Sesampai di rumah sakit, Ed lagi-lagi mendapat panggilan. Aku yang tahu bahwa akhir-akhir ini Ed banyak sekali pekerjaan jadi tidak enak. Hendak memintanya tidak perlu mengantarku, takut saja kalau dia akan tersinggung.“Kau masuklah dulu, aku terima panggilan sebentar,” tukasnya. Aku hanya mengangguk karena paham betul kesibukannya.Sedikit tergesa aku melangkah ke ruang perwatan ibuku. Kamarnya kosong. Aku baru ingat dia sedang dioperasi. Jadinya aku pun mencari-cari ruang untuk operasi.Kulihat Mbak Lilis, istri Kang Parto yang duduk di depan ruang operasi.“Mbak Lilis?” sapaku menghampirinya. “Ibu dioperasi, Mila. Kita sama-sama berdoa ya biar opersainya lancar.” Wanita itu mengelus bahuku sambil berkaca-kaca. Dia memang dekat sekali dengan ibuku. Sudah seperti kakak kandungku sendiri.“Iya, Mbak.” Air mataku kembali mengalir. Mbak Lilis memelukku untuk menguatkan.Teringat anak-anak, aku kemudian menanayakan mereka.“Gala dan Meida di mana, Mbak?”“Sejak bangun tadi mereka ingi
Kami hanya duduk di kursi taman itu tanpa kata-kata. Kelihatannya hanya memperhatikan dua bocah kecil itu yang asyik bermain-main di taman. Padahal yang sebenarnya adalah, baik aku maupun Ed sibuk dengan pikiran dan mengatur emosi masing-masing.Aku bisa melihat Ed memendam kekecewaannya. Duduknya resah dan tidak tenang. Aku pun sama sepertinya. Namun tidak ingin saja menjadi satu-satunya orang yang disalahkan atas ketidak tahuannya tentang dua buah hatinya itu.Harusnya dia tahu mengapa aku sampai tidak menyampaikannya.“Kau tidak mempercayaiku, Ed. Apa aku masih bisa berharap kau mengakui mereka?” kuberanikan diri memulai dari mana alasannya aku tidak menyampaikan tentang mereka.Saat ini, setelah dia bertemu sendiri dengan dua bocah yang mewarisi parasnya itu, aku tidak perlu lagi membuktikan apapun tentang kebenarannya. Kurasa Ed juga tidak bisa mengelaknya lagi.Ed menghela napas berat lalu berkata dengan sedih, &ldqu
Gala yang masih keras kepala itu hanya melirik Ed sambil sesekali menunduk.“Mama, Papaku ganteng sekali!” Meida dengan polosnya berseru mencairkan suasana yang kaku itu.Apalagi Gala yang kemudian menyahuti saudarinya itu, “Kau ini wanita, tidak tahu malu bilang pria lain ganteng.”“Kan dia papaku, ya kan Ma?”Ed terkekeh melihat tingkah dua bocah lucu itu. Aku tersenyum mengangguk menanggapi pertanyaan Meida. Lalu kurangkul Gala yang masih menjaga jarak dengan Ed itu.“Galaku juga genteng. Kan Gala mirip Papa.” Kucium pipi Gala dan bocah itu mulai bisa tersenyum.Sesaat kulihat Ed melirikku dengan senyum yang lebih lepas. Kupikir dia bahagia karena putranya sudah tersenyum. Tapi aku yang jadi serba salah. Sudah tanpa sadar mengatakan kalau dia ganteng langsung di depannya.Bisa juga dia besar kepala.“Eh, iya, Ma. Gala mirip sekali dengan Papa.” Meida kembali b
“Setidaknya berilah keterangan kenapa kau tidak masuk. Bagaimana kalau Tuan Edward komplen dengan kinerjamu? Takutnya dia nyangkut-nyangkutin ke perusahaan Gema Bangun dan jatuhlah citraku di matanya.”Kubiarkan Pak Betha berceramah panjang lebar.Dalam hal ini aku memang bersalah tidak sempat memberitahu ketidak hadiranku. Terlepas bahwa Ed pasti akan mengizinkanku dan tidak mempermasalahkannya—ini bukan karena dia ayah dari anak-anakku, melainkan karena Ed tahu sendiri, ibuku sekarang sedang terbaring di rumah sakit karena harus menjalani operasi transplantasi ginjal.“Maaf, Pak Betha. Saya yang salah. Ibu saya subuh tadi harus menjalani operasi, dan saya sampai kelupaan tidak meminta izin,” ujarku memaparkan kenapa sampai harus tidak masuk.“Ibumu operasi?”“Benar, Pak. Sekarang saya masih di rumah sakit.”“Itu bisa dimaklumi. Tapi kau tetap harus bertanggung jawab. Telpon Pak Rafael dan sampaikan permintaan maafmu karena hari ini tidak masuk.” Pak Betha masih mengingatkan prosedu
Mbak Lilis dan Kang Parto datang di malam harinya karena ingin menggantikanku menjaga ibu di rumah sakit. Mereka tahunya aku masih harus bekerja keesokan harinya. Karena merasa kasihan, Mbak Lilis menawarkan diri untuk menjaga ibuku.“Jahitannya Mbak Lilis bagaimana kalau ditinggal?”Aku tidak enak, kalau hanya karena ingin membantuku menjaga ibu, wanita ini akan kehilangan penghasilannya.“Ya ampun, Mila. Kamu dari mana saja, sih? Aku sudah lama nganggur enggak jahit,” ujar Mbak Lilis.“Lho, kenapa, Mbak?”Tentu saja aku terkejut. Jahitan Mbak lilis terkenal bagus dan rapi. Biasanya langganannya kebanyakan pegawai kantoran dan anak-anak sekolah. Dia juga bisa menjahit banyak model pakaian sesuai yang dimau pelanggannya. Kalau tiba-tiba lama tidak menjahit, aku baru tahunya sekarang.“Ya enggak ada yang jahit, apa coba yang mau dijahit?”“Kok bisa tiba-tiba sepi ya, Mbak?” Selama ini aku kurang update dengan apa yang terjadi di sekitarku. Mbak Lilis pasti paham betul bagaimana kesi
“Mohon maaf atas semuanya, Nyonya,” ujarnya setelah aku sudah bersedia masuk ke dalam mobil dan kami sudah di jalan.Aku tidak mengatakan apapun dan suasana yang hening membuat pria itu merasa canggung.Sudahlah. Tidak enak juga ‘kan harus bersikap dingin padanya. Toh anak-anak juga sudah di rumah bersama papa mereka. Aku tidak tahu mengapa Ed kembali memintanya datang.“Iya, Sam. Aku juga minta maaf,” jawabku lalu kami kembali terdiam sepanjang jalan sampai di rumah.Aku pun tidak menunjukan di mana rumahku dan Sam sudah menghentikan mobil tepat di depannya.Kalau Ed sudah di rumahku, pasti dari mana Sam tahu rumahku tidak perlu ditanyakan lagi.Setelah membukakan pintu mobil untukku, Sam bergegas undur diri dan berlalu. Aku masih tertegun dan menduga-duga banyak hal. Namun teringat anak-anak sudah di dalam rumah, aku bergegas melangkah ke dalam.Saat aku membuka pintu rumah —sepi.Apa anak-anak sudah tidur?Melihat televisi masih menyala dan Ed tertidur di sofa dengan memeluk Meida
Inginnya aku menolak. Atas setiap sentuhan-sentuhan pria yang sudah membangkitkan kenangan tentang keintiman kami dulu. Tapi aku tidak berdaya dan kubiarkan Ed mencurahkan kerinduannya.Namun ketika teringat hubungan kami yang sudah berakhir dan Ed sudah memiliki wanita lain yang akan menjadi istrinya, aku memaksakan diri untuk menolaknya.“Berhenti, Ed. Hentikan...” pintaku padanya.Ciuman Ed terhenti di leherku dan dia perlahan menarik diri untuk menatapku dengan menelisik.“Kau tidak merindukanku?” tukasnya masih tidak rela. Dibelainya pipi dan bibirku dengan lembut.Ed masih berusaha untuk menawar barangkali aku berubah pikiran dan mengizinkannya melanjutkan kemesraan kami yang baru tercipta itu.Aku terdiam. Tidak mau berbohong kalau aku juga merindukannya, namun tidak mungkin juga dengan jujur aku mengatakannya.“Ya sudah, mungkin kau lelah. Maafkan aku!” tukas Ed mengacak rambutku yang tampak keberatan itu. Dia pun bangkit dari sisiku.Kulihat pria ini masih berusaha menguasa
“Mama kenapa baru dipakai bajunya?”Ternyata Meida sudah menangkapku yang tergesa memakai pakaian saat dia membuka pintu kamar.Anak perempuanku ini pasti terbangun karena mencariku.“I-iya, Sayang. Mama tadi sedikit gerah jadi bajunya dibuka bentar.”Aku yang sudah mengenakan bajuku kembali, kini bergegas menghampiri Meida yang berdiri di depan pintu kamar itu.“Kenapa mama tidak tidur sama Meida?” tanya bocah itu dengan merengek.“Iya, ayo Mama temani tidur lagi?” kugendong Meida ke kamar dan gadis kecilku itu menyempatkan menegur papanya yang duduk di lantai di samping sofa, masih tampak salah tingkah karena sudah hampir tertangkap basah oleh anak perempuannya itu.“Papa juga gerah? Kok bajunya juga dilepas?”“Hah? I-iya!” jawab Ed gelagapan. Tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu pula.Ed baru menyeret kemejanya dan menggenakannya lagi.Aku jadi menahan senyum sendiri karena kami sudah macam maling yang ketahuan saja.Tidak bisa kubayangkan kalau tadi Meida langsung membuka
Ed langsung berjalan ke panggung dan meminta dua anaknya turun panggung. Dia juga tidak malu mengendong dua bocah yang sudah tampak lebih besar itu sembari meminta maaf pada pasangan yang bertunangan.Sambutan yang di sampaikan Pak Rawan sempat terhenti karena kegaduhan tawa beberapa undangan yang melihat dua bocah lucu itu.Mereka justru terhibur dengan kerandoman dua bocah itu.Apalagi melihat sang big bos di perusahaan mereka langsung turun tangan menjemput dua perusuh kecil itu di atas panggung, mereka banyak yang terkesan.Sam dan Ari baru menyadari tentang dua bocah itu. Dia juga tidak melihat kehadiran kami. Jadi tidak menduga kalau dua bocah kecil itu ternyata Gala dan Meida.Kalau mereka tahu sudah barang tentu gercep dan mengatasi mereka. Tidak membiarkan sang bos sampai harus menjemput dua anaknya di sana.“Tuan Edward sayang banget ya sama anak-anaknya.” Kedengar gumaman itu dibalik punggungku.“Iya, kupikir hanya bisa marah-marah di kantor seperti tadi marah besar pada T
“Ma... dilihatin pelayan dan Sus, tuh! Mama enggak malu sama mereka?” Meida terlihat kesal melihat kemesraan kami.“Ya deh, Pa. Kita pindah ke kamar, yuk biar enggak dilihatin!” Aku bangkit dan menarik lengan Ed.Membuat Meida langsung berlari menahan lengan papanya dan merajuk.Sekarang malah ganti aku yang menggoda anak perempuanku itu. Enggak heran deh kalau Meida jadi cengeng.Habis, dia mudah sekali digodain....“Ada apa, Ed?” tanyaku karena tadi dia sampai memanggilku saat aku masih bersama ibu.Ed tidak akan menggangguku yang masih berbicara dengan ibu kalau bukan karena ada sesuatu yang ingin disampaikannya.“Sam tadi baru menyampaikan ada undangan hari ini dari salah satu dewan direksiku. Tidak enak juga kalau tidak datang karena kami lumayan dekat di kantor. Kamu bisa temani aku, kan?”“Undangan apa itu, Sayang?”“Pertunangan putrinya. ““Baik, Sayang,” ujarku menyanggupi.Lalu aku baru ingat tentang Erik yang sudah tidak berada di rumah saat kami pulang dari liburan.“Erik
Kesibukan Ed dan beberapa hal yang sangat membutuhkan keberadaannya di Jakarta membuat liburan kami tidak bisa berlama-lama.Padahal Ed tidak begitu saja lepas pekerjaan saat kami liburan.Ketika anak-anak sudah tidur, biasanya dia membuka laptopnya sekedar berkordinasi dengan Sam mengenai urusan kantor atau lainnya.Perbedaan waktu antara negara tempat kami berlibur dengan Indonesia membuat Ed serasa selalu sibuk sepanjang waktu.Semisal anak-anak sudah lelah dan beristirahat ketika malam hari. Ed masih bisa mengadakan meeting jarak jauh dengan pegawainya di Indonesia yang masih di jam kerja.Karena musim dingin, jadi kami menggunakan waktu siang hari yang masih relatif jarang turun salju daripada ketika menjelang malam hari untuk jalan-jalan.Jadi malam harinya kami bisa bersantai di sebuah rumah yang kami sewa, menyalakan api di perapian untuk menghangatkan diri, menikmati minuman hangat dan kudapan bersama anak-anak sembari melihat salju berjatuhan dari jendela kaca. Gala dan
“Kalau bisa, kujambak sekalian saja rambutnya!” ujarku yang masih kesal sementara Ed hanya tertawa saja.“Ngapain juga sih masih kunjungin wanita seperti itu?”“Iya, sabar, buk!” Sambil menyetir Ed masih terkekeh.Kami segera sampai disebuah bangunan yang megah sekali. Sebuah gereja berkubah yang tampak sangat agung. Ed tadi bilang ini Katredal Monreale.“Kalau sudah hilang kesalnya kita masuk?” Ed melihat raut wajahku yang masih ketarik itu.“Belum. Aku mau duduk sebentar dan kau harus menjawab pertanyaanku dengan baik. Jadi kalau sampai aku bertanya pada orang lain, itu karena kau yang pelit sekali informasi tentang kelurgamu, Ed!” sekalian kukeluarkan kesalku agar nanti tinggal bersenang-senang melihat katredal yang terkenal itu.“Baik, Sayang.” Dengan sabar Ed mendengarku. “Bukankah hubunganmu dengan Erik tidak begitu baik? Tapi kulihat tadi kau juga begitu mengenal istri Erik?” aku tahunya Ed dan Erik sudah berpisah sejak mereka masih remaja. “Tidak baik bukan berarti aku tid
Kami tiba di sebuah rumah besar dan mewah setelah Ed mengajakku menemui lawyernya Erik.Setelah mendapat pengarahan, Ed sekalian mengajakku ke rumah ini. Tadi dia juga sudah menghubungi seseorang untuk menyampaikan akan datang. Mungkin itu istri Erik.Ah, bukan. Pengacara Erik tadi bilang berkas perceraian Erik sudah disetujui. Jadi mereka bukan lagi suami istri.“Ini masih di kota yang sama?” tanyaku padanya sembari menunggu orang yang dihubunginya keluar rumah.“Bukan, ini Monreale. Hotel kita tadi di Palermo,” jawab Ed.Aku yang tidak banyak tahu hanya mengangguk-angguk saja. Bagaimana bisa tahu, ini saja pegalaman pertamaku ke luar negri.“Kalau tadi anak-anak mau ikut, kita bisa berkunjung ke Katredal Monreale sekalian. Tidak jauh kok dari sini.” Ed memberitahu tentang salah satu destinasi tempat yang rekomended di kunjungi.“Ada apa saja di sana?”“Aku tidak bisa banyak menjelaskan, nantilah kalau kau mau kita mampir sebentar.”Aku mempertimbangkan. Nantilah lihat situasinya dul
Palermo, Italy..Gala tak berhenti menanyai papanya yang sudah terkantuk-kantuk itu setelah sebentar tadi kami berjalan-jalan di sekitaran kota Palermo.Dia tidak terima karena tidak mendapati salju di kota ini.“Lalu buat apa mama bawa baju tebal yang banyak kalau kita tidak mendapati salju, Pa?” tukasnya mengguncang bahu papanya yang sudah ingin rebahan.“Mungkin sekarang belum musim salju, Gal. Kasihan papa capek, seharian ngantar kita jalan-jalan. Padahal kita baru datang tadi malam.” Meida menyingkirkan tangan Gala agar tidak mengusik cinta pertamanya. Dengan lembut gadis kecilku itu menyelimuti sang papa dan menciumi pipinya.“Kau bodoh, ya? Ini bulan November. Sudah menjelang Desember. Sudah masuk musim dingin, lah. Jadi harusya sudah ada salju.”“Jangan bilang bodoh. Itu tidak boleh Gala. Kau kasar sekali pada wanita!” Meida memarahi saudaranya yang mengatai bodoh.Aku yang sedang sibuk mengolesi wajahku dengan pelembab hanya memutar bola mata, lalu melirik mereka yang masi
Keesokan harinya, rumah sedikit sibuk. Ibu dan Mbak Lilis menyiapkan banyak hidangan dibantu beberapa pelayan yang lain. Ada juga yang sudah menata meja makan dan beberapa kursi di halaman.Hari apa ini?Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal karena benar-benar tidak tahu akan ada acara apa?“Memangnya mau ada apa, Bu?” tanyaku dengan suara bantalku. Aku sedang halangan, jadi tidurnya bablas tanpa sholat subuh. Ed pun sengaja tidak membangunkanku.“Ya Allah, kamu ini sudah ibu-ibu lho, anaknya saja sudah bangun sejak tadi malah emaknya molor.” Bukannya menjawab, Ibu malah mengomeliku.“Ya habis enggak dibangunin sama menantu ibu itu. Harusnya ibu marahin tuh menantunya, jangan aku yang dimarahi!” Dengan seenak jidatku kulempar kesalahan pada Ed.Mumpung dia juga tidak ada. Karena kalau sudah kulempar kesalahan padanya, ibu tentu tidak akan mau memarahi mantu kesayangannya itu.Tapi, kemana dia? Tumben pergi tanpa bangunin aku untuk kasih tahu. Anak-anak juga tidak ada.“Mereka
“Mila?” Tante Atika menyenggolku membuatku terkejut bukan main. Bahkan hampir menjatuhkan nampan yang aku bawa. Untung gerakan reflekku masih bagus. Tante Atika pasti heran mengapa aku tidak menyuguhkan kue yang sudah kubawa, malah hanya berdiri membeku di balik jendela. “Kenapa enggak dibawa keluar? Malah bengong depan pintu. Awas ada setan lewat, lho!” tegurnya.“Apaan sih, Tante. Jadi kayak ibu saja, dikit-dikit kasih mitos begituan.”Tante Atika terkekeh. Aku orangnya parnoan. Walau tidak percaya dengan hal-hal begituan, tapi tetap saja aku jadi takut.“Ayo dibawa keluar, biar bisa diincip bapak-bapak di luar,” ujar Tante Atika mengingatkan lagi. “Hehe, iya, Tante. Ini mau keluar. Tadi paman masih bicara serius, takutnya aku malah ganggu.” Lalu kami besama keluar menghampiri suami-suami kami yang duduk di teras itu.Paman Prabowo suka memelihara binatang. Jadi banyak sangkar burung dan kucing di halaman rumah. Suara murai yang nyaring pun menjadi backsound selama obrola
“Sherin itu temanmu?” kutanya hal itu setelah kami sudah di perjalanan.Kebetulan Ed ada urusan dengan Paman Prabowo, jadi sekalian kuajak saja dia berkunjung ke rumahnya dari pada meminta orang yang lebih tua menemuinya.Mendengar nama Sherin kusebut, Ed melirikku sebentar. Kemudian tidak memberikan jawaban apapun dengan lebih fokus menyetir.Kupikir Ed tidak ingin menanggapi pertanyaanku tadi, dan aku juga sudah tidak peduli. Namun, dia akhirya mengangkat suaranya untuk bertanya balik.“Kenapa membahas dia?”“Tadi ketemu di mall, kita juga minum bareng di resto yang sama. Kau tidak melihatnya tadi?”Ed mengedikan bahunya. Sepertinya memang dia tidak melihatnya. Padahal Sherina tidak jauh dari tempat kami duduk.“Dia cerita tadi, katanya habis dari kantor dan ketemu kamu, mau nglamar pekerjaan.”“Iya, dia memang datang ke kantor tadi.” Ed membenarkannya.“Dia teman apa? Kuliah atau sekedar kenal karena dia teman Jessica? Tapi dia bilang dulu pernah menjadi teman dekatmu, lho!” kuta