“Tidak apa, Mila. Kau baliklah lagi ke kantor. Ibu sudah baik-baik saja, kok!”Ibu tahu aku sejak tadi diuber panggilan walau tidak kuangkat. Dia bisa mengira itu dari kantor tempatku kerja apalagi ini masih di jam kerja.“Aku nunggu Mbak Siti dulu, Bu. Barangkali bisa dimintai tolong jaga anak-anak. Ibu masih sakit.”Tadi aku sudah menghubungi seorang wanita yang bernama Mbak Siti.Wanita itu biasanya kupanggil kalau kebetulan pekerjaan rumah menumpuk sementara aku dan ibu tidak bisa mengatasinya.Mbak Siti bilang akan segera datang. Jadi kutunggu dulu sampai dia datang sekalian memberinya upah.Biasanya kalau tidak diberi upah dulu, wanita itu suka tidak sepenuh hati kerjanya.“Kamu suruh dia lagi?” Ibu tidak begitu suka dengan wanita yang kusuruh datang itu. Dia sudah tahu bagaimana Mbak Siti yang belum-belum sudah menanyakan upah kerjanya.“Ya siapa lagi, Bu? Hanya Mbak Siti yang aku kenal di komplek ini.”“Sudah batalin saja, Ibu masih bisa kok jaga anak-anak. Mereka juga sudah
Aku menghubungi rumah menanyakan apa ibu baik-baik saja dan apa anak-anak tidak rewel?Ibu menyampaikan semuanya aman. Jadinya kukatakan pada ibu kalau aku tidak sempat pulang dulu karena malam ini harus segera menemui tamu penting di hotel bersama rekan kerjaku yag lain.Meski begitu aku masih saja kepikiran hingga kulakukan panggilan video pada anak-anakku. Memastikan mereka memang baik-baik saja.Takutnya ibu hanya mengatakan yang baik-baik agar aku tidak kepikiran sementara keadaannya tidak begitu.“Gala dan Meida tidak nakal kok, Ma. Nanti kita akan tidur cepat!” ujar Meida menjawabku.“Mama baik-baik ya, jangan lupa makannya!” Gala menyahuti dari belakang dengan memainkan robot-robotannya.Ibuku juga duduk di sofa sambil melihat TV menemani cucu-cucunya bermain.Hatiku jadi lega mengetahui semua memang baik-baik saja.Kalau begini aku akan bisa fokus dalam menjalankan tugas pekerjaanku.Saat ini aku dan Tika menyempatkan waktu ke Plaza Kota karena memintanya membantuku mencarik
“Edward Eagan Permana?!”Seketika wajahku menjadi pucat pasi mengucapkan nama itu.Dia punya nama belakang yang sama dengan nama belakang Ed.Aku sangsi kalau itu dua nama yang berbeda karena terakhir kuketahui Ed juga seorang pengusaha besar.Barangkali akulah yang selama ini kurang tahu nama tengahnya. Ternyata aku senaif ini, bahkan tidak tahu nama lengkap orang yang pernah menyandingkan tanda tangannya di dekat tanda tanganku dalam buku nikah waktu itu.“Kau kenapa, Mila?” Tika melihatku yang mendadak gelisah dan berkeringat dingin.“Eng, I-itu, kok aku kurang enak badan ya?” ujarku bingung karena sama sekali tidak memiliki kesiapan untuk kembali bertemu dengan pria itu.“Kurang enak badan bagaimana?” Tika memperhatikanku.“Ini mau muntah, mungkin masuk angin,” jawabku.Aku kalau sedang sangat tertekan memang terkadang sampai mual dan ingin muntah. “Jangan becanda, Mila! Kita sudah akan bertemu dengan mereka.” Tika mulai ikutan panik.“Kenapa sih? Padahal sejak tadi kamu tidak
“Kau?!” tukasku tanpa sadar dengan terkejut menatap pria yang duduk di sana.Tanganku yang gugup hampir menyenggol cangkir yang berisi capucino yang kupesan tadi.Sedangkan pria itu menatapku dengan menyipit.Diikuti Beni, Tika dan Vanka yang ikut menoleh ke arahku dengan heran.“Maaf, teman saya sedikit kurang enak badan.” Tika tersenyum pada pria yang tampak sedikit terkejut itu. Dia lalu menyenggol lenganku.Mungkin dia merasa aku kurang sopan dengan langsung menyebut pria itu ‘kau’ tanpa menyapa dan memperkenalkan diri dulu.Sebenarnya itu reflek dari keterkejutanku karena pria yang kukira Edward Permana itu, ternyata bukan.“Tidak apa. Kuharap nanti kalian bisa menyampaikannya secara gamblang namun singkat, padat, dan jelas pada Tuan Edward besok saat meeting. Beliau sangat sibuk dan tidak suka basa-basi yang berlebihan dalam penyambutan,” jelas pria itu.Aku baru tahu Ed memang tidak bisa menemui kami saat ini. Ada kelegaan tersendiri yang kurasakan.“Oh, baik, Pak. Akan saya ca
Pagi setelah menyiapkan keperluan anak-anak aku menghubungi Beni agar menjemputku bersama ke kantor Pemkab memberitahukan tentang rencana meeting nanti siang.Perumahanku lebih dekat dengan Kantor Bupati, jadi biar tidak bolak-balik saja kami langsung ke sana. Sedikit waktu nanti biar bisa dibuat untuk persiapan meetingnya.“Ma, nanti Mama pulang cepat ya?” Meida yang sudah rapi mau ke sekolah menghampiriku.“Princessnya Mama cantik sekali sih!” kupeluk anak perempuanku dan merapikan ikatan rambutnya.“Mama kok tidak jawab, nanti pulang cepat ya?” Meida mengulang kata-katanya yang tadi.“Kenapa, Sayang?” tanyaku padanya yang sepagi ini sudah manyun saja.“Meida pengen makan ayam dan burger sama Mama.”“Ya sudah nanti Mama pas pulang bawain sekalian, ya?”“Enggak mau, Ma. Pengennya makan bareng Mama di restorannya!”Meida mulai merengek. Tumben-tumbenan sepagi ini sudah ngereog begini. Lalu aku berlutut dan memberinya pengertian.“Mama masih kerja, Sayang. Nanti kalau Mama tidak kerja
“Oh, Kamilla? Silahkan, aku tidak diberitahu kalau kau akan datang ke sini.”Pria tinggi itu tersenyum lebar menyapaku yang sudah ada di pendoo rumah dinasnya.Tadi aku sebenarnya hanya ingin menemui asisten atau ajudan beliau untuk mengkonfirmasikan tentang jadwal meeting yang harus dijadikan satu dengan pertemuan bupati dan pihak perusahaan Lavidia dari Jakarta, Namun tidak tahu bagaimana aku malah digiring ke rumah dinas bupati ini.“Oh, Selamat pagi Pak Bupati. Saya hanya menyampaikan tentang permintaan Pak Rafael mengenai pertemuan nanti. Beliau menyarankan agar pertemuan itu dijadikan satu dengan meeting bersama perusahaan kami. Kami harap Bapak Bupati tidak keberatan akan hal itu,” ucapku seformal mungkin karena berbicara dengan orang nomor satu di kabupaten ini.“Haha, tidak masalah. Aku malah senang lho, apalagi nanti ada kamu juga di meetingnya.” Bupati itu senyum-senyum padaku dan aku hanya membalasnya sambil mengangguk sopan.“Maaf kalau sepagi ini mengganggu aktifitas Bapa
“Mila, jangan lupa persiapan finalnya. Semalam Vanka cerita kau kurang fokus dan membuat banyak kesalahan.”Pak Betha mengingatkanku di detik-detik kami harus menghadiri meeting itu.“Baik, Pak!” jawabku sembari melirik jam tanganku yang tahu-tahu sudah siang saja.Setidaknya, waktu dan pekerjaan yang begitu mendesak ini membuatku terlupakan tentang pikiran-pikiran yang membuatku sampai sulit memejamkan mata semalam.Aku memang sengaja memfokuskan pada pekerjaan agar bisa melupakan rasa was-wasku. Rasa cemasku tentang pertemuan ini.Kubawa santai saja dan mengikuti arus mengalir membawaku.Bagaimana nanti, dipikir nanti saja.Tepat sesuai jadwal yang sudah ditetapkan, aku mendampingi Pak Betha menuju ke tempat yang sudah kami sepekati untuk melakukan meeting.Ben bersama Tika dan Vanka sebagi team tentu ikut mendampingi. Tapi mereka nanti hanya berjaga-jaga kalau memang dibutuhkan dan hanya berada di luar ruang meeting.Tidak berapa lama kami sampai di tempat itu. Kakiku semakin berat
Ada aliran listrik kurasakan yang tiba-tiba menyengat tubuhku ketika tangan kami saling bersentuhan.“Se-selamat siang, Tuan!” kupaksakan diriku menyapanya meski Ed pasti tahu betapa gugupnya diriku.Dan pria itu, dengan segenap ketenangannya hanya menatapku tanpa bisa kupelajari apa yang sedang dipikirkannya.Kutarik cepat tanganku agar tidak berlama-lama harus terlibat bersitatap dengannya.“Ed, dia kekasih Reza. Bagaimana cocok tidak?” Jessica muncul memberiku ruang untuk membuat jarak di antara kami. Aku merasa terbantu dengan kehadirannya.Namun melihat wanita itu lengket di lengan Ed sambil menunjukan kemesraan mereka, tanpa kuperintah pandanganku melengos mengalihkan perhatianku. Resah dan tidak paham kenapa nyeri di dadaku terasa begitu menyiksa.“Kau bisa tunggu aku di luar dulu? Aku harus meeting dengan mereka.” Ed tidak mengomentari pertanyaan calon istrinya itu, tapi dengan