum agar Embun merasa tenang.
“Minum dulu, Teh,” serunya dengan penuh perhatian.
Alih-alih menerima air minum dari tangan Bibik Lilis, Embun menatap wanita tua itu lalu bertanya. “Ayah pergi kemana?”
“Oh, Bapak sedang pergi keluar kota.”
Bibik Lilis menjawab seperlunya.
Embun menghela nafas pelan. Ia sudah tak sabar ingin berbicara pada ayahnya.
“Kapan Ayah pulang?”
Embun kembali bertanya pada pelayan wanita itu.
Wanita bersurai hitam agak keputih-putihan itu hanya menggeleng pelan. Tatapannya membola tatkala melihat bagian dada Embun yang basàh dan berbau khas ASI.
“Teh Embun, bajunya basah! Maaf, Teh, apa Teteh sudah melahirkan?”
Pelayan itu memberanikan diri bertanya sebab terakhir kali ia melihat Embun hamil. Ia bisa melihat jika bagian dadanya basàh karena ASI yang merembes. Apalagi aroma khas berasal dari ASI menyeruak. Mungkin jika ia menyusui bayinya, ASI-nya tidak akan tumpah dan terbuang begitu saja.
Mendengar perkataan pelayan itu, Embun meringis pelan. Meskipun baru beberapa jam, ia sudah sangat merindukan bayinya. Rasanya, Embun tak bisa berpisah dengan bayinya.
“Maaf, Teh, saya lancang bertanya. Permisi!”
Bibik Lilis merasa bersalah atas pertanyaannya. Ia menjadi serba salah. Melihat reaksi Embun yang terlihat begitu sedih, pelayan itu menarik kesimpulan jika bayinya meninggal.
Kini Embun hanya berbaring di atas ranjang. Tubuhnya mendadak demam akibat ia tidak menyusukan ASI-nya yang melimpah. Andai ia diberkati sehat, mungkin saat itu juga ia akan menyusul suaminya untuk mengambil bayinya. Namun helaan nafas berat lolos dari bibirnya. Kemanakah mereka membawa bayinya?
Embun menggigil dengan gigi geligi yang gemeletuk. “Dek, tunggu Mama ya!”
Dengan menguatkan hati, Embun langsung mencari kotak obat. Tak ingin membuang tempo, ia langsung menelan obat anti demam. Ia pun memutuskan keluar rumah dengan mengendap-endap.
Mengancingkan sweaternya, Embun berjalan di tengah keheningan malam. Ia menyusuri jalanan lengang untuk pergi ke sebuah tempat. Ia yakin suami dan wanita bernama Mita itu akan membawa bayinya ke sana. Mungkin!
Semua bisa terjadi, kan?
Menaiki angkutan umum, Embun pergi ke sebuah villa sederhana dekat hutan pinus yang ia tinggali saat menjalani pernikahan dengan Danar Yudistira.Setelah dipersunting oleh Danar, Embun langsung diboyong oleh pria itu untuk menempati villa yang sepi dan sunyi itu. Letak villa itu jauh dari pemukiman warga. Di sana Embun tinggal dengan seorang asisten rumah tangga dan seorang security. Namun villa itu kini kosong!Usai ijab qabul, Danar hanya menginap semalam untuk melakukan ritual malam pertama dengan Embun. Keesokan harinya Danar pergi keluar kota karena harus bekerja. Perusahaan miliknya berada di luar kota. Semenjak menikahi Embun, hanya dalam hitungan jari, Danar pulang ke villa itu. Lagi, ia hanya datang untuk meminta haknya sebagai suami dan mengecek kehamilan Embun. Embun yang lugu tidak pernah menaruh curiga pada Danar. Air mata Embun kini tak terbendung ketika mengingat keping demi keping kenangan yang dilewatinya bersama Danar. Pantas saja, Danar hanya bersikap seperlunya p
Dua minggu berlalu dengan cepat.Danar yang baru saja pulang dari kantor, langsung berjalan menuju kamar bayinya. Namun, pria itu tampak begitu terkejut.“Kenapa dia menangis?” gumamnya.Baru pertama kali mendengar bayinya menangis kencang. Seingatnya jika bayi itu menangis kencang maka pasti ia kehausan. “Anu, Tuan, dia mau menyusu!” jawab babysitter dengan perasaan cemas. Ia begitu takut saat berhadapan dengan Tuan Danar yang pemarah dan dingin. Babysitter berusia dua puluh tahunan itu pun menyingkir dan memberi jalan pada Danar untuk masuk ruangan khusus bayinya.Danar tidak langsung memangku bayinya. Ia baru saja pulang bekerja. Ia tidak ingin mengambil resiko menyentuh bayinya dalam keadaan tubuhnya kotor akibat bersimbah keringat. Pria berwajah dingin itu hanya menatap bayinya dengan tatapan teduh. Lantas ia bertanya pada babysitter yang mengasuh putranya. “Di mana Nyonya, Maya?”Maya-babysitter itu menjawab dengan tergeragap. “Anu … Tuan … Nyonya sedang di kamar.”Mendengar ja
Dua pekan sudah Embun berusaha menegarkan dirinya. Ia bertekad akan melanjutkan hidupnya. Ia akan mencoba mencari pengalaman baru bekerja di luar kota. Selain itu, ada hal yang mendesak pula sebagai alasan yaitu sang ayah yang ternyata masih terlilit hutang pada beberapa orang rentenir. Oleh karena itu, Embun akan mencoba peruntungan bekerja di kota kendati tidak memiliki pengalaman sedikit pun. Nyaris dua puluh satu tahun, Embun Ganita hanya menghabiskan waktunya di kota kembang. Setelah lulus sekolah menengah atas, Embun hanya menghabiskan waktunya di rumah, melakukan pekerjaan rumah tangga, sejak dini hari hingga malam menjemput. Adapun Bibik Lilis mulai bekerja di rumahnya ketika Embun dinikahi oleh Danar. Sebetulnya, Bagas tidak memberikan ijin Embun pergi keluar kota. Ia sudah memiliki rencana lain setelah putrinya itu berhenti nifas. Namun untuk mengendalikan kondisi psikis Embun yang tengah hancur akibat kehilangan bayinya, ia mengijinkannya. Ia yakin, Embun tidak akan berta
Barangkali bukan rezeki Embun untuk bekerja di cafe milik saudara temannya Yasmin?Ibu satu anak itu pun menghela napas.Digantinya seragam cafe dengan pakaian sebelumnya. Ia memutuskan berjalan keluar kafe dan berdiri mematung di tepi jalan dengan perasaan yang runyam. Ia bingung harus pulang ke apartemen Yasmin. Yasmin pasti marah padanya karena ia sudah merusak kepercayaan Yasmin. Padahal adik sambungnya itu sudah bersusah payah mencarikannya pekerjaan. “Ternyata, benar apa kata Ayah. Mencari kerja di kota sangat sulit. Apalagi aku hanya lulusan SMA di kampung.”Embun menghela nafas panjang. Tatapannya menyapu seluruh sudut jalan. Ia merasa dunianya kosong. Tangannya begitu saja mengusap perutnya. Lupa jika ia telah melahirkan. Mengingat bayinya yang tampan, dada Embun merasa sesak sekali. Hatinya terasa perih. Namun ia berusaha menegarkan dirinya kendati merasa hidup tidak adil baginya! Mengapa ia harus menanggung masalah ke dua orang tuanya?Jangan tanyakan perasaannya saat in
Di sisi lain, Danar langsung menyuruh asisten pribadinya--Gilang--untuk mencarikan ibu susu yang cocok untuk putranya. Untungnya, ia pun langsung membuka lowongan kerja untuk ibu susu anak tuannya dengan syarat yang ketat.Calon ibu susu untuk Sagara harus berasal dari wanita yang bertubuh sehat, resik dan berusia di bawah tiga puluh tahun. Selain itu, wanita itu juga harus mengikuti pemeriksaan medis oleh tim dokter yang khusus diundang datang ke sana.Saat Danar dan Mita berada di kantor masing-masing, di kediaman mewah Danar, Gilang dan Maya-babysitter mendadak menjadi Tim HRD yang tengah melakukan interview pada calon ibu susu untuk Sagara.Tak butuh waktu lama, para pelamar pun berdatangan. Hal pertama yang akan mereka jalani yakni proses interview. Bukan tanpa alasan, Gilang harus memastikan jika asal usul keluarga calon ibu susu jelas. Setelah itu, tahap ke dua yakni mereka akan menjalani pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu oleh tim dokter spesialis. Barulah di tahap terakhi
Embun pun pergi bersama Mbak Nuri menuju kediaman mewah Danar Yudistira. Dalam waktu empat puluh menit, akhirnya mereka tiba di sana. Kedatangan mereka disambut oleh pemandangan yang luar biasa indahnya. Sebuah hunian berlantai tiga yang menampilkan desain modern-kontemporer. Rumah mewah itu dibangun dengan perpaduan beberapa unsur di antaranya material kayu, material non finish dan material batu alam. Hingga tanpa sàdar, Embun menganga melihatnya.Belum lagi pemandangan hamparan taman yang luas mirip permadani karena ditumbuhi rumput gajah yang estetis. Area garasi dan carport yang lengkap diisi oleh mobil-mobil mewah yang berjejer rapi. Ia seperti tengah memasuki negeri dongeng.Namun hanya dalam hitungan sepersekian detik, senyum Embun memudar setelah mengagumi keindahan yang terpampang di depan matanya. Hatinya merasa teriris. Rupanya, suaminya itu bukan orang sembarangan. Suaminya seorang sultan dengan harta kekayaan yang melimpah. Ironis, baginya ia tidak peduli asal usul siapa
Tak lama, senyum kelegaan terbit di wajah mereka yang seharian letih mencari ibu susu untuk Tuan muda itu.Di sisi lain, Embun menatap bayinya dengan penuh kasih sayang dan rindu.‘Sayang, jadi selama ini kau hanya minum susu formula? Betapa tega Papamu, Nak. Tapi tenang saja, mulai saat ini Mama akan merawatmu. Apapun yang terjadi.’Masih menggendong Sagara, Embun pun memilih duduk. Ia akan menyusui bayinya. Namun seketika tatapannya tertuju pada Gilang yang masih berada di kamar itu.Menyadari tatapan Embun tertuju padanya, Gilang berkata padanya. “Hum, maaf ya Mbak Embun, Tuan Danar meminta saya untuk tetap mengawasi Tuan Sagara saat Anda menyusuinya. Tidak selamanya, hanya saat masa training. Ya begitu,” katanya dengan sedikit sungkan. Embun merasa kecewa karena ia merasa risih jika harus menyusui di depan orang lain baik itu wanita maupun pria. Ia pun berinisiatif memunggungi Gilang dan ke dua babysitter Sagara. Ia segera melepas empat kancing kemeja teratas yang dipakainya. Ia
Saat hendak pulang dari kantor, tiba-tiba saja Danar mendengar kabar buruk yang menimpa istri tercinta. Mita mengalami kecelakaan. Ia pun segera pergi ke rumah sakit.Awalnya, Danar akan segera pulang karena harus mengurus perihal calon ibu susu untuk anaknya. Namun saat yang sama Gilang pun mengabarinya bahwa ia sudah mendapatkan ibu susu yang tepat untuk Sagara.Danar pun merasa lega dan memutuskan untuk melihat istrinya ke rumah sakit. Mita tertabrak motor saat pulang dari kantornya. Ke dua suami istri tersebut memang memiliki perusahaan masing-masing. Sehingga mereka memiliki kantor yang jelas berbeda tempat. Mereka hanya bertemu saat jam makan siang. Itupun ketika ke duanya tidak sibuk.“Sayang, kenapa kau tidak hati-hati!” imbuh Danar membelai lembut pipi istrinya. Ia sangat syok saat mendengar kabar tentang istrinya yang tertabrak motor ketika ia sedang menepikan kendaraan beroda empat miliknya di depan sebuah restoran.Area parkir restoran itu penuh sehingga dengan terpaksa, Mi
[Pak, pengawal Nona Jeena pulang. Tapi sepertinya, Nona Jeena tidak mengatakan pada siapapun. Terbukti ibunya juga tidak tahu kalau pengawalnya pulang.][Apa? Jadi dia sendirian di apartemen?][Iya, Pak.]Manggala mengepalkan ke dua tangannya erat. Mengapa Jeena berdusta padanya? Mungkin Jeena tidak ingin membuatnya khawatir. Namun sikapnya seperti itu justru semakin membuat Manggala khawatir. [Pak, satu lagi, hari ini mobil Nona ada yang mencorat coret. Maaf, saya tidak menyaksikan langsung. Soalnya saya tidak bisa masuk ke kampus begitu saja. Saya hanya mengamati Nona Jeena dari kejauhan. Nona Jeena naik mobil seorang pria bernama Dion. Mobilnya dibawa ke bengkel oleh orang suruhannya.]Manggala semakin geram mendengar laporan dari anak buahnya. Pasti ada orang yang berusaha mengganggu Jeena atau bahkan mencelakainya. [Kamu lihat siapa pelakunya?]Manggala mulai menginterogasi anak buahnya.[Maaf, Pak. Saya tadi sempat buang air kecil. Jadi, saya buru-buru cari toilet. Kejadiannya
Jeena mulai latihan kembali di kampus. Sore itu ia berlatih piano dengan Dion. Hampir dua jam lamanya mereka berlatih dengan keras di bawah bimbingan Laura.Clap, clap, clap,Beberapa anak mahasiswa yang ikut masuk untuk melihat latihan bertepuk tangan. Mereka menatap pertunjukan Jeena dan Dion dengan penuh takjub.Tak lama kemudian Laura mengangkat ke dua tangannya dan meminta Jeena dan Dion berhenti.“Cukup untuk hari ini!” pekik Laura dengan mengusap keningnya dengan yang basah karena keringat. Wanita yang sudah tidak lagi muda itu harus segera pulang. Sore sudah menjelang dan ia tidak ingin pulang kemalaman karena jarak rumah dan kampus sangat jauh, berbeda dengan Jeena dan Dion.Jeena dan Dion saling tatap dan melempar senyum. Mereka cukup puas latihan hari itu. Mereka merasa sudah berusaha menampilkan Performa yang maksimal. Selanjutnya, mereka akan mencari dress code untuk dipakai saat acara nanti. Mereka harus berpenampilan sempurna dengan pakaian yang senada.“Makasih buat har
Jam terasa merangkak lama. Setelah mengakhiri panggilan dari Manggala, Jeena pasrah untuk tidak menelepon yang lain. Ia sudah keburu ngantuk dan kesal.Nada bicara Manggala terdengar marah dan cemburu. Ia selalu memperingati Jeena untuk menjauhi Dion. Namun ia juga tidak memberikan alasannya. Jeena merasa pikiran Manggala itu terlalu dibuat-buat. Padahal Jeena hanya berurusan dengan Dion terkait dengan persiapan debut. Selebihnya ia tidak pernah berhubungan secara langsung. Mungkin satu-satunya alasan Manggala menyuruhnya menjauhi Dion hanyalah karena cemburu buta.“Mas Gala berlebihan,” gumam Jeena yang mulai menguap. Sebetulnya Jeena ingin mengadu soal ia menemukan sebuah surat misterius dari seseorang pada Manggala. Namun pasti Manggala akan semakin cemas padanya. Semua akan semakin rumit bagi wanita bermanik almond itu. Terlebih ia merasa sangat lelah. Biarlah besok ia akan membahasnya dengan Rosa.Jeena pun pergi ke kamar tidur setelah mematikan lampu seluruh ruangan apartemen.
Saat ini Laila seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Ia tidak bisa maju maupun mundur. Jika ia mengundurkan diri dari pekerjaan, maka ia akan mendapatkan penalti karena gadis itu sudah menandatangani surat perjanjian kontrak kerja. Ia tidak bisa mengundurkan diri dari pekerjaan apapun yang terjadi dalam kurung waktu satu tahun jabatannya.Sebaliknya, jika ia terus bekerja, ia akan terus merasa menderita. Karena kesalahan yang tidak dilakukannya akhirnya jabatannya di kantor diturunkan menjadi seorang staf. Otomatis gaji yang diperolehnya tiap bulan lebih kecil dari sebelumnya. Namun gadis bercadar itu tidak punya pilihan. Ia pasrah sampai ia bisa bekerja di sana selama setahun sesuai perjanjian kontrak.“Laila, aku turut prihatin. Aku gak tahu kenapa Pak Beryl sampai marah besar padamu gara-gara Pak Surya. Tapi kamu masih beruntung lo. Soalnya waktu itu Pak Beryl pernah pecat manajer SDM dan gak ada drama jabatannya turun. Padahal kesalahannya kecil banget.”Serina menepuk-nep
“Panggil Laila!"Beryl membentak Zuned sesaat mereka telah melakukan meeting internal para petinggi di kantornya. Semua peserta rapat terdiri dari pemimpin di semua divisi. Zuned tergugu kaget mendengar bentakan Beryl padanya. Pemuda itu memang pemarah mirip seperti ayahnya. Namun ia lebih pemarah karena sering memecat pegawai dengan seenaknya jika melakukan hal sepele.“Maaf, Pak Beryl. Kalau boleh saya tahu mengapa Bapak meminta saya untuk memanggil Laila? Apa Laila berbuat kesalahan?” tanya Zuned sangat berhati-hati. Ia sangat ketat dalam mengajari Laila. Laila juga cepat menguasai pekerjaannya. Selama dalam masa probation, kinerja Laila cukup memuaskan.Mengapa Beryl semarah itu pada Laila? Pasti Laila telah berbuat kesalahan."Pak Surya membatalkan kerjasama!" lanjut Beryl bernada emosi.Setelah dipanggil oleh Beryl, Zuned segera menuju ruangannya dengan wajah merah karena kesal. Baru saja ia menikmati euforia karena menenangkan pesanan yang banyak dari India melalui Surya Pradi
Jeena terperanjat saat melihat siapa yang menolongnya, memungut buku-buku miliknya yang berserakan. Mungkin jika dalam kondisi normal reaksinya biasa saja. Namun, karena melihat pemuda yang menolongnya Dion, reaksinya terlihat euforia. Dion bisa berjalan tanpa tongkat kruk. Jeena baru menyadarinya. “Dion? Kamu udah bisa jalan?” Jeena menerima buku miliknya dari tangan Dion. Mereka pun berdiri dan saling tatap.Dion mengulum senyum melihat reaksinya. Pantas tadi saat berada di cafetaria kampus, Alice terlihat bahagia dan terus mengucapkan terima kasih pada Jeena karena telah menjadi salah satu teman yang memotivasinya agar tetap masuk kuliah.“Kamu senang gak aku udah sembuh?” tanya Dion gantian.Jeena kembali tersenyum. Namun ia merasa pertanyaan Dion seperti pertanyaan seseorang pada kekasihnya.“Senang, Dion. Kita senang lihat kamu sembuh. Aku kaget aja soalnya kamu mengalami kemajuan pesat.”Jeena menambahkan kalimatnya. Ia memperhatikan ke dua kakinya yang jenjang.Dion berjalan
Danar tersedak saat mendengar ide ibunya. Ia menatap tajam Diajeng yang dianggap sedang berbicara ngelantur.“Bu, jangan sembarangan! Embun sudah bertunangan. Dan, Ibu tahu jika tunangannya Embun adalah orang yang telah menyelamatkan perusahaan kita.”Danar tak habis pikir dengan pemikiran ibunya.“Sejak kapan kamu peduli perasaan wanita itu? Bukankah kamu juga menikahinya karena demi mendapatkan anak darinya,” oceh Diajeng seraya mematikan layar televisi yang menayangkan konser Ana.Wanita tua itu menoleh ke arah putranya dan menatapnya dalam. Ke dua tangannya mencengkram pundak Danar.“Kamu bodoh atau dungu? Pak Manggala itu membeli saham perusahaan Yudistira pasti karena disuruh oleh mantan istrimu! Embun pasti adalah dalang di balik akuisisi perusahaan Yudistira.”Diajeng berkata dengan gigi yang gemeretak.Danar hanya menghela nafas sesak mendengar ucapan ibunya yang memang benar adanya. Namun saat ini, ia hanya bisa menerima takdirnya. Ia bankrut dan pesakitan. Ia sudah tidak me
Jeena berlatih bermain piano dengan serius untuk persiapan debut pada acara amal. Setiap hari ia bekerja keras berlatih piano, memainkan beberapa lagu yang sukar hingga hari jemarinya yang lentik kapalan. Tidak hanya berlatih piano, Jeena juga berlatih bermain gitar akustik saat ia menciptakan lirik lagu. Ia benar-benar serius dalam kuliah seni musik. Ia ingin segera lulus sebab ia ingin segera kembali ke tanah air. Jeena ingin mengantar sekolah Sagara. Ia ingin menjadi ibu yang teladan karena akan menyiapkan bekal makan untuk putra semata wayangnya.Suara alarm pada jam weker pagi itu terdengar nyaring, membangunkan Jeena yang terlelap dalam tidurnya. Wanita bermanik almond itu gegas mematikan alarm meskipun matanya masih dalam keadaan terpejam.Ia mendengus kesal sebab suara alarm telah merusak acara konser tunggal pertamanya.“Ya Allah, aku cuman mimpi. Tapi, jujur, meskipun cuman mimpi aku senang sekali. Moga aku bisa menjadi pianis terkenal seperti Mami.”Jeena tersenyum di depa
“Bagaimana kabarmu sekarang?” tanya Pasha perhatian pada Laila. Pagi itu mereka sedang sarapan bersama di resto hotel.Setelah mendapatkan pengobatan dari seorang dokter, demam Laila langsung turun. Ia sudah berangsur pulih.“Alhamdulillah, baik,” jawab Laila bahkan tak berani menatap Pasha yang berada di depannya. Laila memilih menjatuhkan tatapannya pada spaghetti.Beryl menatap Laila dengan raut wajah dingin. Laila menjadi ketakutan melihat tatapan Beryl terhadapnya. Mungkin pria itu marah karena Laila tidak bisa bekerja dengan baik akibat sakit.Eh hem,Beryl berdehem pelan kemudian berkata. “Tentu saja, dia sudah sembuh. Aku panggilkan dokter untuk mengobatinya. Kalau tidak segera diobati nanti merepotkan,”Mendengar perkataan Beryl, Laila menelan salivanya yang terasa kecut. Ia menjadi kehilangan selera makan. Bukan keinginan dirinya sakit. Ia hanya kelelahan. Biasanya ia cukup tangguh dan tak cepat sakit.Sisi lain, Serina tersenyum mendengar perkataan Beryl. Ia sempat tantrum d