“Hari ini terakhir isi blankonya, Mila. Kalau tidak mengumpulkan dianggap tidak bersedia ikut.”Ibu menyodorkan dua kertas formulir dari sekolah si kembar itu padaku. Kubaca sekilas program belajar di luar kelas sekalian rekreasi untuk anak dan pendamping. “Kenapa tidak ibu isi saja?”Ibu bukan orang yang tidak bisa baca tulis. Kalau sekedar mengisi blanko beliau tentu bisa. Tidak perlu sampai harus menungguku yang menulisi formulir itu apalagi sampai hari terakhir belum diserahkan. Kalau dianggap tidak ikut kasihan anak-anak pasti sedih mendengar keseruan cerita teman-temannya yang lain.“Nunggu kamu, Mila.”Akhir-akhir ini, punya jabatan baru sebagai asisten big bos perusahaan Lavidia membuatku sibuk sekali hingga ibu tidak tega mengusikku.Baru di hari terakhir pengumpulan itu, Ibu ingat.“Ini berkenaan dengan biaya, Mila. Belajar di luar kelasnya sekalian outbond, edukasi flora dan fauna, juga ada program bahasa inggris yang nanti dapat sertifikat. Per anak dikenai biaya hampir
“Ini baru mau berangkat, Tuan,”Sejak tadi aku sudah bersiap di atas motor. Bagaimana bisa berangkat kalau panggilannya tidak segera di tutup? “Seorang asisten itu harus sudah ada di kantor sebelum tuannya datang. Jangan datang telat, ya?” Ed mengingatkan."Maaf, Tuan. Ini baru jam 07.00. Jam kantor jam 08.00 kan?”Masih ada 1 jam, seharusnya aku tidak bisa dianggap terlambat. Pria ini saja yang kerajinan.Tidak tahu juga jam berapa dia berangkat ke kantor tadi. “Apa Rafael tidak memberitahumu kalau kita harus survey tempat?” “Iya, Tuan. Saya akan berangkat. Apa boleh aku mematikan panggilan agar bisa segera berangkat?” Kusampaiakn hal itu agar dia tahu aku tidak akan bisa berangkat kalau dia masih mengoceh saja. “Berapa menit sampainya?” Bukannya menutup panggilan Ed malah bertanya.“Sekitar 20 menit, Tuan.”“Eh. Bukannya kau bilang rumahmu di sekitar kantor bupati? Itu tidak jauh. Palingan 10 menit sudah sampai.”“Tapi biasanya aku sampai ke Plaza Kota memang 20 menitan.”Yan
Mungkin di mata Ed aku ini memang hanya sebatas itu sekarang.Tak ubahnya seorang wanita yang dalam lima tahun terakhir ini sudah bergonta-ganti pria lebih dari satu atau dua orang.Sebut saja Ed tahunya aku punya dua anak dalam kurun waktu itu dan tidak memperkirakan anakku kembar.Lalu, dia pasti berpikir itu bukan hanya anak Ramzi tapi anak pria lainnya lagi.Karena kabar tentang Ramzi yang tertangkap atas kasus pembunuhan Tania, Ed pasti tahu hal itu.Sekarang pria yang membuat rumah tanggaku berantakan itu sedang menjalani masa hukumannya yang panjang.Hhg. Biar saja semau Ed menilaiku. Terserah. Mending begini saja sampai selanjutnya...“Saya tahu jadwal kerja saya, jadi saya tidak terlambat, lho, Tuan!” Aku menunjukan jam digital di meja agar Ed tidak memarahiku karena menurutnya aku terlambat.“Aku kira kau terlambat karena pacaran dulu sama Pak Bupati sebelum datang ke kantor.”Apa sih pria ini?Sekarang malah mengiraku pacaran dengan Pak Bupati.Padahal aku sudah pernah m
“Jangan becanda, Ed!”Tanpa sadar aku memanggil hanya nama pendeknya saja tanpa embel-embel tuan, seperti dulu. Ed malah menyeringai. Sepertinya dia tidak keberatan aku memanggilnya begitu.“Kalau kau tidak mau ganti, terserah!”Aku mencebik dan tidak peduli pria itu mau mengganti bajunya atau tidak.Seingatku Ed suka kebersihan dan pasti jijik kaalau berlama-lama dengan baju yang penuh cipratan lumpur itu.“Ya sudah!” Ed bangkit berjalan ke mobil.Apa pria ini benar tidak mau ganti bajunya?Kuingat agenda hari ini masih ada meeting di kantor selepas survey. Kalau dia balik ke kantor dengan pakaian yang kotor itu, Rafael bisa-bisa memarahiku. Membiarkan pria ini dengan keras kepalanya tidak mau ganti.Astaga. Kenapa dia tidak ubahnya seperti Gala.Menjengkelkan!“Tuan!” Aku berlari membuntutinya. “Oke, aku temani ke dalam buat ganti baju.”Terpaksa aku menyanggupi permintaannya.Ed menghentikan langkahnya dan berbalik kembali menuju warung. Dia juga menyeret lenganku agar mau mengiku
Jessica menarik tanganku dengan kasar dari tubuh Ed dan hendak memberiku pelajaran.Namun Ed dengan sigap memeluknya dan menjauhkannya dariku.“Tidak tahu malu, jelas-jelas ini di kantor tapi kau main peluk calon suami orang!” teriakan Jessica menarik perhatian beberapa orang yang kebetulan di sekitar.“Jessy, jangan memalukan begini. Dia tadi hampir terjatuh dan reflek memelukku,” tukas Ed memberi pengertian pada calon istrinya itu dan membimbingnya masuk ke dalam lift.“Sebentar, Reza pernah bilang bahwa dia hanya wanita yang dimintanya mengaku sebagai kekasihnya agar tidak malu di depanku. Sekarang aku tahu, serendah apa dirinya yang begitu saja mau mengaku sebagai kekasih seseorang padahal di antara mereka tidak ada apa-apa.” Jessica masih belum puas. Dia berusaha meneriakiku dengan harapan mempermalukanku.“Ngomong apa sih, itu urusan mereka.” Ed kembali menarik lengan Jessica masuk lift dengan cepat. Dia tahu wanitanya cemburu hingga mengatakan hal yang tidak berbobot itu.Meli
Kali ini Rafael tidak memintaku yang mendampingi Ed saat pelaksanaan meeting.Dia menyuruhku menyelesaikan beberapa pekerjaan lain di ruangannya sementara dia sendiri yang akan mendampingi Ed dalam meeting.Aku bisa menduga, Ed takut dimarahi calon istrinya itu lantaran tadi melihatku memeluknya. Lalu meminta Rafael yang kini mendampinginya.Itu sama sekali bukan masalah bagiku.Aku justru lebih tenang kalau untuk selanjutnya tugasku lebih difokuskan ke urusan kantor. Bisa sedikit santai. Kalau sewaktu-waktu merindukan anak-anak, aku bisa menelpon mereka.Aku juga bisa mencuri-curi kesempatan untuk menelpon teman-temanku yang kalau kerja bareng sering rame dan bercanda.Tiba-tiba ponselku sudah menyala saja dan menunjukan nama Tika di layar.Kebetulan sekali. Sudah seminggu ini aku tidak saling bertemu dan berkontak dengannya karena sama-sama sibuk.Kali ini melihatnya menelponku aku tidak menunda untuk mengangkatnya.“Hallo, Say?” suara Tika terdengar ketika aku membuka panggilan.
Kalau Rafael kemudian memberiku saran agar menjaga sedikit jarak dulu dengan Ed, aku sama sekali tidak masalah.Justru senang tidak harus tertekan menghadapi sikap pria dewasa yang tidak ubahnya seperti anak kecil itu.Benar-benar menyebalkan.Penderitaan selama lima tahunku sama sekali tidak ada harganya kalau harus begitu saja bersikap biasa padanya seolah tidak pernah terjadi apapun.Lagi pula apa yang dimaunya sekarang?Dia sudah punya calon istri dan akan segera menikah. Tidak Seharusnya terus mendekatiku seperti ini.Walau tidak serius padaku, apa dia tidak pernah berpikir bahwa aku juga punya perasaan?Dia kira aku wanita apa-apaan yang bisa dipermainkannya?“Sebenarnya sejak beliau memintamu menjadi asistennya aku sudah curiga bahwa tuan ada hati padamu, Kamila. Jadi sikap Nona Jessica ingin memberi kalian jarak sangat beralasan,” Rafael menjelaskan beberapa hari yang lalu setelah berbicara dengan Jessica.Aku jadi tidak enak kalau sampai Rafael saja merasa aneh dengan sika
“Aku tidak mengerti, Mila. Tapi aku mencintaimu.” Ed mengenggam jemariku dan aku berusaha menariknya lepas.Ada apa dengan isi otak pria ini?“Anda tidak lupa ‘kan kalau sudah punya calon istri?” kupalingkan wajahku agar tidak menjadi muak mendengar ucapannya ini.Ya Tuhan. Semua pria memang sama saja.“Kenapa kalau aku punya calon istri? Kami belum terikat apapun.”“Kejam sekali kau, Ed. Kalian hampir menikah dan kau dengan mudahnya mengatakan hal itu? Bagaimana nanti kalau kau juga tidak lagi mencintaiku, kau pasti akan membuangku seperti sampah.”Seperti yang sudah dia lakukan sebelumnya padaku.Aku bangkit dan berniat pergi saja dari pria ini. Namun Ed tidak membiarkanku pergi.“Kau lupa, kau dulu juga calon istri pria lain dan aku tidak berhenti mendapatkanmu, Mila.” Ed menahan lenganku dan kami berdiri berhadapan saling menatap dalam.“Mila, aku akan terima anak-anakmu sebagai anakku sendiri, beri aku kesempatan untuk sekali lagi memilikimu. Kau sudah menguasaiku, Mila. Jangan b