Kami hanya duduk di kursi taman itu tanpa kata-kata. Kelihatannya hanya memperhatikan dua bocah kecil itu yang asyik bermain-main di taman. Padahal yang sebenarnya adalah, baik aku maupun Ed sibuk dengan pikiran dan mengatur emosi masing-masing.Aku bisa melihat Ed memendam kekecewaannya. Duduknya resah dan tidak tenang. Aku pun sama sepertinya. Namun tidak ingin saja menjadi satu-satunya orang yang disalahkan atas ketidak tahuannya tentang dua buah hatinya itu.Harusnya dia tahu mengapa aku sampai tidak menyampaikannya.“Kau tidak mempercayaiku, Ed. Apa aku masih bisa berharap kau mengakui mereka?” kuberanikan diri memulai dari mana alasannya aku tidak menyampaikan tentang mereka.Saat ini, setelah dia bertemu sendiri dengan dua bocah yang mewarisi parasnya itu, aku tidak perlu lagi membuktikan apapun tentang kebenarannya. Kurasa Ed juga tidak bisa mengelaknya lagi.Ed menghela napas berat lalu berkata dengan sedih, &ldqu
Gala yang masih keras kepala itu hanya melirik Ed sambil sesekali menunduk.“Mama, Papaku ganteng sekali!” Meida dengan polosnya berseru mencairkan suasana yang kaku itu.Apalagi Gala yang kemudian menyahuti saudarinya itu, “Kau ini wanita, tidak tahu malu bilang pria lain ganteng.”“Kan dia papaku, ya kan Ma?”Ed terkekeh melihat tingkah dua bocah lucu itu. Aku tersenyum mengangguk menanggapi pertanyaan Meida. Lalu kurangkul Gala yang masih menjaga jarak dengan Ed itu.“Galaku juga genteng. Kan Gala mirip Papa.” Kucium pipi Gala dan bocah itu mulai bisa tersenyum.Sesaat kulihat Ed melirikku dengan senyum yang lebih lepas. Kupikir dia bahagia karena putranya sudah tersenyum. Tapi aku yang jadi serba salah. Sudah tanpa sadar mengatakan kalau dia ganteng langsung di depannya.Bisa juga dia besar kepala.“Eh, iya, Ma. Gala mirip sekali dengan Papa.” Meida kembali b
“Setidaknya berilah keterangan kenapa kau tidak masuk. Bagaimana kalau Tuan Edward komplen dengan kinerjamu? Takutnya dia nyangkut-nyangkutin ke perusahaan Gema Bangun dan jatuhlah citraku di matanya.”Kubiarkan Pak Betha berceramah panjang lebar.Dalam hal ini aku memang bersalah tidak sempat memberitahu ketidak hadiranku. Terlepas bahwa Ed pasti akan mengizinkanku dan tidak mempermasalahkannya—ini bukan karena dia ayah dari anak-anakku, melainkan karena Ed tahu sendiri, ibuku sekarang sedang terbaring di rumah sakit karena harus menjalani operasi transplantasi ginjal.“Maaf, Pak Betha. Saya yang salah. Ibu saya subuh tadi harus menjalani operasi, dan saya sampai kelupaan tidak meminta izin,” ujarku memaparkan kenapa sampai harus tidak masuk.“Ibumu operasi?”“Benar, Pak. Sekarang saya masih di rumah sakit.”“Itu bisa dimaklumi. Tapi kau tetap harus bertanggung jawab. Telpon Pak Rafael dan sampaikan permintaan maafmu karena hari ini tidak masuk.” Pak Betha masih mengingatkan prosedu
Mbak Lilis dan Kang Parto datang di malam harinya karena ingin menggantikanku menjaga ibu di rumah sakit. Mereka tahunya aku masih harus bekerja keesokan harinya. Karena merasa kasihan, Mbak Lilis menawarkan diri untuk menjaga ibuku.“Jahitannya Mbak Lilis bagaimana kalau ditinggal?”Aku tidak enak, kalau hanya karena ingin membantuku menjaga ibu, wanita ini akan kehilangan penghasilannya.“Ya ampun, Mila. Kamu dari mana saja, sih? Aku sudah lama nganggur enggak jahit,” ujar Mbak Lilis.“Lho, kenapa, Mbak?”Tentu saja aku terkejut. Jahitan Mbak lilis terkenal bagus dan rapi. Biasanya langganannya kebanyakan pegawai kantoran dan anak-anak sekolah. Dia juga bisa menjahit banyak model pakaian sesuai yang dimau pelanggannya. Kalau tiba-tiba lama tidak menjahit, aku baru tahunya sekarang.“Ya enggak ada yang jahit, apa coba yang mau dijahit?”“Kok bisa tiba-tiba sepi ya, Mbak?” Selama ini aku kurang update dengan apa yang terjadi di sekitarku. Mbak Lilis pasti paham betul bagaimana kesi
“Mohon maaf atas semuanya, Nyonya,” ujarnya setelah aku sudah bersedia masuk ke dalam mobil dan kami sudah di jalan.Aku tidak mengatakan apapun dan suasana yang hening membuat pria itu merasa canggung.Sudahlah. Tidak enak juga ‘kan harus bersikap dingin padanya. Toh anak-anak juga sudah di rumah bersama papa mereka. Aku tidak tahu mengapa Ed kembali memintanya datang.“Iya, Sam. Aku juga minta maaf,” jawabku lalu kami kembali terdiam sepanjang jalan sampai di rumah.Aku pun tidak menunjukan di mana rumahku dan Sam sudah menghentikan mobil tepat di depannya.Kalau Ed sudah di rumahku, pasti dari mana Sam tahu rumahku tidak perlu ditanyakan lagi.Setelah membukakan pintu mobil untukku, Sam bergegas undur diri dan berlalu. Aku masih tertegun dan menduga-duga banyak hal. Namun teringat anak-anak sudah di dalam rumah, aku bergegas melangkah ke dalam.Saat aku membuka pintu rumah —sepi.Apa anak-anak sudah tidur?Melihat televisi masih menyala dan Ed tertidur di sofa dengan memeluk Meida
Inginnya aku menolak. Atas setiap sentuhan-sentuhan pria yang sudah membangkitkan kenangan tentang keintiman kami dulu. Tapi aku tidak berdaya dan kubiarkan Ed mencurahkan kerinduannya.Namun ketika teringat hubungan kami yang sudah berakhir dan Ed sudah memiliki wanita lain yang akan menjadi istrinya, aku memaksakan diri untuk menolaknya.“Berhenti, Ed. Hentikan...” pintaku padanya.Ciuman Ed terhenti di leherku dan dia perlahan menarik diri untuk menatapku dengan menelisik.“Kau tidak merindukanku?” tukasnya masih tidak rela. Dibelainya pipi dan bibirku dengan lembut.Ed masih berusaha untuk menawar barangkali aku berubah pikiran dan mengizinkannya melanjutkan kemesraan kami yang baru tercipta itu.Aku terdiam. Tidak mau berbohong kalau aku juga merindukannya, namun tidak mungkin juga dengan jujur aku mengatakannya.“Ya sudah, mungkin kau lelah. Maafkan aku!” tukas Ed mengacak rambutku yang tampak keberatan itu. Dia pun bangkit dari sisiku.Kulihat pria ini masih berusaha menguasa
“Mama kenapa baru dipakai bajunya?”Ternyata Meida sudah menangkapku yang tergesa memakai pakaian saat dia membuka pintu kamar.Anak perempuanku ini pasti terbangun karena mencariku.“I-iya, Sayang. Mama tadi sedikit gerah jadi bajunya dibuka bentar.”Aku yang sudah mengenakan bajuku kembali, kini bergegas menghampiri Meida yang berdiri di depan pintu kamar itu.“Kenapa mama tidak tidur sama Meida?” tanya bocah itu dengan merengek.“Iya, ayo Mama temani tidur lagi?” kugendong Meida ke kamar dan gadis kecilku itu menyempatkan menegur papanya yang duduk di lantai di samping sofa, masih tampak salah tingkah karena sudah hampir tertangkap basah oleh anak perempuannya itu.“Papa juga gerah? Kok bajunya juga dilepas?”“Hah? I-iya!” jawab Ed gelagapan. Tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu pula.Ed baru menyeret kemejanya dan menggenakannya lagi.Aku jadi menahan senyum sendiri karena kami sudah macam maling yang ketahuan saja.Tidak bisa kubayangkan kalau tadi Meida langsung membuka
Deg!Itu Erna tukang gosip di gang ini. Dia pasti sepagi ini mengumpulkan beberapa warga untuk ikut mendukungnya mempermalukanku.Wanita itu sudah berkacak pinggang saja menunjuk-nunjuk rumahku, sementara Kang Parto tampak menahannya.Aku yang mengintip mereka dari dalam rumah jadi panik sendiri.Mereka mana tahu kalau Ed adalah suamiku?Bagaimana kalau wanita itu membuat ulah lalu warga akan berbuat nekat dengan menggrebek kami?Kuharap Kang Parto bisa menengahi keadaan. Dia ketua RT di lingkungan perumahan kami. Untungya Kang Parto sudah menganggapku adik sendiri. Jadi tidak senang saja ada yang akan sembarangan padaku.“Nanti aku tanya pada Mila baik-baik. Kasihan dia baru dapat musibah. Sedikitlah bersimpati pada tetangga kita itu. Bu Narti baru menjalani operasi transplantasi ginjal. Mbak Erna jangan cepat mengambil kesimpulan sendiri,” tukas Kang Parto mencoba memberi pengertian pada Erna.Sebagai ketua RT di gang ini Kang Parto pasti sudah paham betul bagaimana watak tetanggaku