Ed mencium bibirku dan aku berusaha mendorong dadanya agar pria ini melepaskanku. Sayangnya tenaga pria ini lebih besar hingga aku menyerah, menunggu saja dia melepaskanku. Plak! Begitu terlepas, kutampar pria itu dengan begitu kesal.Rasanya sedih sekali harus kembali diingatkan manisnya ciuman-ciuman kami setelah semua tidak lagi sama.Kuharap pria ini punya sedikit rasa belas kasihan padaku agar membiarkanku pergi.“Maaf, Tuan. Maafkan aku!” ujarku yang menunduk bersalah karena sudah berani-beraninya menampar seorang big bos.Ed berpaling sambil mengumpat lirih. Mungkin kesal dengan sikapku, mungkin juga karena dia yang tidak bisa menguasai dirinya hingga tanpa sadar menciumku tadi.***Aku tidak mau ambil pusing dengan semua ini. Tidak akan jadi masalah apapaun bagiku kalau tidak bekerja bersama Ed. Toh tawaran menjadi asisten juga bukan kemauanku.Lagi pula, justru lebih baik bagiku kalau bisa menghindari pria yang sikapnya meresahkan itu.Bagaimaanapun kami adalah dua insan
Kedua wanita itu hanya melongo menatapku dengan sangat terkejut setelah mengucapkan kata-kata yang penuh intimidasi itu.Aku tidak peduli lagi.Kutinggalkan mereka untuk segera mencari motorku.Begitu sudah naik di atas motor, aku melenguh untuk satu hal lagi.Banku kempes!Padahal tadi tidak kenapa-kenapa.“Rasain itu, Janda gatel tidak tahu malu!” suara Vanka meneriakiku. Disusul suara derai tawa Jessica yang tampak puas sekali melihatku kesusahan.Pasti mereka yang membuat banku bocor.Sialan wanita-wanita itu!Hanya membatin, kalau memang punya kesempatan aku pastikan akan membalas mereka. Terutama Vanka. Aku tidak pernah membuat perkara dengan wanita itu tapi dia selalu merundungku.Oh, ampuni aku, Tuhan...Terus ditekan dan di sakiti ternyata bisa juga membuatku menjadi pendedam begini.Akhirnya kuputuskan meninggalkan motorku dan mencari ojek saja.Setiba di rumah sakit aku langsung berlari menuju UGD.Kang Parto bilang ibu masih di UGD. Tapi begitu sampai tempat itu aku tidak
Petugas resepsionis itu tidak bersedia menghubungkanku dengan kamar tempat Ed tinggal.Kuhubungi Rafael dan menanyakan tentang keberadaannya. Sayangnya dia menyampaikan sudah tiga hari ini Ed meminta untuk tidak diganggu.Aku memang tidak mendapati Ed di kantor setelah hari di mana aku menamparnya. Ternyata setelah itu dia menghilang.Rafael juga tidak bersedia menyampaikan di mana dia berada karena memang dipesan seperti itu.Aku bingung sekali. Kuhubungi Ed sekali lagi dan hasilnya sama. Ponselnya tidak aktif.“Pak, tolong katakan padanya sekali ini, aku sangat ingin bicara padanya. Tolonglah!” isakku di telpon pada Rafael.“Aku tidak mengerti apa yang terjadi padamu, Mila. Tapi kukatakan yang sejujurnya, bahkan aku tidak tahu di mana Tuan Edward berada. Nona Jessica pun tidak diberitahu.”“Oh, baiklah!” aku menyerah dan tidak lagi bertanya.Kakiku lemas dan putus asa. Kemana aku harus pergi?Adakah orang yang mau berbaik hati meminjamiku uang?Sudah tahu pria itu tidak sedang di h
Sesampai di rumah sakit, Ed lagi-lagi mendapat panggilan. Aku yang tahu bahwa akhir-akhir ini Ed banyak sekali pekerjaan jadi tidak enak. Hendak memintanya tidak perlu mengantarku, takut saja kalau dia akan tersinggung.“Kau masuklah dulu, aku terima panggilan sebentar,” tukasnya. Aku hanya mengangguk karena paham betul kesibukannya.Sedikit tergesa aku melangkah ke ruang perwatan ibuku. Kamarnya kosong. Aku baru ingat dia sedang dioperasi. Jadinya aku pun mencari-cari ruang untuk operasi.Kulihat Mbak Lilis, istri Kang Parto yang duduk di depan ruang operasi.“Mbak Lilis?” sapaku menghampirinya. “Ibu dioperasi, Mila. Kita sama-sama berdoa ya biar opersainya lancar.” Wanita itu mengelus bahuku sambil berkaca-kaca. Dia memang dekat sekali dengan ibuku. Sudah seperti kakak kandungku sendiri.“Iya, Mbak.” Air mataku kembali mengalir. Mbak Lilis memelukku untuk menguatkan.Teringat anak-anak, aku kemudian menanayakan mereka.“Gala dan Meida di mana, Mbak?”“Sejak bangun tadi mereka ingi
Kami hanya duduk di kursi taman itu tanpa kata-kata. Kelihatannya hanya memperhatikan dua bocah kecil itu yang asyik bermain-main di taman. Padahal yang sebenarnya adalah, baik aku maupun Ed sibuk dengan pikiran dan mengatur emosi masing-masing.Aku bisa melihat Ed memendam kekecewaannya. Duduknya resah dan tidak tenang. Aku pun sama sepertinya. Namun tidak ingin saja menjadi satu-satunya orang yang disalahkan atas ketidak tahuannya tentang dua buah hatinya itu.Harusnya dia tahu mengapa aku sampai tidak menyampaikannya.“Kau tidak mempercayaiku, Ed. Apa aku masih bisa berharap kau mengakui mereka?” kuberanikan diri memulai dari mana alasannya aku tidak menyampaikan tentang mereka.Saat ini, setelah dia bertemu sendiri dengan dua bocah yang mewarisi parasnya itu, aku tidak perlu lagi membuktikan apapun tentang kebenarannya. Kurasa Ed juga tidak bisa mengelaknya lagi.Ed menghela napas berat lalu berkata dengan sedih, &ldqu
Gala yang masih keras kepala itu hanya melirik Ed sambil sesekali menunduk.“Mama, Papaku ganteng sekali!” Meida dengan polosnya berseru mencairkan suasana yang kaku itu.Apalagi Gala yang kemudian menyahuti saudarinya itu, “Kau ini wanita, tidak tahu malu bilang pria lain ganteng.”“Kan dia papaku, ya kan Ma?”Ed terkekeh melihat tingkah dua bocah lucu itu. Aku tersenyum mengangguk menanggapi pertanyaan Meida. Lalu kurangkul Gala yang masih menjaga jarak dengan Ed itu.“Galaku juga genteng. Kan Gala mirip Papa.” Kucium pipi Gala dan bocah itu mulai bisa tersenyum.Sesaat kulihat Ed melirikku dengan senyum yang lebih lepas. Kupikir dia bahagia karena putranya sudah tersenyum. Tapi aku yang jadi serba salah. Sudah tanpa sadar mengatakan kalau dia ganteng langsung di depannya.Bisa juga dia besar kepala.“Eh, iya, Ma. Gala mirip sekali dengan Papa.” Meida kembali b
“Setidaknya berilah keterangan kenapa kau tidak masuk. Bagaimana kalau Tuan Edward komplen dengan kinerjamu? Takutnya dia nyangkut-nyangkutin ke perusahaan Gema Bangun dan jatuhlah citraku di matanya.”Kubiarkan Pak Betha berceramah panjang lebar.Dalam hal ini aku memang bersalah tidak sempat memberitahu ketidak hadiranku. Terlepas bahwa Ed pasti akan mengizinkanku dan tidak mempermasalahkannya—ini bukan karena dia ayah dari anak-anakku, melainkan karena Ed tahu sendiri, ibuku sekarang sedang terbaring di rumah sakit karena harus menjalani operasi transplantasi ginjal.“Maaf, Pak Betha. Saya yang salah. Ibu saya subuh tadi harus menjalani operasi, dan saya sampai kelupaan tidak meminta izin,” ujarku memaparkan kenapa sampai harus tidak masuk.“Ibumu operasi?”“Benar, Pak. Sekarang saya masih di rumah sakit.”“Itu bisa dimaklumi. Tapi kau tetap harus bertanggung jawab. Telpon Pak Rafael dan sampaikan permintaan maafmu karena hari ini tidak masuk.” Pak Betha masih mengingatkan prosedu
Mbak Lilis dan Kang Parto datang di malam harinya karena ingin menggantikanku menjaga ibu di rumah sakit. Mereka tahunya aku masih harus bekerja keesokan harinya. Karena merasa kasihan, Mbak Lilis menawarkan diri untuk menjaga ibuku.“Jahitannya Mbak Lilis bagaimana kalau ditinggal?”Aku tidak enak, kalau hanya karena ingin membantuku menjaga ibu, wanita ini akan kehilangan penghasilannya.“Ya ampun, Mila. Kamu dari mana saja, sih? Aku sudah lama nganggur enggak jahit,” ujar Mbak Lilis.“Lho, kenapa, Mbak?”Tentu saja aku terkejut. Jahitan Mbak lilis terkenal bagus dan rapi. Biasanya langganannya kebanyakan pegawai kantoran dan anak-anak sekolah. Dia juga bisa menjahit banyak model pakaian sesuai yang dimau pelanggannya. Kalau tiba-tiba lama tidak menjahit, aku baru tahunya sekarang.“Ya enggak ada yang jahit, apa coba yang mau dijahit?”“Kok bisa tiba-tiba sepi ya, Mbak?” Selama ini aku kurang update dengan apa yang terjadi di sekitarku. Mbak Lilis pasti paham betul bagaimana kesi