Setiba di depan rumah kami, aku jadi merasa sudah terlalu lama tidak berkunjung. Namun demikian rumah masih tampak rapi dan bersih. Mbak Lilis pasti setiap hari membersihkannya.Berjalan masuk dan melewati motor yang terparkir di teras, aku jadi merindukan berangkat kerja naik motor dan menikmati suasana di jalan dengan aneka peristiwa yang kutemui.Mungkin besok aku akan naik motor saja ke kantor.Lagi pula sudah tinggal sebentar lagi, aku akan kembali ke perusahaan Gema Bangun yang kantornya tidak terlalu jauh dari rumah.Kerja sama dengan perusahaan Lavidia sudah hampir berakhir mengingat proyek resortnya akan segera rampung. Sayangnya aku baru sadar, bahwa perusahaan Lavidia itu adalah milik suamiku. Dan Ed pasti tidak akan mengizinkanku bekerja di perusahaan lain.Teringat Ed, aku jadi merasa sedih lagi. Kami bahkan belum bisa menikmati kebersamaan ini dengan sempurna. Padahal kami baru saja melewati ujian yang tidak kecil selama lima tahun ini. Saat ini harus kembali diuji
Di pagi harinya, hatiku terasa hampa dan kosong mengetahui aku bangun tanpa melihat suamiku di samping.Tanganku meraba-raba nakas dan baru ingat aku memang berniat tidak mengaktifkan ponselku.Beberapa saat tercenung sambil duduk di tempat tidur, aku baru berjingkat karena merasa matahari semakin merangkak naik. Saat kakiku menapak di lantai yang dingin, kepalaku tiba-tiba terasa pening sekali. Aku bahkan butuh duduk kembali di tempat tidur karena pandanganku berkunang-kunang.“Jangan berangkat kerja, Mila, kalau kepalamu masih sakit.” Mbak Lilis yang sepagi tadi sudah datang langsung membuatkan jahe hangat. Dia tahu kepalaku sakit karena melihat pengasuh anak-anak yang kuminta membuatkan minuman hangat.“Iya, Mbak. Mila akan istirahat saja,” ujarku.Biar nanti aku pinjam ponsel Mbak Lilis untuk menghubungi Tika agar menyampaikan izinku.Lucu sekali aku ini. Itu perusahaan suamiku tapi aku malah meminta tolong temanku untuk mengizinkanku.Teringat suamiku, ada rasa terluka karena
Setelah sarapan rasa pening di kepalaku sudah berangsur menghilang.Pasti karena pola makanku berantakan beberapa hari ini jadi gula darahku pagi ini turun sehingga kepalaku terasa pusing.“Mama sudah tidak pusing lagi?” Anak lelakiku nampak mencemaskan mamanya.“Enggak, Sayang. Mama sudah sehat habis sarapan tadi,” jawabku karena memang sudah jauh lebih baik.“Berarti Mama lapar itu,” tukas Gala lagi.“Iya kali, Sayang. Semalam Mama makannya sedikit.” “Lain kali makan yang banyak ya, Ma. Jangan sakit, nanti Gala dan Meida sedih.”Kupeluk Gala dan aku juga menjadi sedih.Jangan sampai hanya perkara kami ribut mental anak-anakku menjadi taruhannya.Seringnya dulu mereka hidup dengan kesederhanaan yang tak luput atas ejekan orang karena kondisi tanpa kehadiran seorang ayah.Lalu, kehadiran Ed membuat kepercayaan diri mereka perlahan bangkit.Di mata si kembar sosok papanya adalah superhero yang menyulap kehidupan mereka jauh lebih baik.Jika tiba-tiba keadaan yang buruk ini terus berl
Bugh!Suara sesuatu terjatuh mengejutkan ketika kegiatan romansa kami sudah mulai memanas.Ed bahkan segera berjingkat dengan sigap melangkah cepat ke arah jendela untuk memeriksa keadaan. Untung dia belum melepas celananya sehingga tidak perlu malu kalau membuka tirai dan menemukan ada orang di luar.Sekelabat bayang sempat tertangkap netraku melompat ke balkon lain, membuat Ed mengumpat kesal.Kupakai kembali gaunku dengan tergesa lalu menghampiri Ed dengan cemas. “Ada apa, Sayang?” tanyaku memeluk lengannya karena takut.Ed yang baru akan menghubungi seseoran berusaha terlihat tenang agar aku tidak panik.“Tidak apa, mungkin pembersih kaca hotel.” Ed membantu merapikan bahu gaunku yang masih melorot. Karena panik tadi aku tidak merapikannya dengan benar.Gimana tidak, kami baru saja terhanyut dalam gelombang keintiman, tiba-tiba saja mendengar bunyi sesuatu terjatuh dari jendela kaca kamar hotel kami. Tentu saja kami terkejut.Untung tirai vitrase masih menyelimuti jendela ka
“Rik! Ngeloyor saja ini bocah!” Wanita yang dipanggil mama oleh pria itu nampak kesal melihatnya berlalu begitu saja.Aku berusaha mencoba mengingat sekali lagi barangkali akulah yang salah lihat. Mana mungkin dokter ahli yang menangani pasien sekelas Jessica kali ini tak ubahnya seperti pemuda pengangguran yang kerjanya hanya sibuk dengan gawainya.“Mau beli satu kotak saja?” tanya wanita itu padaku.“Oh, benar, Bu. Satu saja,” ujarku masih gelisah melirik ke arah pria itu berlalu tadi.Lantas, daripada terus penasaran, kutanyakan saja, “Yang tadi itu, putra ibu?”“Iya, Mbak. Maafin ya, dia baru dipecat dari pekerjaannya, jadinya sedikit kurang ramah seperti tadi.”“Dipecat?” aku mengernyit. Apa ada masalah dengan pekerjaannya sampai dia di pecat?“Dia itu dokter ‘kan, Bu?” tanyaku lagi memastikan.Wanita pemilik toko itu menatapku lalu tertawa ketika kusebut bahwa putranya seorang dokter.“Mbak ini ada-ada saja. Dia hanya jurusan manajemen, baru lulus dua tahun yang lalu. Mana m
“Iya, sabar!”Ed terkekeh ketika aku mendesaknya. Tanganku bahkan dengan lancang turun dan menyentuh daerah intinya.Ed yang merasa terstimulasi kembali menghujaniku dengan ciuman yang lebih membara.Sayangnya panggilan dari ponselnya membuat pria ini menghentikan gerakannya.“Aku angkat panggilan dulu, boleh?” Ed meminta izin. Aku diam-diam melihat siapa nama yang tertera di layar ponselnya. Sebal karena nama wanita itu yang ada di sana.Walau belum pasti benar tidaknya, namun mengingat tentang dokter gadungan itu aku merasa Jessica sudah memanipulasi sakitnya hanya demi meminta perhatian suamiku.Jadi, untuk apa juga aku masih menjaga perasaannya?“Kau akan ke vila Jessica, Ed?” tanyaku.Ed meletakan dulu benda pipih itu lalu mengajakku duduk. Dia ingat akan membicrakan tentang Jessica denganku malam ini.“Apa kau masih kesal kalau aku akan ke vila Jessica?” tanyanya.“Memangnya sampai bagaimana kondisi Jessica hingga harus memintamu menungguinya sepanjang malam? Apa dia masih memin
Ed menarik lenganku tidak rela saat dirinya sedang keras-kerasnya malah kutinggal tanpa penyelesaian.“Telpon dulu Jessica, dia nanti marah lho!” godaku masih juga mengulur. Padahal melihat wajah yang sudah dikuasai nafsu itu, aku juga kasihan.“Ngilu banget ini, Yang...?”Aku malah jadi menahan tawa melihat bocah besarku merengek pengen dikelonin emaknya ini.Sebenarnya tidak berniat menolak, tapi karena pria ini yang sudah tidak bisa mengendalikan hasyratnya, langsung saja dia menarik tubuhku, membaringkanku di bawahnya, membuka kedua kakiku lebar-lebar, dan...“Aaaah, Sayang, pelan-pelan!” teriakku namun Ed sudah tak mau mendengarku lagi....Walau sekujur tubuhku rasanya seperti dihantami gada, namun melihat Ed yang tertidur pulas menampakkan wajah penuh kepuasannya, sudah membuat perasaanku lega sekali.Apalagi malam ini Ed yang tadinya akan pergi ke vila Jessica, tidak jadi pergi lantaran kepayahan dan memilih melanjutkan bobo-nya. Tenaganya terkuras di olahraga malam yang i
Hari ini meski badanku capek semua karena semalam, aku tetap semangat bangun lebih pagi karena mau ke kantor dan berbicara dengan Tika.Hanya dia yang sudah kuberitahu tentang Jessica karena menyangkut sepupunya itu. Kuharap Tika bisa membantuku dalam urusan ini.“Miss Evo nanti datang, Mbak. Tolong anak-anak dibangunkan ya, biar tidak kesiangan,” ujarku pada pengasuh anak-anak sembari membuat teh manis sekedar menaikan gula darahku agar tidak pusing lagi seperti kemarin.“Baik, Nyonya,” jawabnya yang langsung ke kamar si kembar.Aku baru ingat ibuku ada di rumah depan. Lalu kulangkahkan kaki keluar rumah untuk memintanya sarapan bersama di rumah. Sudah ada kiriman makanan dari catering. Ed pasti sudah menyuruh orang untuk mengurusnya.Tak kusangka di dalam sana ibu sudah bersama Mbak Lilis. Wanita itu menangis-nangis curhat tentang suaminya pada ibuku. Padahal kemarin dia sok tegar di hadapanku.Memang hati wanita itu semua sama. Sukar ditebak.“Aku ikhlas kok, Bu, sumpah demi Alla