Bahkan kamar luas yang hanya kutempati seorang ini, tak mampu membuatku merasa lapang.Dadaku sesak dan rasanya aku terkekang oleh keadaan yang rumit ini. Rumit karena semua juga berawal dari kepolosan sikapku sendiri.Kulangkahkan saja kakiku keluar lalu mendapati Sam duduk di depan bersama satpam.Meski setiap saat bersama kami, pria itu tidak tinggal di vila. Dia akan pulang setelah tidak ada yang harus dikerjakan, dan kembali lagi pagi sekali.Sekarang melihatnya selarut ini masih di vila, aku jadi heran.“Sam?” panggilku dan pria itu menoleh.Segera dia bangkit untuk menghampiriku.“Nyonya belum beristirahat?” tanyanya sopan.Tidak kujawab malah bertanya balik, “Kau masih di sini?”“Benar, Nyonya. Tuan Edward barusan menelpon agar saya segera datang ke vila. Saya baru baca ulang dan ternyata vila yang dimaksud adalah vila Nona Jessica.”Sam tadinya sudah berjingkat hendak pergi, tapi tertahan karena aku memanggilnya.“Jadi kau akan ke vilanya Jessica?” tanyaku lagi.Dan pria itu
“Kau bilang tidak bisa meninggalkan Jessica karena tidak ada orang di sana?” tanyaku sambil menyodorkan botol minuman.Sekesal apapun aku pada Ed, aku tidak lupa kebiasannya saat pulang.“Sudah jangan bahas Jessica lagi, aku sudah pulang sekarang,” ujarnya lirih.Kutangkap itu sebagai pernyataan setengah hati lantaran dia pulang karena terpaksa. Hatiku tiba-tiba menciut, merasai raut dingin di wajah suamiku yang baru datang itu. “Iya, maaf, Ed. Kau pasti lelah. Beristirahatlah!” tukasku mengambil botol yang baru diminumnya.Kuletakkan botol itu di meja lalu begitu saja melangkah ke sisi tempat tidur lainnya. Membaringkan tubuh dan menarik selimut untuk bersiap tidur. Melirik pria itu yang masih duduk, aku beringsut memiringkan tubuhku memunggungginya.Sudah malam juga. Lebih baik aku langsung tidur agar tidak bertambah semakin kesal. Berharap esok hari pikiranku bisa lebih jernih dan membicarakan semua hal dengan baik tanpa melibatkan ego dan emosi. “Bukannya kau memintaku pulang
“Papa, kami sudah siap!” Meida nampak tidak sabar, berteriak-teriak mencari papanya.“Gala boleh bawa hoverboard kan, Ma? Nanti kalau pengen cari mama biar tidak capek-capek jalannya.” Anak lelakiku juga tidak kalah bersemangat.“Baiklah, mama cari papa dulu, ya. Kalian tunggu di mobil saja,” tuturku pada mereka sekalian kuminta pengasuhnya membawakan bekal makanan si kembar. Tidak tahu berapa lama akan betah bermain di sana, jadi jaga-jaga saja membawa snack sehat untuk mereka biar tidak banyak jajan di luar. Meida sering alergi kalau jajan sembarangan. Kucari-cari Ed namun tidak kudapati dia di kamar. Suaranya terdengar dari ruang sebelah. Jadi, kulangkahkan kakiku memeriksanya. Ed memang ada di sana sedang menguping ponselnya dan berbicara dengan seseorang.“Iya ini akan ke sana!” tukasnya lalu menutup panggilan, tepat ketika aku memperhatikannya.Melihat gelagatku yang sudah tidak enak, Ed kemudian menghampiriku meminta sebuah pengertian.“Tolong untuk sementara bersabarlah
“Kenapa kita bawa banyak pakaian, Ma?” Gala melihatku membawa tas ranselnya masuk ke dalam mobil.Aku belum menjawab dan Meida menandasi pertanyaan saudaranya. “Kita hanya ke tempat kerja Mama, kan?” tanyanya ikut heran.Setelah mencoba menguasai diriku, aku menoleh ke belakang tempat anak-anak manisku sudah duduk menunggu berangkat.“Nanti kita mampir ke rumah kita yang dekat alun-alun, ya? Sudah lama tidak ke sana,” ujarku mengulas senyum pada si kembar.“Boleh, Ma. Meida juga kangen Paman Parto dan Tante Lilis. Juga teman-teman di sana.” Meida terlihat tidak keberatan.“Gala juga kangen ke rumah kita yang dulu, Ma.” Gala menyahut.“Baik, tapi ke kantor Mama dulu, ya?”Aku merasa sedikit lega kedua anakku malah kesenangan kuajak ke rumah lama. Setidaknya tidak perlu ada banyak alasan untuk kembali ke sana.Sayangnya ibu masih ada acara beberapa hari ke depan dengan komunitas senam lansianya ke suatu tempat. Nantilah kalau sudah selesai acaranya aku akan menyampaikan.Tak berapa lam
“Apa?”Aku terkesiap mendengar kata-kata Tika tentang gosip itu.Kupikir selama ini sudah tidak ada gosip buruk lagi tentangku semenjak Vanka si ratu gosip itu di mutasi ke proyek yang bekerja sama dengan perusahaan lainnya.Tapi nyatanya masih juga ada.“Hubunganmu dengan Tuan Edward sudah menjadi rahasia umum, Mila. Di depanmu mereka akan memperlihatkan wajah ramah dan senyum hormatnya. Namun, di belakangmu, tetap saja namanya mereka tidak bisa berhenti bergosip. Apalagi kisah cinta segitiga kalian yang menarik untuk membuat bibir semakin gatal bergosip.”Aku pasrah kalau sudah menyangkut mental dan karakter sebagian besar teman kerjaku yang suka bergosip itu. Apalagi yang berjenis wanita. Kebiasaan itu memang sudah sejak lama ada, seharusnya aku tidak perlu terkejut.“Sebenarnya seperti apa aku di mata kalian?” tanyaku yang jadi terusik untuk bisa tahu seburuk apa mereka menilaiku.“Jangan sebut kalian, aku tidak sama dengan mereka.” Tika menandaskan bahwa dia tidak berada di kubu
Setiba di depan rumah kami, aku jadi merasa sudah terlalu lama tidak berkunjung. Namun demikian rumah masih tampak rapi dan bersih. Mbak Lilis pasti setiap hari membersihkannya.Berjalan masuk dan melewati motor yang terparkir di teras, aku jadi merindukan berangkat kerja naik motor dan menikmati suasana di jalan dengan aneka peristiwa yang kutemui.Mungkin besok aku akan naik motor saja ke kantor.Lagi pula sudah tinggal sebentar lagi, aku akan kembali ke perusahaan Gema Bangun yang kantornya tidak terlalu jauh dari rumah.Kerja sama dengan perusahaan Lavidia sudah hampir berakhir mengingat proyek resortnya akan segera rampung. Sayangnya aku baru sadar, bahwa perusahaan Lavidia itu adalah milik suamiku. Dan Ed pasti tidak akan mengizinkanku bekerja di perusahaan lain.Teringat Ed, aku jadi merasa sedih lagi. Kami bahkan belum bisa menikmati kebersamaan ini dengan sempurna. Padahal kami baru saja melewati ujian yang tidak kecil selama lima tahun ini. Saat ini harus kembali diuji
Di pagi harinya, hatiku terasa hampa dan kosong mengetahui aku bangun tanpa melihat suamiku di samping.Tanganku meraba-raba nakas dan baru ingat aku memang berniat tidak mengaktifkan ponselku.Beberapa saat tercenung sambil duduk di tempat tidur, aku baru berjingkat karena merasa matahari semakin merangkak naik. Saat kakiku menapak di lantai yang dingin, kepalaku tiba-tiba terasa pening sekali. Aku bahkan butuh duduk kembali di tempat tidur karena pandanganku berkunang-kunang.“Jangan berangkat kerja, Mila, kalau kepalamu masih sakit.” Mbak Lilis yang sepagi tadi sudah datang langsung membuatkan jahe hangat. Dia tahu kepalaku sakit karena melihat pengasuh anak-anak yang kuminta membuatkan minuman hangat.“Iya, Mbak. Mila akan istirahat saja,” ujarku.Biar nanti aku pinjam ponsel Mbak Lilis untuk menghubungi Tika agar menyampaikan izinku.Lucu sekali aku ini. Itu perusahaan suamiku tapi aku malah meminta tolong temanku untuk mengizinkanku.Teringat suamiku, ada rasa terluka karena
Setelah sarapan rasa pening di kepalaku sudah berangsur menghilang.Pasti karena pola makanku berantakan beberapa hari ini jadi gula darahku pagi ini turun sehingga kepalaku terasa pusing.“Mama sudah tidak pusing lagi?” Anak lelakiku nampak mencemaskan mamanya.“Enggak, Sayang. Mama sudah sehat habis sarapan tadi,” jawabku karena memang sudah jauh lebih baik.“Berarti Mama lapar itu,” tukas Gala lagi.“Iya kali, Sayang. Semalam Mama makannya sedikit.” “Lain kali makan yang banyak ya, Ma. Jangan sakit, nanti Gala dan Meida sedih.”Kupeluk Gala dan aku juga menjadi sedih.Jangan sampai hanya perkara kami ribut mental anak-anakku menjadi taruhannya.Seringnya dulu mereka hidup dengan kesederhanaan yang tak luput atas ejekan orang karena kondisi tanpa kehadiran seorang ayah.Lalu, kehadiran Ed membuat kepercayaan diri mereka perlahan bangkit.Di mata si kembar sosok papanya adalah superhero yang menyulap kehidupan mereka jauh lebih baik.Jika tiba-tiba keadaan yang buruk ini terus berl
“Sayang kau dari mana?” tanyaku melihatnya datang bersama beberapa perawat.Padahal sudah ada tombol darurat yang bisa dipencet untuk memanggil mereka. Bagaimana pria ini malah keluar untuk memanggil mereka secara manual? Pasti saking paniknya tadi.Dan lagi sekarang dia malah terlihat memarahi perawat itu.“Harusnya kalian memberinya obat anti nyeri. Apa tidak tahu istri saya sampai kesakitan begitu?”“Pemberian injection anti nyeri juga harus sesuai perintah dokter, Tuan. Kami tidak berani memberikannya lagi pada Nyonya karena tadi sudah kami berikan. Nanti ada waktunya lagi,” jelas salah seorang perawat pada Ed. “Tapi istri saya kesakitan, lho!” Ed masih terlihat kukuh.Kutarik lengannya agar dia bersikap lebih santai.Ada apa dengannya? Biasanya dia cuek dan santai-santai saja. Melihatku sedikit meringis saja sudah panik begitu. “Ah maaf, Sus. Tadi hanya sensasi rasa perih di area jahitan. Tapi sekarang sudah tidak, kok. Maaf, ya? Suami saya sedikit berlebihan tadi.”***Dua har
“Sayang?” suara Ed kudengar dan aku membuka mataku menatapnya yang terlihat cemas.“Ed? Kapan selesai operasinya? Aku sudah tidak sabar ingin tahu anak-anakku,” tukasku menggenggam balik tangan yang menggenggamku itu. Ed tersenyum meski pias wajahnya tampak lelah sekali. Dia membelai rambutku dan mencium keningku.“Operasinya sudah selesai sejak tadi, Sayang. Dokter bilang kau hanya tidak tahan dengan efek obat bius yang disuntikkan padamu.”“Ya Allah, Ed. Kasihan anak-anakku tidak bisa inisiasi menyusu dini.” Aku mencoba bangkit tapi Ed menahanku.“Tenanglah, Mila. Kau baru saja dipindah dari ruang pemulihan. Jangan banyak bergerak dulu.”“Tapi bayi-bayiku?”“Kata dokter tidak apa-apa, kok. Yang penting pulihkan dulu keadaanmu.”“Iya, tapi bayi-bayiku mana, Sayang?”Aku tentu ingin melihat mereka.Bagaimana bisa aku terlelap dengan damainya, bahkan tidak bisa mendengar suara jeritan pertama buah hatiku?Padahal, bisa mendengar suara mereka pertama saat terlahir ke dunia ini adala
Aku terbangun dengan sedikit terkejut melihat sudah tidak berada di mobil lagi.Ed sudah menggendongku ke apartemennya.Ini adalah kamar pertama kali dia mengajakku ke tempatnya pasca kami menikah dulu. Saat itu aku terkejut dan sampai menendangnya hingga terjungkal ke lantai.“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya sembari memelukku.Aku tidak tahu kalau Ed ternyata sejak tadi berbaring di sampingku dan memperhatikanku. “Aku hanya ingat saat pertama kau membawaku ke sini, Sayang.” Kumiringkan tubuhku untuk bisa menghadapnya.“Oh, benar. Apa yang membuatmu menarik senyum?”“Banyak. Tentang aku yang terkejut karena kau ternyata tinggal di tempat mewah ini sementara yang kutahu kau hanya seorang sopir truk. Juga tentang kau yang selalu curi-curi cium padaku.”Ed tertawa mendengar secuil ingatanku tentang saat-saat pertama kebersamaan kami sebagai suami istri. Tangannya sudah membelai pipiku dan menatapku dengan penuh binar cinta. Dia juga pasti berendezvous dengan masa-masa itu.“Saat itu pe
“Tante?!” ujarku antara ragu dan terkejut.Wanita itu melototiku tanpa berkedip. Membuat Ed langsung merangkulku cemas kalau-kalau wanita itu malah akan menyakitiku.Seperti biasa, saat merasa ada sesuatu yang membahayakan kami seperti ini, dua orang datang untuk mengambil tindakan. “Mila... Kamila?!” wanita itu langsung bersimpuh dan menangis di kakiku.Ketika dua pria misterius itu hendak menyingkirkannya, aku menahannya.Ed memberi isyarat agar pria itu membiarkan dulu sembari mengawasinya.“Mila, maafkan aku, Mila. Maafkan tantemu yang jahat ini!” isak wanita itu yang kini aku seratus persen yakin kalau itu adalah Tante Desi.Kulepaskan rangkulan Ed agar aku bisa membantu tanteku itu bangkit dari posisi bersimpuhnya di kakiku. Sungguh aku tidak nyaman sekali dengan hal itu. Ed melepasku namun tetap waspada. Cemas saja kalau wanita itu tiba-tiba akan menyakitiku.Ed tahu bagaimana sepak terjang Tante Desi. Dia jugalah yang bertanggung jawab membuat kami terpisah dalam kesalahp
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar
Aku terkejut melihat Niko yang ada di tempat yang sama dengan kami. Dia tidak sendiri tapi bersama seorang wanita dan itu bukan Ceryl. Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk kami.Mau apa dia di sini? “Sopir truk? Kau yakin dia seorang sopir truk?” tanya wanita itu.Siapa juga yang percaya kalau suamiku yang tampan dan rapi dipanggil sopir truk oleh pria yang tidak tahu malu ini.Tidak tahu malu karena barusan sudah merencanakan hal buruk dengan mengirim perempuan ke suit pribadi kami dan berniat mengacaukan Ed.Untung aku yang lebih dulu sampai jadi mereka tidak punya kesempatan memanipulatif keadaan.Jangan-jangan dia di sini juga karena ingin memastikan rencananya berhasil.Sudah tahu atau belum kalau rencananya tidak berjalan dengan baik?Entahlah, dibawa ke mana dan diapakan dua wanita tadi oleh asisten suamiku.“Hallah, jaman sekarang apa yang tidak mungkin. Pemulung memakai baju mahal sudah banyak. Justru orang kaya yang sebenarnya malah berpenampilan apa adanya.” Niko me
“Sam yang akan mengurusnya,” tukasnya setelah menelpon Sam beberapa saat yang lalu.“Aku tidak mengerti?” aku masih belum puas dengan jawaban Ed. Dia tidak menjelaskan banyak hal padaku.“Temanmu itu pasti kesal karena investornya banyak yang berpindah ke perusahaan kita. Jadi, mungkin dia marah dan ingin berbuat ulah denganku. Apalagi saat ini bisnisnya mulai tersudut dengan banyaknya korban investasi yang melapor penipuan investasi bodong itu,” jelas Ed.Dan aku memang baru mendengar hal itu setelah beberapa bulan ini sama sekali tidak memikirkan tentang kejadian itu. Pasti Ed sengaja meminta Sam membuat kacau bisnis Niko karena sudah mencoba melecehkanku. Tentang investor yang banyak berpindah ke perusahaan Lavidia aku pikir hanya trik saja dan bukannya sedang membutuhkannya.Kasihan sekali kalau benar itu terjadi. Dia baru saja bisa unjuk gigi dengan julukan crazy richnya. Istrinya yang matre itu pasti sekarang sangat kecewa padanya. Sayangnya aku sudah tidak lagi ada di group
“Siapa kalian?” tanyaku pada dua wanita itu sembari berkacak pinggang. Napasku sudah naik turun dan untuk sesaat aku hampir ingin berteriak-teriak menyerang mereka. “Saya hanya disewa untuk melayani pemilik hotel ini, Anda siapa?” ujar wanita itu yang dengan berani malah bertanya balik padaku.Pria yang katanya asisten baru itu tidak berani menyela dan memilih keluar.Biarlah. Biar dia memanggil bosnya agar cepat datang ke tempat ini dan melihat bahwa aku ada di tempat di mana dia sedang menyewa dua wanita ini untuk menghiburnya.Keterlaluan dia!Apa sangat tidak tahannya hingga menyewa dua wanita ini untuk memenuhi napsunya?!“Pekerjaan kami hanya melayani pria yang sudah membayar kami. Kalaupun Anda adalah kekasih atau istrinya, tolong hargailah pekerjaan kami,” ujar wanita satunya yang malah membuat isi kepalaku bertambah semrawut.Eh. Apa dia kata?Sadar atau tidak dia ngomong seperti itu?“Mana ada seorang istri yang harus menghargai pekerjaan orang yang ingin melayani suamin