Kali ini Rafael tidak memintaku yang mendampingi Ed saat pelaksanaan meeting.Dia menyuruhku menyelesaikan beberapa pekerjaan lain di ruangannya sementara dia sendiri yang akan mendampingi Ed dalam meeting.Aku bisa menduga, Ed takut dimarahi calon istrinya itu lantaran tadi melihatku memeluknya. Lalu meminta Rafael yang kini mendampinginya.Itu sama sekali bukan masalah bagiku.Aku justru lebih tenang kalau untuk selanjutnya tugasku lebih difokuskan ke urusan kantor. Bisa sedikit santai. Kalau sewaktu-waktu merindukan anak-anak, aku bisa menelpon mereka.Aku juga bisa mencuri-curi kesempatan untuk menelpon teman-temanku yang kalau kerja bareng sering rame dan bercanda.Tiba-tiba ponselku sudah menyala saja dan menunjukan nama Tika di layar.Kebetulan sekali. Sudah seminggu ini aku tidak saling bertemu dan berkontak dengannya karena sama-sama sibuk.Kali ini melihatnya menelponku aku tidak menunda untuk mengangkatnya.“Hallo, Say?” suara Tika terdengar ketika aku membuka panggilan.
Kalau Rafael kemudian memberiku saran agar menjaga sedikit jarak dulu dengan Ed, aku sama sekali tidak masalah.Justru senang tidak harus tertekan menghadapi sikap pria dewasa yang tidak ubahnya seperti anak kecil itu.Benar-benar menyebalkan.Penderitaan selama lima tahunku sama sekali tidak ada harganya kalau harus begitu saja bersikap biasa padanya seolah tidak pernah terjadi apapun.Lagi pula apa yang dimaunya sekarang?Dia sudah punya calon istri dan akan segera menikah. Tidak Seharusnya terus mendekatiku seperti ini.Walau tidak serius padaku, apa dia tidak pernah berpikir bahwa aku juga punya perasaan?Dia kira aku wanita apa-apaan yang bisa dipermainkannya?“Sebenarnya sejak beliau memintamu menjadi asistennya aku sudah curiga bahwa tuan ada hati padamu, Kamila. Jadi sikap Nona Jessica ingin memberi kalian jarak sangat beralasan,” Rafael menjelaskan beberapa hari yang lalu setelah berbicara dengan Jessica.Aku jadi tidak enak kalau sampai Rafael saja merasa aneh dengan sika
“Aku tidak mengerti, Mila. Tapi aku mencintaimu.” Ed mengenggam jemariku dan aku berusaha menariknya lepas.Ada apa dengan isi otak pria ini?“Anda tidak lupa ‘kan kalau sudah punya calon istri?” kupalingkan wajahku agar tidak menjadi muak mendengar ucapannya ini.Ya Tuhan. Semua pria memang sama saja.“Kenapa kalau aku punya calon istri? Kami belum terikat apapun.”“Kejam sekali kau, Ed. Kalian hampir menikah dan kau dengan mudahnya mengatakan hal itu? Bagaimana nanti kalau kau juga tidak lagi mencintaiku, kau pasti akan membuangku seperti sampah.”Seperti yang sudah dia lakukan sebelumnya padaku.Aku bangkit dan berniat pergi saja dari pria ini. Namun Ed tidak membiarkanku pergi.“Kau lupa, kau dulu juga calon istri pria lain dan aku tidak berhenti mendapatkanmu, Mila.” Ed menahan lenganku dan kami berdiri berhadapan saling menatap dalam.“Mila, aku akan terima anak-anakmu sebagai anakku sendiri, beri aku kesempatan untuk sekali lagi memilikimu. Kau sudah menguasaiku, Mila. Jangan b
Ed mencium bibirku dan aku berusaha mendorong dadanya agar pria ini melepaskanku. Sayangnya tenaga pria ini lebih besar hingga aku menyerah, menunggu saja dia melepaskanku. Plak! Begitu terlepas, kutampar pria itu dengan begitu kesal.Rasanya sedih sekali harus kembali diingatkan manisnya ciuman-ciuman kami setelah semua tidak lagi sama.Kuharap pria ini punya sedikit rasa belas kasihan padaku agar membiarkanku pergi.“Maaf, Tuan. Maafkan aku!” ujarku yang menunduk bersalah karena sudah berani-beraninya menampar seorang big bos.Ed berpaling sambil mengumpat lirih. Mungkin kesal dengan sikapku, mungkin juga karena dia yang tidak bisa menguasai dirinya hingga tanpa sadar menciumku tadi.***Aku tidak mau ambil pusing dengan semua ini. Tidak akan jadi masalah apapaun bagiku kalau tidak bekerja bersama Ed. Toh tawaran menjadi asisten juga bukan kemauanku.Lagi pula, justru lebih baik bagiku kalau bisa menghindari pria yang sikapnya meresahkan itu.Bagaimaanapun kami adalah dua insan
Kedua wanita itu hanya melongo menatapku dengan sangat terkejut setelah mengucapkan kata-kata yang penuh intimidasi itu.Aku tidak peduli lagi.Kutinggalkan mereka untuk segera mencari motorku.Begitu sudah naik di atas motor, aku melenguh untuk satu hal lagi.Banku kempes!Padahal tadi tidak kenapa-kenapa.“Rasain itu, Janda gatel tidak tahu malu!” suara Vanka meneriakiku. Disusul suara derai tawa Jessica yang tampak puas sekali melihatku kesusahan.Pasti mereka yang membuat banku bocor.Sialan wanita-wanita itu!Hanya membatin, kalau memang punya kesempatan aku pastikan akan membalas mereka. Terutama Vanka. Aku tidak pernah membuat perkara dengan wanita itu tapi dia selalu merundungku.Oh, ampuni aku, Tuhan...Terus ditekan dan di sakiti ternyata bisa juga membuatku menjadi pendedam begini.Akhirnya kuputuskan meninggalkan motorku dan mencari ojek saja.Setiba di rumah sakit aku langsung berlari menuju UGD.Kang Parto bilang ibu masih di UGD. Tapi begitu sampai tempat itu aku tidak
Petugas resepsionis itu tidak bersedia menghubungkanku dengan kamar tempat Ed tinggal.Kuhubungi Rafael dan menanyakan tentang keberadaannya. Sayangnya dia menyampaikan sudah tiga hari ini Ed meminta untuk tidak diganggu.Aku memang tidak mendapati Ed di kantor setelah hari di mana aku menamparnya. Ternyata setelah itu dia menghilang.Rafael juga tidak bersedia menyampaikan di mana dia berada karena memang dipesan seperti itu.Aku bingung sekali. Kuhubungi Ed sekali lagi dan hasilnya sama. Ponselnya tidak aktif.“Pak, tolong katakan padanya sekali ini, aku sangat ingin bicara padanya. Tolonglah!” isakku di telpon pada Rafael.“Aku tidak mengerti apa yang terjadi padamu, Mila. Tapi kukatakan yang sejujurnya, bahkan aku tidak tahu di mana Tuan Edward berada. Nona Jessica pun tidak diberitahu.”“Oh, baiklah!” aku menyerah dan tidak lagi bertanya.Kakiku lemas dan putus asa. Kemana aku harus pergi?Adakah orang yang mau berbaik hati meminjamiku uang?Sudah tahu pria itu tidak sedang di h
Sesampai di rumah sakit, Ed lagi-lagi mendapat panggilan. Aku yang tahu bahwa akhir-akhir ini Ed banyak sekali pekerjaan jadi tidak enak. Hendak memintanya tidak perlu mengantarku, takut saja kalau dia akan tersinggung.“Kau masuklah dulu, aku terima panggilan sebentar,” tukasnya. Aku hanya mengangguk karena paham betul kesibukannya.Sedikit tergesa aku melangkah ke ruang perwatan ibuku. Kamarnya kosong. Aku baru ingat dia sedang dioperasi. Jadinya aku pun mencari-cari ruang untuk operasi.Kulihat Mbak Lilis, istri Kang Parto yang duduk di depan ruang operasi.“Mbak Lilis?” sapaku menghampirinya. “Ibu dioperasi, Mila. Kita sama-sama berdoa ya biar opersainya lancar.” Wanita itu mengelus bahuku sambil berkaca-kaca. Dia memang dekat sekali dengan ibuku. Sudah seperti kakak kandungku sendiri.“Iya, Mbak.” Air mataku kembali mengalir. Mbak Lilis memelukku untuk menguatkan.Teringat anak-anak, aku kemudian menanayakan mereka.“Gala dan Meida di mana, Mbak?”“Sejak bangun tadi mereka ingi
Kami hanya duduk di kursi taman itu tanpa kata-kata. Kelihatannya hanya memperhatikan dua bocah kecil itu yang asyik bermain-main di taman. Padahal yang sebenarnya adalah, baik aku maupun Ed sibuk dengan pikiran dan mengatur emosi masing-masing.Aku bisa melihat Ed memendam kekecewaannya. Duduknya resah dan tidak tenang. Aku pun sama sepertinya. Namun tidak ingin saja menjadi satu-satunya orang yang disalahkan atas ketidak tahuannya tentang dua buah hatinya itu.Harusnya dia tahu mengapa aku sampai tidak menyampaikannya.“Kau tidak mempercayaiku, Ed. Apa aku masih bisa berharap kau mengakui mereka?” kuberanikan diri memulai dari mana alasannya aku tidak menyampaikan tentang mereka.Saat ini, setelah dia bertemu sendiri dengan dua bocah yang mewarisi parasnya itu, aku tidak perlu lagi membuktikan apapun tentang kebenarannya. Kurasa Ed juga tidak bisa mengelaknya lagi.Ed menghela napas berat lalu berkata dengan sedih, &ldqu