“Papa, kami sudah siap!” Meida nampak tidak sabar, berteriak-teriak mencari papanya.“Gala boleh bawa hoverboard kan, Ma? Nanti kalau pengen cari mama biar tidak capek-capek jalannya.” Anak lelakiku juga tidak kalah bersemangat.“Baiklah, mama cari papa dulu, ya. Kalian tunggu di mobil saja,” tuturku pada mereka sekalian kuminta pengasuhnya membawakan bekal makanan si kembar. Tidak tahu berapa lama akan betah bermain di sana, jadi jaga-jaga saja membawa snack sehat untuk mereka biar tidak banyak jajan di luar. Meida sering alergi kalau jajan sembarangan. Kucari-cari Ed namun tidak kudapati dia di kamar. Suaranya terdengar dari ruang sebelah. Jadi, kulangkahkan kakiku memeriksanya. Ed memang ada di sana sedang menguping ponselnya dan berbicara dengan seseorang.“Iya ini akan ke sana!” tukasnya lalu menutup panggilan, tepat ketika aku memperhatikannya.Melihat gelagatku yang sudah tidak enak, Ed kemudian menghampiriku meminta sebuah pengertian.“Tolong untuk sementara bersabarlah
“Kenapa kita bawa banyak pakaian, Ma?” Gala melihatku membawa tas ranselnya masuk ke dalam mobil.Aku belum menjawab dan Meida menandasi pertanyaan saudaranya. “Kita hanya ke tempat kerja Mama, kan?” tanyanya ikut heran.Setelah mencoba menguasai diriku, aku menoleh ke belakang tempat anak-anak manisku sudah duduk menunggu berangkat.“Nanti kita mampir ke rumah kita yang dekat alun-alun, ya? Sudah lama tidak ke sana,” ujarku mengulas senyum pada si kembar.“Boleh, Ma. Meida juga kangen Paman Parto dan Tante Lilis. Juga teman-teman di sana.” Meida terlihat tidak keberatan.“Gala juga kangen ke rumah kita yang dulu, Ma.” Gala menyahut.“Baik, tapi ke kantor Mama dulu, ya?”Aku merasa sedikit lega kedua anakku malah kesenangan kuajak ke rumah lama. Setidaknya tidak perlu ada banyak alasan untuk kembali ke sana.Sayangnya ibu masih ada acara beberapa hari ke depan dengan komunitas senam lansianya ke suatu tempat. Nantilah kalau sudah selesai acaranya aku akan menyampaikan.Tak berapa lam
“Apa?”Aku terkesiap mendengar kata-kata Tika tentang gosip itu.Kupikir selama ini sudah tidak ada gosip buruk lagi tentangku semenjak Vanka si ratu gosip itu di mutasi ke proyek yang bekerja sama dengan perusahaan lainnya.Tapi nyatanya masih juga ada.“Hubunganmu dengan Tuan Edward sudah menjadi rahasia umum, Mila. Di depanmu mereka akan memperlihatkan wajah ramah dan senyum hormatnya. Namun, di belakangmu, tetap saja namanya mereka tidak bisa berhenti bergosip. Apalagi kisah cinta segitiga kalian yang menarik untuk membuat bibir semakin gatal bergosip.”Aku pasrah kalau sudah menyangkut mental dan karakter sebagian besar teman kerjaku yang suka bergosip itu. Apalagi yang berjenis wanita. Kebiasaan itu memang sudah sejak lama ada, seharusnya aku tidak perlu terkejut.“Sebenarnya seperti apa aku di mata kalian?” tanyaku yang jadi terusik untuk bisa tahu seburuk apa mereka menilaiku.“Jangan sebut kalian, aku tidak sama dengan mereka.” Tika menandaskan bahwa dia tidak berada di kubu
Setiba di depan rumah kami, aku jadi merasa sudah terlalu lama tidak berkunjung. Namun demikian rumah masih tampak rapi dan bersih. Mbak Lilis pasti setiap hari membersihkannya.Berjalan masuk dan melewati motor yang terparkir di teras, aku jadi merindukan berangkat kerja naik motor dan menikmati suasana di jalan dengan aneka peristiwa yang kutemui.Mungkin besok aku akan naik motor saja ke kantor.Lagi pula sudah tinggal sebentar lagi, aku akan kembali ke perusahaan Gema Bangun yang kantornya tidak terlalu jauh dari rumah.Kerja sama dengan perusahaan Lavidia sudah hampir berakhir mengingat proyek resortnya akan segera rampung. Sayangnya aku baru sadar, bahwa perusahaan Lavidia itu adalah milik suamiku. Dan Ed pasti tidak akan mengizinkanku bekerja di perusahaan lain.Teringat Ed, aku jadi merasa sedih lagi. Kami bahkan belum bisa menikmati kebersamaan ini dengan sempurna. Padahal kami baru saja melewati ujian yang tidak kecil selama lima tahun ini. Saat ini harus kembali diuji
Di pagi harinya, hatiku terasa hampa dan kosong mengetahui aku bangun tanpa melihat suamiku di samping.Tanganku meraba-raba nakas dan baru ingat aku memang berniat tidak mengaktifkan ponselku.Beberapa saat tercenung sambil duduk di tempat tidur, aku baru berjingkat karena merasa matahari semakin merangkak naik. Saat kakiku menapak di lantai yang dingin, kepalaku tiba-tiba terasa pening sekali. Aku bahkan butuh duduk kembali di tempat tidur karena pandanganku berkunang-kunang.“Jangan berangkat kerja, Mila, kalau kepalamu masih sakit.” Mbak Lilis yang sepagi tadi sudah datang langsung membuatkan jahe hangat. Dia tahu kepalaku sakit karena melihat pengasuh anak-anak yang kuminta membuatkan minuman hangat.“Iya, Mbak. Mila akan istirahat saja,” ujarku.Biar nanti aku pinjam ponsel Mbak Lilis untuk menghubungi Tika agar menyampaikan izinku.Lucu sekali aku ini. Itu perusahaan suamiku tapi aku malah meminta tolong temanku untuk mengizinkanku.Teringat suamiku, ada rasa terluka karena
Setelah sarapan rasa pening di kepalaku sudah berangsur menghilang.Pasti karena pola makanku berantakan beberapa hari ini jadi gula darahku pagi ini turun sehingga kepalaku terasa pusing.“Mama sudah tidak pusing lagi?” Anak lelakiku nampak mencemaskan mamanya.“Enggak, Sayang. Mama sudah sehat habis sarapan tadi,” jawabku karena memang sudah jauh lebih baik.“Berarti Mama lapar itu,” tukas Gala lagi.“Iya kali, Sayang. Semalam Mama makannya sedikit.” “Lain kali makan yang banyak ya, Ma. Jangan sakit, nanti Gala dan Meida sedih.”Kupeluk Gala dan aku juga menjadi sedih.Jangan sampai hanya perkara kami ribut mental anak-anakku menjadi taruhannya.Seringnya dulu mereka hidup dengan kesederhanaan yang tak luput atas ejekan orang karena kondisi tanpa kehadiran seorang ayah.Lalu, kehadiran Ed membuat kepercayaan diri mereka perlahan bangkit.Di mata si kembar sosok papanya adalah superhero yang menyulap kehidupan mereka jauh lebih baik.Jika tiba-tiba keadaan yang buruk ini terus berl
Bugh!Suara sesuatu terjatuh mengejutkan ketika kegiatan romansa kami sudah mulai memanas.Ed bahkan segera berjingkat dengan sigap melangkah cepat ke arah jendela untuk memeriksa keadaan. Untung dia belum melepas celananya sehingga tidak perlu malu kalau membuka tirai dan menemukan ada orang di luar.Sekelabat bayang sempat tertangkap netraku melompat ke balkon lain, membuat Ed mengumpat kesal.Kupakai kembali gaunku dengan tergesa lalu menghampiri Ed dengan cemas. “Ada apa, Sayang?” tanyaku memeluk lengannya karena takut.Ed yang baru akan menghubungi seseoran berusaha terlihat tenang agar aku tidak panik.“Tidak apa, mungkin pembersih kaca hotel.” Ed membantu merapikan bahu gaunku yang masih melorot. Karena panik tadi aku tidak merapikannya dengan benar.Gimana tidak, kami baru saja terhanyut dalam gelombang keintiman, tiba-tiba saja mendengar bunyi sesuatu terjatuh dari jendela kaca kamar hotel kami. Tentu saja kami terkejut.Untung tirai vitrase masih menyelimuti jendela ka
“Rik! Ngeloyor saja ini bocah!” Wanita yang dipanggil mama oleh pria itu nampak kesal melihatnya berlalu begitu saja.Aku berusaha mencoba mengingat sekali lagi barangkali akulah yang salah lihat. Mana mungkin dokter ahli yang menangani pasien sekelas Jessica kali ini tak ubahnya seperti pemuda pengangguran yang kerjanya hanya sibuk dengan gawainya.“Mau beli satu kotak saja?” tanya wanita itu padaku.“Oh, benar, Bu. Satu saja,” ujarku masih gelisah melirik ke arah pria itu berlalu tadi.Lantas, daripada terus penasaran, kutanyakan saja, “Yang tadi itu, putra ibu?”“Iya, Mbak. Maafin ya, dia baru dipecat dari pekerjaannya, jadinya sedikit kurang ramah seperti tadi.”“Dipecat?” aku mengernyit. Apa ada masalah dengan pekerjaannya sampai dia di pecat?“Dia itu dokter ‘kan, Bu?” tanyaku lagi memastikan.Wanita pemilik toko itu menatapku lalu tertawa ketika kusebut bahwa putranya seorang dokter.“Mbak ini ada-ada saja. Dia hanya jurusan manajemen, baru lulus dua tahun yang lalu. Mana m