Dewanti mencoba membimbing alur perasaanku. Dia benar. Aku memang memutuskan berpisah untuk melindungi anak-anakku. Jadi kalau nanti aku malah membuat mereka merasa menjadi korban broken home, itu tidak akan adil.“Karenanya, aku kembali mengingatkanmu, kalau sudah siap dengan semua konsekuensi itu, maka pertahankan. Tapi kalau tidak, dan malah ragu, ambillah waktu sejenak untuk merenung.Setelah itu bicaralah dengan mantan suamimu apa yang kau resahkan dan apa yang kau inginkan. Jika dia memang sungguh-sungguh ingin kembali bersama, aku yakin dia pasti setuju dan akan menambal kekurangan-kekurangannya demi rumah tangga kalian yang lebih baik.”Aku mengangguk mendengar nasihat Dewanti. Sungguh melegakan mencurahkan semua rasa mengganjal ini pada orang yang tidak berpihak pada siapapun. Jadi aku bisa melihat sudut pandang masalah secara obyektif bukan karena cenderung pada satu pihak saja.“Terima kasih banyak, Dewanti. Aku bersyukur pernah bertemu denganmu dan aku jadi merasa puny
“Heran sama kamu, Mila. Masih cinta kok minta cerai?” Tika sepertinya tidak sabar sudah menyinggung tentang perceraianku saat kami baru ketemu.“Ya engak mungkin juga aku tiba-tiba minta cerai kalau tidak ada alasannya,” ujarku agar Tika tidak langsung menilaiku seenaknya dalam mengambil keputusan.“Dia selingkuh?” tanya Tika.“Enggak!”“Kasar atau main tangan?”Aku menggeleng.“Enggak mungkin pelit juga kan?” Tika masih mencari sebuah kemungkinan kenapa kami bercerai. Heran saja kenapa dia sepenasaran itu? Seorang pelayan menyuguhkan minuman yang kami pesan. Semoga saja dengan terjedanya obrolan kami Tika sudah tidak lagi membahas tentang masalah rumah tanggaku.Terus terang aku sudah tidak nyaman. Karena wanita ini tidak tahu banyak apa yang terjadi padaku saat di Jakarta. Jadi sudut pandangnya akan berbeda dalam menilai perceraianku.“Berarti kamu memang tidak mencintainya, Mila,” ujar Tika yang ternyata masih menyinggung masalahku. Aku menghela dan menyahuti, “Jangan menyimpul
Sam mengirim pesan ke ponselku, bahwa sudah ada di depan plaza untuk menjemputku. Kutawarkan pada Tika apakah dia mau ikut sekalian, tapi Tika menolak.Jadi kami pun berpisah.“Maaf, Sam. Kau pasti sedang repot di kantor tapi harus menyempatkan menjemputku,” ujarku pada Sam.Pria ini bukan sopir tapi selalu rela mengantar jemput aku kalau Ed memintanya. Padahal pekerjaannya bertambah banyak karena Ed menyerahkan urusan perusahaan padanya dan Erik.“Tidak apa, Nyonya,” ujar pria itu tidak mempermasalahkan.“Kadang Ed memang berlebihan sekali. Aku bisa naik taksi online. Jadi lain kali tidak perlu menjemputku.”“Bukan Tuan Ed yang meminta, Nyonya. Nyonya Narti yang tadi mengatakan kalau Anda keluar ke plaza. Jadi saya berinisiatif sendiri untuk menjemput nyonya.”Oh. bukan Ed yang minta?Ah, sudahlah. Hanya tentang siapa yang meminta saja. Pada akhirnya akan sama-sama di rumah juga. batinku yang sebenarnya menyembunyikan secuil rasa keecewaku bahwa bukan Ed lagi sekarang yang paling men
[Kau bilang ke Kafe Semilir kemarin?] kusempatkan mengirim pesan pada Tika karena merasa penasaran. Tidak mungkin sekebetulan ini.[Kenapa, Mila?] tanya Tika membalas pesanku.[Kemarin atau malam setelah peresmian hotel?] tanyaku lagi.Dan Tika tidak langsung membalasnya. Beberapa lama dibalasnya namun itu tidak menjawab pertanyaanku. Malah terkesan membingungkan, [Kemarin atau setelah peresmian hotel, maksudnya apa?] Pikiranku jadi semakin berkecamuk dan tidak sabar.[Tika, tadi temanku kirim foto saat survey kafe untuk acara reonian. Tanpa sengaja ada gambar mirip kamu tertangkap di makera, kamu pakai gaun warna hijau botol, kan?] kujelaskan itu agar Tika tahu alasan mengapa aku bertanya padanya. Hingga pesan darinya terbaca, [Iya sih, aku memang ke sana setelah dari peresmian hotelmu]Tiba-tiba kakiku lemas dan aku langsung tertunduk di tepi tempat tidur.Ada apa Ed dengan Tika?Apalagi kuingat malam itu Ed keluar dengan rasa kecewa setelah kutolak keinginannya. Padahal it
“Kenapa, Mila?” tanya ibu yang sejak tadi mengetuk-ketuk pintu kamarku.Aku tergagap bangun lalu bergegas membuka pintu dan kudapati ibu yang sudah berdiri sedikit cemas menatapku.“Kenapa, Bu?” tanyaku balik sedikit bingung melihat ibu menatapku sebegitunya.“Anak-anak tadi bilang kau tidur siang. Kamu tidak biasanya tidur siang, Mila. Apa kamu sakit?”“Tidak bu, hanya ketiduran sebentar kok.”“Kamu habis nangis?” Ibu tiba—tiba bertanya seperti itu.Aku baru ingat tadi memang menangis. Sampai ketiduran begitu tangisku lumayan lamalah. Pasti wajahku terlihat sembab. Lihat saja ibu saja langsung bisa menyangkanya.“Ah, enggak, Bu. Hanya baru bangun tidur saja,” tukasku mengulas senyum dan mengusap wajahku agar nampak sedikit segar. “Ya sudah, sana mandi. Anak-anak dan papanya sudah menunggumu di meja makan untuk makan malam.”“Makan malam, Bu?” aku tergagap dan melihat sekitar. Jam dinding ruang tengah memang menunjukan di angka 6 lewat beberapa menit.Untung aku sedang halangan, ja
‘UHUK!’Aku sampai terbatuk karena saking terkejutnya mendengar seseorang mengusikku yang sedang tenang menikmati sup, padahal sebelumnya sudah sepi. Kutepuk-tepuk dadaku, rasanya ada sesuatu yang membuatku sampai tidak bisa bernapas.Ed langsung menarikku berdiri, merangkulku dari belakang dan menarik ulu hatiku dengan kedua tangannya hingga potongan kentang dalam sup yang belum sempat kukunyah tadi berhasil melompat keluar.“Astaga, Mila... bisa-bisanya makan sampai tersedak,” tukas Ed namun tangannya cepat mengambil air minum dan menyodorkannya padaku.Kuhabiskan air minum yang tidak memenuhi gelas itu dan napasku masih naik turun karena tersedak tadi.“Bisa tidak sih enggak usah bikin orang sampai terkejut?” ujarku kesal pada pria yang sekarang malah ikut duduk di sampingku.“Kapan aku mengejutkanmu?” dengan tidak bersalahnya pria ini mengelaknya. “Lagian, malam-malam begini baru makan. Sahur kamu? Mau puasa besok?”“Terserah akulah, mau makan kapan juga, bukan urusan Anda, kan?
“Mila, halamannya banjir!” Mbak Lilis mengingatkan karena melihatku yang menyiram bunga di halaman tapi malah melamun. Airnya sampai meluber kemana-mana.“Oh, iya, Mbak.” Aku cepat-cepat mematikan keran air.Mbak Lilis melambai padaku dan aku menghampirinya. Duduk di sebelahnya di teras itu sembari merapikan tangkai bunga yang hendak ditaruhnya di vas bunga.“Kenapa, Mila?” tanya wanita itu penuh perhatian. Dia sudah bisa menebak kalau ada sesuatu yang sedang kupikirkan kali ini. Sejak tadi pagi aku memang memasang mode galau.“Enggak ada apa-apa, Mbak,” ujarku. Tentu saja wanita itu tidak percaya dengan ucapanku.“Ya udah deh kalau tidak mau cerita. Anak-anak belum pulang sekolah?” Mbak Lilis mengalihkan pembicaraan.“Ed baru berangkat menjemputnya, Mbak.” “Loh, yang bawa motor tadi?”Aku menggangguk.“Ah, Mila. Itu bukan baru. Tapi sudah sejaman lebih. Kamu sih, nglamun mlulu,” tukas Mbak Lilis yang kini lebih lekat memperhatikanku kurang bersemangat itu.“Tapi kok belum pulang m
“Maa, itu tasku!” Meida yang mengetahuiku berjalan masuk sambil menenteng tasnya langsung menghampiriku untuk mengambil tasnya.“Ada pensil boneka lucu tadi yang dibeliin Tante Tika.” Meida mengambil tas itu dari tanganku dan langsung membawanya ke sofa. Di sana dia terlihat tidak sabar membuka tasnya untuk menemukan benda yang dicari.Kuhampiri anak perempuanku itu sembari menunggunya selesai ribet dengan tasnya. Dia mengeluarkan sebuah pensil yang di ujungnya ada boneka lucu kesukaan Meida. Anak itu tertawa senang melihat benda yang katanya dikasih Tika.“Dikasih Tante Tika?” tanyaku pada Meida. Untuk memastikan saja.“Benar, Ma. Bagus, kan?” Meida tersenyum nampak senang sekali mengusap-usapkan boneka di ujung pensil itu ke pipinya dengan lembut.“Iya, bagus.” Komentarku.“Tante Tika baik sekali ya, Ma? Dia selalu kasih hadiah padaku dan Gala,” ujar gadis kecilku memuji-muji Tika.Aku mencoba mengulas senyum pada anak itu meski sebenarnya aku mulai tidak suka mendengar Meida memu
“Astaga, Mila! Mau apa pakai baju seperti itu?” Ibu sudah heboh saja saat melihatku memakai seragam anak SMP.“Ya Allah, Bu. Kan Mila sudah bilang tadi, sore ini ada acara reoni,” kuingatkan tentang acara reoni yang aku sudah bahas dengan ibu tadi pagi. Sekalian mau nitip anak-anak dulu.“Ngapain reoni pakai begituan, Mila. Mana ngepas di badan kamu, lagi, seragamnya. Enggak pantas seperti itu, Nak. Kamu ini sudah ibu-ibu. Nanti suamimu marah, lho!” Ibu mengomeliku.“Dres code nya pakai seragam SMP, Bu. Enggak apa juga, Bu. Nanti Mila pakai sweter kok.” Aku mengulurkan tangan meminta salim pada ibuku. Namun wanita itu masih keberatan.“Ed tahu tidak kamu ada acara reoni?” Ibu masih mengintrogasi.“Tahulah, Bu. Aku sudah minta izin tadi sama dia. Dia nyuruh Danang yang ngantar karena masih ada kerjaan.” “Tahu kalau kamu pakai beginian?” Ibu masih tidak terima anaknya memakai baju yang tidak sesuai usia. Takut saja menantunya marah. Jadi sebel juga sama ibu yang terlalu sayang anak m
“Enak saja mau minta balik. Dulu sudah punya istri baru Mbak Lilis dibuang-buang, keluarganya ikutan menghina Mbak Lilis, sekarang giliran tidak punya apa-apa dan istrinya juga tidak kunjung hamil, masih punya muka dia pengen minta balikan? Mana mau perkosa Mbak Lilis lagi!” Aku ngedumel sendiri dengan kesal ketika selesai dengan pembicaraan serius tadi di rumah Mbak Lilis.Untungnya semua sudah selesai dengan cara kekeluargaan. Atas permintaan Ibu dan Mbak Lilis sendiri, mereka menolak untuk didatangkan Pak RT agar masalahnya tidak malah runyam dan menjadi buah bibir tetangga. Apalagi Kang Parto adalah ketua RT sebelumnya di sini.Lagi pula, Ed sudah menyuruh anak buahnya mengurus Kang Parto. Pria itu juga harus diberi sedikit hukuman agar tidak seenaknya pada orang yang sudah bukan muhrimnya.“Masih cinta dia sama Mbak Lilis,” ujar Ed yang tadi sempat mengintrogasi Kang Parto sendiri bersama anak buahnya. Sebagai sesama lelaki, mungkin Ed paham bahwa Kang Parto masih mencintai Mbak
Kucium bibir suamiku dengan penuh rasa cinta dan segenap kerinduanku. Ciumanku menyusuri rahang tegasnya dan turun ke leher dan sedikit berlama-lama di jakunnya yang sudah naik turun itu.Sembari itu tanganku melepas kancing kemejanya secara perlahan sedangkan pria yang aku duduki kedua pahanya itu nampak tidak sabar, dan langsung meloloskan tangannya untuk menelusup ke bawah kaosku meraup dengan gemas benda yang terbungkus bra itu.“Ugh, Yang, Sakit!” kuingatkan bahwa Ed terlalu bersemangat hingga sedikit kasar mengadon benda kenyal itu.Tapi aku memahaminya.Ed hanya terlalu merindukanku hingga hasyrat dan emosinya bercampur, memberikan efek gerakan yang mendesak.Bukannya mendengar keluhanku, Ed malah mengangkat kaus ketatku itu dan dengan cepat menarik pengait bra yang kupakai hingga tubuh bagian atasku sudah menantangnya.Ed membalikan posisi sehingga aku kini direbahkan di atas sofa itu dan dia dengan rakusnya melahap dua benda kenyal itu bergantian. Kubiarkan dan kunikmati
“Mau apa lagi sih, Niko? Jangan-jangan kalian janjian ya, ketemuan di sini?” Ceryl mendelik pada Niko yang barusan menyapaku itu.Itu hanya sapaan biasa. Bukan sesuatu yang berarti. Mana bisa Ceryl sampai sebegitunya cemburu?Kalau melihat wanita cemburu sepertinya itu kekanak-kanakkan sekali. Apa iya aku juga seperti itu kalau cemburu pada Ed?Astaga, jangan sampai deh seperti itu.Tapi serius aku tidak seperti itu, kok. Jangankan teriak-teriak, kalau aku cemburu pada suamiku, bawaanya malah murung dan malas berdebat. Tapi Ceryl begitu pasti karena sayang pada Niko. Jadi mending aku meminta maaf dan pergi saja agar tidak menganggunya. Sebagai sesama wanita, aku tahu bagaimana rasanya cemburu itu.“Maaf, Ceryl. Aku sudah ditunggu anak-anak dan suamiku di depan. Aku pergi dulu, ya?” ujarku langsung melipir pergi.“Ya, sana! Mobil trukmu sudah menunggu di depan. Pasti punya suamimu itu. Jadi istri sopir truk saja belagunya minta ampun. Sok cantik, lu!”Dan kata-kata itu masih meluncu
“Yang benar, Mila? Kau menikah dengan sopir truk?” Niko langsung mengkonfirmasi.Aku jadi serba salah. Enggak mungkin juga kan kalau aku bilang menikah dengan seorang pengusaha kaya raya, bukannya seorang sopir truk.Dulu, yang tersebar memang aku menikahnya dengan sopir truk. Karena Ed sendiri waktu itu memang mengakunya hanya sopir truk biasa.Tapi ya udahlah. Sesuka mereka saja. Toh, kami juga tidak keberatan kok dipandang seperti itu.“Sayang banget, wanita cantik dan anggun sepertimu harus menikah dengan sopir truk? Kasihan amat nasibmu, Mila!” Niko masih mengomentari.“Ya biar saja, sudah nasibnya. Dulu juga dia ngrebut dosen itu dariku. Kualat kan dia malah dapat sopir truk!” Dari nada bicaranya, Ceryl masih tidak suka saja padaku. Padahal semuanya sudah menjadi masa lalu. Dia juga sudah punya suami. Kenapa masih mengungkit masa lalu yang dia hanya salah paham itu. Aku tidak merebut Ramzi darinya, lho!Sepertinya dia masih sebal padaku bukan hanya tentang masa lalu itu.
“Eng, itu... Papa tadi capek, Nak. Jadi mama mau pijitin. Iya, kan, Pa?”Kusenggol lengan Ed agar mau membantuku menjelaskan pada dua anaknya itu.Tapi Ed mengesalkan sekali. Dia bangkit berlalu ke kamar mandi dan malah memperkeruh suasana dengan mengatakan, “Mama memang suka gitu kalau marah sama papa. Suka nindihin papa.”“Eh, sembarangan!” sahutku. “Wah, mama mau ajak papa smackdown-an ya?” Gala justru terlihat tertarik, papa mamanya mau main smackdown.Sementara Meida sudah melototiku tidak terima karena lelaki kesayangannya kuperlakukan demikian. “Mama kok jahat sama papa?!”Suara deringan terdengar dari ponsel Ed yang tergeletak di sampingku mengalihkan perhatian mereka.Kulihat layar yang berkedip itu.Ada nama Erik.Aku jadi ingat, pria ini sudah membuat perasaanku tersayat-sayat karena sudah mengira yang bukan-bukan pada Ed.Kalau bukan karena hari ini kami saling menjelaskan, entahlah, mungkin aku sampai kena asam lambung dan migrain gara-gara sepanjang malam terus mena
“Nikahi aku lagi, ya?” ujarku dengan segenap keyakinan bahwa Ed tidak akan menolaknya.Bukankah pria ini yang selalu ingin kembali bersamaku. Yang setiap malam menelponku seperti pemuda yang mencoba menggoda anak gadis orang.Namun, Ed hanya menatapku dan tidak kulihat reaksi yang berarti di wajahnya saat kusampaikan hal itu.Membuat hatiku mencelos melihatnya.“Ed, kau tidak mau?” tanyaku sedih.Dia tidak lagi menjawabnya.“Kau pasti marah padaku, ya?” ujarku menyadari kesalahanku.“Maaf, ya, Ed. Aku memang menyebalkan.”Baru kemudian kulihat Ed tersenyum dan mencium keningku. Hatiku sudah berbunga-bunga kembali. Kutarik garis senyum di wajahku untuk menyambut senyumnya. Sayangnya kata-kata Ed kemudian mematahkan hatiku kembali. “Aku tidak mau menikahimu lagi.”Kutatap wajah Ed dengan serius. Memberinya waktu untuk menjelaskan apa yang dimaksud.Tapi kelamaan, aku jadi tidak sabar menanyainya, “Kenapa, Ed?”“Bukankah kau tadi mengatakan masih mencintaiku?” Suaraku sudah bergeta
“Ya Allah, Gala! Mana, Nak yang sakit?”Sedikit panik aku memeriksa ulang kaki Gala setelah Ed memeriksanya tadi.“Tidak ada apa-apa.” Ed berujar sembari melenguh lega ternyata Gala baik-baik saja.“Oh, untunglah. Mama sudah gemeter lho tadi dengar Meida teriak-teriak,” tukasku memeluk Gala dan mencium puncak kepalanya.“Meida suka berlebihan sekali, Ma. Tadi itu cacing, bukan ular!” tukas Gala yang bingung karena papanya langsung mengangkatnya dari tepi sungai dan mendudukannya di tempat kami tadi untuk memeriksanya. Ternyata tidak ada luka gigitan apapun di tubuh Gala. “Kemarin aku lihat anak ular yang baru menetas dari telurnya mirip cacing. Jadi ya aku kira itu ular. bentuknya sama 'kan?” Meida tidak mau disalahkan.Anak-anak masih mau lanjut main namun mendung yang datang tiba-tiba membuat mereka akhirnya mau juga di ajak pulang. Mungkin karena kecapaian, keduanya langsung tidur di kursi belakang. Apalagi hujan turun perlahan menjadi deras saat kami sudah berkendara pulang.
“Bagaimana, Sayangku? Kau masih meragukan kesetiaanku padamu?” Ed mencolek daguku yang sejak mengakhiri panggilan dengan Beni tadi sudah coba menghindari tatapannya.Sialan. Bagaimana Erik kemarin bilang tidak dekat dengan Tika padahal mereka selama ini bersama?Dan lagi, Tika juga pernah bilang kalau bukan Erik yang mengatakan tentang perceraianku, padahal tidak mungkin juga orang lain yang mengatakannya kalau bukan Erik. Apa mereka memang bekerja sama untuk mempermainkanku?Awas saja kalau memang itu benar!Tapi aku harus menyelidikinya dulu.“Sudah, sini cium aku. Aku butuh kompensasi loh sudah difitnah dengan kejam kalau aku berselingkuh!” Ed masih menggodaku.Kumat dia! Enak saja mau cium-cium. Belum halal juga.Tapi, ada satu hal lagi yang masih menganggu pikiranku. Jadi kutanyakan langsung mumpung masih di frekuensi pembahasan yang sama.“Semalam saat kau pulang larut, untuk apa kau minta maaf?”“Kenapa? Kau kira aku minta maaf karena sudah seharian pacaran bersama Tika?” Ed