“Mohon maaf atas semuanya, Nyonya,” ujarnya setelah aku sudah bersedia masuk ke dalam mobil dan kami sudah di jalan.Aku tidak mengatakan apapun dan suasana yang hening membuat pria itu merasa canggung.Sudahlah. Tidak enak juga ‘kan harus bersikap dingin padanya. Toh anak-anak juga sudah di rumah bersama papa mereka. Aku tidak tahu mengapa Ed kembali memintanya datang.“Iya, Sam. Aku juga minta maaf,” jawabku lalu kami kembali terdiam sepanjang jalan sampai di rumah.Aku pun tidak menunjukan di mana rumahku dan Sam sudah menghentikan mobil tepat di depannya.Kalau Ed sudah di rumahku, pasti dari mana Sam tahu rumahku tidak perlu ditanyakan lagi.Setelah membukakan pintu mobil untukku, Sam bergegas undur diri dan berlalu. Aku masih tertegun dan menduga-duga banyak hal. Namun teringat anak-anak sudah di dalam rumah, aku bergegas melangkah ke dalam.Saat aku membuka pintu rumah —sepi.Apa anak-anak sudah tidur?Melihat televisi masih menyala dan Ed tertidur di sofa dengan memeluk Meida
Inginnya aku menolak. Atas setiap sentuhan-sentuhan pria yang sudah membangkitkan kenangan tentang keintiman kami dulu. Tapi aku tidak berdaya dan kubiarkan Ed mencurahkan kerinduannya.Namun ketika teringat hubungan kami yang sudah berakhir dan Ed sudah memiliki wanita lain yang akan menjadi istrinya, aku memaksakan diri untuk menolaknya.“Berhenti, Ed. Hentikan...” pintaku padanya.Ciuman Ed terhenti di leherku dan dia perlahan menarik diri untuk menatapku dengan menelisik.“Kau tidak merindukanku?” tukasnya masih tidak rela. Dibelainya pipi dan bibirku dengan lembut.Ed masih berusaha untuk menawar barangkali aku berubah pikiran dan mengizinkannya melanjutkan kemesraan kami yang baru tercipta itu.Aku terdiam. Tidak mau berbohong kalau aku juga merindukannya, namun tidak mungkin juga dengan jujur aku mengatakannya.“Ya sudah, mungkin kau lelah. Maafkan aku!” tukas Ed mengacak rambutku yang tampak keberatan itu. Dia pun bangkit dari sisiku.Kulihat pria ini masih berusaha menguasa
“Mama kenapa baru dipakai bajunya?”Ternyata Meida sudah menangkapku yang tergesa memakai pakaian saat dia membuka pintu kamar.Anak perempuanku ini pasti terbangun karena mencariku.“I-iya, Sayang. Mama tadi sedikit gerah jadi bajunya dibuka bentar.”Aku yang sudah mengenakan bajuku kembali, kini bergegas menghampiri Meida yang berdiri di depan pintu kamar itu.“Kenapa mama tidak tidur sama Meida?” tanya bocah itu dengan merengek.“Iya, ayo Mama temani tidur lagi?” kugendong Meida ke kamar dan gadis kecilku itu menyempatkan menegur papanya yang duduk di lantai di samping sofa, masih tampak salah tingkah karena sudah hampir tertangkap basah oleh anak perempuannya itu.“Papa juga gerah? Kok bajunya juga dilepas?”“Hah? I-iya!” jawab Ed gelagapan. Tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu pula.Ed baru menyeret kemejanya dan menggenakannya lagi.Aku jadi menahan senyum sendiri karena kami sudah macam maling yang ketahuan saja.Tidak bisa kubayangkan kalau tadi Meida langsung membuka
Deg!Itu Erna tukang gosip di gang ini. Dia pasti sepagi ini mengumpulkan beberapa warga untuk ikut mendukungnya mempermalukanku.Wanita itu sudah berkacak pinggang saja menunjuk-nunjuk rumahku, sementara Kang Parto tampak menahannya.Aku yang mengintip mereka dari dalam rumah jadi panik sendiri.Mereka mana tahu kalau Ed adalah suamiku?Bagaimana kalau wanita itu membuat ulah lalu warga akan berbuat nekat dengan menggrebek kami?Kuharap Kang Parto bisa menengahi keadaan. Dia ketua RT di lingkungan perumahan kami. Untungya Kang Parto sudah menganggapku adik sendiri. Jadi tidak senang saja ada yang akan sembarangan padaku.“Nanti aku tanya pada Mila baik-baik. Kasihan dia baru dapat musibah. Sedikitlah bersimpati pada tetangga kita itu. Bu Narti baru menjalani operasi transplantasi ginjal. Mbak Erna jangan cepat mengambil kesimpulan sendiri,” tukas Kang Parto mencoba memberi pengertian pada Erna.Sebagai ketua RT di gang ini Kang Parto pasti sudah paham betul bagaimana watak tetanggaku
Pangeran tampan dan putri cantikku sudah siap bersekolah. Kuajak mereka keluar kamar untuk bersiap. Aku tidak memasak jadi nanti kuajak mereka makan di luar saja. Namun, di meja ternyata sudah ada kotak-kotak makanan. Ed pasti yang memesankannya.Sekarang di mana dia?Aku mencarinya ke depan untuk mengajaknya sarapan bareng anak-anak. Kulihat Ed sudah duduk bersama dengan Kang Parto di teras. Mereka sudah terlihat cepat sekali akrab. Terdengar dari suara tawa keduanya yang entah sedang membicarakan apa?Apa Ed sudah menjelaskan tentang hubungan kami pada Kang Parto?Pasti sudah. Kalau tidak bagaimana Kang Parto sudah tampak tidak mempermasalahkan apapun saat melihat ada seorang pria di rumahku?Entahlah, bagaimana Ed menjelaskannya tadi pada Kang Parto hingga tidak perlu ada ketegangan dan keruwetan. Padahal, tidak mudah lho menjelaskan tentang hubungan kami sebelum ini hingga akhirnya kami terpaksa berpisah.“Bagaimana tadi?” kutanya pada Ed dengan sangat penasaran saat dia masuk ke
Selepas Ed berangkat, sebuah mobil mewah parkir di depan rumah. Aku segera tahu itu Sam yang kata Ed akan menjemputku.Segera kuambil tasku dan kotak makanan yang akan aku bawa ke rumah sakit untuk sarapannya Mbak Lilis. Lalu tidak berlama-lama langsung bergegas masuk ke dalam mobil.“Bisakah kita mampir ke rumah sakit dulu?” ucapku pada Sam yang sedang menyupir di depan itu.“Baik, Nyonya,” tukas pria itu.Sejak tadi Sam tampak diam saja sepanjang jalan dan aku yang duduk di belakang pun tidak mengusiknya.Jadi ingat kata-kata Ed. Dia akan segera melepas asistennya ini setelah memberinya kesempatan untuk meminta maaf padaku secara langsung.Walau aku juga kecewa dengan sikap pria ini, tapi mengetahui dia akan diberhentikan aku jadi kasihan juga.Bisa jadi Sam sudah bekerja lama menjadi asisten Ed. Dilepas oleh tuannya, pria ini pasti begitu sedih.Sesampai di basement parkiran mobil yang disediakan khusus untuk pegawai kantor Lavidia, Sam langsung bangkit membukakan pintu untukku. Se
“Saya hanya menjalankan perintah dari Nyonya Besar Melisa. Beliau sangat menyayangi Tuan Edward. Mendengar kabar kisah cinta cucunya yang nestapa, Nyonya Melisa sungguh merana. Beliau memintaku secara khusus agar bisa membuat Tuan Edward menyadari bahwa Anda sama sekali tidak pernah mencintai beliau. Lalu menggiring beliau secara sadar untuk melupakan Anda.”Sam mencoba menceritakan alasan mengapa dia harus bersikap tegas untuk membuat tuannya itu meninggalkanku. “Perusahaan sedang diserang banyak masalah oleh keluarga Ramzi, membuat Nyonya Melisa merasa kehadiran Anda di hidup Tuan Edward hanyalah sebuah manipulasi Ramzi untuk semakin menghancurkan keluarganya. Beliau sudah pernah dikhianati keluarga Bharata, jadi sedikit hal saja yang masih meyangkut nama Bharata sudah membuatnya sangat sensitif.”“Anda tidak lupa ‘kan bahwa Ramzi adalah putra Bharata asisten kepercayaan Tuan Permana yang sudah culas ingin mengusai perusahaan keluarga? Nyonya Melisa sangat tidak terima kalau Tuan
Ketika hendak menghubungi Ed untuk menanyakan anak-anak, ternyata dia sudah mengirim pesan foto dan video si kembar saat menungguinya di sekolah.Senyumku terkembang melihat tingkah dua bocah itu. Aku senang mereka cepat sekali dekat dengan papanya. Bahkan Gala yang awalnya tampak menolak, kini bocah itu sudah tidak jutek lagi. Aku tahu, Gala juga sama inginnya punya papa seperti Meida sejak dulu. Sejenak aku jadi heran, foto dan video ini diambil ketika anak-anak belajar di kelasnya. Setahuku saat pernah mengantar anak-anak, orang tua tidak boleh ikut masuk kelas waktu kegiatan belajar mengajar.Ini bagaimana Ed bisa ikut masuk?[Emang boleh masuk saat kegiatan belajar?] tanyaku dalam pesan.[Aku dibolehin sama gurunya anak-anak] balas Ed sambil menyertakan emoticon menyeringai.[Hmm, pasti kamu centil sama gurunya?] tulisku lagi. Sudah kubayangkan Ed merayu guru PAUD itu agar dibolehkan mengambil foto dan gambar anak-anaknya.[Enggak, Mama sayang. Papa sudah lama lupa caranya cen
“Kalau bisa, kujambak sekalian saja rambutnya!” ujarku yang masih kesal sementara Ed hanya tertawa saja.“Ngapain juga sih masih kunjungin wanita seperti itu?”“Iya, sabar, buk!” Sambil menyetir Ed masih terkekeh.Kami segera sampai disebuah bangunan yang megah sekali. Sebuah gereja berkubah yang tampak sangat agung. Ed tadi bilang ini Katredal Monreale.“Kalau sudah hilang kesalnya kita masuk?” Ed melihat raut wajahku yang masih ketarik itu.“Belum. Aku mau duduk sebentar dan kau harus menjawab pertanyaanku dengan baik. Jadi kalau sampai aku bertanya pada orang lain, itu karena kau yang pelit sekali informasi tentang kelurgamu, Ed!” sekalian kukeluarkan kesalku agar nanti tinggal bersenang-senang melihat katredal yang terkenal itu.“Baik, Sayang.” Dengan sabar Ed mendengarku. “Bukankah hubunganmu dengan Erik tidak begitu baik? Tapi kulihat tadi kau juga begitu mengenal istri Erik?” aku tahunya Ed dan Erik sudah berpisah sejak mereka masih remaja. “Tidak baik bukan berarti aku tid
Kami tiba di sebuah rumah besar dan mewah setelah Ed mengajakku menemui lawyernya Erik.Setelah mendapat pengarahan, Ed sekalian mengajakku ke rumah ini. Tadi dia juga sudah menghubungi seseorang untuk menyampaikan akan datang. Mungkin itu istri Erik.Ah, bukan. Pengacara Erik tadi bilang berkas perceraian Erik sudah disetujui. Jadi mereka bukan lagi suami istri.“Ini masih di kota yang sama?” tanyaku padanya sembari menunggu orang yang dihubunginya keluar rumah.“Bukan, ini Monreale. Hotel kita tadi di Palermo,” jawab Ed.Aku yang tidak banyak tahu hanya mengangguk-angguk saja. Bagaimana bisa tahu, ini saja pegalaman pertamaku ke luar negri.“Kalau tadi anak-anak mau ikut, kita bisa berkunjung ke Katredal Monreale sekalian. Tidak jauh kok dari sini.” Ed memberitahu tentang salah satu destinasi tempat yang rekomended di kunjungi.“Ada apa saja di sana?”“Aku tidak bisa banyak menjelaskan, nantilah kalau kau mau kita mampir sebentar.”Aku mempertimbangkan. Nantilah lihat situasinya dul
Palermo, Italy..Gala tak berhenti menanyai papanya yang sudah terkantuk-kantuk itu setelah sebentar tadi kami berjalan-jalan di sekitaran kota Palermo.Dia tidak terima karena tidak mendapati salju di kota ini.“Lalu buat apa mama bawa baju tebal yang banyak kalau kita tidak mendapati salju, Pa?” tukasnya mengguncang bahu papanya yang sudah ingin rebahan.“Mungkin sekarang belum musim salju, Gal. Kasihan papa capek, seharian ngantar kita jalan-jalan. Padahal kita baru datang tadi malam.” Meida menyingkirkan tangan Gala agar tidak mengusik cinta pertamanya. Dengan lembut gadis kecilku itu menyelimuti sang papa dan menciumi pipinya.“Kau bodoh, ya? Ini bulan November. Sudah menjelang Desember. Sudah masuk musim dingin, lah. Jadi harusya sudah ada salju.”“Jangan bilang bodoh. Itu tidak boleh Gala. Kau kasar sekali pada wanita!” Meida memarahi saudaranya yang mengatai bodoh.Aku yang sedang sibuk mengolesi wajahku dengan pelembab hanya memutar bola mata, lalu melirik mereka yang masi
Keesokan harinya, rumah sedikit sibuk. Ibu dan Mbak Lilis menyiapkan banyak hidangan dibantu beberapa pelayan yang lain. Ada juga yang sudah menata meja makan dan beberapa kursi di halaman.Hari apa ini?Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal karena benar-benar tidak tahu akan ada acara apa?“Memangnya mau ada apa, Bu?” tanyaku dengan suara bantalku. Aku sedang halangan, jadi tidurnya bablas tanpa sholat subuh. Ed pun sengaja tidak membangunkanku.“Ya Allah, kamu ini sudah ibu-ibu lho, anaknya saja sudah bangun sejak tadi malah emaknya molor.” Bukannya menjawab, Ibu malah mengomeliku.“Ya habis enggak dibangunin sama menantu ibu itu. Harusnya ibu marahin tuh menantunya, jangan aku yang dimarahi!” Dengan seenak jidatku kulempar kesalahan pada Ed.Mumpung dia juga tidak ada. Karena kalau sudah kulempar kesalahan padanya, ibu tentu tidak akan mau memarahi mantu kesayangannya itu.Tapi, kemana dia? Tumben pergi tanpa bangunin aku untuk kasih tahu. Anak-anak juga tidak ada.“Mereka
“Mila?” Tante Atika menyenggolku membuatku terkejut bukan main. Bahkan hampir menjatuhkan nampan yang aku bawa. Untung gerakan reflekku masih bagus. Tante Atika pasti heran mengapa aku tidak menyuguhkan kue yang sudah kubawa, malah hanya berdiri membeku di balik jendela. “Kenapa enggak dibawa keluar? Malah bengong depan pintu. Awas ada setan lewat, lho!” tegurnya.“Apaan sih, Tante. Jadi kayak ibu saja, dikit-dikit kasih mitos begituan.”Tante Atika terkekeh. Aku orangnya parnoan. Walau tidak percaya dengan hal-hal begituan, tapi tetap saja aku jadi takut.“Ayo dibawa keluar, biar bisa diincip bapak-bapak di luar,” ujar Tante Atika mengingatkan lagi. “Hehe, iya, Tante. Ini mau keluar. Tadi paman masih bicara serius, takutnya aku malah ganggu.” Lalu kami besama keluar menghampiri suami-suami kami yang duduk di teras itu.Paman Prabowo suka memelihara binatang. Jadi banyak sangkar burung dan kucing di halaman rumah. Suara murai yang nyaring pun menjadi backsound selama obrola
“Sherin itu temanmu?” kutanya hal itu setelah kami sudah di perjalanan.Kebetulan Ed ada urusan dengan Paman Prabowo, jadi sekalian kuajak saja dia berkunjung ke rumahnya dari pada meminta orang yang lebih tua menemuinya.Mendengar nama Sherin kusebut, Ed melirikku sebentar. Kemudian tidak memberikan jawaban apapun dengan lebih fokus menyetir.Kupikir Ed tidak ingin menanggapi pertanyaanku tadi, dan aku juga sudah tidak peduli. Namun, dia akhirya mengangkat suaranya untuk bertanya balik.“Kenapa membahas dia?”“Tadi ketemu di mall, kita juga minum bareng di resto yang sama. Kau tidak melihatnya tadi?”Ed mengedikan bahunya. Sepertinya memang dia tidak melihatnya. Padahal Sherina tidak jauh dari tempat kami duduk.“Dia cerita tadi, katanya habis dari kantor dan ketemu kamu, mau nglamar pekerjaan.”“Iya, dia memang datang ke kantor tadi.” Ed membenarkannya.“Dia teman apa? Kuliah atau sekedar kenal karena dia teman Jessica? Tapi dia bilang dulu pernah menjadi teman dekatmu, lho!” kuta
Kukirim pesan pada Ed bahwa saat ini aku dan Mbak Lilis ada di pusat perbelanjaan di dekat kantornya.Ed mengirim pesan balik yang menyampaikan akan segera menyusulku.Di sana aku tidak sengaja bertemu dengan wanita yang waktu itu bersama Jessica. Seingatku namanya Sherin. Aku juga tidak lupa, dia bilang temannya Jessica.“Kau sedang berbelanja?” tanyaku basa-basi seteah dia duluan yang menyapaku.Kami duduk di resto dan mengobrol santai di sana sembari menikmati makanan yang kami pesan.“Iya, tadi aku dari kantor suamimu, mau tanya adakah lowongan pekerjaan di sana. Aku mau tinggal di Indonesia lagi saja,” ujar Sherina.Senyumnya ramah sekali. Penampilannya juga cantik dan elegan. Dia berteman dengan Jessica, pasti sedikit tahu tentangku dan Ed. Namun wanita ini masih tetap ramah. Sepertinya dia berbeda dengan Jessica.“Sebelum ini tinggal di mana?” tanyaku lagi.“Di Prancis. Aku model di sana. Tapi usia semakin tua dan kalah saing dengan para model muda. Jadi sudah seharusnya aku m
Gala dan Meida senangnya minta ampun ketika papanya bilang minggu depan akan mengajak mereka jalan-jalan ke luar negri. Padahal libur sekolah masih sebulanan. Tapi Ed tidak mempermasalahkan hal itu.“Jangan terlalu keras, mereka masih TK. Enggak masalah juga,” ujarnya saat kuingatkan tentang jadwal sekolah mereka.“Takutnya sekolah tidak memberi izin, Sayang,” ujarku memberi alasan.“Anak-anak aku sendiri, ngapain juga minta izin?” tukasnya tidak begitu memikirkan hal ini.“Astaga, Papa...!” tukasku menanggapinya. Mungkin dia tidak serius. Tapi, ya sudahlah. Biar nanti kumintakan izin pada pihak sekolah kalau anak-anak lebih dulu libur panjang. Tidak mungkin juga ‘kan kalau mereka tidak memberi izin. Seandainya sampai pihak sekolah tidak memberi izin, baru ucapan Ed bisa dibenarkan.“Ma, nanti kita belanja jaket tebal, ya? Papa bilang sekarang sedang musim dingin di Eropa?” Meida sudah bingung sendiri dan membayangkan akan kedinginan kalau tidak punya jaket tebal.“Iya nanti kita bel
“Danio sudah mati?” tanyanya pada Ed yang duduk di sofa panjang penunggu tak jauh dari ranjangnya.“Hmm, kami baru dari pemakamannya,” jawab Ed.Keduanya kembali terdiam ketika aku keluar dari toilet. Ed memintaku duduk di sampingnya dan Erik tampak menatapku dengan perasaan bersalah.Aku jadi tidak tahu harus ngomong apa?“Aku minta antar Sam atau Ari saja untuk pulang, ya?” Aku bicara pada suamiku.“Di luar hujan deras, Sayang. Dan Sam barusan mengabarkan ada truk besar terguling dan menyebabkan jalanan macet. Mending kita tunggu saja sebentar.”Aku baru tahu hal itu. Memang saat memasuki gedung ini tadi, sudah gerimis. Bisa jadi sekarang hujan deras teringat mendungnya yang pekat membuat langit Jakarta mengabu.“Oh, baiklah!” ujarku. Aku tidak menolak. Lagi pula ada Ed di sampingku. Kenapa juga aku masih merasa tidak enak?Setelah dokter memeriksa dan memberikan injection pada jarum infus Erik, pria itu menutup matanya. Sepertinya pengaruh obatnya membuatnya lebih banyak mengant