Kubaca pesan itu sekali lagi lalu kuputuskan untuk menghapusnya dari riwayat pesan di kotak masuk ponsel Ed.Tiba-tiba sisi posesifku muncul dan inginnya berbicara dengan wanita yang mengirim pesan itu dulu sebelum akhirnya aku membahas hal ini dengan Ed.Aku memang wanita pencemburu, tapi aku punya hati nurani dan perasaan. Tidak ingin dikata egois dengan menutup mata atas apa yang dialami Jessica. Buktinya, aku masih merelakan suamiku menemaninya walau aku sendiri merana di rumah.Karena itu, inginnya kami bicara dari hati ke hati sebagai wanita dengan menanyakan, tidakkah cukup bagi mereka mendapatkan perhatian dari suamiku yang tidak kularang memberikan dukungan dan waktunya, sementara membiarkanku makan hati di rumah sendiri? Mengapa masih juga ingin hal yang lebih dengan memintanya menikahi Jessica? Kakiku sudah keluar dari taxi yang mengantarku ke rumah sakit tempat Jessica di rawat. Sudah kutimang-timang, akhirnya aku memberanikan diri mengajaknya bertemu. Semoga aku bisa
Drrrtttt.... Drrrtttt...Bunyi ponselku di atas meja yang sejak tadi tidak kusentuh. Hatiku galau sekali setelah mendengar sebuah kenyataan itu. Hingga enggan menjawab panggilan dari siapapun. Apalagi dari Ed.Terus terang aku masih sangat belum siap mengambil sikap apapun. Tapi semua berpacu dengan bom waktu yang tidak tahu kapan akan meledak.“Permisi, Bu Kamila, ponselnya sejak tadi terus bergetar.” Nanda membuyarkan lamunanku.“Oh, iya, Nda. Makasih!” ucapku kemudian baru mengangkat panggilan itu agar tidak mengganggu lainnya.“Ada apa, Sayang? Kau masih di kantor ‘kan?” suara Ed yang terdengar cemas.“Iya, ini masih di kantor. Kau masih di proyek?” tanyaku padanya mencoba mengatur nada suaraku agar terkesan tidak terdengar sedih.Ed terkadang bisa sejeli itu. Ketika tidak terganggu dengan fokus yang lain, sedikit perubahan dariku saja akan membuatnya terus mendesak agar aku jujur padanya.“Ini sudah mau balik, setelah ini kan ada acara sama anak-anak. Jadi aku akan menjemputmu
“Kalau mama capek, Gala bisa kok main sendiri,” tukas Gala yang akan masuk arena boom-boom car tapi malah menahanku di garis masuk.Ed yang sudah memangku Meida di mobil kecil itu memperhatikan kami. Melihat Gala hanya seorang diri menaiki mobil mainan itu, dia jadi heran kenapa aku tidak ikut main. “Gala yakin bisa sendiri, Nak?” tanya Ed yang kudengar.“Aman, Pa.”Dan saat permainan berlangsung, aku hanya duduk di sekitar arena boom-boom car sambil memandangi keseruan mereka. Dua bocahku itu terlihat heboh sekali. Apalagi ketika mobil mereka bertabrakan, Gala dan Meida malah tergelak senang.Resah hatiku kembali terkulik, apa aku rela membagi kebahagiaanku ini dengan wanita lain?Meskipun dikata bahwa Jessica tidak bisa bertahan lebih lama, tapi itu adalah perkiraan manusia. Tidak ada yang tahu ke depan bagaimana.Dan aku sama sekali tidak memahami perasaanku sendiri.Padahal beberapa waktu yang lalu aku bahkan sudah mengihklaskan jika saja suamiku akan menikahi Jessica. Tapi
“Jangan buka matanya dulu, Sayang!” Ed masih menutup mataku dengan kedua tangannya saat kami sudah di depan pintu hotelnya. Aku tidak tahu kejutan apa yang akan dia berikan padaku?Ini bukan tanggal yang istimewa. Bukan tanggal lahirku, tanggal pernikahan, tanggal lahir anak-anak, juga bukan merupakan tanggal lahir Ed.Lalu, dalam rangka apa kejutan ini?“Sudah boleh dibuka belum?” tanyaku setelah dibimbing masuk oleh Ed.“Boleh!”Begitu mataku terbuka, kulihat kamar tidur yang dihias bunga mawar petal membentuk tanda cinta di atas spreinya terpampang di depan mataku.Lampu kamar pun dimatikan dan hanya ada cahaya dari beberapa lilin menjadikan suasana romantis sungguh terasa lekat.Kulirik Ed yang memelukku dari belakang karena belum bisa mengingat, dalam rangka apa dia memberi kejutan?Dengan polosnya Ed menjawab, “Memangnya kalau bikin kejutan itu harus ada momen penting begitu?”“Biasanya memang begitu ‘kan?” ujarku menatapnya heran. Dia pasti asal membuat kejutan ini tanpa ad
“Bhahaha! Kau ini kesambet setan apa, Mila?”Ed tertawa mendengar apa yang barusan kusampaikan padanya.Padahal butuh effort lebih agar aku bisa mengucapkan hal yang sangat riskan itu padanya dengan segenap tekad dan keseriusanku.Ternyata pria ini malah tergelak. Sangat tidak sepadan dengan cemas yang membelengguku sejak tadi. Sungguh aku kesal sekali padanya.“Jangan bercanda, Ed! Aku sungguh-sungguh,” ujarku masih menatapnya dengan serius.“Aku tidak pulang semalam saja kau sudah kelimpungan tidak jelas. Bagaimana bisa kau sok menantangku menikahi Jessica?” Ed sudah menghentikan ketawanya, namun aku bisa menangkap pria ini masih menganggap ucapanku hanya kekonyolan belaka.“Keadaannya beda, Ed. Jessica itu sakit. Dia ingin kau menikahinya hanya untuk bisa membuatnya menjalani hari-hari terakhirnya dengan tenang.”Ed hanya menatapku dengan tertawa kecil, “Darimana kau seyakin itu akan keadaan Jessica, Sayangku?”“Aku sudah menemui dokternya, Ed.”Ed menatapku dengan sebuah keheran
“Pernikahan siapa itu yang dibahas, Mila?”Pertanyaan ibu tentu juga membuatku membeku.Aku bahkan tidak mendengar apapun dari Ed tentang sebuah pernikahan. Apa dia sudah berubah pikiran untuk menikahi Jessica?Tiba-tiba ada rasa tersayat di dadaku mendengarnya.Padahal dulu akulah yang sempat menawarkannya agar menikahi Jessica. Lalu mendengar secara diam-diam kemungkinan Ed menikah dengan Jessica, hatiku ternyata seterluka ini.Ini, bukan karena keputusannya yang menikahi Jessica.Tapi, karena Ed sama sekali tidak membicarakan apapun denganku tentang masalah ini.Dan itu sudah sangat menyinggungku sekali.“Nanti Mila tanyakan ya, Bu. Sekarang ibu istirahat saja di kamar. Ingat, kondisi ibu itu sudah berbeda dengan dulu. Harus benar-benar dijaga kesehatannya.” Aku mengelus bahu ibu dan membujuknya agar tidak berpikir yang bukan-bukan. Ibu pasti akan mencemaskanku. Setelah mengantar ibu ke kamarnya, langkahku jadi mengendur karena kembali teringat tentang kata-kata pernikahan itu.Tid
Bahkan kamar luas yang hanya kutempati seorang ini, tak mampu membuatku merasa lapang.Dadaku sesak dan rasanya aku terkekang oleh keadaan yang rumit ini. Rumit karena semua juga berawal dari kepolosan sikapku sendiri.Kulangkahkan saja kakiku keluar lalu mendapati Sam duduk di depan bersama satpam.Meski setiap saat bersama kami, pria itu tidak tinggal di vila. Dia akan pulang setelah tidak ada yang harus dikerjakan, dan kembali lagi pagi sekali.Sekarang melihatnya selarut ini masih di vila, aku jadi heran.“Sam?” panggilku dan pria itu menoleh.Segera dia bangkit untuk menghampiriku.“Nyonya belum beristirahat?” tanyanya sopan.Tidak kujawab malah bertanya balik, “Kau masih di sini?”“Benar, Nyonya. Tuan Edward barusan menelpon agar saya segera datang ke vila. Saya baru baca ulang dan ternyata vila yang dimaksud adalah vila Nona Jessica.”Sam tadinya sudah berjingkat hendak pergi, tapi tertahan karena aku memanggilnya.“Jadi kau akan ke vilanya Jessica?” tanyaku lagi.Dan pria itu
“Kau bilang tidak bisa meninggalkan Jessica karena tidak ada orang di sana?” tanyaku sambil menyodorkan botol minuman.Sekesal apapun aku pada Ed, aku tidak lupa kebiasannya saat pulang.“Sudah jangan bahas Jessica lagi, aku sudah pulang sekarang,” ujarnya lirih.Kutangkap itu sebagai pernyataan setengah hati lantaran dia pulang karena terpaksa. Hatiku tiba-tiba menciut, merasai raut dingin di wajah suamiku yang baru datang itu. “Iya, maaf, Ed. Kau pasti lelah. Beristirahatlah!” tukasku mengambil botol yang baru diminumnya.Kuletakkan botol itu di meja lalu begitu saja melangkah ke sisi tempat tidur lainnya. Membaringkan tubuh dan menarik selimut untuk bersiap tidur. Melirik pria itu yang masih duduk, aku beringsut memiringkan tubuhku memunggungginya.Sudah malam juga. Lebih baik aku langsung tidur agar tidak bertambah semakin kesal. Berharap esok hari pikiranku bisa lebih jernih dan membicarakan semua hal dengan baik tanpa melibatkan ego dan emosi. “Bukannya kau memintaku pulang