Kami tidak langsung kembali ke rumah karena Ibu mengajakku ke Pasar Sore tidak jauh dari Puskesmas itu untuk menjual kalung emasnya.Dia bilang ingin mengadakan syukuran kecil-kecilan di rumah. Jadinya setelah menjual kalung emasnya itu kami sibuk belanja beberapa keperluan.“Jangan berlebihan Bu, ini masih 3 bulan, nanti biaya lahiran dan merawat bayi lebih gede. Mending ditabung saja buat nanti,” ujarku yang malah menasihati ibuku itu.Kondisi yang prihatin dengan hanya mengandalkan membuat kue basah dan menitipkannya di warung-warung dekat rumah, membuatku selalu berpikir hemat. “Jangan dipikir yang belum, Mila. Kita harus banyak bersyukur. Di dalam perutmu ini ada cucu, Ibu. Nanti ibu juga akan bantu-bantu biaya merawat anak-anakmu. Yang penting cucu ibu sehat dan lahir baik-baik saja, tidak kurang apapun.”Ibu mengelus perutku dan kembali tampak berkaca-kaca. Sepertinya dia sangat bahagia akan punya cucu. Aku ingat, ibu sangat penyayang anak-anak.Akhirya kubiarkan saja ibu men
“Aku tidak mau sekolah!”Bocah lelaki kecil itu tidak bisa berhenti berlarian saat kukejar karena sudah sesiang ini belum mau mandi.“Mama harus berangkat kerja, Gala. Lihat Meida sudah siap berangkat sama nenek!” tukasku sedikit kesal karena bocah itu selalu berdrama kalau waktunya sekolah. Padahal sekolahnya pun hanya tiga hari saja.“Bial Meida yang sekolah, aku di lumah saja, Mama!” lelaki kecilku masih menawar dengan logat bicaranya yang masih cadel, tidak bisa mengatakan hurur ‘r’ dengan benar.“Ya sudah, nanti kalau Mama ada jalan-jalan di kantor, Gala tidak usah ikut, ya?”Kesal belum juga berhasil membujuk anak itu, aku seperti biasa pura-pura tidak lagi mengejarnya.Lalu, si bocah kecil yang tampan itu malah berlari memeluk kakiku. “Ikut, Mama. Jangan tinggalin Gala.”Aku tersenyum dan mengangkat tubuh bocah 4 tahun itu.Kuelus rambut tebalnya yang halus itu dan kucium pipinya.Anak lelakiku tampan sekali, jadi suka lupa waktu kalau sudah dekat-dekat dengannya.“Gala sayang m
“Ya. Tuan Edward Eagan.”Pak Betha mengulang nama itu saat aku bertanya karena terkejut.“Edward Eagan ‘kan Pak?” aku masih memastikan.“Iya, Mila. Memangnya kenapa?” Pak Betha sedikit heran aku sampai harus beberapa kali memastikan nama itu.“Oh. Ahaha, I-iya. Tuan Edward Eagan ya, Pak. Saya hanya takut salah karena bagaimanapun nanti harus ikut mempersiapkan untuk menyambutnya.”“Benar. Catat baik-baik, namanya Edward Eagan. Awas kalau salah sebut atau salah pengejaannya. Ini kali pertama kita dapat proyek kerjasama dengan perusahaan besar dari Jakarta. Aku tidak mau ada kesalahan.” Pak Betha yang perfeksionis itu menegaskan.“Tentu, Pak!” jawabku dengan penuh kelegaan.Sesaat tadi aliran darahku sempat berhenti mendengar nama itu.Kupikir yang disebut Pak Betha adalah nama yang sama—yang sudah menjadi masa laluku.Sepertinya bukan.Ini Edward Eagan, bukan Edward Permana.Ada banyak nama Edward di dunia ini bukan pria itu saja. Kenapa juga aku setegang ini. Padahal sudah kuikhlaskan
“Ke-kenapa pingsan, Mis?”Mendengar ibuku pingsan aku sudah bingung sendiri. “Belum tahu, Ma. Ini baru mau dibawa ke Klinik Asyifa.” Mis Echa menyebutkan klinik yang dekat dengan gedung sekolah anak-anak.“Baik, Mis. Terima kasih sudah diberitahu. Aku akan segera ke sana. Nitip anak-anak ya, Mis,” ujarku bergegas membereskan barang-barangku.Setelah meminta izin pada Pak Betha, aku segera memacu motor maticku menuju klinik tempat ibu di bawa tadi.Sepanjang jalan hatiku tidak tenang. Kenapa ibu sampai jatuh pingsan?Aku jadi takut kalau neneknya anak-anak sampai kenapa-kenapa. Mereka pasti sedih kalau neneknya sakit.Mudah-mudahan ibu hanya sedang kelelahan saja.Teringat itu aku jadi menyalahkan diriku sendiri. Tidak seharusnya membiarkan ibu capek-capek merawat si kembar di usinya yang mulai menua itu.Mungkin setelah ini aku harus carikan orang yag bisa sekedar bantu-bantu di rumah.Walau nanti pengeluaran semakin membengkak, tapi aku akan berusaha bekerja lebih keras lagi.Demi m
“Tidak apa, Mila. Kau baliklah lagi ke kantor. Ibu sudah baik-baik saja, kok!”Ibu tahu aku sejak tadi diuber panggilan walau tidak kuangkat. Dia bisa mengira itu dari kantor tempatku kerja apalagi ini masih di jam kerja.“Aku nunggu Mbak Siti dulu, Bu. Barangkali bisa dimintai tolong jaga anak-anak. Ibu masih sakit.”Tadi aku sudah menghubungi seorang wanita yang bernama Mbak Siti.Wanita itu biasanya kupanggil kalau kebetulan pekerjaan rumah menumpuk sementara aku dan ibu tidak bisa mengatasinya.Mbak Siti bilang akan segera datang. Jadi kutunggu dulu sampai dia datang sekalian memberinya upah.Biasanya kalau tidak diberi upah dulu, wanita itu suka tidak sepenuh hati kerjanya.“Kamu suruh dia lagi?” Ibu tidak begitu suka dengan wanita yang kusuruh datang itu. Dia sudah tahu bagaimana Mbak Siti yang belum-belum sudah menanyakan upah kerjanya.“Ya siapa lagi, Bu? Hanya Mbak Siti yang aku kenal di komplek ini.”“Sudah batalin saja, Ibu masih bisa kok jaga anak-anak. Mereka juga sudah
Aku menghubungi rumah menanyakan apa ibu baik-baik saja dan apa anak-anak tidak rewel?Ibu menyampaikan semuanya aman. Jadinya kukatakan pada ibu kalau aku tidak sempat pulang dulu karena malam ini harus segera menemui tamu penting di hotel bersama rekan kerjaku yag lain.Meski begitu aku masih saja kepikiran hingga kulakukan panggilan video pada anak-anakku. Memastikan mereka memang baik-baik saja.Takutnya ibu hanya mengatakan yang baik-baik agar aku tidak kepikiran sementara keadaannya tidak begitu.“Gala dan Meida tidak nakal kok, Ma. Nanti kita akan tidur cepat!” ujar Meida menjawabku.“Mama baik-baik ya, jangan lupa makannya!” Gala menyahuti dari belakang dengan memainkan robot-robotannya.Ibuku juga duduk di sofa sambil melihat TV menemani cucu-cucunya bermain.Hatiku jadi lega mengetahui semua memang baik-baik saja.Kalau begini aku akan bisa fokus dalam menjalankan tugas pekerjaanku.Saat ini aku dan Tika menyempatkan waktu ke Plaza Kota karena memintanya membantuku mencarik
“Edward Eagan Permana?!”Seketika wajahku menjadi pucat pasi mengucapkan nama itu.Dia punya nama belakang yang sama dengan nama belakang Ed.Aku sangsi kalau itu dua nama yang berbeda karena terakhir kuketahui Ed juga seorang pengusaha besar.Barangkali akulah yang selama ini kurang tahu nama tengahnya. Ternyata aku senaif ini, bahkan tidak tahu nama lengkap orang yang pernah menyandingkan tanda tangannya di dekat tanda tanganku dalam buku nikah waktu itu.“Kau kenapa, Mila?” Tika melihatku yang mendadak gelisah dan berkeringat dingin.“Eng, I-itu, kok aku kurang enak badan ya?” ujarku bingung karena sama sekali tidak memiliki kesiapan untuk kembali bertemu dengan pria itu.“Kurang enak badan bagaimana?” Tika memperhatikanku.“Ini mau muntah, mungkin masuk angin,” jawabku.Aku kalau sedang sangat tertekan memang terkadang sampai mual dan ingin muntah. “Jangan becanda, Mila! Kita sudah akan bertemu dengan mereka.” Tika mulai ikutan panik.“Kenapa sih? Padahal sejak tadi kamu tidak
“Kau?!” tukasku tanpa sadar dengan terkejut menatap pria yang duduk di sana.Tanganku yang gugup hampir menyenggol cangkir yang berisi capucino yang kupesan tadi.Sedangkan pria itu menatapku dengan menyipit.Diikuti Beni, Tika dan Vanka yang ikut menoleh ke arahku dengan heran.“Maaf, teman saya sedikit kurang enak badan.” Tika tersenyum pada pria yang tampak sedikit terkejut itu. Dia lalu menyenggol lenganku.Mungkin dia merasa aku kurang sopan dengan langsung menyebut pria itu ‘kau’ tanpa menyapa dan memperkenalkan diri dulu.Sebenarnya itu reflek dari keterkejutanku karena pria yang kukira Edward Permana itu, ternyata bukan.“Tidak apa. Kuharap nanti kalian bisa menyampaikannya secara gamblang namun singkat, padat, dan jelas pada Tuan Edward besok saat meeting. Beliau sangat sibuk dan tidak suka basa-basi yang berlebihan dalam penyambutan,” jelas pria itu.Aku baru tahu Ed memang tidak bisa menemui kami saat ini. Ada kelegaan tersendiri yang kurasakan.“Oh, baik, Pak. Akan saya ca
“Sayang kau dari mana?” tanyaku melihatnya datang bersama beberapa perawat.Padahal sudah ada tombol darurat yang bisa dipencet untuk memanggil mereka. Bagaimana pria ini malah keluar untuk memanggil mereka secara manual? Pasti saking paniknya tadi.Dan lagi sekarang dia malah terlihat memarahi perawat itu.“Harusnya kalian memberinya obat anti nyeri. Apa tidak tahu istri saya sampai kesakitan begitu?”“Pemberian injection anti nyeri juga harus sesuai perintah dokter, Tuan. Kami tidak berani memberikannya lagi pada Nyonya karena tadi sudah kami berikan. Nanti ada waktunya lagi,” jelas salah seorang perawat pada Ed. “Tapi istri saya kesakitan, lho!” Ed masih terlihat kukuh.Kutarik lengannya agar dia bersikap lebih santai.Ada apa dengannya? Biasanya dia cuek dan santai-santai saja. Melihatku sedikit meringis saja sudah panik begitu. “Ah maaf, Sus. Tadi hanya sensasi rasa perih di area jahitan. Tapi sekarang sudah tidak, kok. Maaf, ya? Suami saya sedikit berlebihan tadi.”***Dua har
“Sayang?” suara Ed kudengar dan aku membuka mataku menatapnya yang terlihat cemas.“Ed? Kapan selesai operasinya? Aku sudah tidak sabar ingin tahu anak-anakku,” tukasku menggenggam balik tangan yang menggenggamku itu. Ed tersenyum meski pias wajahnya tampak lelah sekali. Dia membelai rambutku dan mencium keningku.“Operasinya sudah selesai sejak tadi, Sayang. Dokter bilang kau hanya tidak tahan dengan efek obat bius yang disuntikkan padamu.”“Ya Allah, Ed. Kasihan anak-anakku tidak bisa inisiasi menyusu dini.” Aku mencoba bangkit tapi Ed menahanku.“Tenanglah, Mila. Kau baru saja dipindah dari ruang pemulihan. Jangan banyak bergerak dulu.”“Tapi bayi-bayiku?”“Kata dokter tidak apa-apa, kok. Yang penting pulihkan dulu keadaanmu.”“Iya, tapi bayi-bayiku mana, Sayang?”Aku tentu ingin melihat mereka.Bagaimana bisa aku terlelap dengan damainya, bahkan tidak bisa mendengar suara jeritan pertama buah hatiku?Padahal, bisa mendengar suara mereka pertama saat terlahir ke dunia ini adala
Aku terbangun dengan sedikit terkejut melihat sudah tidak berada di mobil lagi.Ed sudah menggendongku ke apartemennya.Ini adalah kamar pertama kali dia mengajakku ke tempatnya pasca kami menikah dulu. Saat itu aku terkejut dan sampai menendangnya hingga terjungkal ke lantai.“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya sembari memelukku.Aku tidak tahu kalau Ed ternyata sejak tadi berbaring di sampingku dan memperhatikanku. “Aku hanya ingat saat pertama kau membawaku ke sini, Sayang.” Kumiringkan tubuhku untuk bisa menghadapnya.“Oh, benar. Apa yang membuatmu menarik senyum?”“Banyak. Tentang aku yang terkejut karena kau ternyata tinggal di tempat mewah ini sementara yang kutahu kau hanya seorang sopir truk. Juga tentang kau yang selalu curi-curi cium padaku.”Ed tertawa mendengar secuil ingatanku tentang saat-saat pertama kebersamaan kami sebagai suami istri. Tangannya sudah membelai pipiku dan menatapku dengan penuh binar cinta. Dia juga pasti berendezvous dengan masa-masa itu.“Saat itu pe
“Tante?!” ujarku antara ragu dan terkejut.Wanita itu melototiku tanpa berkedip. Membuat Ed langsung merangkulku cemas kalau-kalau wanita itu malah akan menyakitiku.Seperti biasa, saat merasa ada sesuatu yang membahayakan kami seperti ini, dua orang datang untuk mengambil tindakan. “Mila... Kamila?!” wanita itu langsung bersimpuh dan menangis di kakiku.Ketika dua pria misterius itu hendak menyingkirkannya, aku menahannya.Ed memberi isyarat agar pria itu membiarkan dulu sembari mengawasinya.“Mila, maafkan aku, Mila. Maafkan tantemu yang jahat ini!” isak wanita itu yang kini aku seratus persen yakin kalau itu adalah Tante Desi.Kulepaskan rangkulan Ed agar aku bisa membantu tanteku itu bangkit dari posisi bersimpuhnya di kakiku. Sungguh aku tidak nyaman sekali dengan hal itu. Ed melepasku namun tetap waspada. Cemas saja kalau wanita itu tiba-tiba akan menyakitiku.Ed tahu bagaimana sepak terjang Tante Desi. Dia jugalah yang bertanggung jawab membuat kami terpisah dalam kesalahp
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar
Aku terkejut melihat Niko yang ada di tempat yang sama dengan kami. Dia tidak sendiri tapi bersama seorang wanita dan itu bukan Ceryl. Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk kami.Mau apa dia di sini? “Sopir truk? Kau yakin dia seorang sopir truk?” tanya wanita itu.Siapa juga yang percaya kalau suamiku yang tampan dan rapi dipanggil sopir truk oleh pria yang tidak tahu malu ini.Tidak tahu malu karena barusan sudah merencanakan hal buruk dengan mengirim perempuan ke suit pribadi kami dan berniat mengacaukan Ed.Untung aku yang lebih dulu sampai jadi mereka tidak punya kesempatan memanipulatif keadaan.Jangan-jangan dia di sini juga karena ingin memastikan rencananya berhasil.Sudah tahu atau belum kalau rencananya tidak berjalan dengan baik?Entahlah, dibawa ke mana dan diapakan dua wanita tadi oleh asisten suamiku.“Hallah, jaman sekarang apa yang tidak mungkin. Pemulung memakai baju mahal sudah banyak. Justru orang kaya yang sebenarnya malah berpenampilan apa adanya.” Niko me
“Sam yang akan mengurusnya,” tukasnya setelah menelpon Sam beberapa saat yang lalu.“Aku tidak mengerti?” aku masih belum puas dengan jawaban Ed. Dia tidak menjelaskan banyak hal padaku.“Temanmu itu pasti kesal karena investornya banyak yang berpindah ke perusahaan kita. Jadi, mungkin dia marah dan ingin berbuat ulah denganku. Apalagi saat ini bisnisnya mulai tersudut dengan banyaknya korban investasi yang melapor penipuan investasi bodong itu,” jelas Ed.Dan aku memang baru mendengar hal itu setelah beberapa bulan ini sama sekali tidak memikirkan tentang kejadian itu. Pasti Ed sengaja meminta Sam membuat kacau bisnis Niko karena sudah mencoba melecehkanku. Tentang investor yang banyak berpindah ke perusahaan Lavidia aku pikir hanya trik saja dan bukannya sedang membutuhkannya.Kasihan sekali kalau benar itu terjadi. Dia baru saja bisa unjuk gigi dengan julukan crazy richnya. Istrinya yang matre itu pasti sekarang sangat kecewa padanya. Sayangnya aku sudah tidak lagi ada di group
“Siapa kalian?” tanyaku pada dua wanita itu sembari berkacak pinggang. Napasku sudah naik turun dan untuk sesaat aku hampir ingin berteriak-teriak menyerang mereka. “Saya hanya disewa untuk melayani pemilik hotel ini, Anda siapa?” ujar wanita itu yang dengan berani malah bertanya balik padaku.Pria yang katanya asisten baru itu tidak berani menyela dan memilih keluar.Biarlah. Biar dia memanggil bosnya agar cepat datang ke tempat ini dan melihat bahwa aku ada di tempat di mana dia sedang menyewa dua wanita ini untuk menghiburnya.Keterlaluan dia!Apa sangat tidak tahannya hingga menyewa dua wanita ini untuk memenuhi napsunya?!“Pekerjaan kami hanya melayani pria yang sudah membayar kami. Kalaupun Anda adalah kekasih atau istrinya, tolong hargailah pekerjaan kami,” ujar wanita satunya yang malah membuat isi kepalaku bertambah semrawut.Eh. Apa dia kata?Sadar atau tidak dia ngomong seperti itu?“Mana ada seorang istri yang harus menghargai pekerjaan orang yang ingin melayani suamin