“Kamila...”
Panggilan itu membuatku membeku. Lalu beberapa saat kemudian kuberanikan diri membalikan badan ke arahnya.
Tidak apa, Mila.
Hadapi saja.
Kau memang harus menyelesaikan semuanya agar untuk selanjutnya bisa bersikap sebagaimana mestinya.
Sebagai dua orang yang sudah selesai dengan hubungan masa lalu...
“Apa kabar?” Ed bertanya dengan gumaman yang terdengar dalam, seolah menahan banyak hal yang ingin dikeluarkannya padaku.
Kurasa dia ingin marah namun masih ditahannya.
Aku pun sudah siap menerima kemarahannya.
“B-baik, Tuan.” Kujawab dengan panggilan tuan karena posisi kami memang seperti itu saat ini.
Beberapa saat kami hening dan kubiarkan tatapan Ed tidak bersambut karena kutundukan pandangku.
“Hmm, baguslah. Kalau ternyata hidupmu baik-baik saja. Aku senang kau bisa melupakanku dengan baik.” Ed kemudian bersuara membuatku terpancing untuk menatapnya balik.
Kulihat pria yang
Setelah menyerahkan beberapa berkas tadi pada Tika dan Beni yang masih di tempat meeting, tanpa ada penjelasan aku melangkah pergi.Aku berjalan ke tukang ojek di pangkalan agar mengantarku pergi dari tempat itu.Apa yang aku rasakan tidak bisa kuungkapkan.Aku hanya sedih sekali.Sepertinya tidak mau lagi bertemu dengan masa lalu dan mengungkitnya.Bertahun-tahun sudah kucoba melupakan semuanya dengan berusaha tegar menjalani hidupku hanya demi dua buah hatiku.Tidak tahu apa alasan Tuhan pada akhirnya mempertemukan kami kembali? “Turun di depan Restauran Rocky Chicken itu, Bang!” ujarku pada tukang ojek.Sesedih apapun, aku masih ingat, Meida minta dibelikan ayam dan burger. Biasanya aku mengajaknya ke tempat ini.Menunggu pesananku, aku harus masuk ke toilet untuk menghapus sisa-sisa air mataku. Menuntaskan air mataku yang sepertinya kembali tercurah.Setelah sedikit puas, kuhela napas panjang-panjang la
“Ibu baik-baik saja, besok hanya periksa lagi ke rumah sakit,” ujar ibu menjelaskan kondisinya.“Periksa? Kok ibu tidak bilang kalau harus balik lagi untuk periksa?” Aku tidak diberitahu tentang hal itu, membuatku mencemaskan ibu.“Kalau begitu, besok Mila kan libur, Mila antar ya, Bu?” aku juga ingin tahu sebenarnya ibu sakit apa. Kalau wanita ini tidak mau mengatakannya, aku akan tanyakan langsung pada dokternya.“Kenapa secemas itu, Ibu ini sudah tua, dokter menyarankan harus sering chek up kesehatan. Tidak ada yang serius, kok!”“Tidak apa, Bu. Nanti akan Mila antar.” Aku bersih keras mengantar ibuku.“Kau tadi kan sudah bilang akan mengajak anak-anak jalan—jalan. Jangan ah, Ibu bisa naik becak atau ikut Parto kalau kebetulan berangkat narik angkotnya.” Wanita ini masih menolak.Tapi ibu benar, aku sudah terlanjur menyanggupi anak-anak jalan keluar tadi.
“Gala belum tidur?” tanyaku yang sesaat tadi membeku sudah seperti maling yang ketahuan.Bagaimana bocah kecil itu tiba-tiba keluar mendengar pembicaraan kami?Tidak mau saja dia terlalu dini harus kuberitahu sebuah kebohongan bahwa papanya sudah tidak ada.Sebenarnya ada rasa tidak tega juga harus mengatakannya. Mudah-mudahan Ed panjang umur dan sehat selalu.Ini hanya untuk kebaikan anak-anaknya.Lihatlah, seburuk apapun hubungan kami aku tentu tidak bisa melihat papa anak-anakku dalam kondisi itu.“Kenapa Mama tidak bilang pada teman-temanku kalau papa Gala sudah meninggal?”“Kenapa, Sayang. Ini sudah malam, besok kita jalan-jalan ‘kan?” aku menghampirinya dan membujuknya kembali ke tempat tidur.“Soalnya mereka suka olok-olok Gala dan Meida anak haram, Ma!”Deg!Mendengar kata itu dari bibir Gala sendiri hatiku meradang.Apa anak sekecil ini ta
Kedua bocah kecil itu sudah heboh bukan main sejak tadi sudah merengek untuk segera berangkat.Sekarang saat aku menjinjing tas yang berisi barang-barang mereka, keduanya yang hari ini aku pakaikan kaos sama denganku langsung berlari di dekat motor karena tidak sabar akan segera meluncur.Gala sudah duduk dibelakangku dan kupasang sabuk bonceng di tubuhnya. Sementara Meida tidak perlu kupakaikan karena ada di depan.Wisata Taman Kota juga tidak jauh dari perumahanku, hanya sekitar 20 menitan.Tapi karena aku memiih aman, kulewati jalan poros antar kampung saja dengan waktu tempuh lebih lambat 15 menitan. Tidak apa, asal anak-anak nyaman dan selamat sampai tujuan.Di tengah jalan sepertinya gerimis turun, aku memilih menepikan motorku ke emperan toko untuk berteduh sejenak. Menunggu saja sambil melihat apakah akan lebih deras atau tidak. Sepertinya tidak akan lama.“Ma, kalau kita punya mobil, enak ya, Ma?” celutuk Gal
“Maaf, Om. Mama melarang kami dekat-dekat dengan orang asing. Permisi!” Gala menarik lengan saudara perempuannya menjauh.Aku menghela napas lega dan kulihat mereka berjalan balik ke tempat aku duduk tadi.Ed masih tertegun menatap dua bocah kecilku. Adakah dia merasa familiar dengan wajah anak-anaknya sendiri?“Sayang...” suara panggilan dari wanita itu membuatnya teralihkan.Aku mendegus melihatnya langsung berbalik badan untuk menemui wanitanya.Percuma juga tadi aku sampai ketakutan dia mengenali anak-anakku. Nyatanya wanita itu sekarang yang sudah menguasainya.Pak Bupati bilang, saking cintanya Ed dengan Jessica, dia sampai rela menginvestasikan modalnya untuk pembangunan hotel dan resort di kabupaten kecil ini.“Mama cari kita?” Gala dan Meida lebih cepat sampai di tempatku duduk tadi. Anak-anak ini masih ingat tempat aku menunggu mereka padahal arena di sini berkelok-kelok.“Iya
Paginya, sebelum aku berangkat, kusempatkan menghubungi Rafael untuk mengkonfirmasi tentang yang disampaikan Pak Betha kemarin. Lalu pria itu membenarkan.“Nona datang saja ke kantor sementara kami, di Gedung Plaza Kota lantai 9, nanti tentang bagaimananya akan kami jelaskan,” tukas Rafael menjawab pertanyaanku.“Apa yang harus kami persiapkan? Adakah berkas-berkas tentang proyek yang kemarin harus saya bawa lagi?” tanyaku memastikan sebelum berangkat.Karena kalau masih harus membawanya tentu aku harus mampir dulu ke kantor.Arah kantorku dengan tempat yang disampaikan Rafael berlawanan arah. Tidak mau saja sudah sampai sana aku harus balik lagi ke kantor.“Oh, baiklah, Pak Rafael. Aku akan langsung ke sana saja,” ujarku bergegas mengambil tasku dan bersiap untuk ke kantor.Ini hari senin. Anak-anak sepagi tadi sudah berangkat karena sekolahnya sudah mulai membiasakan upacara untuk anak-anak usia di
Menjadi asisten pribadi?Apa aku tidak salah dengar?Saat kutanya mengapa Rafael memintaku yang menjadi asisten pribadi big bosnya itu, dia hanya memberikan alasan yang sederhana bahwa dia sama sekali tidak tahu menahu tentang kota ini.Jadi memintaku mencarikan orang asli kota ini sekaligus sebagai referensi tentang banyak hal yang berkaitan dengan kultur kota ini.“Dengan memilih Anda sebagai asisten beliau, saya harap proyek kerja sama ini berjalan lebih baik. Karena Anda juga bisa memberikan banyak masukan bagaimana selera pasar masyarakat kota ini yang akan kita bawa ke pangsa pasar lebih luas.”“Dan saya yakin, jika semua berjalan sesuai rencana, tidak sampai 10 tahun ke depan, kota kecil ini akan menjadi kota yang maju dengan potensi sumber daya alamnya yang memadai. Itulah yang diharapkan Bapak Bupati Anda ‘kan?” penjelasan Rafael yang sangat profesional itu membuat bulu kudukku berjingkat.Sebagai orang
“Bagaimana kalau ada apa-apa dengan hidungku?” Ed membuat panikku tidak berkurang.“Sebentar, biar aku kompres dulu!” tukasku segera menghampirinya. Membungkukan sedikit badanku pada Ed yang duduk di kursinya agar bisa memeriksa keadaan hidungnya.Dengan lembut segera kuusapkan tisu yang sudah kubasahi air dingin itu di hidung pria ini.Karena terlalu serius, untuk beberapa saat aku sama sekali tidak merasa ada yang salah.Hingga tak sengaja kutatap Ed yang mungkin sejak tadi sedang menatapku.Posisi wajah kami pun sangat dekat.Seketika aku membeku.Saat tersadar aku langsung menarik diri dan berdiri canggung di samping kursinya. “Kenapa berhenti?” Ed dengan lempeng masih bertanya. Tisu itu masih menempel di hidungnya.Kulirik pria ini dan aku baru menyadari satu hal, sepertinya dia hanya mengerjaiku.Aku jadi ingat, Ed dulu memang begitu. Sedikit tengil dan suka sekali mengusiliku.Astaga. Apa dia sudah lupa bahwa di antara kita ada masalah yang rumit?“Tuan, jangan main-main,” u
“Sayang kau dari mana?” tanyaku melihatnya datang bersama beberapa perawat.Padahal sudah ada tombol darurat yang bisa dipencet untuk memanggil mereka. Bagaimana pria ini malah keluar untuk memanggil mereka secara manual? Pasti saking paniknya tadi.Dan lagi sekarang dia malah terlihat memarahi perawat itu.“Harusnya kalian memberinya obat anti nyeri. Apa tidak tahu istri saya sampai kesakitan begitu?”“Pemberian injection anti nyeri juga harus sesuai perintah dokter, Tuan. Kami tidak berani memberikannya lagi pada Nyonya karena tadi sudah kami berikan. Nanti ada waktunya lagi,” jelas salah seorang perawat pada Ed. “Tapi istri saya kesakitan, lho!” Ed masih terlihat kukuh.Kutarik lengannya agar dia bersikap lebih santai.Ada apa dengannya? Biasanya dia cuek dan santai-santai saja. Melihatku sedikit meringis saja sudah panik begitu. “Ah maaf, Sus. Tadi hanya sensasi rasa perih di area jahitan. Tapi sekarang sudah tidak, kok. Maaf, ya? Suami saya sedikit berlebihan tadi.”***Dua har
“Sayang?” suara Ed kudengar dan aku membuka mataku menatapnya yang terlihat cemas.“Ed? Kapan selesai operasinya? Aku sudah tidak sabar ingin tahu anak-anakku,” tukasku menggenggam balik tangan yang menggenggamku itu. Ed tersenyum meski pias wajahnya tampak lelah sekali. Dia membelai rambutku dan mencium keningku.“Operasinya sudah selesai sejak tadi, Sayang. Dokter bilang kau hanya tidak tahan dengan efek obat bius yang disuntikkan padamu.”“Ya Allah, Ed. Kasihan anak-anakku tidak bisa inisiasi menyusu dini.” Aku mencoba bangkit tapi Ed menahanku.“Tenanglah, Mila. Kau baru saja dipindah dari ruang pemulihan. Jangan banyak bergerak dulu.”“Tapi bayi-bayiku?”“Kata dokter tidak apa-apa, kok. Yang penting pulihkan dulu keadaanmu.”“Iya, tapi bayi-bayiku mana, Sayang?”Aku tentu ingin melihat mereka.Bagaimana bisa aku terlelap dengan damainya, bahkan tidak bisa mendengar suara jeritan pertama buah hatiku?Padahal, bisa mendengar suara mereka pertama saat terlahir ke dunia ini adala
Aku terbangun dengan sedikit terkejut melihat sudah tidak berada di mobil lagi.Ed sudah menggendongku ke apartemennya.Ini adalah kamar pertama kali dia mengajakku ke tempatnya pasca kami menikah dulu. Saat itu aku terkejut dan sampai menendangnya hingga terjungkal ke lantai.“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya sembari memelukku.Aku tidak tahu kalau Ed ternyata sejak tadi berbaring di sampingku dan memperhatikanku. “Aku hanya ingat saat pertama kau membawaku ke sini, Sayang.” Kumiringkan tubuhku untuk bisa menghadapnya.“Oh, benar. Apa yang membuatmu menarik senyum?”“Banyak. Tentang aku yang terkejut karena kau ternyata tinggal di tempat mewah ini sementara yang kutahu kau hanya seorang sopir truk. Juga tentang kau yang selalu curi-curi cium padaku.”Ed tertawa mendengar secuil ingatanku tentang saat-saat pertama kebersamaan kami sebagai suami istri. Tangannya sudah membelai pipiku dan menatapku dengan penuh binar cinta. Dia juga pasti berendezvous dengan masa-masa itu.“Saat itu pe
“Tante?!” ujarku antara ragu dan terkejut.Wanita itu melototiku tanpa berkedip. Membuat Ed langsung merangkulku cemas kalau-kalau wanita itu malah akan menyakitiku.Seperti biasa, saat merasa ada sesuatu yang membahayakan kami seperti ini, dua orang datang untuk mengambil tindakan. “Mila... Kamila?!” wanita itu langsung bersimpuh dan menangis di kakiku.Ketika dua pria misterius itu hendak menyingkirkannya, aku menahannya.Ed memberi isyarat agar pria itu membiarkan dulu sembari mengawasinya.“Mila, maafkan aku, Mila. Maafkan tantemu yang jahat ini!” isak wanita itu yang kini aku seratus persen yakin kalau itu adalah Tante Desi.Kulepaskan rangkulan Ed agar aku bisa membantu tanteku itu bangkit dari posisi bersimpuhnya di kakiku. Sungguh aku tidak nyaman sekali dengan hal itu. Ed melepasku namun tetap waspada. Cemas saja kalau wanita itu tiba-tiba akan menyakitiku.Ed tahu bagaimana sepak terjang Tante Desi. Dia jugalah yang bertanggung jawab membuat kami terpisah dalam kesalahp
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar
Aku terkejut melihat Niko yang ada di tempat yang sama dengan kami. Dia tidak sendiri tapi bersama seorang wanita dan itu bukan Ceryl. Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk kami.Mau apa dia di sini? “Sopir truk? Kau yakin dia seorang sopir truk?” tanya wanita itu.Siapa juga yang percaya kalau suamiku yang tampan dan rapi dipanggil sopir truk oleh pria yang tidak tahu malu ini.Tidak tahu malu karena barusan sudah merencanakan hal buruk dengan mengirim perempuan ke suit pribadi kami dan berniat mengacaukan Ed.Untung aku yang lebih dulu sampai jadi mereka tidak punya kesempatan memanipulatif keadaan.Jangan-jangan dia di sini juga karena ingin memastikan rencananya berhasil.Sudah tahu atau belum kalau rencananya tidak berjalan dengan baik?Entahlah, dibawa ke mana dan diapakan dua wanita tadi oleh asisten suamiku.“Hallah, jaman sekarang apa yang tidak mungkin. Pemulung memakai baju mahal sudah banyak. Justru orang kaya yang sebenarnya malah berpenampilan apa adanya.” Niko me
“Sam yang akan mengurusnya,” tukasnya setelah menelpon Sam beberapa saat yang lalu.“Aku tidak mengerti?” aku masih belum puas dengan jawaban Ed. Dia tidak menjelaskan banyak hal padaku.“Temanmu itu pasti kesal karena investornya banyak yang berpindah ke perusahaan kita. Jadi, mungkin dia marah dan ingin berbuat ulah denganku. Apalagi saat ini bisnisnya mulai tersudut dengan banyaknya korban investasi yang melapor penipuan investasi bodong itu,” jelas Ed.Dan aku memang baru mendengar hal itu setelah beberapa bulan ini sama sekali tidak memikirkan tentang kejadian itu. Pasti Ed sengaja meminta Sam membuat kacau bisnis Niko karena sudah mencoba melecehkanku. Tentang investor yang banyak berpindah ke perusahaan Lavidia aku pikir hanya trik saja dan bukannya sedang membutuhkannya.Kasihan sekali kalau benar itu terjadi. Dia baru saja bisa unjuk gigi dengan julukan crazy richnya. Istrinya yang matre itu pasti sekarang sangat kecewa padanya. Sayangnya aku sudah tidak lagi ada di group
“Siapa kalian?” tanyaku pada dua wanita itu sembari berkacak pinggang. Napasku sudah naik turun dan untuk sesaat aku hampir ingin berteriak-teriak menyerang mereka. “Saya hanya disewa untuk melayani pemilik hotel ini, Anda siapa?” ujar wanita itu yang dengan berani malah bertanya balik padaku.Pria yang katanya asisten baru itu tidak berani menyela dan memilih keluar.Biarlah. Biar dia memanggil bosnya agar cepat datang ke tempat ini dan melihat bahwa aku ada di tempat di mana dia sedang menyewa dua wanita ini untuk menghiburnya.Keterlaluan dia!Apa sangat tidak tahannya hingga menyewa dua wanita ini untuk memenuhi napsunya?!“Pekerjaan kami hanya melayani pria yang sudah membayar kami. Kalaupun Anda adalah kekasih atau istrinya, tolong hargailah pekerjaan kami,” ujar wanita satunya yang malah membuat isi kepalaku bertambah semrawut.Eh. Apa dia kata?Sadar atau tidak dia ngomong seperti itu?“Mana ada seorang istri yang harus menghargai pekerjaan orang yang ingin melayani suamin