“Ibu baik-baik saja, besok hanya periksa lagi ke rumah sakit,” ujar ibu menjelaskan kondisinya.
“Periksa? Kok ibu tidak bilang kalau harus balik lagi untuk periksa?” Aku tidak diberitahu tentang hal itu, membuatku mencemaskan ibu.
“Kalau begitu, besok Mila kan libur, Mila antar ya, Bu?” aku juga ingin tahu sebenarnya ibu sakit apa. Kalau wanita ini tidak mau mengatakannya, aku akan tanyakan langsung pada dokternya.
“Kenapa secemas itu, Ibu ini sudah tua, dokter menyarankan harus sering chek up kesehatan. Tidak ada yang serius, kok!”
“Tidak apa, Bu. Nanti akan Mila antar.” Aku bersih keras mengantar ibuku.
“Kau tadi kan sudah bilang akan mengajak anak-anak jalan—jalan. Jangan ah, Ibu bisa naik becak atau ikut Parto kalau kebetulan berangkat narik angkotnya.” Wanita ini masih menolak.
Tapi ibu benar, aku sudah terlanjur menyanggupi anak-anak jalan keluar tadi.
“Gala belum tidur?” tanyaku yang sesaat tadi membeku sudah seperti maling yang ketahuan.Bagaimana bocah kecil itu tiba-tiba keluar mendengar pembicaraan kami?Tidak mau saja dia terlalu dini harus kuberitahu sebuah kebohongan bahwa papanya sudah tidak ada.Sebenarnya ada rasa tidak tega juga harus mengatakannya. Mudah-mudahan Ed panjang umur dan sehat selalu.Ini hanya untuk kebaikan anak-anaknya.Lihatlah, seburuk apapun hubungan kami aku tentu tidak bisa melihat papa anak-anakku dalam kondisi itu.“Kenapa Mama tidak bilang pada teman-temanku kalau papa Gala sudah meninggal?”“Kenapa, Sayang. Ini sudah malam, besok kita jalan-jalan ‘kan?” aku menghampirinya dan membujuknya kembali ke tempat tidur.“Soalnya mereka suka olok-olok Gala dan Meida anak haram, Ma!”Deg!Mendengar kata itu dari bibir Gala sendiri hatiku meradang.Apa anak sekecil ini ta
Kedua bocah kecil itu sudah heboh bukan main sejak tadi sudah merengek untuk segera berangkat.Sekarang saat aku menjinjing tas yang berisi barang-barang mereka, keduanya yang hari ini aku pakaikan kaos sama denganku langsung berlari di dekat motor karena tidak sabar akan segera meluncur.Gala sudah duduk dibelakangku dan kupasang sabuk bonceng di tubuhnya. Sementara Meida tidak perlu kupakaikan karena ada di depan.Wisata Taman Kota juga tidak jauh dari perumahanku, hanya sekitar 20 menitan.Tapi karena aku memiih aman, kulewati jalan poros antar kampung saja dengan waktu tempuh lebih lambat 15 menitan. Tidak apa, asal anak-anak nyaman dan selamat sampai tujuan.Di tengah jalan sepertinya gerimis turun, aku memilih menepikan motorku ke emperan toko untuk berteduh sejenak. Menunggu saja sambil melihat apakah akan lebih deras atau tidak. Sepertinya tidak akan lama.“Ma, kalau kita punya mobil, enak ya, Ma?” celutuk Gal
“Maaf, Om. Mama melarang kami dekat-dekat dengan orang asing. Permisi!” Gala menarik lengan saudara perempuannya menjauh.Aku menghela napas lega dan kulihat mereka berjalan balik ke tempat aku duduk tadi.Ed masih tertegun menatap dua bocah kecilku. Adakah dia merasa familiar dengan wajah anak-anaknya sendiri?“Sayang...” suara panggilan dari wanita itu membuatnya teralihkan.Aku mendegus melihatnya langsung berbalik badan untuk menemui wanitanya.Percuma juga tadi aku sampai ketakutan dia mengenali anak-anakku. Nyatanya wanita itu sekarang yang sudah menguasainya.Pak Bupati bilang, saking cintanya Ed dengan Jessica, dia sampai rela menginvestasikan modalnya untuk pembangunan hotel dan resort di kabupaten kecil ini.“Mama cari kita?” Gala dan Meida lebih cepat sampai di tempatku duduk tadi. Anak-anak ini masih ingat tempat aku menunggu mereka padahal arena di sini berkelok-kelok.“Iya
Paginya, sebelum aku berangkat, kusempatkan menghubungi Rafael untuk mengkonfirmasi tentang yang disampaikan Pak Betha kemarin. Lalu pria itu membenarkan.“Nona datang saja ke kantor sementara kami, di Gedung Plaza Kota lantai 9, nanti tentang bagaimananya akan kami jelaskan,” tukas Rafael menjawab pertanyaanku.“Apa yang harus kami persiapkan? Adakah berkas-berkas tentang proyek yang kemarin harus saya bawa lagi?” tanyaku memastikan sebelum berangkat.Karena kalau masih harus membawanya tentu aku harus mampir dulu ke kantor.Arah kantorku dengan tempat yang disampaikan Rafael berlawanan arah. Tidak mau saja sudah sampai sana aku harus balik lagi ke kantor.“Oh, baiklah, Pak Rafael. Aku akan langsung ke sana saja,” ujarku bergegas mengambil tasku dan bersiap untuk ke kantor.Ini hari senin. Anak-anak sepagi tadi sudah berangkat karena sekolahnya sudah mulai membiasakan upacara untuk anak-anak usia di
Menjadi asisten pribadi?Apa aku tidak salah dengar?Saat kutanya mengapa Rafael memintaku yang menjadi asisten pribadi big bosnya itu, dia hanya memberikan alasan yang sederhana bahwa dia sama sekali tidak tahu menahu tentang kota ini.Jadi memintaku mencarikan orang asli kota ini sekaligus sebagai referensi tentang banyak hal yang berkaitan dengan kultur kota ini.“Dengan memilih Anda sebagai asisten beliau, saya harap proyek kerja sama ini berjalan lebih baik. Karena Anda juga bisa memberikan banyak masukan bagaimana selera pasar masyarakat kota ini yang akan kita bawa ke pangsa pasar lebih luas.”“Dan saya yakin, jika semua berjalan sesuai rencana, tidak sampai 10 tahun ke depan, kota kecil ini akan menjadi kota yang maju dengan potensi sumber daya alamnya yang memadai. Itulah yang diharapkan Bapak Bupati Anda ‘kan?” penjelasan Rafael yang sangat profesional itu membuat bulu kudukku berjingkat.Sebagai orang
“Bagaimana kalau ada apa-apa dengan hidungku?” Ed membuat panikku tidak berkurang.“Sebentar, biar aku kompres dulu!” tukasku segera menghampirinya. Membungkukan sedikit badanku pada Ed yang duduk di kursinya agar bisa memeriksa keadaan hidungnya.Dengan lembut segera kuusapkan tisu yang sudah kubasahi air dingin itu di hidung pria ini.Karena terlalu serius, untuk beberapa saat aku sama sekali tidak merasa ada yang salah.Hingga tak sengaja kutatap Ed yang mungkin sejak tadi sedang menatapku.Posisi wajah kami pun sangat dekat.Seketika aku membeku.Saat tersadar aku langsung menarik diri dan berdiri canggung di samping kursinya. “Kenapa berhenti?” Ed dengan lempeng masih bertanya. Tisu itu masih menempel di hidungnya.Kulirik pria ini dan aku baru menyadari satu hal, sepertinya dia hanya mengerjaiku.Aku jadi ingat, Ed dulu memang begitu. Sedikit tengil dan suka sekali mengusiliku.Astaga. Apa dia sudah lupa bahwa di antara kita ada masalah yang rumit?“Tuan, jangan main-main,” u
“Biar aku bawa berkas-berkas ini!”Aku segera bangkit dan mengemasi map-map di meja sebelum Ed nanti yang malah membawanya kembali ke ruang kerjaanya.Hanya tinggal kami di ruang rapat itu karena yang lain diminta menyelesaikan beberapa pekerjaan untuk kembali dirapatkan setelah ini.Karena aku tidak mau Rafel menegurku dengan membiarkan big bosnya membawa barang-barang sementara aku yang merupakan asistennya melenggang tidak melakuan pekerjaan, aku segera mengambil map-map itu. “Taruh lagi di meja, Mila.” Ed memintaku kembali meletakan map-map itu di meja.“Maaf, ini pekerjaan saya, Tuan!” aku tidak mengindahkan ucapannya.“Mau dibawa kemana?”“Keruang kerja, Tuan, ‘kan?”“Tapi habis ini ada meeting lagi di sini. Kau mau bolak-balik hanya bawa map itu?” Ed baru memberitahuku tentang hal itu.“Oh, apa? Ahaha. Aku pikir meetingnya sudah selesai.” Kuletakkan kembali map itu di meja dan sedikit malu pada Ed.Bagaimana aku lupa kalau setelah ini masih ada meeting lagi dengan beberapa pe
“Suaminya menghilang tidak tahu di mana berada,”Deg!Vanka keterlaluan sekali sudah sampai membeberkan tentang privasiku yang itu.Aku sangat merasa tersinggung.Tapi herannya, bagi mereka yang tidak tahu apa-apa justru bertepuk tangan dan menganggap Vanka sebagai seorang rekan kerja yang baik dan sedang mendukungku.Keresahanku itu kusembunyikan dan mencoba berpikiran positif saja.Ketika aku menoleh ke arah Ed, aku melihatnya sedang menyembunyikan rasa terkejut.Pasti sebelum ini dia tidak menyangka aku sudah memiliki anak.Padahal itu juga anaknya sendiri.Saat meeting berakhir, kebetuan Rafael memintaku mengurus sedikit berkas untuk dibawa ke meja Ed agar dia bisa membubuhkan tanda tangannya.Di sela itu aku pamit ke belakang dan ingin sekedar mempertanyakan hal itu pada Vanka.“Vanka!” panggilku pada wanita itu.“Ya, ada apa?” Vanka menyahuti dingin.“Apa maksudmu berkata demikian?” Aku langsung membahas pernyataannya tadi.“Kenapa? Apa ada yang salah dengan ucapanku tadi? Semua