Pagi setelah menyiapkan keperluan anak-anak aku menghubungi Beni agar menjemputku bersama ke kantor Pemkab memberitahukan tentang rencana meeting nanti siang.Perumahanku lebih dekat dengan Kantor Bupati, jadi biar tidak bolak-balik saja kami langsung ke sana. Sedikit waktu nanti biar bisa dibuat untuk persiapan meetingnya.“Ma, nanti Mama pulang cepat ya?” Meida yang sudah rapi mau ke sekolah menghampiriku.“Princessnya Mama cantik sekali sih!” kupeluk anak perempuanku dan merapikan ikatan rambutnya.“Mama kok tidak jawab, nanti pulang cepat ya?” Meida mengulang kata-katanya yang tadi.“Kenapa, Sayang?” tanyaku padanya yang sepagi ini sudah manyun saja.“Meida pengen makan ayam dan burger sama Mama.”“Ya sudah nanti Mama pas pulang bawain sekalian, ya?”“Enggak mau, Ma. Pengennya makan bareng Mama di restorannya!”Meida mulai merengek. Tumben-tumbenan sepagi ini sudah ngereog begini. Lalu aku berlutut dan memberinya pengertian.“Mama masih kerja, Sayang. Nanti kalau Mama tidak kerja
“Oh, Kamilla? Silahkan, aku tidak diberitahu kalau kau akan datang ke sini.”Pria tinggi itu tersenyum lebar menyapaku yang sudah ada di pendoo rumah dinasnya.Tadi aku sebenarnya hanya ingin menemui asisten atau ajudan beliau untuk mengkonfirmasikan tentang jadwal meeting yang harus dijadikan satu dengan pertemuan bupati dan pihak perusahaan Lavidia dari Jakarta, Namun tidak tahu bagaimana aku malah digiring ke rumah dinas bupati ini.“Oh, Selamat pagi Pak Bupati. Saya hanya menyampaikan tentang permintaan Pak Rafael mengenai pertemuan nanti. Beliau menyarankan agar pertemuan itu dijadikan satu dengan meeting bersama perusahaan kami. Kami harap Bapak Bupati tidak keberatan akan hal itu,” ucapku seformal mungkin karena berbicara dengan orang nomor satu di kabupaten ini.“Haha, tidak masalah. Aku malah senang lho, apalagi nanti ada kamu juga di meetingnya.” Bupati itu senyum-senyum padaku dan aku hanya membalasnya sambil mengangguk sopan.“Maaf kalau sepagi ini mengganggu aktifitas Bapa
“Mila, jangan lupa persiapan finalnya. Semalam Vanka cerita kau kurang fokus dan membuat banyak kesalahan.”Pak Betha mengingatkanku di detik-detik kami harus menghadiri meeting itu.“Baik, Pak!” jawabku sembari melirik jam tanganku yang tahu-tahu sudah siang saja.Setidaknya, waktu dan pekerjaan yang begitu mendesak ini membuatku terlupakan tentang pikiran-pikiran yang membuatku sampai sulit memejamkan mata semalam.Aku memang sengaja memfokuskan pada pekerjaan agar bisa melupakan rasa was-wasku. Rasa cemasku tentang pertemuan ini.Kubawa santai saja dan mengikuti arus mengalir membawaku.Bagaimana nanti, dipikir nanti saja.Tepat sesuai jadwal yang sudah ditetapkan, aku mendampingi Pak Betha menuju ke tempat yang sudah kami sepekati untuk melakukan meeting.Ben bersama Tika dan Vanka sebagi team tentu ikut mendampingi. Tapi mereka nanti hanya berjaga-jaga kalau memang dibutuhkan dan hanya berada di luar ruang meeting.Tidak berapa lama kami sampai di tempat itu. Kakiku semakin berat
Ada aliran listrik kurasakan yang tiba-tiba menyengat tubuhku ketika tangan kami saling bersentuhan.“Se-selamat siang, Tuan!” kupaksakan diriku menyapanya meski Ed pasti tahu betapa gugupnya diriku.Dan pria itu, dengan segenap ketenangannya hanya menatapku tanpa bisa kupelajari apa yang sedang dipikirkannya.Kutarik cepat tanganku agar tidak berlama-lama harus terlibat bersitatap dengannya.“Ed, dia kekasih Reza. Bagaimana cocok tidak?” Jessica muncul memberiku ruang untuk membuat jarak di antara kami. Aku merasa terbantu dengan kehadirannya.Namun melihat wanita itu lengket di lengan Ed sambil menunjukan kemesraan mereka, tanpa kuperintah pandanganku melengos mengalihkan perhatianku. Resah dan tidak paham kenapa nyeri di dadaku terasa begitu menyiksa.“Kau bisa tunggu aku di luar dulu? Aku harus meeting dengan mereka.” Ed tidak mengomentari pertanyaan calon istrinya itu, tapi dengan
“Kamila...”Panggilan itu membuatku membeku. Lalu beberapa saat kemudian kuberanikan diri membalikan badan ke arahnya.Tidak apa, Mila.Hadapi saja.Kau memang harus menyelesaikan semuanya agar untuk selanjutnya bisa bersikap sebagaimana mestinya.Sebagai dua orang yang sudah selesai dengan hubungan masa lalu...“Apa kabar?” Ed bertanya dengan gumaman yang terdengar dalam, seolah menahan banyak hal yang ingin dikeluarkannya padaku.Kurasa dia ingin marah namun masih ditahannya.Aku pun sudah siap menerima kemarahannya.“B-baik, Tuan.” Kujawab dengan panggilan tuan karena posisi kami memang seperti itu saat ini.Beberapa saat kami hening dan kubiarkan tatapan Ed tidak bersambut karena kutundukan pandangku.“Hmm, baguslah. Kalau ternyata hidupmu baik-baik saja. Aku senang kau bisa melupakanku dengan baik.” Ed kemudian bersuara membuatku terpancing untuk menatapnya balik.Kulihat pria yang
Setelah menyerahkan beberapa berkas tadi pada Tika dan Beni yang masih di tempat meeting, tanpa ada penjelasan aku melangkah pergi.Aku berjalan ke tukang ojek di pangkalan agar mengantarku pergi dari tempat itu.Apa yang aku rasakan tidak bisa kuungkapkan.Aku hanya sedih sekali.Sepertinya tidak mau lagi bertemu dengan masa lalu dan mengungkitnya.Bertahun-tahun sudah kucoba melupakan semuanya dengan berusaha tegar menjalani hidupku hanya demi dua buah hatiku.Tidak tahu apa alasan Tuhan pada akhirnya mempertemukan kami kembali? “Turun di depan Restauran Rocky Chicken itu, Bang!” ujarku pada tukang ojek.Sesedih apapun, aku masih ingat, Meida minta dibelikan ayam dan burger. Biasanya aku mengajaknya ke tempat ini.Menunggu pesananku, aku harus masuk ke toilet untuk menghapus sisa-sisa air mataku. Menuntaskan air mataku yang sepertinya kembali tercurah.Setelah sedikit puas, kuhela napas panjang-panjang la
“Ibu baik-baik saja, besok hanya periksa lagi ke rumah sakit,” ujar ibu menjelaskan kondisinya.“Periksa? Kok ibu tidak bilang kalau harus balik lagi untuk periksa?” Aku tidak diberitahu tentang hal itu, membuatku mencemaskan ibu.“Kalau begitu, besok Mila kan libur, Mila antar ya, Bu?” aku juga ingin tahu sebenarnya ibu sakit apa. Kalau wanita ini tidak mau mengatakannya, aku akan tanyakan langsung pada dokternya.“Kenapa secemas itu, Ibu ini sudah tua, dokter menyarankan harus sering chek up kesehatan. Tidak ada yang serius, kok!”“Tidak apa, Bu. Nanti akan Mila antar.” Aku bersih keras mengantar ibuku.“Kau tadi kan sudah bilang akan mengajak anak-anak jalan—jalan. Jangan ah, Ibu bisa naik becak atau ikut Parto kalau kebetulan berangkat narik angkotnya.” Wanita ini masih menolak.Tapi ibu benar, aku sudah terlanjur menyanggupi anak-anak jalan keluar tadi.
“Gala belum tidur?” tanyaku yang sesaat tadi membeku sudah seperti maling yang ketahuan.Bagaimana bocah kecil itu tiba-tiba keluar mendengar pembicaraan kami?Tidak mau saja dia terlalu dini harus kuberitahu sebuah kebohongan bahwa papanya sudah tidak ada.Sebenarnya ada rasa tidak tega juga harus mengatakannya. Mudah-mudahan Ed panjang umur dan sehat selalu.Ini hanya untuk kebaikan anak-anaknya.Lihatlah, seburuk apapun hubungan kami aku tentu tidak bisa melihat papa anak-anakku dalam kondisi itu.“Kenapa Mama tidak bilang pada teman-temanku kalau papa Gala sudah meninggal?”“Kenapa, Sayang. Ini sudah malam, besok kita jalan-jalan ‘kan?” aku menghampirinya dan membujuknya kembali ke tempat tidur.“Soalnya mereka suka olok-olok Gala dan Meida anak haram, Ma!”Deg!Mendengar kata itu dari bibir Gala sendiri hatiku meradang.Apa anak sekecil ini ta