Menjadi asisten pribadi?
Apa aku tidak salah dengar?
Saat kutanya mengapa Rafael memintaku yang menjadi asisten pribadi big bosnya itu, dia hanya memberikan alasan yang sederhana bahwa dia sama sekali tidak tahu menahu tentang kota ini.
Jadi memintaku mencarikan orang asli kota ini sekaligus sebagai referensi tentang banyak hal yang berkaitan dengan kultur kota ini.
“Dengan memilih Anda sebagai asisten beliau, saya harap proyek kerja sama ini berjalan lebih baik. Karena Anda juga bisa memberikan banyak masukan bagaimana selera pasar masyarakat kota ini yang akan kita bawa ke pangsa pasar lebih luas.”
“Dan saya yakin, jika semua berjalan sesuai rencana, tidak sampai 10 tahun ke depan, kota kecil ini akan menjadi kota yang maju dengan potensi sumber daya alamnya yang memadai. Itulah yang diharapkan Bapak Bupati Anda ‘kan?” penjelasan Rafael yang sangat profesional itu membuat bulu kudukku berjingkat.
Sebagai orang
“Bagaimana kalau ada apa-apa dengan hidungku?” Ed membuat panikku tidak berkurang.“Sebentar, biar aku kompres dulu!” tukasku segera menghampirinya. Membungkukan sedikit badanku pada Ed yang duduk di kursinya agar bisa memeriksa keadaan hidungnya.Dengan lembut segera kuusapkan tisu yang sudah kubasahi air dingin itu di hidung pria ini.Karena terlalu serius, untuk beberapa saat aku sama sekali tidak merasa ada yang salah.Hingga tak sengaja kutatap Ed yang mungkin sejak tadi sedang menatapku.Posisi wajah kami pun sangat dekat.Seketika aku membeku.Saat tersadar aku langsung menarik diri dan berdiri canggung di samping kursinya. “Kenapa berhenti?” Ed dengan lempeng masih bertanya. Tisu itu masih menempel di hidungnya.Kulirik pria ini dan aku baru menyadari satu hal, sepertinya dia hanya mengerjaiku.Aku jadi ingat, Ed dulu memang begitu. Sedikit tengil dan suka sekali mengusiliku.Astaga. Apa dia sudah lupa bahwa di antara kita ada masalah yang rumit?“Tuan, jangan main-main,” u
“Biar aku bawa berkas-berkas ini!”Aku segera bangkit dan mengemasi map-map di meja sebelum Ed nanti yang malah membawanya kembali ke ruang kerjaanya.Hanya tinggal kami di ruang rapat itu karena yang lain diminta menyelesaikan beberapa pekerjaan untuk kembali dirapatkan setelah ini.Karena aku tidak mau Rafel menegurku dengan membiarkan big bosnya membawa barang-barang sementara aku yang merupakan asistennya melenggang tidak melakuan pekerjaan, aku segera mengambil map-map itu. “Taruh lagi di meja, Mila.” Ed memintaku kembali meletakan map-map itu di meja.“Maaf, ini pekerjaan saya, Tuan!” aku tidak mengindahkan ucapannya.“Mau dibawa kemana?”“Keruang kerja, Tuan, ‘kan?”“Tapi habis ini ada meeting lagi di sini. Kau mau bolak-balik hanya bawa map itu?” Ed baru memberitahuku tentang hal itu.“Oh, apa? Ahaha. Aku pikir meetingnya sudah selesai.” Kuletakkan kembali map itu di meja dan sedikit malu pada Ed.Bagaimana aku lupa kalau setelah ini masih ada meeting lagi dengan beberapa pe
“Suaminya menghilang tidak tahu di mana berada,”Deg!Vanka keterlaluan sekali sudah sampai membeberkan tentang privasiku yang itu.Aku sangat merasa tersinggung.Tapi herannya, bagi mereka yang tidak tahu apa-apa justru bertepuk tangan dan menganggap Vanka sebagai seorang rekan kerja yang baik dan sedang mendukungku.Keresahanku itu kusembunyikan dan mencoba berpikiran positif saja.Ketika aku menoleh ke arah Ed, aku melihatnya sedang menyembunyikan rasa terkejut.Pasti sebelum ini dia tidak menyangka aku sudah memiliki anak.Padahal itu juga anaknya sendiri.Saat meeting berakhir, kebetuan Rafael memintaku mengurus sedikit berkas untuk dibawa ke meja Ed agar dia bisa membubuhkan tanda tangannya.Di sela itu aku pamit ke belakang dan ingin sekedar mempertanyakan hal itu pada Vanka.“Vanka!” panggilku pada wanita itu.“Ya, ada apa?” Vanka menyahuti dingin.“Apa maksudmu berkata demikian?” Aku langsung membahas pernyataannya tadi.“Kenapa? Apa ada yang salah dengan ucapanku tadi? Semua
“Hari ini terakhir isi blankonya, Mila. Kalau tidak mengumpulkan dianggap tidak bersedia ikut.”Ibu menyodorkan dua kertas formulir dari sekolah si kembar itu padaku. Kubaca sekilas program belajar di luar kelas sekalian rekreasi untuk anak dan pendamping. “Kenapa tidak ibu isi saja?”Ibu bukan orang yang tidak bisa baca tulis. Kalau sekedar mengisi blanko beliau tentu bisa. Tidak perlu sampai harus menungguku yang menulisi formulir itu apalagi sampai hari terakhir belum diserahkan. Kalau dianggap tidak ikut kasihan anak-anak pasti sedih mendengar keseruan cerita teman-temannya yang lain.“Nunggu kamu, Mila.”Akhir-akhir ini, punya jabatan baru sebagai asisten big bos perusahaan Lavidia membuatku sibuk sekali hingga ibu tidak tega mengusikku.Baru di hari terakhir pengumpulan itu, Ibu ingat.“Ini berkenaan dengan biaya, Mila. Belajar di luar kelasnya sekalian outbond, edukasi flora dan fauna, juga ada program bahasa inggris yang nanti dapat sertifikat. Per anak dikenai biaya hampir
“Ini baru mau berangkat, Tuan,”Sejak tadi aku sudah bersiap di atas motor. Bagaimana bisa berangkat kalau panggilannya tidak segera di tutup? “Seorang asisten itu harus sudah ada di kantor sebelum tuannya datang. Jangan datang telat, ya?” Ed mengingatkan."Maaf, Tuan. Ini baru jam 07.00. Jam kantor jam 08.00 kan?”Masih ada 1 jam, seharusnya aku tidak bisa dianggap terlambat. Pria ini saja yang kerajinan.Tidak tahu juga jam berapa dia berangkat ke kantor tadi. “Apa Rafael tidak memberitahumu kalau kita harus survey tempat?” “Iya, Tuan. Saya akan berangkat. Apa boleh aku mematikan panggilan agar bisa segera berangkat?” Kusampaiakn hal itu agar dia tahu aku tidak akan bisa berangkat kalau dia masih mengoceh saja. “Berapa menit sampainya?” Bukannya menutup panggilan Ed malah bertanya.“Sekitar 20 menit, Tuan.”“Eh. Bukannya kau bilang rumahmu di sekitar kantor bupati? Itu tidak jauh. Palingan 10 menit sudah sampai.”“Tapi biasanya aku sampai ke Plaza Kota memang 20 menitan.”Yan
Mungkin di mata Ed aku ini memang hanya sebatas itu sekarang.Tak ubahnya seorang wanita yang dalam lima tahun terakhir ini sudah bergonta-ganti pria lebih dari satu atau dua orang.Sebut saja Ed tahunya aku punya dua anak dalam kurun waktu itu dan tidak memperkirakan anakku kembar.Lalu, dia pasti berpikir itu bukan hanya anak Ramzi tapi anak pria lainnya lagi.Karena kabar tentang Ramzi yang tertangkap atas kasus pembunuhan Tania, Ed pasti tahu hal itu.Sekarang pria yang membuat rumah tanggaku berantakan itu sedang menjalani masa hukumannya yang panjang.Hhg. Biar saja semau Ed menilaiku. Terserah. Mending begini saja sampai selanjutnya...“Saya tahu jadwal kerja saya, jadi saya tidak terlambat, lho, Tuan!” Aku menunjukan jam digital di meja agar Ed tidak memarahiku karena menurutnya aku terlambat.“Aku kira kau terlambat karena pacaran dulu sama Pak Bupati sebelum datang ke kantor.”Apa sih pria ini?Sekarang malah mengiraku pacaran dengan Pak Bupati.Padahal aku sudah pernah m
“Jangan becanda, Ed!”Tanpa sadar aku memanggil hanya nama pendeknya saja tanpa embel-embel tuan, seperti dulu. Ed malah menyeringai. Sepertinya dia tidak keberatan aku memanggilnya begitu.“Kalau kau tidak mau ganti, terserah!”Aku mencebik dan tidak peduli pria itu mau mengganti bajunya atau tidak.Seingatku Ed suka kebersihan dan pasti jijik kaalau berlama-lama dengan baju yang penuh cipratan lumpur itu.“Ya sudah!” Ed bangkit berjalan ke mobil.Apa pria ini benar tidak mau ganti bajunya?Kuingat agenda hari ini masih ada meeting di kantor selepas survey. Kalau dia balik ke kantor dengan pakaian yang kotor itu, Rafael bisa-bisa memarahiku. Membiarkan pria ini dengan keras kepalanya tidak mau ganti.Astaga. Kenapa dia tidak ubahnya seperti Gala.Menjengkelkan!“Tuan!” Aku berlari membuntutinya. “Oke, aku temani ke dalam buat ganti baju.”Terpaksa aku menyanggupi permintaannya.Ed menghentikan langkahnya dan berbalik kembali menuju warung. Dia juga menyeret lenganku agar mau mengiku
Jessica menarik tanganku dengan kasar dari tubuh Ed dan hendak memberiku pelajaran.Namun Ed dengan sigap memeluknya dan menjauhkannya dariku.“Tidak tahu malu, jelas-jelas ini di kantor tapi kau main peluk calon suami orang!” teriakan Jessica menarik perhatian beberapa orang yang kebetulan di sekitar.“Jessy, jangan memalukan begini. Dia tadi hampir terjatuh dan reflek memelukku,” tukas Ed memberi pengertian pada calon istrinya itu dan membimbingnya masuk ke dalam lift.“Sebentar, Reza pernah bilang bahwa dia hanya wanita yang dimintanya mengaku sebagai kekasihnya agar tidak malu di depanku. Sekarang aku tahu, serendah apa dirinya yang begitu saja mau mengaku sebagai kekasih seseorang padahal di antara mereka tidak ada apa-apa.” Jessica masih belum puas. Dia berusaha meneriakiku dengan harapan mempermalukanku.“Ngomong apa sih, itu urusan mereka.” Ed kembali menarik lengan Jessica masuk lift dengan cepat. Dia tahu wanitanya cemburu hingga mengatakan hal yang tidak berbobot itu.Meli
Erik menatapku sejenak sembari menelisik hal apa yang membuatku bertanya seperti itu.Lalu dia hanya mengulas senyum tipis sebelum mengatakan, “Hanya masa lalu, tapi jangan diambil hati, ya?”Aku mengernyitkan dahiku dan tidak sabar bertanya kembali, “Masa lalu seperti apa?”“Ah, sudahlah. Ayo naik. Katanya mau ketemu Ed?”Erik hendak menekan tombol lift tapi aku menahan lengannya.Hubungan kami sudah lebih baik dan aku menikmati kebersamaan ini sebagai kedekatan saudara ipar saja.Ed sangat bijaksana menyikapi ini, dia melihat Erik berubah total setelah sering bersama kami.Erik bahkan bukan lagi Erik yang lebih suka bermabuk-mabukan dan main pelacur saat stres menghadapi masalah.Tapi, Erik yang sudah mau menjalankan kewajibannya sebagai seoarng muslim, Erik yang selalu hangat pada keponakannya, dan sekarang pola hidupnya pun jauh lebih sehat.“Bagaimana kalau kita duduk dan kau bicarakan tentang sesuatu yang kau sebut masa lalu? Aku bisa menunggu beberapa saat untuk yang lainnya
Ed bahkan mendengar Gala merajuk saat meminta izinku untuk mengikuti Erik?Berarti Ed sudah ada di sana ketika aku memeluk Erik tadi karena anak-anak yang mendesak.“Oh, kau sudah di sana dan tidak langsung datang pada kami?”Aku jadi sensi lagi. Hati kecilku tidak terima kalau seandainya Ed sudah ada di sana tapi malah berlagak tidak tahu apa-apa? Apa maksudnya? Ed membuka matanya dan menatapku sayu. “Kenapa?”“Apa maksudmu tidak langsung datang saat melihat kami mengobrol? Padahal kami menunggumu, Ed?” ujarku mengumbar kesal.“Aku masih bicara dengan Pak Rawan, apa sopan langsung kutinggal melipir ke arahmu dan Erik yang berpelukan?”“Tuh, kan?” sahutku karena Ed membahas kami yang pelukan.“Tuh kan, kenapa?” Ed membalikan ucapan itu padaku.Aku bingung sendiri dan sialnya jadi terlihat naif sekali di depan suamiku yang raut wajahnya setenang malam itu. Padahal suasana di dalam hatinya sana sungguh misterius dan menyeramkan.“Jangan marah, ya?”Aku mencoba memperbaiki sikapku. N
“Ma, kita nginap di rumah Om Erik, ya?” Gala menolak saat kuminta masuk ke mobil papanya. Dia pengen ikut omnya itu walau Erik juga sudah memintanya masuk ke mobil papanya.“Gala, nanti ngrepotin Om, lho!” Aku masih membujuknya.Sayangnya Gala masih berkeras mau ikut Erik.“Ya sudah enggak apa-apa, Mila. Biar Gala ikut aku, saja,” tukas Erik padaku.Aku belum memberitahu Ed apakah mengizinkan Gala menginap bersama Erik di rumah keluarga. Tapi aku pikir Ed tidak akan melarangnya. Jadinya, kubolehkan saja.“Edward mana, Mila?” Erik bertanya.Tadi Ed bersamaku hendak ke mobil. Tapi karena ada panggilan dia bilang ingin ke dalam sebentar. Entah siapa yang memanggilnya.“Enggak apa, aku bisa nunggu di mobil. Palingan ada sesuatu yang tertinggal,” dugaku.“Kalau begitu kita balik dulu,” tukas Erik sembari menggandeng Gala.“Meida, aku sama om Erik, jangan cariin aku, ya?” Gala berteriak ke dalam mobil dan melambai pada adik perempuannya itu.Meida membuka kaca mobil dan berseloroh. “Sana,
Ed langsung berjalan ke panggung dan meminta dua anaknya turun panggung. Dia juga tidak malu mengendong dua bocah yang sudah tampak lebih besar itu sembari meminta maaf pada pasangan yang bertunangan.Sambutan yang di sampaikan Pak Rawan sempat terhenti karena kegaduhan tawa beberapa undangan yang melihat dua bocah lucu itu.Mereka justru terhibur dengan kerandoman dua bocah itu.Apalagi melihat sang big bos di perusahaan mereka langsung turun tangan menjemput dua perusuh kecil itu di atas panggung, mereka banyak yang terkesan.Sam dan Ari baru menyadari tentang dua bocah itu. Dia juga tidak melihat kehadiran kami. Jadi tidak menduga kalau dua bocah kecil itu ternyata Gala dan Meida.Kalau mereka tahu sudah barang tentu gercep dan mengatasi mereka. Tidak membiarkan sang bos sampai harus menjemput dua anaknya di sana.“Tuan Edward sayang banget ya sama anak-anaknya.” Kedengar gumaman itu dibalik punggungku.“Iya, kupikir hanya bisa marah-marah di kantor seperti tadi marah besar pada T
“Ma... dilihatin pelayan dan Sus, tuh! Mama enggak malu sama mereka?” Meida terlihat kesal melihat kemesraan kami.“Ya deh, Pa. Kita pindah ke kamar, yuk biar enggak dilihatin!” Aku bangkit dan menarik lengan Ed.Membuat Meida langsung berlari menahan lengan papanya dan merajuk.Sekarang malah ganti aku yang menggoda anak perempuanku itu. Enggak heran deh kalau Meida jadi cengeng.Habis, dia mudah sekali digodain....“Ada apa, Ed?” tanyaku karena tadi dia sampai memanggilku saat aku masih bersama ibu.Ed tidak akan menggangguku yang masih berbicara dengan ibu kalau bukan karena ada sesuatu yang ingin disampaikannya.“Sam tadi baru menyampaikan ada undangan hari ini dari salah satu dewan direksiku. Tidak enak juga kalau tidak datang karena kami lumayan dekat di kantor. Kamu bisa temani aku, kan?”“Undangan apa itu, Sayang?”“Pertunangan putrinya. ““Baik, Sayang,” ujarku menyanggupi.Lalu aku baru ingat tentang Erik yang sudah tidak berada di rumah saat kami pulang dari liburan.“Erik
Kesibukan Ed dan beberapa hal yang sangat membutuhkan keberadaannya di Jakarta membuat liburan kami tidak bisa berlama-lama.Padahal Ed tidak begitu saja lepas pekerjaan saat kami liburan.Ketika anak-anak sudah tidur, biasanya dia membuka laptopnya sekedar berkordinasi dengan Sam mengenai urusan kantor atau lainnya.Perbedaan waktu antara negara tempat kami berlibur dengan Indonesia membuat Ed serasa selalu sibuk sepanjang waktu.Semisal anak-anak sudah lelah dan beristirahat ketika malam hari. Ed masih bisa mengadakan meeting jarak jauh dengan pegawainya di Indonesia yang masih di jam kerja.Karena musim dingin, jadi kami menggunakan waktu siang hari yang masih relatif jarang turun salju daripada ketika menjelang malam hari untuk jalan-jalan.Jadi malam harinya kami bisa bersantai di sebuah rumah yang kami sewa, menyalakan api di perapian untuk menghangatkan diri, menikmati minuman hangat dan kudapan bersama anak-anak sembari melihat salju berjatuhan dari jendela kaca. Gala dan
“Kalau bisa, kujambak sekalian saja rambutnya!” ujarku yang masih kesal sementara Ed hanya tertawa saja.“Ngapain juga sih masih kunjungin wanita seperti itu?”“Iya, sabar, buk!” Sambil menyetir Ed masih terkekeh.Kami segera sampai disebuah bangunan yang megah sekali. Sebuah gereja berkubah yang tampak sangat agung. Ed tadi bilang ini Katredal Monreale.“Kalau sudah hilang kesalnya kita masuk?” Ed melihat raut wajahku yang masih ketarik itu.“Belum. Aku mau duduk sebentar dan kau harus menjawab pertanyaanku dengan baik. Jadi kalau sampai aku bertanya pada orang lain, itu karena kau yang pelit sekali informasi tentang kelurgamu, Ed!” sekalian kukeluarkan kesalku agar nanti tinggal bersenang-senang melihat katredal yang terkenal itu.“Baik, Sayang.” Dengan sabar Ed mendengarku. “Bukankah hubunganmu dengan Erik tidak begitu baik? Tapi kulihat tadi kau juga begitu mengenal istri Erik?” aku tahunya Ed dan Erik sudah berpisah sejak mereka masih remaja. “Tidak baik bukan berarti aku tid
Kami tiba di sebuah rumah besar dan mewah setelah Ed mengajakku menemui lawyernya Erik.Setelah mendapat pengarahan, Ed sekalian mengajakku ke rumah ini. Tadi dia juga sudah menghubungi seseorang untuk menyampaikan akan datang. Mungkin itu istri Erik.Ah, bukan. Pengacara Erik tadi bilang berkas perceraian Erik sudah disetujui. Jadi mereka bukan lagi suami istri.“Ini masih di kota yang sama?” tanyaku padanya sembari menunggu orang yang dihubunginya keluar rumah.“Bukan, ini Monreale. Hotel kita tadi di Palermo,” jawab Ed.Aku yang tidak banyak tahu hanya mengangguk-angguk saja. Bagaimana bisa tahu, ini saja pegalaman pertamaku ke luar negri.“Kalau tadi anak-anak mau ikut, kita bisa berkunjung ke Katredal Monreale sekalian. Tidak jauh kok dari sini.” Ed memberitahu tentang salah satu destinasi tempat yang rekomended di kunjungi.“Ada apa saja di sana?”“Aku tidak bisa banyak menjelaskan, nantilah kalau kau mau kita mampir sebentar.”Aku mempertimbangkan. Nantilah lihat situasinya dul
Palermo, Italy..Gala tak berhenti menanyai papanya yang sudah terkantuk-kantuk itu setelah sebentar tadi kami berjalan-jalan di sekitaran kota Palermo.Dia tidak terima karena tidak mendapati salju di kota ini.“Lalu buat apa mama bawa baju tebal yang banyak kalau kita tidak mendapati salju, Pa?” tukasnya mengguncang bahu papanya yang sudah ingin rebahan.“Mungkin sekarang belum musim salju, Gal. Kasihan papa capek, seharian ngantar kita jalan-jalan. Padahal kita baru datang tadi malam.” Meida menyingkirkan tangan Gala agar tidak mengusik cinta pertamanya. Dengan lembut gadis kecilku itu menyelimuti sang papa dan menciumi pipinya.“Kau bodoh, ya? Ini bulan November. Sudah menjelang Desember. Sudah masuk musim dingin, lah. Jadi harusya sudah ada salju.”“Jangan bilang bodoh. Itu tidak boleh Gala. Kau kasar sekali pada wanita!” Meida memarahi saudaranya yang mengatai bodoh.Aku yang sedang sibuk mengolesi wajahku dengan pelembab hanya memutar bola mata, lalu melirik mereka yang masi