Selesai berkuda dan menikmati jagung bakar di warung dekat vila, anak-anak mengajak untuk pulang saja.Kami tidak menolak karena cuaca di vila juga kurang bersahabat untuk menikmati liburan keluar.Seringnya sekarang hujan deras disertai angin. Otomatis liburan kami akan lebih banyak di dalam vila saja dan tidak bisa keluar jalan-jalan.Saat di perjalanan, kutanyakan pada mereka apa mau mampir ke plaza atau ke tempat bermain anak-anak dulu. Mumpung kami sedang melewati kota. Tapi keduanya menolak.Kulirik mereka yang sejak tadi lebih sering bisik-bisik saja tanpa aku mengerti apa yang sedang mereka bisikan.Baru aku tahu ketika Mbak Lilis memberitahukannya saat kami sudah di rumah.“Ada apa sampai anak-anakmu berdrama tadi di kamarnya.”“Berdrama?” tanyaku heran.“Gala bilang harta papanya habis karena penculik waktu itu meminta uang tebusan yang banyak. Jadi papa mereka sekarang tidak punya perusahaan dan menganggur.”“Astaga...” Aku hampir menyemburkan air mineral yang kuteguk mende
Ed harus ke hotel untuk melihat persiapan acara besok sore. Kudengar Erik dan Sam juga sudah datang tapi mereka bilang akan ke rumah sore harinya setelah semua persiapan hampir 100%.Aku yang akan mengantar anak-anak seperti biasa. Kunikmati saja karena Ed sudah mengatakan setelah ini dia yang akan mengantar anak-anaknya ke sekolah. Jadi setelah ini dia pasti tidak akan membiarkanku melakukan bagiannya.Tapi lihat saja, sanggup bertahan berapa lama dengan kesibukan yang aku yakin akan membuatnya bosan ini.“Ma, aku lupa kemarin minta minum temanku, sekarang akau boleh beliin dulu di tokonya Tante Rosita?” Gala menghampiriku dan baru menyampaikan hal itu.“Minuman apa? Beli disekolahmu kan ada?” ujarku.“Tidak ada, Ma. Di sekolah tidak boleh ada minuman teh yang dijual. Kemarin temanku bawa teh kotak. Pas main bola aku haus dan minta minumnya sampai habis. Aku sudah janji mau ganti.” Gala memberi
“Udah tinggalin sepedamu, ikut aku bentar!” ujar Ed menarik lenganku ketika sudah menyelesaikan masalah dengan wanita itu.“Kemana?” tanyaku tapi tidak bisa menahan Ed menyeretku hingga aku masuk ke dalam mobilnya.“Adalah, nanti juga tahu sendiri.”Ed tidak lupa memasangkan sabuk pengaman untukku karena aku suka abai dengan benda itu saat berkendara dengannya. Padahal pria ini kalau berkendara bisa ugal-ugalan.Ketika wajahnya terlalu dekat dengan wajahku, kuambil sabuk pengaman itu dan aku akan memasangnya sendiri.“Aku bisa sendiri,” ujarku padanya sembari mendorongnya agar menjauh.“Jaim banget sih, kamu!” Ed kesal karena penolakanku.“Bukan jaim, tapi...” Dan pria yang menyebalkan ini malah mencium pipiku.“Ed!” tukasku sebal.“Ya, Sayang?”“Kenapa kau mencium pipiku?”&
Kuperhatiakn wanita yang katanya dipilih Ed itu. Dia berdiri sembari memeriksa beberapa hal dari dokumen yang dibawanya. Kesan cantik dan anggun terpancar darinya.Aku tahu bagaiman selera Ed karena melihat beberapa wanita yang pernah dekat dengannya.Tidak salah juga kalau dia memilih wanita ini sebagai sekretaris pribadi Erik. Mungkin dia menyamakan selera Erik dengan seleranya.Beberapa kali Erik selalu tertarik dengan wanita yang menjadi pasangan Ed.Aku tidak lupa bahwa Erik juga pernah tertarik padaku waktu itu. Tapi, aku sudah tidak mau membahas hal itu lagi.Melihatku yang menatap wanita itu untuk menilainya, Erik menangkap wajahku yang tiba-tiba muram. Dia tertawa kecil. “Cemburu, ya?”“Apaan, sih?” ujarku tergagap.“Devinisi mencari sakit sendiri itu kamu, Mila. Masih sayang juga minta pisah.” Erik menyindirku.“Terserahlah,” gumamku lebih ke diri
Acara peresmian hotel dilakukan sederhana saja. Cukup mengundang beberapa kolega yang terkait dan tamu-tamu dari unsur pemerintahan kota. Kusambut Pak Bupati yang kini sudah menggandeng seorang wanita cantik di sampingnya. Perutnya sudah terlihat membuncit. Aku jadi malu, karena ketika Pak Bupati menikah tidak bisa datang. Kalau dari bulan mereka menikah, itu ketika aku sedang kehilangan anak perempuanku dalam operasi cesar. “Sudah setahun lebih dan Bu Bupati sudah mau lahiran, saya belum mengucapkan selamat pada Anda secara semestinya,” ujarku sedikit malu pada mereka. “Tidak apa, Nyonya. Doakan terbaik saja untuk istri saya mendekati hari persalinan. Dia terlihat tegang dan tidak bisa tidur,” ujar Pak Bupati. “Oh, kenapa tegang?” tanyaku pada istri Pak Bupati. “Dokternya menyarakan untuk cesar, saya hanya takut. Jadi malah kebayang yang tidak-tidak.” Wanita itu mengutarakan kecemasannya.
“Wah, biro jodoh kah ini?” Erik sedikit bercanda. “Yah, anggap saja begitu. Biar Gala dan Meida bisa cepat punya tante dan sepupu!” kucandai balik Erik. Dan kami hanya tertawa. Sengaja kutingalkan mereka agar tidak mengganggu, ibu sudah melambai memanggilku di sana. “Ibu jadi pulang ini? Enggak pengen nginap bareng anak-anak di hotel?” kutanya lagi ibu yang sudah mau masuk mobil bersama Mbak Lilis. “Enggak, ah. Ibu mau di rumah saja. Besok pagi mau ada senam lansia,” tolaknya. Mbak Lilis tidak kutanya karena sudah tentu jawabannya tidak. Dia tidak akan sanggup naik ke lantai atas sendiri karena mual. “Ya sudah deh, hati-hati di jalan.” tukasku melepas mereka. “Selamat bermalam saja buat kalian, siapa tahu jadi adik lagi buat Gala dan Meida,” tukas Mbak Lilis yang kulihat langsung disenggol ibu. Lagian, sembarangan saja kalau ngomong!
“K-kalau kau tidur di kamar ini, biar aku tidur di tempat lain.” Aku langsung membalikan tubuh untuk menghindari Ed.Namun Ed segera mengejar dan meraih pinggangku.“Ed lepaskan!” Aku berontak.Aku memang terlepas dari pria ini, namun tatapannya yang dalam dan menjerat membuatku resah.Hingga ketika Ed kembali menghampiriku aku membeku. Tanpa sadar tubuh ini sudah kembali berada di pelukannya. Pria ini lagi-lagi menguasaiku dengan ciumannya.Sempat kunikmati ciuman itu namun aku ingat seharusnya menolaknya. Jadi kudorong dada pria ini sekuat tenagaku, sayangnya tubuhnya setegar batu karang.Ed malah menelusupkan satu tangannya ke tengkukku, menariknya semakin menenggelamkanku pada dirinya yang kini malah melumat bibirku.Sepagi tadi dia memang sudah curi-curi ciuman dariku. Tapi kali ini aku benar-benar takut. Ed tidak bisa mendengarkanku saat aku memintanya berhenti.“Hentikan, Ed!” ucapku sembari merusal dari pelukannya agar pria ini tidak semakin jauh.Saat berhasil terlepas aku
Aku tahu membiarkannya pergi dalam keadaan masih dikuasai hasrat bercampur kesal tidaklah baik. segera kukirim pesan pada Sam agar bisa membantuku.“Maafkan kau, Ed. Maafkan aku, Sayang!” ucapku yang kini malah merasa bersalah. Bahkan aku mulai membiarkan bibir ini kembali menyebutnya dengan panggilan ‘sayang’. Seperti dirinya yang masih tetap memanggilku sayang sampai detik ini.Mungkin, Aku akan menghubungi Dewanti. Kuharap wanita itu bisa memberikan pencerahan pada diriku yang masih labil ini.Lalu tidak menunggu lama aku sudah tersambung padanya.Sebelumnya sudah kutransfer nominal uang sebagai jasa konsultasi pada psikiater itu. Kudengar dia mulai buka konseling lagi di rumahnya saat ijinnya sudah dipulihkan setelah keluarga suaminya sendiri yang mencabut gugatan mereka pada Dewanti. “Secara umum apa yang kau rasakan itu wajar dan tidak bisa dibilang berlebihan. Kau berkali-kali mengalami sebuah tekanan dalam waktu yang berdekatan, Mila.” Dewanti mulai menjelaskan setelah t
“Astaga, Mila! Mau apa pakai baju seperti itu?” Ibu sudah heboh saja saat melihatku memakai seragam anak SMP.“Ya Allah, Bu. Kan Mila sudah bilang tadi, sore ini ada acara reoni,” kuingatkan tentang acara reoni yang aku sudah bahas dengan ibu tadi pagi. Sekalian mau nitip anak-anak dulu.“Ngapain reoni pakai begituan, Mila. Mana ngepas di badan kamu, lagi, seragamnya. Enggak pantas seperti itu, Nak. Kamu ini sudah ibu-ibu. Nanti suamimu marah, lho!” Ibu mengomeliku.“Dres code nya pakai seragam SMP, Bu. Enggak apa juga, Bu. Nanti Mila pakai sweter kok.” Aku mengulurkan tangan meminta salim pada ibuku. Namun wanita itu masih keberatan.“Ed tahu tidak kamu ada acara reoni?” Ibu masih mengintrogasi.“Tahulah, Bu. Aku sudah minta izin tadi sama dia. Dia nyuruh Danang yang ngantar karena masih ada kerjaan.” “Tahu kalau kamu pakai beginian?” Ibu masih tidak terima anaknya memakai baju yang tidak sesuai usia. Takut saja menantunya marah. Jadi sebel juga sama ibu yang terlalu sayang anak m
“Enak saja mau minta balik. Dulu sudah punya istri baru Mbak Lilis dibuang-buang, keluarganya ikutan menghina Mbak Lilis, sekarang giliran tidak punya apa-apa dan istrinya juga tidak kunjung hamil, masih punya muka dia pengen minta balikan? Mana mau perkosa Mbak Lilis lagi!” Aku ngedumel sendiri dengan kesal ketika selesai dengan pembicaraan serius tadi di rumah Mbak Lilis.Untungnya semua sudah selesai dengan cara kekeluargaan. Atas permintaan Ibu dan Mbak Lilis sendiri, mereka menolak untuk didatangkan Pak RT agar masalahnya tidak malah runyam dan menjadi buah bibir tetangga. Apalagi Kang Parto adalah ketua RT sebelumnya di sini.Lagi pula, Ed sudah menyuruh anak buahnya mengurus Kang Parto. Pria itu juga harus diberi sedikit hukuman agar tidak seenaknya pada orang yang sudah bukan muhrimnya.“Masih cinta dia sama Mbak Lilis,” ujar Ed yang tadi sempat mengintrogasi Kang Parto sendiri bersama anak buahnya. Sebagai sesama lelaki, mungkin Ed paham bahwa Kang Parto masih mencintai Mbak
Kucium bibir suamiku dengan penuh rasa cinta dan segenap kerinduanku. Ciumanku menyusuri rahang tegasnya dan turun ke leher dan sedikit berlama-lama di jakunnya yang sudah naik turun itu.Sembari itu tanganku melepas kancing kemejanya secara perlahan sedangkan pria yang aku duduki kedua pahanya itu nampak tidak sabar, dan langsung meloloskan tangannya untuk menelusup ke bawah kaosku meraup dengan gemas benda yang terbungkus bra itu.“Ugh, Yang, Sakit!” kuingatkan bahwa Ed terlalu bersemangat hingga sedikit kasar mengadon benda kenyal itu.Tapi aku memahaminya.Ed hanya terlalu merindukanku hingga hasyrat dan emosinya bercampur, memberikan efek gerakan yang mendesak.Bukannya mendengar keluhanku, Ed malah mengangkat kaus ketatku itu dan dengan cepat menarik pengait bra yang kupakai hingga tubuh bagian atasku sudah menantangnya.Ed membalikan posisi sehingga aku kini direbahkan di atas sofa itu dan dia dengan rakusnya melahap dua benda kenyal itu bergantian. Kubiarkan dan kunikmati
“Mau apa lagi sih, Niko? Jangan-jangan kalian janjian ya, ketemuan di sini?” Ceryl mendelik pada Niko yang barusan menyapaku itu.Itu hanya sapaan biasa. Bukan sesuatu yang berarti. Mana bisa Ceryl sampai sebegitunya cemburu?Kalau melihat wanita cemburu sepertinya itu kekanak-kanakkan sekali. Apa iya aku juga seperti itu kalau cemburu pada Ed?Astaga, jangan sampai deh seperti itu.Tapi serius aku tidak seperti itu, kok. Jangankan teriak-teriak, kalau aku cemburu pada suamiku, bawaanya malah murung dan malas berdebat. Tapi Ceryl begitu pasti karena sayang pada Niko. Jadi mending aku meminta maaf dan pergi saja agar tidak menganggunya. Sebagai sesama wanita, aku tahu bagaimana rasanya cemburu itu.“Maaf, Ceryl. Aku sudah ditunggu anak-anak dan suamiku di depan. Aku pergi dulu, ya?” ujarku langsung melipir pergi.“Ya, sana! Mobil trukmu sudah menunggu di depan. Pasti punya suamimu itu. Jadi istri sopir truk saja belagunya minta ampun. Sok cantik, lu!”Dan kata-kata itu masih meluncu
“Yang benar, Mila? Kau menikah dengan sopir truk?” Niko langsung mengkonfirmasi.Aku jadi serba salah. Enggak mungkin juga kan kalau aku bilang menikah dengan seorang pengusaha kaya raya, bukannya seorang sopir truk.Dulu, yang tersebar memang aku menikahnya dengan sopir truk. Karena Ed sendiri waktu itu memang mengakunya hanya sopir truk biasa.Tapi ya udahlah. Sesuka mereka saja. Toh, kami juga tidak keberatan kok dipandang seperti itu.“Sayang banget, wanita cantik dan anggun sepertimu harus menikah dengan sopir truk? Kasihan amat nasibmu, Mila!” Niko masih mengomentari.“Ya biar saja, sudah nasibnya. Dulu juga dia ngrebut dosen itu dariku. Kualat kan dia malah dapat sopir truk!” Dari nada bicaranya, Ceryl masih tidak suka saja padaku. Padahal semuanya sudah menjadi masa lalu. Dia juga sudah punya suami. Kenapa masih mengungkit masa lalu yang dia hanya salah paham itu. Aku tidak merebut Ramzi darinya, lho!Sepertinya dia masih sebal padaku bukan hanya tentang masa lalu itu.
“Eng, itu... Papa tadi capek, Nak. Jadi mama mau pijitin. Iya, kan, Pa?”Kusenggol lengan Ed agar mau membantuku menjelaskan pada dua anaknya itu.Tapi Ed mengesalkan sekali. Dia bangkit berlalu ke kamar mandi dan malah memperkeruh suasana dengan mengatakan, “Mama memang suka gitu kalau marah sama papa. Suka nindihin papa.”“Eh, sembarangan!” sahutku. “Wah, mama mau ajak papa smackdown-an ya?” Gala justru terlihat tertarik, papa mamanya mau main smackdown.Sementara Meida sudah melototiku tidak terima karena lelaki kesayangannya kuperlakukan demikian. “Mama kok jahat sama papa?!”Suara deringan terdengar dari ponsel Ed yang tergeletak di sampingku mengalihkan perhatian mereka.Kulihat layar yang berkedip itu.Ada nama Erik.Aku jadi ingat, pria ini sudah membuat perasaanku tersayat-sayat karena sudah mengira yang bukan-bukan pada Ed.Kalau bukan karena hari ini kami saling menjelaskan, entahlah, mungkin aku sampai kena asam lambung dan migrain gara-gara sepanjang malam terus mena
“Nikahi aku lagi, ya?” ujarku dengan segenap keyakinan bahwa Ed tidak akan menolaknya.Bukankah pria ini yang selalu ingin kembali bersamaku. Yang setiap malam menelponku seperti pemuda yang mencoba menggoda anak gadis orang.Namun, Ed hanya menatapku dan tidak kulihat reaksi yang berarti di wajahnya saat kusampaikan hal itu.Membuat hatiku mencelos melihatnya.“Ed, kau tidak mau?” tanyaku sedih.Dia tidak lagi menjawabnya.“Kau pasti marah padaku, ya?” ujarku menyadari kesalahanku.“Maaf, ya, Ed. Aku memang menyebalkan.”Baru kemudian kulihat Ed tersenyum dan mencium keningku. Hatiku sudah berbunga-bunga kembali. Kutarik garis senyum di wajahku untuk menyambut senyumnya. Sayangnya kata-kata Ed kemudian mematahkan hatiku kembali. “Aku tidak mau menikahimu lagi.”Kutatap wajah Ed dengan serius. Memberinya waktu untuk menjelaskan apa yang dimaksud.Tapi kelamaan, aku jadi tidak sabar menanyainya, “Kenapa, Ed?”“Bukankah kau tadi mengatakan masih mencintaiku?” Suaraku sudah bergeta
“Ya Allah, Gala! Mana, Nak yang sakit?”Sedikit panik aku memeriksa ulang kaki Gala setelah Ed memeriksanya tadi.“Tidak ada apa-apa.” Ed berujar sembari melenguh lega ternyata Gala baik-baik saja.“Oh, untunglah. Mama sudah gemeter lho tadi dengar Meida teriak-teriak,” tukasku memeluk Gala dan mencium puncak kepalanya.“Meida suka berlebihan sekali, Ma. Tadi itu cacing, bukan ular!” tukas Gala yang bingung karena papanya langsung mengangkatnya dari tepi sungai dan mendudukannya di tempat kami tadi untuk memeriksanya. Ternyata tidak ada luka gigitan apapun di tubuh Gala. “Kemarin aku lihat anak ular yang baru menetas dari telurnya mirip cacing. Jadi ya aku kira itu ular. bentuknya sama 'kan?” Meida tidak mau disalahkan.Anak-anak masih mau lanjut main namun mendung yang datang tiba-tiba membuat mereka akhirnya mau juga di ajak pulang. Mungkin karena kecapaian, keduanya langsung tidur di kursi belakang. Apalagi hujan turun perlahan menjadi deras saat kami sudah berkendara pulang.
“Bagaimana, Sayangku? Kau masih meragukan kesetiaanku padamu?” Ed mencolek daguku yang sejak mengakhiri panggilan dengan Beni tadi sudah coba menghindari tatapannya.Sialan. Bagaimana Erik kemarin bilang tidak dekat dengan Tika padahal mereka selama ini bersama?Dan lagi, Tika juga pernah bilang kalau bukan Erik yang mengatakan tentang perceraianku, padahal tidak mungkin juga orang lain yang mengatakannya kalau bukan Erik. Apa mereka memang bekerja sama untuk mempermainkanku?Awas saja kalau memang itu benar!Tapi aku harus menyelidikinya dulu.“Sudah, sini cium aku. Aku butuh kompensasi loh sudah difitnah dengan kejam kalau aku berselingkuh!” Ed masih menggodaku.Kumat dia! Enak saja mau cium-cium. Belum halal juga.Tapi, ada satu hal lagi yang masih menganggu pikiranku. Jadi kutanyakan langsung mumpung masih di frekuensi pembahasan yang sama.“Semalam saat kau pulang larut, untuk apa kau minta maaf?”“Kenapa? Kau kira aku minta maaf karena sudah seharian pacaran bersama Tika?” Ed