“Jangan buka matanya dulu, Sayang!” Ed masih menutup mataku dengan kedua tangannya saat kami sudah di depan pintu hotelnya. Aku tidak tahu kejutan apa yang akan dia berikan padaku?Ini bukan tanggal yang istimewa. Bukan tanggal lahirku, tanggal pernikahan, tanggal lahir anak-anak, juga bukan merupakan tanggal lahir Ed.Lalu, dalam rangka apa kejutan ini?“Sudah boleh dibuka belum?” tanyaku setelah dibimbing masuk oleh Ed.“Boleh!”Begitu mataku terbuka, kulihat kamar tidur yang dihias bunga mawar petal membentuk tanda cinta di atas spreinya terpampang di depan mataku.Lampu kamar pun dimatikan dan hanya ada cahaya dari beberapa lilin menjadikan suasana romantis sungguh terasa lekat.Kulirik Ed yang memelukku dari belakang karena belum bisa mengingat, dalam rangka apa dia memberi kejutan?Dengan polosnya Ed menjawab, “Memangnya kalau bikin kejutan itu harus ada momen penting begitu?”“Biasanya memang begitu ‘kan?” ujarku menatapnya heran. Dia pasti asal membuat kejutan ini tanpa ad
“Bhahaha! Kau ini kesambet setan apa, Mila?”Ed tertawa mendengar apa yang barusan kusampaikan padanya.Padahal butuh effort lebih agar aku bisa mengucapkan hal yang sangat riskan itu padanya dengan segenap tekad dan keseriusanku.Ternyata pria ini malah tergelak. Sangat tidak sepadan dengan cemas yang membelengguku sejak tadi. Sungguh aku kesal sekali padanya.“Jangan bercanda, Ed! Aku sungguh-sungguh,” ujarku masih menatapnya dengan serius.“Aku tidak pulang semalam saja kau sudah kelimpungan tidak jelas. Bagaimana bisa kau sok menantangku menikahi Jessica?” Ed sudah menghentikan ketawanya, namun aku bisa menangkap pria ini masih menganggap ucapanku hanya kekonyolan belaka.“Keadaannya beda, Ed. Jessica itu sakit. Dia ingin kau menikahinya hanya untuk bisa membuatnya menjalani hari-hari terakhirnya dengan tenang.”Ed hanya menatapku dengan tertawa kecil, “Darimana kau seyakin itu akan keadaan Jessica, Sayangku?”“Aku sudah menemui dokternya, Ed.”Ed menatapku dengan sebuah keheran
“Pernikahan siapa itu yang dibahas, Mila?”Pertanyaan ibu tentu juga membuatku membeku.Aku bahkan tidak mendengar apapun dari Ed tentang sebuah pernikahan. Apa dia sudah berubah pikiran untuk menikahi Jessica?Tiba-tiba ada rasa tersayat di dadaku mendengarnya.Padahal dulu akulah yang sempat menawarkannya agar menikahi Jessica. Lalu mendengar secara diam-diam kemungkinan Ed menikah dengan Jessica, hatiku ternyata seterluka ini.Ini, bukan karena keputusannya yang menikahi Jessica.Tapi, karena Ed sama sekali tidak membicarakan apapun denganku tentang masalah ini.Dan itu sudah sangat menyinggungku sekali.“Nanti Mila tanyakan ya, Bu. Sekarang ibu istirahat saja di kamar. Ingat, kondisi ibu itu sudah berbeda dengan dulu. Harus benar-benar dijaga kesehatannya.” Aku mengelus bahu ibu dan membujuknya agar tidak berpikir yang bukan-bukan. Ibu pasti akan mencemaskanku. Setelah mengantar ibu ke kamarnya, langkahku jadi mengendur karena kembali teringat tentang kata-kata pernikahan itu.Tid
Bahkan kamar luas yang hanya kutempati seorang ini, tak mampu membuatku merasa lapang.Dadaku sesak dan rasanya aku terkekang oleh keadaan yang rumit ini. Rumit karena semua juga berawal dari kepolosan sikapku sendiri.Kulangkahkan saja kakiku keluar lalu mendapati Sam duduk di depan bersama satpam.Meski setiap saat bersama kami, pria itu tidak tinggal di vila. Dia akan pulang setelah tidak ada yang harus dikerjakan, dan kembali lagi pagi sekali.Sekarang melihatnya selarut ini masih di vila, aku jadi heran.“Sam?” panggilku dan pria itu menoleh.Segera dia bangkit untuk menghampiriku.“Nyonya belum beristirahat?” tanyanya sopan.Tidak kujawab malah bertanya balik, “Kau masih di sini?”“Benar, Nyonya. Tuan Edward barusan menelpon agar saya segera datang ke vila. Saya baru baca ulang dan ternyata vila yang dimaksud adalah vila Nona Jessica.”Sam tadinya sudah berjingkat hendak pergi, tapi tertahan karena aku memanggilnya.“Jadi kau akan ke vilanya Jessica?” tanyaku lagi.Dan pria itu
“Kau bilang tidak bisa meninggalkan Jessica karena tidak ada orang di sana?” tanyaku sambil menyodorkan botol minuman.Sekesal apapun aku pada Ed, aku tidak lupa kebiasannya saat pulang.“Sudah jangan bahas Jessica lagi, aku sudah pulang sekarang,” ujarnya lirih.Kutangkap itu sebagai pernyataan setengah hati lantaran dia pulang karena terpaksa. Hatiku tiba-tiba menciut, merasai raut dingin di wajah suamiku yang baru datang itu. “Iya, maaf, Ed. Kau pasti lelah. Beristirahatlah!” tukasku mengambil botol yang baru diminumnya.Kuletakkan botol itu di meja lalu begitu saja melangkah ke sisi tempat tidur lainnya. Membaringkan tubuh dan menarik selimut untuk bersiap tidur. Melirik pria itu yang masih duduk, aku beringsut memiringkan tubuhku memunggungginya.Sudah malam juga. Lebih baik aku langsung tidur agar tidak bertambah semakin kesal. Berharap esok hari pikiranku bisa lebih jernih dan membicarakan semua hal dengan baik tanpa melibatkan ego dan emosi. “Bukannya kau memintaku pulang
“Papa, kami sudah siap!” Meida nampak tidak sabar, berteriak-teriak mencari papanya.“Gala boleh bawa hoverboard kan, Ma? Nanti kalau pengen cari mama biar tidak capek-capek jalannya.” Anak lelakiku juga tidak kalah bersemangat.“Baiklah, mama cari papa dulu, ya. Kalian tunggu di mobil saja,” tuturku pada mereka sekalian kuminta pengasuhnya membawakan bekal makanan si kembar. Tidak tahu berapa lama akan betah bermain di sana, jadi jaga-jaga saja membawa snack sehat untuk mereka biar tidak banyak jajan di luar. Meida sering alergi kalau jajan sembarangan. Kucari-cari Ed namun tidak kudapati dia di kamar. Suaranya terdengar dari ruang sebelah. Jadi, kulangkahkan kakiku memeriksanya. Ed memang ada di sana sedang menguping ponselnya dan berbicara dengan seseorang.“Iya ini akan ke sana!” tukasnya lalu menutup panggilan, tepat ketika aku memperhatikannya.Melihat gelagatku yang sudah tidak enak, Ed kemudian menghampiriku meminta sebuah pengertian.“Tolong untuk sementara bersabarlah
“Kenapa kita bawa banyak pakaian, Ma?” Gala melihatku membawa tas ranselnya masuk ke dalam mobil.Aku belum menjawab dan Meida menandasi pertanyaan saudaranya. “Kita hanya ke tempat kerja Mama, kan?” tanyanya ikut heran.Setelah mencoba menguasai diriku, aku menoleh ke belakang tempat anak-anak manisku sudah duduk menunggu berangkat.“Nanti kita mampir ke rumah kita yang dekat alun-alun, ya? Sudah lama tidak ke sana,” ujarku mengulas senyum pada si kembar.“Boleh, Ma. Meida juga kangen Paman Parto dan Tante Lilis. Juga teman-teman di sana.” Meida terlihat tidak keberatan.“Gala juga kangen ke rumah kita yang dulu, Ma.” Gala menyahut.“Baik, tapi ke kantor Mama dulu, ya?”Aku merasa sedikit lega kedua anakku malah kesenangan kuajak ke rumah lama. Setidaknya tidak perlu ada banyak alasan untuk kembali ke sana.Sayangnya ibu masih ada acara beberapa hari ke depan dengan komunitas senam lansianya ke suatu tempat. Nantilah kalau sudah selesai acaranya aku akan menyampaikan.Tak berapa lam
“Apa?”Aku terkesiap mendengar kata-kata Tika tentang gosip itu.Kupikir selama ini sudah tidak ada gosip buruk lagi tentangku semenjak Vanka si ratu gosip itu di mutasi ke proyek yang bekerja sama dengan perusahaan lainnya.Tapi nyatanya masih juga ada.“Hubunganmu dengan Tuan Edward sudah menjadi rahasia umum, Mila. Di depanmu mereka akan memperlihatkan wajah ramah dan senyum hormatnya. Namun, di belakangmu, tetap saja namanya mereka tidak bisa berhenti bergosip. Apalagi kisah cinta segitiga kalian yang menarik untuk membuat bibir semakin gatal bergosip.”Aku pasrah kalau sudah menyangkut mental dan karakter sebagian besar teman kerjaku yang suka bergosip itu. Apalagi yang berjenis wanita. Kebiasaan itu memang sudah sejak lama ada, seharusnya aku tidak perlu terkejut.“Sebenarnya seperti apa aku di mata kalian?” tanyaku yang jadi terusik untuk bisa tahu seburuk apa mereka menilaiku.“Jangan sebut kalian, aku tidak sama dengan mereka.” Tika menandaskan bahwa dia tidak berada di kubu