“Mila, jangan lupa persiapan finalnya. Semalam Vanka cerita kau kurang fokus dan membuat banyak kesalahan.”Pak Betha mengingatkanku di detik-detik kami harus menghadiri meeting itu.“Baik, Pak!” jawabku sembari melirik jam tanganku yang tahu-tahu sudah siang saja.Setidaknya, waktu dan pekerjaan yang begitu mendesak ini membuatku terlupakan tentang pikiran-pikiran yang membuatku sampai sulit memejamkan mata semalam.Aku memang sengaja memfokuskan pada pekerjaan agar bisa melupakan rasa was-wasku. Rasa cemasku tentang pertemuan ini.Kubawa santai saja dan mengikuti arus mengalir membawaku.Bagaimana nanti, dipikir nanti saja.Tepat sesuai jadwal yang sudah ditetapkan, aku mendampingi Pak Betha menuju ke tempat yang sudah kami sepekati untuk melakukan meeting.Ben bersama Tika dan Vanka sebagi team tentu ikut mendampingi. Tapi mereka nanti hanya berjaga-jaga kalau memang dibutuhkan dan hanya berada di luar ruang meeting.Tidak berapa lama kami sampai di tempat itu. Kakiku semakin berat
Ada aliran listrik kurasakan yang tiba-tiba menyengat tubuhku ketika tangan kami saling bersentuhan.“Se-selamat siang, Tuan!” kupaksakan diriku menyapanya meski Ed pasti tahu betapa gugupnya diriku.Dan pria itu, dengan segenap ketenangannya hanya menatapku tanpa bisa kupelajari apa yang sedang dipikirkannya.Kutarik cepat tanganku agar tidak berlama-lama harus terlibat bersitatap dengannya.“Ed, dia kekasih Reza. Bagaimana cocok tidak?” Jessica muncul memberiku ruang untuk membuat jarak di antara kami. Aku merasa terbantu dengan kehadirannya.Namun melihat wanita itu lengket di lengan Ed sambil menunjukan kemesraan mereka, tanpa kuperintah pandanganku melengos mengalihkan perhatianku. Resah dan tidak paham kenapa nyeri di dadaku terasa begitu menyiksa.“Kau bisa tunggu aku di luar dulu? Aku harus meeting dengan mereka.” Ed tidak mengomentari pertanyaan calon istrinya itu, tapi dengan
“Kamila...”Panggilan itu membuatku membeku. Lalu beberapa saat kemudian kuberanikan diri membalikan badan ke arahnya.Tidak apa, Mila.Hadapi saja.Kau memang harus menyelesaikan semuanya agar untuk selanjutnya bisa bersikap sebagaimana mestinya.Sebagai dua orang yang sudah selesai dengan hubungan masa lalu...“Apa kabar?” Ed bertanya dengan gumaman yang terdengar dalam, seolah menahan banyak hal yang ingin dikeluarkannya padaku.Kurasa dia ingin marah namun masih ditahannya.Aku pun sudah siap menerima kemarahannya.“B-baik, Tuan.” Kujawab dengan panggilan tuan karena posisi kami memang seperti itu saat ini.Beberapa saat kami hening dan kubiarkan tatapan Ed tidak bersambut karena kutundukan pandangku.“Hmm, baguslah. Kalau ternyata hidupmu baik-baik saja. Aku senang kau bisa melupakanku dengan baik.” Ed kemudian bersuara membuatku terpancing untuk menatapnya balik.Kulihat pria yang
Setelah menyerahkan beberapa berkas tadi pada Tika dan Beni yang masih di tempat meeting, tanpa ada penjelasan aku melangkah pergi.Aku berjalan ke tukang ojek di pangkalan agar mengantarku pergi dari tempat itu.Apa yang aku rasakan tidak bisa kuungkapkan.Aku hanya sedih sekali.Sepertinya tidak mau lagi bertemu dengan masa lalu dan mengungkitnya.Bertahun-tahun sudah kucoba melupakan semuanya dengan berusaha tegar menjalani hidupku hanya demi dua buah hatiku.Tidak tahu apa alasan Tuhan pada akhirnya mempertemukan kami kembali? “Turun di depan Restauran Rocky Chicken itu, Bang!” ujarku pada tukang ojek.Sesedih apapun, aku masih ingat, Meida minta dibelikan ayam dan burger. Biasanya aku mengajaknya ke tempat ini.Menunggu pesananku, aku harus masuk ke toilet untuk menghapus sisa-sisa air mataku. Menuntaskan air mataku yang sepertinya kembali tercurah.Setelah sedikit puas, kuhela napas panjang-panjang la
“Ibu baik-baik saja, besok hanya periksa lagi ke rumah sakit,” ujar ibu menjelaskan kondisinya.“Periksa? Kok ibu tidak bilang kalau harus balik lagi untuk periksa?” Aku tidak diberitahu tentang hal itu, membuatku mencemaskan ibu.“Kalau begitu, besok Mila kan libur, Mila antar ya, Bu?” aku juga ingin tahu sebenarnya ibu sakit apa. Kalau wanita ini tidak mau mengatakannya, aku akan tanyakan langsung pada dokternya.“Kenapa secemas itu, Ibu ini sudah tua, dokter menyarankan harus sering chek up kesehatan. Tidak ada yang serius, kok!”“Tidak apa, Bu. Nanti akan Mila antar.” Aku bersih keras mengantar ibuku.“Kau tadi kan sudah bilang akan mengajak anak-anak jalan—jalan. Jangan ah, Ibu bisa naik becak atau ikut Parto kalau kebetulan berangkat narik angkotnya.” Wanita ini masih menolak.Tapi ibu benar, aku sudah terlanjur menyanggupi anak-anak jalan keluar tadi.
“Gala belum tidur?” tanyaku yang sesaat tadi membeku sudah seperti maling yang ketahuan.Bagaimana bocah kecil itu tiba-tiba keluar mendengar pembicaraan kami?Tidak mau saja dia terlalu dini harus kuberitahu sebuah kebohongan bahwa papanya sudah tidak ada.Sebenarnya ada rasa tidak tega juga harus mengatakannya. Mudah-mudahan Ed panjang umur dan sehat selalu.Ini hanya untuk kebaikan anak-anaknya.Lihatlah, seburuk apapun hubungan kami aku tentu tidak bisa melihat papa anak-anakku dalam kondisi itu.“Kenapa Mama tidak bilang pada teman-temanku kalau papa Gala sudah meninggal?”“Kenapa, Sayang. Ini sudah malam, besok kita jalan-jalan ‘kan?” aku menghampirinya dan membujuknya kembali ke tempat tidur.“Soalnya mereka suka olok-olok Gala dan Meida anak haram, Ma!”Deg!Mendengar kata itu dari bibir Gala sendiri hatiku meradang.Apa anak sekecil ini ta
Kedua bocah kecil itu sudah heboh bukan main sejak tadi sudah merengek untuk segera berangkat.Sekarang saat aku menjinjing tas yang berisi barang-barang mereka, keduanya yang hari ini aku pakaikan kaos sama denganku langsung berlari di dekat motor karena tidak sabar akan segera meluncur.Gala sudah duduk dibelakangku dan kupasang sabuk bonceng di tubuhnya. Sementara Meida tidak perlu kupakaikan karena ada di depan.Wisata Taman Kota juga tidak jauh dari perumahanku, hanya sekitar 20 menitan.Tapi karena aku memiih aman, kulewati jalan poros antar kampung saja dengan waktu tempuh lebih lambat 15 menitan. Tidak apa, asal anak-anak nyaman dan selamat sampai tujuan.Di tengah jalan sepertinya gerimis turun, aku memilih menepikan motorku ke emperan toko untuk berteduh sejenak. Menunggu saja sambil melihat apakah akan lebih deras atau tidak. Sepertinya tidak akan lama.“Ma, kalau kita punya mobil, enak ya, Ma?” celutuk Gal
“Maaf, Om. Mama melarang kami dekat-dekat dengan orang asing. Permisi!” Gala menarik lengan saudara perempuannya menjauh.Aku menghela napas lega dan kulihat mereka berjalan balik ke tempat aku duduk tadi.Ed masih tertegun menatap dua bocah kecilku. Adakah dia merasa familiar dengan wajah anak-anaknya sendiri?“Sayang...” suara panggilan dari wanita itu membuatnya teralihkan.Aku mendegus melihatnya langsung berbalik badan untuk menemui wanitanya.Percuma juga tadi aku sampai ketakutan dia mengenali anak-anakku. Nyatanya wanita itu sekarang yang sudah menguasainya.Pak Bupati bilang, saking cintanya Ed dengan Jessica, dia sampai rela menginvestasikan modalnya untuk pembangunan hotel dan resort di kabupaten kecil ini.“Mama cari kita?” Gala dan Meida lebih cepat sampai di tempatku duduk tadi. Anak-anak ini masih ingat tempat aku menunggu mereka padahal arena di sini berkelok-kelok.“Iya
“Mama...!” teriak Gala saat melihatku yang berjalan bersama papanya. Anak itu sedang memainkan salah satu jenis video game arcade.“Main apa itu?” tanyaku sembari menghampirinya.“Kata mbaknya tadi namanya pump it up, ya kan, Mbak?” Kakinya bergerak aktif menginjak bebrapa panel dengan beberapa warna yang berbeda.Meski ngos-ngosan, Gala masih sempat bertanya pada penjaga permainan yang berdiri tak jauh dari tempat kami.Gadis penjaga permainan itu hanya tersenyum dan mengangguk.“Meida, mana?” sang papa mencari anak perempuannya.“Biasa, Ma. Tadi dia minta antar ke toilet sama Om Erik,” jawab Gala dengan napas memburu.“Ya ampun, Ed. Pasti Erik kerepotan,” ujarku membayangkan Erik harus mengantar Meida ketoilet.Tidak mungkin Erik mengajaknya ke toilet pria, jadi iparku itu harus menahan malu dan meminta pengertian untuk membolehkan mengantar anak itu ke toilet wanita.“Biar aku telpon dia,” tukas Ed mengangkat ponselnya. Namun kami sudah melihat Erik datang. Herannya dia hanya se
Erik mengirim pesan pada Ed bahwa anak-anak sedang meminta di antar ke kidszone untuk bersenang-senang.“Di mana itu, Sayang?” tanyaku sembari menata rambut panjangku.“Dekat sini saja. Kalau kau lelah aku minta Erik langsung mengantar anak-anak pulang saja.”“Kalau dekat sini kita samperin saja, yuk!” ajakku.Ed tidak keberatan. Begitu kami chek out dari hotel, kami langsung meluncur ke tempat anak-anak bermain bersama om mereka. Tempat itu ada di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Wahana permainanya lebih lengkap dari wahana permainan anak-anak di mall dekat kantor Ed.Kami tiba di tempat itu dan Ed memintaku menunggu sebentar. Dia harus pergi ke toilet dulu.Karena kurasa sedikit lama, aku pun mencarinya.Tidak tahunya dia malah bertemu Sherina dan wanita itu sedang mencoba mengajaknya mengobrol.“Terima kasih, Edward. Ternyata kau masih peduli juga denganku.” Kulihat Ed mengusap-usap lengannya tak menyahuti dan langsung hendak berbalik namun wanita itu menahann
“Ed, kulihat Sherina kerja di kantor?” ujarku sembari bermanja di pangkuannya.Padahal seharusnya kami sedang memadu kasih dan tidak perlulah membahas tentang wanita itu dulu.Tapi, bibirku ini memang suka keceplosan saja atas apa yang sempat mengusik pikiranku setelah mendengar bahwa wanita itu adalah mantan tunangan suamiku yang sempat membuatnya patah hati.Insting sebagai seorang istri membuatku merasa harus waspada.“Uhm. Aku juga baru tahu tadi.” Ed membenarkan.“Kau bertemu dengannya atau Sherina yang menemuimu di ruang kerjamu?” tanyaku.“Kebetulan ada dokumen yang harus dia bawakan ke ruang kerjaku, jadi aku tahu dia sudah diterima kerja.”Ed membingkai pipiku dengan kedua telepak tangannya. Dia sama sekali tidak curiga kalau aku sudah mengetahui tentang siapa wanita itu di masa lalunya.Beberapa bulan yang lalu aku membicarakan tentang Sherina yang ditolaknya. Lalu aku menuduh Ed tidak adil dan tidak setia kawan mengingat Sherina mengaku sebagai teman dekatnya. Dia pasti han
Erik menatapku sejenak sembari menelisik hal apa yang membuatku bertanya seperti itu.Lalu dia hanya mengulas senyum tipis sebelum mengatakan, “Hanya masa lalu, tapi jangan diambil hati, ya?”Aku mengernyitkan dahiku dan tidak sabar bertanya kembali, “Masa lalu seperti apa?”“Ah, sudahlah. Ayo naik. Katanya mau ketemu Ed?”Erik hendak menekan tombol lift tapi aku menahan lengannya.Hubungan kami sudah lebih baik dan aku menikmati kebersamaan ini sebagai kedekatan saudara ipar saja.Ed sangat bijaksana menyikapi ini, dia melihat Erik berubah total setelah sering bersama kami.Erik bahkan bukan lagi Erik yang lebih suka bermabuk-mabukan dan main pelacur saat stres menghadapi masalah.Tapi, Erik yang sudah mau menjalankan kewajibannya sebagai seoarng muslim, Erik yang selalu hangat pada keponakannya, dan sekarang pola hidupnya pun jauh lebih sehat.“Bagaimana kalau kita duduk dan kau bicarakan tentang sesuatu yang kau sebut masa lalu? Aku bisa menunggu beberapa saat untuk yang lainnya
Ed bahkan mendengar Gala merajuk saat meminta izinku untuk mengikuti Erik?Berarti Ed sudah ada di sana ketika aku memeluk Erik tadi karena anak-anak yang mendesak.“Oh, kau sudah di sana dan tidak langsung datang pada kami?”Aku jadi sensi lagi. Hati kecilku tidak terima kalau seandainya Ed sudah ada di sana tapi malah berlagak tidak tahu apa-apa? Apa maksudnya? Ed membuka matanya dan menatapku sayu. “Kenapa?”“Apa maksudmu tidak langsung datang saat melihat kami mengobrol? Padahal kami menunggumu, Ed?” ujarku mengumbar kesal.“Aku masih bicara dengan Pak Rawan, apa sopan langsung kutinggal melipir ke arahmu dan Erik yang berpelukan?”“Tuh, kan?” sahutku karena Ed membahas kami yang pelukan.“Tuh kan, kenapa?” Ed membalikan ucapan itu padaku.Aku bingung sendiri dan sialnya jadi terlihat naif sekali di depan suamiku yang raut wajahnya setenang malam itu. Padahal suasana di dalam hatinya sana sungguh misterius dan menyeramkan.“Jangan marah, ya?”Aku mencoba memperbaiki sikapku. N
“Ma, kita nginap di rumah Om Erik, ya?” Gala menolak saat kuminta masuk ke mobil papanya. Dia pengen ikut omnya itu walau Erik juga sudah memintanya masuk ke mobil papanya.“Gala, nanti ngrepotin Om, lho!” Aku masih membujuknya.Sayangnya Gala masih berkeras mau ikut Erik.“Ya sudah enggak apa-apa, Mila. Biar Gala ikut aku, saja,” tukas Erik padaku.Aku belum memberitahu Ed apakah mengizinkan Gala menginap bersama Erik di rumah keluarga. Tapi aku pikir Ed tidak akan melarangnya. Jadinya, kubolehkan saja.“Edward mana, Mila?” Erik bertanya.Tadi Ed bersamaku hendak ke mobil. Tapi karena ada panggilan dia bilang ingin ke dalam sebentar. Entah siapa yang memanggilnya.“Enggak apa, aku bisa nunggu di mobil. Palingan ada sesuatu yang tertinggal,” dugaku.“Kalau begitu kita balik dulu,” tukas Erik sembari menggandeng Gala.“Meida, aku sama om Erik, jangan cariin aku, ya?” Gala berteriak ke dalam mobil dan melambai pada adik perempuannya itu.Meida membuka kaca mobil dan berseloroh. “Sana,
Ed langsung berjalan ke panggung dan meminta dua anaknya turun panggung. Dia juga tidak malu mengendong dua bocah yang sudah tampak lebih besar itu sembari meminta maaf pada pasangan yang bertunangan.Sambutan yang di sampaikan Pak Rawan sempat terhenti karena kegaduhan tawa beberapa undangan yang melihat dua bocah lucu itu.Mereka justru terhibur dengan kerandoman dua bocah itu.Apalagi melihat sang big bos di perusahaan mereka langsung turun tangan menjemput dua perusuh kecil itu di atas panggung, mereka banyak yang terkesan.Sam dan Ari baru menyadari tentang dua bocah itu. Dia juga tidak melihat kehadiran kami. Jadi tidak menduga kalau dua bocah kecil itu ternyata Gala dan Meida.Kalau mereka tahu sudah barang tentu gercep dan mengatasi mereka. Tidak membiarkan sang bos sampai harus menjemput dua anaknya di sana.“Tuan Edward sayang banget ya sama anak-anaknya.” Kedengar gumaman itu dibalik punggungku.“Iya, kupikir hanya bisa marah-marah di kantor seperti tadi marah besar pada Tu
“Ma... dilihatin pelayan dan Sus, tuh! Mama enggak malu sama mereka?” Meida terlihat kesal melihat kemesraan kami.“Ya deh, Pa. Kita pindah ke kamar, yuk biar enggak dilihatin!” Aku bangkit dan menarik lengan Ed.Membuat Meida langsung berlari menahan lengan papanya dan merajuk.Sekarang malah ganti aku yang menggoda anak perempuanku itu. Enggak heran deh kalau Meida jadi cengeng.Habis, dia mudah sekali digodain....“Ada apa, Ed?” tanyaku karena tadi dia sampai memanggilku saat aku masih bersama ibu.Ed tidak akan menggangguku yang masih berbicara dengan ibu kalau bukan karena ada sesuatu yang ingin disampaikannya.“Sam tadi baru menyampaikan ada undangan hari ini dari salah satu dewan direksiku. Tidak enak juga kalau tidak datang karena kami lumayan dekat di kantor. Kamu bisa temani aku, kan?”“Undangan apa itu, Sayang?”“Pertunangan putrinya. ““Baik, Sayang,” ujarku menyanggupi.Lalu aku baru ingat tentang Erik yang sudah tidak berada di rumah saat kami pulang dari liburan.“Erik
Kesibukan Ed dan beberapa hal yang sangat membutuhkan keberadaannya di Jakarta membuat liburan kami tidak bisa berlama-lama.Padahal Ed tidak begitu saja lepas pekerjaan saat kami liburan.Ketika anak-anak sudah tidur, biasanya dia membuka laptopnya sekedar berkordinasi dengan Sam mengenai urusan kantor atau lainnya.Perbedaan waktu antara negara tempat kami berlibur dengan Indonesia membuat Ed serasa selalu sibuk sepanjang waktu.Semisal anak-anak sudah lelah dan beristirahat ketika malam hari. Ed masih bisa mengadakan meeting jarak jauh dengan pegawainya di Indonesia yang masih di jam kerja.Karena musim dingin, jadi kami menggunakan waktu siang hari yang masih relatif jarang turun salju daripada ketika menjelang malam hari untuk jalan-jalan.Jadi malam harinya kami bisa bersantai di sebuah rumah yang kami sewa, menyalakan api di perapian untuk menghangatkan diri, menikmati minuman hangat dan kudapan bersama anak-anak sembari melihat salju berjatuhan dari jendela kaca. Gala dan