“Bhahaha! Kau ini kesambet setan apa, Mila?”Ed tertawa mendengar apa yang barusan kusampaikan padanya.Padahal butuh effort lebih agar aku bisa mengucapkan hal yang sangat riskan itu padanya dengan segenap tekad dan keseriusanku.Ternyata pria ini malah tergelak. Sangat tidak sepadan dengan cemas yang membelengguku sejak tadi. Sungguh aku kesal sekali padanya.“Jangan bercanda, Ed! Aku sungguh-sungguh,” ujarku masih menatapnya dengan serius.“Aku tidak pulang semalam saja kau sudah kelimpungan tidak jelas. Bagaimana bisa kau sok menantangku menikahi Jessica?” Ed sudah menghentikan ketawanya, namun aku bisa menangkap pria ini masih menganggap ucapanku hanya kekonyolan belaka.“Keadaannya beda, Ed. Jessica itu sakit. Dia ingin kau menikahinya hanya untuk bisa membuatnya menjalani hari-hari terakhirnya dengan tenang.”Ed hanya menatapku dengan tertawa kecil, “Darimana kau seyakin itu akan keadaan Jessica, Sayangku?”“Aku sudah menemui dokternya, Ed.”Ed menatapku dengan sebuah keheran
“Pernikahan siapa itu yang dibahas, Mila?”Pertanyaan ibu tentu juga membuatku membeku.Aku bahkan tidak mendengar apapun dari Ed tentang sebuah pernikahan. Apa dia sudah berubah pikiran untuk menikahi Jessica?Tiba-tiba ada rasa tersayat di dadaku mendengarnya.Padahal dulu akulah yang sempat menawarkannya agar menikahi Jessica. Lalu mendengar secara diam-diam kemungkinan Ed menikah dengan Jessica, hatiku ternyata seterluka ini.Ini, bukan karena keputusannya yang menikahi Jessica.Tapi, karena Ed sama sekali tidak membicarakan apapun denganku tentang masalah ini.Dan itu sudah sangat menyinggungku sekali.“Nanti Mila tanyakan ya, Bu. Sekarang ibu istirahat saja di kamar. Ingat, kondisi ibu itu sudah berbeda dengan dulu. Harus benar-benar dijaga kesehatannya.” Aku mengelus bahu ibu dan membujuknya agar tidak berpikir yang bukan-bukan. Ibu pasti akan mencemaskanku. Setelah mengantar ibu ke kamarnya, langkahku jadi mengendur karena kembali teringat tentang kata-kata pernikahan itu.Tid
Bahkan kamar luas yang hanya kutempati seorang ini, tak mampu membuatku merasa lapang.Dadaku sesak dan rasanya aku terkekang oleh keadaan yang rumit ini. Rumit karena semua juga berawal dari kepolosan sikapku sendiri.Kulangkahkan saja kakiku keluar lalu mendapati Sam duduk di depan bersama satpam.Meski setiap saat bersama kami, pria itu tidak tinggal di vila. Dia akan pulang setelah tidak ada yang harus dikerjakan, dan kembali lagi pagi sekali.Sekarang melihatnya selarut ini masih di vila, aku jadi heran.“Sam?” panggilku dan pria itu menoleh.Segera dia bangkit untuk menghampiriku.“Nyonya belum beristirahat?” tanyanya sopan.Tidak kujawab malah bertanya balik, “Kau masih di sini?”“Benar, Nyonya. Tuan Edward barusan menelpon agar saya segera datang ke vila. Saya baru baca ulang dan ternyata vila yang dimaksud adalah vila Nona Jessica.”Sam tadinya sudah berjingkat hendak pergi, tapi tertahan karena aku memanggilnya.“Jadi kau akan ke vilanya Jessica?” tanyaku lagi.Dan pria itu
“Kau bilang tidak bisa meninggalkan Jessica karena tidak ada orang di sana?” tanyaku sambil menyodorkan botol minuman.Sekesal apapun aku pada Ed, aku tidak lupa kebiasannya saat pulang.“Sudah jangan bahas Jessica lagi, aku sudah pulang sekarang,” ujarnya lirih.Kutangkap itu sebagai pernyataan setengah hati lantaran dia pulang karena terpaksa. Hatiku tiba-tiba menciut, merasai raut dingin di wajah suamiku yang baru datang itu. “Iya, maaf, Ed. Kau pasti lelah. Beristirahatlah!” tukasku mengambil botol yang baru diminumnya.Kuletakkan botol itu di meja lalu begitu saja melangkah ke sisi tempat tidur lainnya. Membaringkan tubuh dan menarik selimut untuk bersiap tidur. Melirik pria itu yang masih duduk, aku beringsut memiringkan tubuhku memunggungginya.Sudah malam juga. Lebih baik aku langsung tidur agar tidak bertambah semakin kesal. Berharap esok hari pikiranku bisa lebih jernih dan membicarakan semua hal dengan baik tanpa melibatkan ego dan emosi. “Bukannya kau memintaku pulang
“Papa, kami sudah siap!” Meida nampak tidak sabar, berteriak-teriak mencari papanya.“Gala boleh bawa hoverboard kan, Ma? Nanti kalau pengen cari mama biar tidak capek-capek jalannya.” Anak lelakiku juga tidak kalah bersemangat.“Baiklah, mama cari papa dulu, ya. Kalian tunggu di mobil saja,” tuturku pada mereka sekalian kuminta pengasuhnya membawakan bekal makanan si kembar. Tidak tahu berapa lama akan betah bermain di sana, jadi jaga-jaga saja membawa snack sehat untuk mereka biar tidak banyak jajan di luar. Meida sering alergi kalau jajan sembarangan. Kucari-cari Ed namun tidak kudapati dia di kamar. Suaranya terdengar dari ruang sebelah. Jadi, kulangkahkan kakiku memeriksanya. Ed memang ada di sana sedang menguping ponselnya dan berbicara dengan seseorang.“Iya ini akan ke sana!” tukasnya lalu menutup panggilan, tepat ketika aku memperhatikannya.Melihat gelagatku yang sudah tidak enak, Ed kemudian menghampiriku meminta sebuah pengertian.“Tolong untuk sementara bersabarlah
“Kenapa kita bawa banyak pakaian, Ma?” Gala melihatku membawa tas ranselnya masuk ke dalam mobil.Aku belum menjawab dan Meida menandasi pertanyaan saudaranya. “Kita hanya ke tempat kerja Mama, kan?” tanyanya ikut heran.Setelah mencoba menguasai diriku, aku menoleh ke belakang tempat anak-anak manisku sudah duduk menunggu berangkat.“Nanti kita mampir ke rumah kita yang dekat alun-alun, ya? Sudah lama tidak ke sana,” ujarku mengulas senyum pada si kembar.“Boleh, Ma. Meida juga kangen Paman Parto dan Tante Lilis. Juga teman-teman di sana.” Meida terlihat tidak keberatan.“Gala juga kangen ke rumah kita yang dulu, Ma.” Gala menyahut.“Baik, tapi ke kantor Mama dulu, ya?”Aku merasa sedikit lega kedua anakku malah kesenangan kuajak ke rumah lama. Setidaknya tidak perlu ada banyak alasan untuk kembali ke sana.Sayangnya ibu masih ada acara beberapa hari ke depan dengan komunitas senam lansianya ke suatu tempat. Nantilah kalau sudah selesai acaranya aku akan menyampaikan.Tak berapa lam
“Apa?”Aku terkesiap mendengar kata-kata Tika tentang gosip itu.Kupikir selama ini sudah tidak ada gosip buruk lagi tentangku semenjak Vanka si ratu gosip itu di mutasi ke proyek yang bekerja sama dengan perusahaan lainnya.Tapi nyatanya masih juga ada.“Hubunganmu dengan Tuan Edward sudah menjadi rahasia umum, Mila. Di depanmu mereka akan memperlihatkan wajah ramah dan senyum hormatnya. Namun, di belakangmu, tetap saja namanya mereka tidak bisa berhenti bergosip. Apalagi kisah cinta segitiga kalian yang menarik untuk membuat bibir semakin gatal bergosip.”Aku pasrah kalau sudah menyangkut mental dan karakter sebagian besar teman kerjaku yang suka bergosip itu. Apalagi yang berjenis wanita. Kebiasaan itu memang sudah sejak lama ada, seharusnya aku tidak perlu terkejut.“Sebenarnya seperti apa aku di mata kalian?” tanyaku yang jadi terusik untuk bisa tahu seburuk apa mereka menilaiku.“Jangan sebut kalian, aku tidak sama dengan mereka.” Tika menandaskan bahwa dia tidak berada di kubu
Setiba di depan rumah kami, aku jadi merasa sudah terlalu lama tidak berkunjung. Namun demikian rumah masih tampak rapi dan bersih. Mbak Lilis pasti setiap hari membersihkannya.Berjalan masuk dan melewati motor yang terparkir di teras, aku jadi merindukan berangkat kerja naik motor dan menikmati suasana di jalan dengan aneka peristiwa yang kutemui.Mungkin besok aku akan naik motor saja ke kantor.Lagi pula sudah tinggal sebentar lagi, aku akan kembali ke perusahaan Gema Bangun yang kantornya tidak terlalu jauh dari rumah.Kerja sama dengan perusahaan Lavidia sudah hampir berakhir mengingat proyek resortnya akan segera rampung. Sayangnya aku baru sadar, bahwa perusahaan Lavidia itu adalah milik suamiku. Dan Ed pasti tidak akan mengizinkanku bekerja di perusahaan lain.Teringat Ed, aku jadi merasa sedih lagi. Kami bahkan belum bisa menikmati kebersamaan ini dengan sempurna. Padahal kami baru saja melewati ujian yang tidak kecil selama lima tahun ini. Saat ini harus kembali diuji