“Mila, kau kenapa?” Ibu jadi panik melihatku yang lemas.Dia segera bangkit untuk membantuku duduk di kursi. Sekarang ibu malah yang mondar-mandir mencari sesuatu untuk membuatku lebih baik.“Punya minyak kayu putih atau apa biasanya, Mila?” tanyanya sembari memeriksa laci“Tidak apa, Bu. Mila baik-baik saja.” Aku malah bingung melihat ibu sepanik itu.“Kita ke Puskesmas ya, Nak?” Ibu kembali dan membujukku.Aku pun mengangguk.Sejak kemarin aku mulai sering merasa pusing dan mual. Kuanggap biasa saja karena aku tahu saat ini sedang hamil. Dan hal -hal seperti itu sudah wajar.Tapi karena tidak mau kenapa-kenapa juga dengan bayiku, kusanggupi saat ibu mengajakku periksa ke Puskesmas. Lagipula sejak di periksa Dokter Hartono, aku belum sempat memeriksakan kandunganku lagi.Kami berjalan sebentar keluar gang dan memanggil becak motor di pangkalan untuk mengantar kami ke Puskesmas.Di kampung juga ada Polindes, tapi biasanya sore begini sudah tutup. Jadi kami pergi ke Puskesmas saja yan
Kami tidak langsung kembali ke rumah karena Ibu mengajakku ke Pasar Sore tidak jauh dari Puskesmas itu untuk menjual kalung emasnya.Dia bilang ingin mengadakan syukuran kecil-kecilan di rumah. Jadinya setelah menjual kalung emasnya itu kami sibuk belanja beberapa keperluan.“Jangan berlebihan Bu, ini masih 3 bulan, nanti biaya lahiran dan merawat bayi lebih gede. Mending ditabung saja buat nanti,” ujarku yang malah menasihati ibuku itu.Kondisi yang prihatin dengan hanya mengandalkan membuat kue basah dan menitipkannya di warung-warung dekat rumah, membuatku selalu berpikir hemat. “Jangan dipikir yang belum, Mila. Kita harus banyak bersyukur. Di dalam perutmu ini ada cucu, Ibu. Nanti ibu juga akan bantu-bantu biaya merawat anak-anakmu. Yang penting cucu ibu sehat dan lahir baik-baik saja, tidak kurang apapun.”Ibu mengelus perutku dan kembali tampak berkaca-kaca. Sepertinya dia sangat bahagia akan punya cucu. Aku ingat, ibu sangat penyayang anak-anak.Akhirya kubiarkan saja ibu men
“Aku tidak mau sekolah!”Bocah lelaki kecil itu tidak bisa berhenti berlarian saat kukejar karena sudah sesiang ini belum mau mandi.“Mama harus berangkat kerja, Gala. Lihat Meida sudah siap berangkat sama nenek!” tukasku sedikit kesal karena bocah itu selalu berdrama kalau waktunya sekolah. Padahal sekolahnya pun hanya tiga hari saja.“Bial Meida yang sekolah, aku di lumah saja, Mama!” lelaki kecilku masih menawar dengan logat bicaranya yang masih cadel, tidak bisa mengatakan hurur ‘r’ dengan benar.“Ya sudah, nanti kalau Mama ada jalan-jalan di kantor, Gala tidak usah ikut, ya?”Kesal belum juga berhasil membujuk anak itu, aku seperti biasa pura-pura tidak lagi mengejarnya.Lalu, si bocah kecil yang tampan itu malah berlari memeluk kakiku. “Ikut, Mama. Jangan tinggalin Gala.”Aku tersenyum dan mengangkat tubuh bocah 4 tahun itu.Kuelus rambut tebalnya yang halus itu dan kucium pipinya.Anak lelakiku tampan sekali, jadi suka lupa waktu kalau sudah dekat-dekat dengannya.“Gala sayang m
“Ya. Tuan Edward Eagan.”Pak Betha mengulang nama itu saat aku bertanya karena terkejut.“Edward Eagan ‘kan Pak?” aku masih memastikan.“Iya, Mila. Memangnya kenapa?” Pak Betha sedikit heran aku sampai harus beberapa kali memastikan nama itu.“Oh. Ahaha, I-iya. Tuan Edward Eagan ya, Pak. Saya hanya takut salah karena bagaimanapun nanti harus ikut mempersiapkan untuk menyambutnya.”“Benar. Catat baik-baik, namanya Edward Eagan. Awas kalau salah sebut atau salah pengejaannya. Ini kali pertama kita dapat proyek kerjasama dengan perusahaan besar dari Jakarta. Aku tidak mau ada kesalahan.” Pak Betha yang perfeksionis itu menegaskan.“Tentu, Pak!” jawabku dengan penuh kelegaan.Sesaat tadi aliran darahku sempat berhenti mendengar nama itu.Kupikir yang disebut Pak Betha adalah nama yang sama—yang sudah menjadi masa laluku.Sepertinya bukan.Ini Edward Eagan, bukan Edward Permana.Ada banyak nama Edward di dunia ini bukan pria itu saja. Kenapa juga aku setegang ini. Padahal sudah kuikhlaskan
“Ke-kenapa pingsan, Mis?”Mendengar ibuku pingsan aku sudah bingung sendiri. “Belum tahu, Ma. Ini baru mau dibawa ke Klinik Asyifa.” Mis Echa menyebutkan klinik yang dekat dengan gedung sekolah anak-anak.“Baik, Mis. Terima kasih sudah diberitahu. Aku akan segera ke sana. Nitip anak-anak ya, Mis,” ujarku bergegas membereskan barang-barangku.Setelah meminta izin pada Pak Betha, aku segera memacu motor maticku menuju klinik tempat ibu di bawa tadi.Sepanjang jalan hatiku tidak tenang. Kenapa ibu sampai jatuh pingsan?Aku jadi takut kalau neneknya anak-anak sampai kenapa-kenapa. Mereka pasti sedih kalau neneknya sakit.Mudah-mudahan ibu hanya sedang kelelahan saja.Teringat itu aku jadi menyalahkan diriku sendiri. Tidak seharusnya membiarkan ibu capek-capek merawat si kembar di usinya yang mulai menua itu.Mungkin setelah ini aku harus carikan orang yag bisa sekedar bantu-bantu di rumah.Walau nanti pengeluaran semakin membengkak, tapi aku akan berusaha bekerja lebih keras lagi.Demi m
“Tidak apa, Mila. Kau baliklah lagi ke kantor. Ibu sudah baik-baik saja, kok!”Ibu tahu aku sejak tadi diuber panggilan walau tidak kuangkat. Dia bisa mengira itu dari kantor tempatku kerja apalagi ini masih di jam kerja.“Aku nunggu Mbak Siti dulu, Bu. Barangkali bisa dimintai tolong jaga anak-anak. Ibu masih sakit.”Tadi aku sudah menghubungi seorang wanita yang bernama Mbak Siti.Wanita itu biasanya kupanggil kalau kebetulan pekerjaan rumah menumpuk sementara aku dan ibu tidak bisa mengatasinya.Mbak Siti bilang akan segera datang. Jadi kutunggu dulu sampai dia datang sekalian memberinya upah.Biasanya kalau tidak diberi upah dulu, wanita itu suka tidak sepenuh hati kerjanya.“Kamu suruh dia lagi?” Ibu tidak begitu suka dengan wanita yang kusuruh datang itu. Dia sudah tahu bagaimana Mbak Siti yang belum-belum sudah menanyakan upah kerjanya.“Ya siapa lagi, Bu? Hanya Mbak Siti yang aku kenal di komplek ini.”“Sudah batalin saja, Ibu masih bisa kok jaga anak-anak. Mereka juga sudah
Aku menghubungi rumah menanyakan apa ibu baik-baik saja dan apa anak-anak tidak rewel?Ibu menyampaikan semuanya aman. Jadinya kukatakan pada ibu kalau aku tidak sempat pulang dulu karena malam ini harus segera menemui tamu penting di hotel bersama rekan kerjaku yag lain.Meski begitu aku masih saja kepikiran hingga kulakukan panggilan video pada anak-anakku. Memastikan mereka memang baik-baik saja.Takutnya ibu hanya mengatakan yang baik-baik agar aku tidak kepikiran sementara keadaannya tidak begitu.“Gala dan Meida tidak nakal kok, Ma. Nanti kita akan tidur cepat!” ujar Meida menjawabku.“Mama baik-baik ya, jangan lupa makannya!” Gala menyahuti dari belakang dengan memainkan robot-robotannya.Ibuku juga duduk di sofa sambil melihat TV menemani cucu-cucunya bermain.Hatiku jadi lega mengetahui semua memang baik-baik saja.Kalau begini aku akan bisa fokus dalam menjalankan tugas pekerjaanku.Saat ini aku dan Tika menyempatkan waktu ke Plaza Kota karena memintanya membantuku mencarik
“Edward Eagan Permana?!”Seketika wajahku menjadi pucat pasi mengucapkan nama itu.Dia punya nama belakang yang sama dengan nama belakang Ed.Aku sangsi kalau itu dua nama yang berbeda karena terakhir kuketahui Ed juga seorang pengusaha besar.Barangkali akulah yang selama ini kurang tahu nama tengahnya. Ternyata aku senaif ini, bahkan tidak tahu nama lengkap orang yang pernah menyandingkan tanda tangannya di dekat tanda tanganku dalam buku nikah waktu itu.“Kau kenapa, Mila?” Tika melihatku yang mendadak gelisah dan berkeringat dingin.“Eng, I-itu, kok aku kurang enak badan ya?” ujarku bingung karena sama sekali tidak memiliki kesiapan untuk kembali bertemu dengan pria itu.“Kurang enak badan bagaimana?” Tika memperhatikanku.“Ini mau muntah, mungkin masuk angin,” jawabku.Aku kalau sedang sangat tertekan memang terkadang sampai mual dan ingin muntah. “Jangan becanda, Mila! Kita sudah akan bertemu dengan mereka.” Tika mulai ikutan panik.“Kenapa sih? Padahal sejak tadi kamu tidak