Setelah sarapan rasa pening di kepalaku sudah berangsur menghilang.Pasti karena pola makanku berantakan beberapa hari ini jadi gula darahku pagi ini turun sehingga kepalaku terasa pusing.“Mama sudah tidak pusing lagi?” Anak lelakiku nampak mencemaskan mamanya.“Enggak, Sayang. Mama sudah sehat habis sarapan tadi,” jawabku karena memang sudah jauh lebih baik.“Berarti Mama lapar itu,” tukas Gala lagi.“Iya kali, Sayang. Semalam Mama makannya sedikit.” “Lain kali makan yang banyak ya, Ma. Jangan sakit, nanti Gala dan Meida sedih.”Kupeluk Gala dan aku juga menjadi sedih.Jangan sampai hanya perkara kami ribut mental anak-anakku menjadi taruhannya.Seringnya dulu mereka hidup dengan kesederhanaan yang tak luput atas ejekan orang karena kondisi tanpa kehadiran seorang ayah.Lalu, kehadiran Ed membuat kepercayaan diri mereka perlahan bangkit.Di mata si kembar sosok papanya adalah superhero yang menyulap kehidupan mereka jauh lebih baik.Jika tiba-tiba keadaan yang buruk ini terus berl
Bugh!Suara sesuatu terjatuh mengejutkan ketika kegiatan romansa kami sudah mulai memanas.Ed bahkan segera berjingkat dengan sigap melangkah cepat ke arah jendela untuk memeriksa keadaan. Untung dia belum melepas celananya sehingga tidak perlu malu kalau membuka tirai dan menemukan ada orang di luar.Sekelabat bayang sempat tertangkap netraku melompat ke balkon lain, membuat Ed mengumpat kesal.Kupakai kembali gaunku dengan tergesa lalu menghampiri Ed dengan cemas. “Ada apa, Sayang?” tanyaku memeluk lengannya karena takut.Ed yang baru akan menghubungi seseoran berusaha terlihat tenang agar aku tidak panik.“Tidak apa, mungkin pembersih kaca hotel.” Ed membantu merapikan bahu gaunku yang masih melorot. Karena panik tadi aku tidak merapikannya dengan benar.Gimana tidak, kami baru saja terhanyut dalam gelombang keintiman, tiba-tiba saja mendengar bunyi sesuatu terjatuh dari jendela kaca kamar hotel kami. Tentu saja kami terkejut.Untung tirai vitrase masih menyelimuti jendela ka
“Rik! Ngeloyor saja ini bocah!” Wanita yang dipanggil mama oleh pria itu nampak kesal melihatnya berlalu begitu saja.Aku berusaha mencoba mengingat sekali lagi barangkali akulah yang salah lihat. Mana mungkin dokter ahli yang menangani pasien sekelas Jessica kali ini tak ubahnya seperti pemuda pengangguran yang kerjanya hanya sibuk dengan gawainya.“Mau beli satu kotak saja?” tanya wanita itu padaku.“Oh, benar, Bu. Satu saja,” ujarku masih gelisah melirik ke arah pria itu berlalu tadi.Lantas, daripada terus penasaran, kutanyakan saja, “Yang tadi itu, putra ibu?”“Iya, Mbak. Maafin ya, dia baru dipecat dari pekerjaannya, jadinya sedikit kurang ramah seperti tadi.”“Dipecat?” aku mengernyit. Apa ada masalah dengan pekerjaannya sampai dia di pecat?“Dia itu dokter ‘kan, Bu?” tanyaku lagi memastikan.Wanita pemilik toko itu menatapku lalu tertawa ketika kusebut bahwa putranya seorang dokter.“Mbak ini ada-ada saja. Dia hanya jurusan manajemen, baru lulus dua tahun yang lalu. Mana m
“Iya, sabar!”Ed terkekeh ketika aku mendesaknya. Tanganku bahkan dengan lancang turun dan menyentuh daerah intinya.Ed yang merasa terstimulasi kembali menghujaniku dengan ciuman yang lebih membara.Sayangnya panggilan dari ponselnya membuat pria ini menghentikan gerakannya.“Aku angkat panggilan dulu, boleh?” Ed meminta izin. Aku diam-diam melihat siapa nama yang tertera di layar ponselnya. Sebal karena nama wanita itu yang ada di sana.Walau belum pasti benar tidaknya, namun mengingat tentang dokter gadungan itu aku merasa Jessica sudah memanipulasi sakitnya hanya demi meminta perhatian suamiku.Jadi, untuk apa juga aku masih menjaga perasaannya?“Kau akan ke vila Jessica, Ed?” tanyaku.Ed meletakan dulu benda pipih itu lalu mengajakku duduk. Dia ingat akan membicrakan tentang Jessica denganku malam ini.“Apa kau masih kesal kalau aku akan ke vila Jessica?” tanyanya.“Memangnya sampai bagaimana kondisi Jessica hingga harus memintamu menungguinya sepanjang malam? Apa dia masih memin
Ed menarik lenganku tidak rela saat dirinya sedang keras-kerasnya malah kutinggal tanpa penyelesaian.“Telpon dulu Jessica, dia nanti marah lho!” godaku masih juga mengulur. Padahal melihat wajah yang sudah dikuasai nafsu itu, aku juga kasihan.“Ngilu banget ini, Yang...?”Aku malah jadi menahan tawa melihat bocah besarku merengek pengen dikelonin emaknya ini.Sebenarnya tidak berniat menolak, tapi karena pria ini yang sudah tidak bisa mengendalikan hasyratnya, langsung saja dia menarik tubuhku, membaringkanku di bawahnya, membuka kedua kakiku lebar-lebar, dan...“Aaaah, Sayang, pelan-pelan!” teriakku namun Ed sudah tak mau mendengarku lagi....Walau sekujur tubuhku rasanya seperti dihantami gada, namun melihat Ed yang tertidur pulas menampakkan wajah penuh kepuasannya, sudah membuat perasaanku lega sekali.Apalagi malam ini Ed yang tadinya akan pergi ke vila Jessica, tidak jadi pergi lantaran kepayahan dan memilih melanjutkan bobo-nya. Tenaganya terkuras di olahraga malam yang i
Hari ini meski badanku capek semua karena semalam, aku tetap semangat bangun lebih pagi karena mau ke kantor dan berbicara dengan Tika.Hanya dia yang sudah kuberitahu tentang Jessica karena menyangkut sepupunya itu. Kuharap Tika bisa membantuku dalam urusan ini.“Miss Evo nanti datang, Mbak. Tolong anak-anak dibangunkan ya, biar tidak kesiangan,” ujarku pada pengasuh anak-anak sembari membuat teh manis sekedar menaikan gula darahku agar tidak pusing lagi seperti kemarin.“Baik, Nyonya,” jawabnya yang langsung ke kamar si kembar.Aku baru ingat ibuku ada di rumah depan. Lalu kulangkahkan kaki keluar rumah untuk memintanya sarapan bersama di rumah. Sudah ada kiriman makanan dari catering. Ed pasti sudah menyuruh orang untuk mengurusnya.Tak kusangka di dalam sana ibu sudah bersama Mbak Lilis. Wanita itu menangis-nangis curhat tentang suaminya pada ibuku. Padahal kemarin dia sok tegar di hadapanku.Memang hati wanita itu semua sama. Sukar ditebak.“Aku ikhlas kok, Bu, sumpah demi Alla
“Bu tidak masalah ‘kan kalau Mila kerja dan nitip anak-anak sama ibu?” kutanyakan hal itu langsung di depan Ed karena pria ini menjadikan alasan anak-anak agar aku tidak bekerja.Aku yakin ibu tidak akan keberatan. Dia kan sudah curiga karena Ed yang sering keluar malam-malam beberapa hari yang lalu. Jadi, dia pasti akan mendukungku kalau tetap bekerja sekalian mengawasi suamiku itu.“Tidak, kok. Ada pengasuh dan Lilis juga di rumah. Ibu jadi punya banyak waktu bersama cucu-cucu ibu,” tukas ibu pada Ed.Kalau sudah ibu yang bicara, Ed pasti segan menolak. Dia akhirnya hanya mengangguk saja membiarkan aku tetap bekerja.“Ya sudah ayo berangkat!” ujarku mengambil tasku bersiap berangkat. Anak-anak sudah diajak ibu ke rumah depan. Katanya mau beres-beres mainan mereka yang sudah tidak kepakai.Ed malah duduk santai di sofa. Tampak enggan berangkat. “Tidak ada meeting pagi ini. Nanti agak siangan saja berangkatnya.”Aku lupa kalau Ed seorang big bos. Jadi dia tidak harus berangkat sesu
“Kita temuin Riko saja, dan tanya-tanya biar jelas sekalian.” Saran Tika saat kami sedang membahasnya.“Kapan, Tik? Nanti selepas ngantor?”Kalau sekarang masih jam kerja, tentu Tika akan mendapat teguran dari Pak Betha kalau sampai ada laporan kami keluar di jam kerja.Tapi, kalau jam pulang ngantor, Ed pasti akan mengajakku balik.“Rayu ayang bebmu itu, bilang pengen nyalon kek belanja kek, minta izin buat aku sekalian. Bukannya kerjaanmu sudah dikerjakan anak baru itu?” Tika memberikan ide.Aku tidak menolak. Jadinya langsung bangkit menemui Ed yang ternyata sekarang di loby sedang berbicara dengan seseorang.Melihatku keluar dari lift namun hanya berdiri menatapnya karena takut mengganggu, Ed paham dan segera mengakhiri pembicaraan mereka.Masih sempat kudengar kata terakhirnya pada pria itu, “Lakukan seprofesional mungkin bahkan bayanganmu pun tidak terendus.”Lalu pria itu bangkit dan berlalu.Karena berjalan menuju pintu lift, pria itu menunduk hormat saat melewatiku.Apa dia t