Sam mengirim pesan ke ponselku, bahwa sudah ada di depan plaza untuk menjemputku. Kutawarkan pada Tika apakah dia mau ikut sekalian, tapi Tika menolak.Jadi kami pun berpisah.“Maaf, Sam. Kau pasti sedang repot di kantor tapi harus menyempatkan menjemputku,” ujarku pada Sam.Pria ini bukan sopir tapi selalu rela mengantar jemput aku kalau Ed memintanya. Padahal pekerjaannya bertambah banyak karena Ed menyerahkan urusan perusahaan padanya dan Erik.“Tidak apa, Nyonya,” ujar pria itu tidak mempermasalahkan.“Kadang Ed memang berlebihan sekali. Aku bisa naik taksi online. Jadi lain kali tidak perlu menjemputku.”“Bukan Tuan Ed yang meminta, Nyonya. Nyonya Narti yang tadi mengatakan kalau Anda keluar ke plaza. Jadi saya berinisiatif sendiri untuk menjemput nyonya.”Oh. bukan Ed yang minta?Ah, sudahlah. Hanya tentang siapa yang meminta saja. Pada akhirnya akan sama-sama di rumah juga. batinku yang sebenarnya menyembunyikan secuil rasa keecewaku bahwa bukan Ed lagi sekarang yang paling men
[Kau bilang ke Kafe Semilir kemarin?] kusempatkan mengirim pesan pada Tika karena merasa penasaran. Tidak mungkin sekebetulan ini.[Kenapa, Mila?] tanya Tika membalas pesanku.[Kemarin atau malam setelah peresmian hotel?] tanyaku lagi.Dan Tika tidak langsung membalasnya. Beberapa lama dibalasnya namun itu tidak menjawab pertanyaanku. Malah terkesan membingungkan, [Kemarin atau setelah peresmian hotel, maksudnya apa?] Pikiranku jadi semakin berkecamuk dan tidak sabar.[Tika, tadi temanku kirim foto saat survey kafe untuk acara reonian. Tanpa sengaja ada gambar mirip kamu tertangkap di makera, kamu pakai gaun warna hijau botol, kan?] kujelaskan itu agar Tika tahu alasan mengapa aku bertanya padanya. Hingga pesan darinya terbaca, [Iya sih, aku memang ke sana setelah dari peresmian hotelmu]Tiba-tiba kakiku lemas dan aku langsung tertunduk di tepi tempat tidur.Ada apa Ed dengan Tika?Apalagi kuingat malam itu Ed keluar dengan rasa kecewa setelah kutolak keinginannya. Padahal it
“Kenapa, Mila?” tanya ibu yang sejak tadi mengetuk-ketuk pintu kamarku.Aku tergagap bangun lalu bergegas membuka pintu dan kudapati ibu yang sudah berdiri sedikit cemas menatapku.“Kenapa, Bu?” tanyaku balik sedikit bingung melihat ibu menatapku sebegitunya.“Anak-anak tadi bilang kau tidur siang. Kamu tidak biasanya tidur siang, Mila. Apa kamu sakit?”“Tidak bu, hanya ketiduran sebentar kok.”“Kamu habis nangis?” Ibu tiba—tiba bertanya seperti itu.Aku baru ingat tadi memang menangis. Sampai ketiduran begitu tangisku lumayan lamalah. Pasti wajahku terlihat sembab. Lihat saja ibu saja langsung bisa menyangkanya.“Ah, enggak, Bu. Hanya baru bangun tidur saja,” tukasku mengulas senyum dan mengusap wajahku agar nampak sedikit segar. “Ya sudah, sana mandi. Anak-anak dan papanya sudah menunggumu di meja makan untuk makan malam.”“Makan malam, Bu?” aku tergagap dan melihat sekitar. Jam dinding ruang tengah memang menunjukan di angka 6 lewat beberapa menit.Untung aku sedang halangan, ja
‘UHUK!’Aku sampai terbatuk karena saking terkejutnya mendengar seseorang mengusikku yang sedang tenang menikmati sup, padahal sebelumnya sudah sepi. Kutepuk-tepuk dadaku, rasanya ada sesuatu yang membuatku sampai tidak bisa bernapas.Ed langsung menarikku berdiri, merangkulku dari belakang dan menarik ulu hatiku dengan kedua tangannya hingga potongan kentang dalam sup yang belum sempat kukunyah tadi berhasil melompat keluar.“Astaga, Mila... bisa-bisanya makan sampai tersedak,” tukas Ed namun tangannya cepat mengambil air minum dan menyodorkannya padaku.Kuhabiskan air minum yang tidak memenuhi gelas itu dan napasku masih naik turun karena tersedak tadi.“Bisa tidak sih enggak usah bikin orang sampai terkejut?” ujarku kesal pada pria yang sekarang malah ikut duduk di sampingku.“Kapan aku mengejutkanmu?” dengan tidak bersalahnya pria ini mengelaknya. “Lagian, malam-malam begini baru makan. Sahur kamu? Mau puasa besok?”“Terserah akulah, mau makan kapan juga, bukan urusan Anda, kan?
“Mila, halamannya banjir!” Mbak Lilis mengingatkan karena melihatku yang menyiram bunga di halaman tapi malah melamun. Airnya sampai meluber kemana-mana.“Oh, iya, Mbak.” Aku cepat-cepat mematikan keran air.Mbak Lilis melambai padaku dan aku menghampirinya. Duduk di sebelahnya di teras itu sembari merapikan tangkai bunga yang hendak ditaruhnya di vas bunga.“Kenapa, Mila?” tanya wanita itu penuh perhatian. Dia sudah bisa menebak kalau ada sesuatu yang sedang kupikirkan kali ini. Sejak tadi pagi aku memang memasang mode galau.“Enggak ada apa-apa, Mbak,” ujarku. Tentu saja wanita itu tidak percaya dengan ucapanku.“Ya udah deh kalau tidak mau cerita. Anak-anak belum pulang sekolah?” Mbak Lilis mengalihkan pembicaraan.“Ed baru berangkat menjemputnya, Mbak.” “Loh, yang bawa motor tadi?”Aku menggangguk.“Ah, Mila. Itu bukan baru. Tapi sudah sejaman lebih. Kamu sih, nglamun mlulu,” tukas Mbak Lilis yang kini lebih lekat memperhatikanku kurang bersemangat itu.“Tapi kok belum pulang m
“Maa, itu tasku!” Meida yang mengetahuiku berjalan masuk sambil menenteng tasnya langsung menghampiriku untuk mengambil tasnya.“Ada pensil boneka lucu tadi yang dibeliin Tante Tika.” Meida mengambil tas itu dari tanganku dan langsung membawanya ke sofa. Di sana dia terlihat tidak sabar membuka tasnya untuk menemukan benda yang dicari.Kuhampiri anak perempuanku itu sembari menunggunya selesai ribet dengan tasnya. Dia mengeluarkan sebuah pensil yang di ujungnya ada boneka lucu kesukaan Meida. Anak itu tertawa senang melihat benda yang katanya dikasih Tika.“Dikasih Tante Tika?” tanyaku pada Meida. Untuk memastikan saja.“Benar, Ma. Bagus, kan?” Meida tersenyum nampak senang sekali mengusap-usapkan boneka di ujung pensil itu ke pipinya dengan lembut.“Iya, bagus.” Komentarku.“Tante Tika baik sekali ya, Ma? Dia selalu kasih hadiah padaku dan Gala,” ujar gadis kecilku memuji-muji Tika.Aku mencoba mengulas senyum pada anak itu meski sebenarnya aku mulai tidak suka mendengar Meida memu
“Erik menunggu sejak tadi, katanya mau pamit. Nanti malam balik ke Jakarta.” Ibu memberitahuku bahwa Erik ada di depan bersama keponakannya.“Oh, sudah lama dia, Bu?” tanyaku yang baru sadar, lagi-lagi hanya membiarkan waktu berlalu dengan cepat hingga sore beranjak malam.“Sudah sejak kau masuk ke kamar tadi, Mila. Kamu sih, ngapain saja sih di kamar? Rebahan mlulu pekerjaannya!” Ibu mengomeliku. Akhir-akhir ini aku memang lebih sering melamun saja di kamar.Tanpa banyak bicara aku melangkah keluar. Kusapa Erik yang sedang memangku Meida dan mencuminya dengan gemas.Namun aku melihat motorku sudah di rumah. Apakah Ed sudah pulang?Ah. Untuk apa juga sih memikirkannya. Nanti moodku jadi berantakan lagi.“Kau mau balik ke Jakarta?” tanyaku pada Erik.“Ya. Edward yang memintaku segera balik. Dia kejam sekali padaku. Padahal aku baru ingin sebentar bersenang-senang di kota yang indah dan damai ini. sialan memang dia!”Aku menghela napas. Hanya karena otakku sudah meyakini hubungan Ed d
“Permisi!” ujarku padanya yang masih menghalangi jalan untukku keluar.“Kalau kau belum mengantuk, bisakah kita bicara sebentar?” ujar Ed yang membuka jalan untukku.Aku melangkah keluar pintu dan Ed menutupnya.Mungkin Ed akan membicarakan tentang hubungannya dengan Tika. Sebenarnya aku sudah lelah sekali. Tapi, tidak apa.“Baik,” ujarku lirih dan berjalan ke teras.Akan lebih baik kalau kami bicara di teras saja. Ibu biasanya belum tidur dan bisa saja memergoki kami bicara. Ini sedikit sensitif. Tentang wanita lain di hati papa dari anak-anaknya.“Maaf aku baru datang. Seharusnya ini giliranku membacakan dongeng untuk anak-anak.”Ed masih ingat kalau hari ini gilirannya membacakan dongeng sebelum tidur untuk anak-anak.Akulah yang membuat pengaturan ini karena Ed selalu suka bersamaan datang ke kamar anak-anak saat aku bersama mereka. Lalu seperti biasa, sentuhan-sentuhan fisik acap masih sengaja dilakukannya padaku. Seperti tiba-tiba merangkulku, memelukku, juga mencium pipiku di
“Sayang kau dari mana?” tanyaku melihatnya datang bersama beberapa perawat.Padahal sudah ada tombol darurat yang bisa dipencet untuk memanggil mereka. Bagaimana pria ini malah keluar untuk memanggil mereka secara manual? Pasti saking paniknya tadi.Dan lagi sekarang dia malah terlihat memarahi perawat itu.“Harusnya kalian memberinya obat anti nyeri. Apa tidak tahu istri saya sampai kesakitan begitu?”“Pemberian injection anti nyeri juga harus sesuai perintah dokter, Tuan. Kami tidak berani memberikannya lagi pada Nyonya karena tadi sudah kami berikan. Nanti ada waktunya lagi,” jelas salah seorang perawat pada Ed. “Tapi istri saya kesakitan, lho!” Ed masih terlihat kukuh.Kutarik lengannya agar dia bersikap lebih santai.Ada apa dengannya? Biasanya dia cuek dan santai-santai saja. Melihatku sedikit meringis saja sudah panik begitu. “Ah maaf, Sus. Tadi hanya sensasi rasa perih di area jahitan. Tapi sekarang sudah tidak, kok. Maaf, ya? Suami saya sedikit berlebihan tadi.”***Dua har
“Sayang?” suara Ed kudengar dan aku membuka mataku menatapnya yang terlihat cemas.“Ed? Kapan selesai operasinya? Aku sudah tidak sabar ingin tahu anak-anakku,” tukasku menggenggam balik tangan yang menggenggamku itu. Ed tersenyum meski pias wajahnya tampak lelah sekali. Dia membelai rambutku dan mencium keningku.“Operasinya sudah selesai sejak tadi, Sayang. Dokter bilang kau hanya tidak tahan dengan efek obat bius yang disuntikkan padamu.”“Ya Allah, Ed. Kasihan anak-anakku tidak bisa inisiasi menyusu dini.” Aku mencoba bangkit tapi Ed menahanku.“Tenanglah, Mila. Kau baru saja dipindah dari ruang pemulihan. Jangan banyak bergerak dulu.”“Tapi bayi-bayiku?”“Kata dokter tidak apa-apa, kok. Yang penting pulihkan dulu keadaanmu.”“Iya, tapi bayi-bayiku mana, Sayang?”Aku tentu ingin melihat mereka.Bagaimana bisa aku terlelap dengan damainya, bahkan tidak bisa mendengar suara jeritan pertama buah hatiku?Padahal, bisa mendengar suara mereka pertama saat terlahir ke dunia ini adala
Aku terbangun dengan sedikit terkejut melihat sudah tidak berada di mobil lagi.Ed sudah menggendongku ke apartemennya.Ini adalah kamar pertama kali dia mengajakku ke tempatnya pasca kami menikah dulu. Saat itu aku terkejut dan sampai menendangnya hingga terjungkal ke lantai.“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya sembari memelukku.Aku tidak tahu kalau Ed ternyata sejak tadi berbaring di sampingku dan memperhatikanku. “Aku hanya ingat saat pertama kau membawaku ke sini, Sayang.” Kumiringkan tubuhku untuk bisa menghadapnya.“Oh, benar. Apa yang membuatmu menarik senyum?”“Banyak. Tentang aku yang terkejut karena kau ternyata tinggal di tempat mewah ini sementara yang kutahu kau hanya seorang sopir truk. Juga tentang kau yang selalu curi-curi cium padaku.”Ed tertawa mendengar secuil ingatanku tentang saat-saat pertama kebersamaan kami sebagai suami istri. Tangannya sudah membelai pipiku dan menatapku dengan penuh binar cinta. Dia juga pasti berendezvous dengan masa-masa itu.“Saat itu pe
“Tante?!” ujarku antara ragu dan terkejut.Wanita itu melototiku tanpa berkedip. Membuat Ed langsung merangkulku cemas kalau-kalau wanita itu malah akan menyakitiku.Seperti biasa, saat merasa ada sesuatu yang membahayakan kami seperti ini, dua orang datang untuk mengambil tindakan. “Mila... Kamila?!” wanita itu langsung bersimpuh dan menangis di kakiku.Ketika dua pria misterius itu hendak menyingkirkannya, aku menahannya.Ed memberi isyarat agar pria itu membiarkan dulu sembari mengawasinya.“Mila, maafkan aku, Mila. Maafkan tantemu yang jahat ini!” isak wanita itu yang kini aku seratus persen yakin kalau itu adalah Tante Desi.Kulepaskan rangkulan Ed agar aku bisa membantu tanteku itu bangkit dari posisi bersimpuhnya di kakiku. Sungguh aku tidak nyaman sekali dengan hal itu. Ed melepasku namun tetap waspada. Cemas saja kalau wanita itu tiba-tiba akan menyakitiku.Ed tahu bagaimana sepak terjang Tante Desi. Dia jugalah yang bertanggung jawab membuat kami terpisah dalam kesalahp
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar
Aku terkejut melihat Niko yang ada di tempat yang sama dengan kami. Dia tidak sendiri tapi bersama seorang wanita dan itu bukan Ceryl. Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk kami.Mau apa dia di sini? “Sopir truk? Kau yakin dia seorang sopir truk?” tanya wanita itu.Siapa juga yang percaya kalau suamiku yang tampan dan rapi dipanggil sopir truk oleh pria yang tidak tahu malu ini.Tidak tahu malu karena barusan sudah merencanakan hal buruk dengan mengirim perempuan ke suit pribadi kami dan berniat mengacaukan Ed.Untung aku yang lebih dulu sampai jadi mereka tidak punya kesempatan memanipulatif keadaan.Jangan-jangan dia di sini juga karena ingin memastikan rencananya berhasil.Sudah tahu atau belum kalau rencananya tidak berjalan dengan baik?Entahlah, dibawa ke mana dan diapakan dua wanita tadi oleh asisten suamiku.“Hallah, jaman sekarang apa yang tidak mungkin. Pemulung memakai baju mahal sudah banyak. Justru orang kaya yang sebenarnya malah berpenampilan apa adanya.” Niko me
“Sam yang akan mengurusnya,” tukasnya setelah menelpon Sam beberapa saat yang lalu.“Aku tidak mengerti?” aku masih belum puas dengan jawaban Ed. Dia tidak menjelaskan banyak hal padaku.“Temanmu itu pasti kesal karena investornya banyak yang berpindah ke perusahaan kita. Jadi, mungkin dia marah dan ingin berbuat ulah denganku. Apalagi saat ini bisnisnya mulai tersudut dengan banyaknya korban investasi yang melapor penipuan investasi bodong itu,” jelas Ed.Dan aku memang baru mendengar hal itu setelah beberapa bulan ini sama sekali tidak memikirkan tentang kejadian itu. Pasti Ed sengaja meminta Sam membuat kacau bisnis Niko karena sudah mencoba melecehkanku. Tentang investor yang banyak berpindah ke perusahaan Lavidia aku pikir hanya trik saja dan bukannya sedang membutuhkannya.Kasihan sekali kalau benar itu terjadi. Dia baru saja bisa unjuk gigi dengan julukan crazy richnya. Istrinya yang matre itu pasti sekarang sangat kecewa padanya. Sayangnya aku sudah tidak lagi ada di group
“Siapa kalian?” tanyaku pada dua wanita itu sembari berkacak pinggang. Napasku sudah naik turun dan untuk sesaat aku hampir ingin berteriak-teriak menyerang mereka. “Saya hanya disewa untuk melayani pemilik hotel ini, Anda siapa?” ujar wanita itu yang dengan berani malah bertanya balik padaku.Pria yang katanya asisten baru itu tidak berani menyela dan memilih keluar.Biarlah. Biar dia memanggil bosnya agar cepat datang ke tempat ini dan melihat bahwa aku ada di tempat di mana dia sedang menyewa dua wanita ini untuk menghiburnya.Keterlaluan dia!Apa sangat tidak tahannya hingga menyewa dua wanita ini untuk memenuhi napsunya?!“Pekerjaan kami hanya melayani pria yang sudah membayar kami. Kalaupun Anda adalah kekasih atau istrinya, tolong hargailah pekerjaan kami,” ujar wanita satunya yang malah membuat isi kepalaku bertambah semrawut.Eh. Apa dia kata?Sadar atau tidak dia ngomong seperti itu?“Mana ada seorang istri yang harus menghargai pekerjaan orang yang ingin melayani suamin