Ed harus ke hotel untuk melihat persiapan acara besok sore. Kudengar Erik dan Sam juga sudah datang tapi mereka bilang akan ke rumah sore harinya setelah semua persiapan hampir 100%.
Aku yang akan mengantar anak-anak seperti biasa. Kunikmati saja karena Ed sudah mengatakan setelah ini dia yang akan mengantar anak-anaknya ke sekolah. Jadi setelah ini dia pasti tidak akan membiarkanku melakukan bagiannya.
Tapi lihat saja, sanggup bertahan berapa lama dengan kesibukan yang aku yakin akan membuatnya bosan ini.
“Ma, aku lupa kemarin minta minum temanku, sekarang akau boleh beliin dulu di tokonya Tante Rosita?” Gala menghampiriku dan baru menyampaikan hal itu.
“Minuman apa? Beli disekolahmu kan ada?” ujarku.
“Tidak ada, Ma. Di sekolah tidak boleh ada minuman teh yang dijual. Kemarin temanku bawa teh kotak. Pas main bola aku haus dan minta minumnya sampai habis. Aku sudah janji mau ganti.” Gala memberi
“Udah tinggalin sepedamu, ikut aku bentar!” ujar Ed menarik lenganku ketika sudah menyelesaikan masalah dengan wanita itu.“Kemana?” tanyaku tapi tidak bisa menahan Ed menyeretku hingga aku masuk ke dalam mobilnya.“Adalah, nanti juga tahu sendiri.”Ed tidak lupa memasangkan sabuk pengaman untukku karena aku suka abai dengan benda itu saat berkendara dengannya. Padahal pria ini kalau berkendara bisa ugal-ugalan.Ketika wajahnya terlalu dekat dengan wajahku, kuambil sabuk pengaman itu dan aku akan memasangnya sendiri.“Aku bisa sendiri,” ujarku padanya sembari mendorongnya agar menjauh.“Jaim banget sih, kamu!” Ed kesal karena penolakanku.“Bukan jaim, tapi...” Dan pria yang menyebalkan ini malah mencium pipiku.“Ed!” tukasku sebal.“Ya, Sayang?”“Kenapa kau mencium pipiku?”&
Kuperhatiakn wanita yang katanya dipilih Ed itu. Dia berdiri sembari memeriksa beberapa hal dari dokumen yang dibawanya. Kesan cantik dan anggun terpancar darinya.Aku tahu bagaiman selera Ed karena melihat beberapa wanita yang pernah dekat dengannya.Tidak salah juga kalau dia memilih wanita ini sebagai sekretaris pribadi Erik. Mungkin dia menyamakan selera Erik dengan seleranya.Beberapa kali Erik selalu tertarik dengan wanita yang menjadi pasangan Ed.Aku tidak lupa bahwa Erik juga pernah tertarik padaku waktu itu. Tapi, aku sudah tidak mau membahas hal itu lagi.Melihatku yang menatap wanita itu untuk menilainya, Erik menangkap wajahku yang tiba-tiba muram. Dia tertawa kecil. “Cemburu, ya?”“Apaan, sih?” ujarku tergagap.“Devinisi mencari sakit sendiri itu kamu, Mila. Masih sayang juga minta pisah.” Erik menyindirku.“Terserahlah,” gumamku lebih ke diri
Acara peresmian hotel dilakukan sederhana saja. Cukup mengundang beberapa kolega yang terkait dan tamu-tamu dari unsur pemerintahan kota. Kusambut Pak Bupati yang kini sudah menggandeng seorang wanita cantik di sampingnya. Perutnya sudah terlihat membuncit. Aku jadi malu, karena ketika Pak Bupati menikah tidak bisa datang. Kalau dari bulan mereka menikah, itu ketika aku sedang kehilangan anak perempuanku dalam operasi cesar. “Sudah setahun lebih dan Bu Bupati sudah mau lahiran, saya belum mengucapkan selamat pada Anda secara semestinya,” ujarku sedikit malu pada mereka. “Tidak apa, Nyonya. Doakan terbaik saja untuk istri saya mendekati hari persalinan. Dia terlihat tegang dan tidak bisa tidur,” ujar Pak Bupati. “Oh, kenapa tegang?” tanyaku pada istri Pak Bupati. “Dokternya menyarakan untuk cesar, saya hanya takut. Jadi malah kebayang yang tidak-tidak.” Wanita itu mengutarakan kecemasannya.
“Wah, biro jodoh kah ini?” Erik sedikit bercanda. “Yah, anggap saja begitu. Biar Gala dan Meida bisa cepat punya tante dan sepupu!” kucandai balik Erik. Dan kami hanya tertawa. Sengaja kutingalkan mereka agar tidak mengganggu, ibu sudah melambai memanggilku di sana. “Ibu jadi pulang ini? Enggak pengen nginap bareng anak-anak di hotel?” kutanya lagi ibu yang sudah mau masuk mobil bersama Mbak Lilis. “Enggak, ah. Ibu mau di rumah saja. Besok pagi mau ada senam lansia,” tolaknya. Mbak Lilis tidak kutanya karena sudah tentu jawabannya tidak. Dia tidak akan sanggup naik ke lantai atas sendiri karena mual. “Ya sudah deh, hati-hati di jalan.” tukasku melepas mereka. “Selamat bermalam saja buat kalian, siapa tahu jadi adik lagi buat Gala dan Meida,” tukas Mbak Lilis yang kulihat langsung disenggol ibu. Lagian, sembarangan saja kalau ngomong!
“Utusan Keluarga Ramzi datang. Katanya, mereka mau membatalkan pernikahan ini!”Deg!Rasanya duniaku berputar seketika. Hari ini adalah hari pernikahan kami. Penghulu, tamu, sampai kerabat jauh sudah berkumpul di sini.Bagaimana bisa calon suamiku dan keluarganya itu membatalkan pernikahan ini secara sepihak? Padahal, kami sama sekali tidak ada masalah sebelum ini.Bugh!Tiba-tiba saja, Ibuku oleng. Dia bahkan sampai harus berpegangan pada dinding, saking syoknya.“Bu?!”Segera kupapah tubuh ringkih itu untuk masuk ke dalam kamar. Tapi, Ibu menolak. “Tidak usah, Mila. Ibu baik-baik saja!” Jantungku mencelos mendengarnya. Seminggu sebelum acara pernikahan, ibu padahal sudah pontang-panting menyiapkan semuanya karena merasa tidak bisa menyumbang banyak untuk acara pernikahan putrinya ini.Tunggu….Bicara soal biaya pernikahan, pamanku dan istrinyalah yang membiayai semua keperluan pernikahan ini. Sebab, tanteku itu ingin kolega yang pernah dikasih sumbangan, balas memberi amplop yang
“Apa dia pria baik-baik?”Ibuku cemas kala melihat Ed yang penampilannya 180 derajat berbeda dari Mas Ramzi.Mantan calon suamiku itu memang merupakan pria berpendidikan dan seorang dosen di sebuah universitas ternama di kota ini.Sementara pria yang akan menggantikannya kali ini hanyalah pria yang bahkan aku sendiri tidak tahu persis bagaimana dia.Tapi, dalam situasi begini, apa aku masih bisa memilih pria lain?Sungguh aku sudah sangat beruntung Ed menerima pernikahan ini.Setelahnya, kuharap kami bisa kembali kehidupan masing-masing. “Semoga saja, Bu.” jawabku lelah, menyembunyikan kenyataan yang bertolak belakang tentang Ed.Sesaat kemudian ibu mendekat dan memelukku erat. Mungkin dia sadar bahwa aku saat ini sedang hancur dan down. “Ibu hanya bisa berdoa agar Allah selalu melindungimu, Nak. Sabar ya...?”Elusan di pundakku itu justru membuatku begitu lemah dan hancur. Aku lalu rebah di pundaknya dan menangis hingga tergugu di sana. Teringat betapa selama ini hidupku dipenuhi mas
“Astaga! Bisa-bisanya kau menendang suamimu?!”Kulihat Ed terduduk di lantai karena ulahku.Aku jadi tak enak. Tapi, tadi itu gerakan refleks untuk perlindungan diri.“Tentu saja aku menendangmu, apa yang kau lakukan?” tukasku masih enggan merasa bersalah malah melototi pria yang kini berjalan mendekatiku.“Dengar Nona Mila! Aku tidak mungkin membiarkanmu tidur di mobil sepanjang malam, ’kan? Makanya aku menggendongmu ke kamar. Apa kau lupa kalau aku ini suamimu sekarang?” gerutunya tampak sebal sembari mencekal daguku tepat di kedua matanya.Aku sudah berpikir pria ini akan langsung memaksa mendapatkan haknya saja lantaran sok merasa menjadi suami.“Baik. Maafkan aku. Tapi jangan lakukan hal ini padaku. Kita harus bicara dulu,” ucapku penuh kecemasan.Untungnya Ed terlihat kasihan. Dia melepasku, lalu berjingkat pergi keluar kamar begitu saja.Baru saja aku bernapas lega, tapi pria pengganti calon suamiku itu sudah masuk lagi ke dalam kamar.“Aku lapar. Kau mau makan apa biar aku pes
“Ini tasmu?” ujar Ed menyadarkanku dari lamunan sembari menyodorkan tasku.Pria itu ternyata mau juga mengambilkannya.“Terima kasih, Ed,” tukasku.Mungkin tadi dia masih makan dan harus menyelesaikannya dulu. Akulah yang kurang sabaran!Hanya saja, saat aku hendak mengambil tas itu dari tangan Ed, pria itu malah menahan tanganku.Bugh!Tubuhku menubruk dada bidangnya.Aku mendongakan pandangku memandangnya yang begitu dekat sekali di wajahku.Namun, bibir Ed mendarat begitu saja di bibirku. Dia bahkan melumatnya tanpa membiarkan aku bisa protes.“Ehhmmm…”Kucoba untuk mendorong dadanya sekuat tenaga namun aku tetap tidak bisa bergerak.Mengapa tubuh pria ini begitu keras dan setegar karang?“Ed, lepaskan aku!” panikku.Tanpa sadar, setitik air mata bahkan lolos di pipiku.Anehnya, kulihat tatapan gelap Ed memudar dan dia mengendurkan dekapannya.“Makan dulu, aku sudah pesankan makanan untukmu. Kalau kau menolak aku akan menciummu lagi seperti tadi!” tukasnya mengambil tasku dan memba
“Wah, biro jodoh kah ini?” Erik sedikit bercanda. “Yah, anggap saja begitu. Biar Gala dan Meida bisa cepat punya tante dan sepupu!” kucandai balik Erik. Dan kami hanya tertawa. Sengaja kutingalkan mereka agar tidak mengganggu, ibu sudah melambai memanggilku di sana. “Ibu jadi pulang ini? Enggak pengen nginap bareng anak-anak di hotel?” kutanya lagi ibu yang sudah mau masuk mobil bersama Mbak Lilis. “Enggak, ah. Ibu mau di rumah saja. Besok pagi mau ada senam lansia,” tolaknya. Mbak Lilis tidak kutanya karena sudah tentu jawabannya tidak. Dia tidak akan sanggup naik ke lantai atas sendiri karena mual. “Ya sudah deh, hati-hati di jalan.” tukasku melepas mereka. “Selamat bermalam saja buat kalian, siapa tahu jadi adik lagi buat Gala dan Meida,” tukas Mbak Lilis yang kulihat langsung disenggol ibu. Lagian, sembarangan saja kalau ngomong!
Acara peresmian hotel dilakukan sederhana saja. Cukup mengundang beberapa kolega yang terkait dan tamu-tamu dari unsur pemerintahan kota. Kusambut Pak Bupati yang kini sudah menggandeng seorang wanita cantik di sampingnya. Perutnya sudah terlihat membuncit. Aku jadi malu, karena ketika Pak Bupati menikah tidak bisa datang. Kalau dari bulan mereka menikah, itu ketika aku sedang kehilangan anak perempuanku dalam operasi cesar. “Sudah setahun lebih dan Bu Bupati sudah mau lahiran, saya belum mengucapkan selamat pada Anda secara semestinya,” ujarku sedikit malu pada mereka. “Tidak apa, Nyonya. Doakan terbaik saja untuk istri saya mendekati hari persalinan. Dia terlihat tegang dan tidak bisa tidur,” ujar Pak Bupati. “Oh, kenapa tegang?” tanyaku pada istri Pak Bupati. “Dokternya menyarakan untuk cesar, saya hanya takut. Jadi malah kebayang yang tidak-tidak.” Wanita itu mengutarakan kecemasannya.
Kuperhatiakn wanita yang katanya dipilih Ed itu. Dia berdiri sembari memeriksa beberapa hal dari dokumen yang dibawanya. Kesan cantik dan anggun terpancar darinya.Aku tahu bagaiman selera Ed karena melihat beberapa wanita yang pernah dekat dengannya.Tidak salah juga kalau dia memilih wanita ini sebagai sekretaris pribadi Erik. Mungkin dia menyamakan selera Erik dengan seleranya.Beberapa kali Erik selalu tertarik dengan wanita yang menjadi pasangan Ed.Aku tidak lupa bahwa Erik juga pernah tertarik padaku waktu itu. Tapi, aku sudah tidak mau membahas hal itu lagi.Melihatku yang menatap wanita itu untuk menilainya, Erik menangkap wajahku yang tiba-tiba muram. Dia tertawa kecil. “Cemburu, ya?”“Apaan, sih?” ujarku tergagap.“Devinisi mencari sakit sendiri itu kamu, Mila. Masih sayang juga minta pisah.” Erik menyindirku.“Terserahlah,” gumamku lebih ke diri
“Udah tinggalin sepedamu, ikut aku bentar!” ujar Ed menarik lenganku ketika sudah menyelesaikan masalah dengan wanita itu.“Kemana?” tanyaku tapi tidak bisa menahan Ed menyeretku hingga aku masuk ke dalam mobilnya.“Adalah, nanti juga tahu sendiri.”Ed tidak lupa memasangkan sabuk pengaman untukku karena aku suka abai dengan benda itu saat berkendara dengannya. Padahal pria ini kalau berkendara bisa ugal-ugalan.Ketika wajahnya terlalu dekat dengan wajahku, kuambil sabuk pengaman itu dan aku akan memasangnya sendiri.“Aku bisa sendiri,” ujarku padanya sembari mendorongnya agar menjauh.“Jaim banget sih, kamu!” Ed kesal karena penolakanku.“Bukan jaim, tapi...” Dan pria yang menyebalkan ini malah mencium pipiku.“Ed!” tukasku sebal.“Ya, Sayang?”“Kenapa kau mencium pipiku?”&
Ed harus ke hotel untuk melihat persiapan acara besok sore. Kudengar Erik dan Sam juga sudah datang tapi mereka bilang akan ke rumah sore harinya setelah semua persiapan hampir 100%.Aku yang akan mengantar anak-anak seperti biasa. Kunikmati saja karena Ed sudah mengatakan setelah ini dia yang akan mengantar anak-anaknya ke sekolah. Jadi setelah ini dia pasti tidak akan membiarkanku melakukan bagiannya.Tapi lihat saja, sanggup bertahan berapa lama dengan kesibukan yang aku yakin akan membuatnya bosan ini.“Ma, aku lupa kemarin minta minum temanku, sekarang akau boleh beliin dulu di tokonya Tante Rosita?” Gala menghampiriku dan baru menyampaikan hal itu.“Minuman apa? Beli disekolahmu kan ada?” ujarku.“Tidak ada, Ma. Di sekolah tidak boleh ada minuman teh yang dijual. Kemarin temanku bawa teh kotak. Pas main bola aku haus dan minta minumnya sampai habis. Aku sudah janji mau ganti.” Gala memberi
Selesai berkuda dan menikmati jagung bakar di warung dekat vila, anak-anak mengajak untuk pulang saja.Kami tidak menolak karena cuaca di vila juga kurang bersahabat untuk menikmati liburan keluar.Seringnya sekarang hujan deras disertai angin. Otomatis liburan kami akan lebih banyak di dalam vila saja dan tidak bisa keluar jalan-jalan.Saat di perjalanan, kutanyakan pada mereka apa mau mampir ke plaza atau ke tempat bermain anak-anak dulu. Mumpung kami sedang melewati kota. Tapi keduanya menolak.Kulirik mereka yang sejak tadi lebih sering bisik-bisik saja tanpa aku mengerti apa yang sedang mereka bisikan.Baru aku tahu ketika Mbak Lilis memberitahukannya saat kami sudah di rumah.“Ada apa sampai anak-anakmu berdrama tadi di kamarnya.”“Berdrama?” tanyaku heran.“Gala bilang harta papanya habis karena penculik waktu itu meminta uang tebusan yang banyak. Jadi papa mereka sekarang tidak punya perusahaan dan menganggur.”“Astaga...” Aku hampir menyemburkan air mineral yang kuteguk mende
Dengan mudah dua bocah itu menuruti perintah papanya. Sementara aku tampak pasrah namun memilih menahan kantukku agar nanti setelah anak-anak tertidur pulas aku bisa meminta pengertian Ed untuk pindah.“Sudah tidur saja, aku juga tidak akan macam-macam. Ada anak-anak di sini,” gumamnya yang tahu aku belum tidur.Ed mematikan lampu kamar dan hanya cahaya lampu tidur yang tertangkap netraku.“Tidak perlu dimatikan lampunya!” pintaku agar pria ini menyalakan lagi lampu kamar.“Jangan berebihan, Mila. Mana bisa kau tidur kalau terang benderang. Takut amat aku kelonin!” Ed kembali bergumam.Aku menghela napas. Dia benar, aku memang tidak bisa tidur kalau lampunya seterang cahaya matahari.Udara dingin dan suara hujan yang masih bisa terdengar membuat rasa kantukku tak tertahankan. Jadi aku akhirnya melepas alam sadarku untuk bisa berlayar di pulau mimpi. Lagi pula, tubuhku sudah lelah begitu ingin beristirahat dan terlelap...Ketika perlahan kembali ke alam kesadaran, lamat-lamat kudengar
“Kita sudah bukan...”Kata-kataku tak berlanjut karena pria ini malah mencium bibirku.“Ed!”Aku mendorongnya dan Ed hanya nyengir. Sudah kuduga sejak semula, pria ini pasti seenaknya. Di rumah ada ibu dan Mbak Lilis. Sekarang di vila tanpa ada mereka, dan Ed pasti akan semaunya.“Aku bawakan barangmu ke kamar,” tukasnya mengambil tas yang kubawa sembari melangkah ke lantai dua.Itu kamar kami sebelumnya.Lalu kubuntuti dia untuk mempertegas, “Katakan dulu kau akan tidur di mana? Aku harus tahu itu.”Kutanyakan hal itu sebagai antisipasi jangan samai pria ini masih mau tidur di kamar ini dengan berbagai alasannya. Kalau sudah mode buaya darat, dia bisa saja mengarang cerita atau apalah sehingga tanpa sadar aku akan menurutinya.Aku ingat saat pertama menikah dengannya, Ed juga berlaku begitu demi bisa mencuri cium dan mengajakku tidur.“Kalau kau mau aku bisa kok tidur di sini, jangan cemas aku tidak akan menolak,” ujarnya cuek.Belum apa-apa sudah kumat tengilnya.Ini gara-gara ibu y
“Enggak mau kalau Mama enggak ikut!” Meida merajuk setelah kusiapkan apa yang harus di bawa untuk mereka menginap di vila selama beberapa hari ini. Namun dia tahu kalau aku ternyata tidak ikut serta.“Mama sudah ada janji, Sayang.” Aku coba membujuk putriku itu.“Ya sudah batalin saja, kan bisa lain waktu?” Meida masih mendesak.“Atau kita yang ganti hari saja biar mama bisa ikut?” Gala ikutan menyahut.Aku jadi terlihat egois sekali di depan kedua buah hatiku ini. Hanya karena sebuah janji dengan teman sampai harus membuat dua anakku itu mengalah tidak jadi berlibur demi menungguku bisa ikut.“Papa juga tidak akan keberatan kalau waktunya ditunda. Asal mama bisa ikut.” Meida terus mencoba mengubah keputusanku.“Padahal papa orang sibuk, loh, Ma. Mama kan enggak kerja. Papa bisa kok sempatin waktu buat kita liburan.” Gala menandasi.“Sudah ikut saja. Enggak kasihan kamu sama anak-anakmu, Mila?” Ibu bertutur melihat rasa kecewa cucu-cucunya yang sejak semalam sudah bersemangat akan b