Berdiri di depan sebuah bangunan reyot yang tidak tampak layak untuk ditinggali. Sepasang suami istri yang baru saja resmi menikah itu saling beradu pandang.
Kebaya putih dan wiru cokelat dengan belahan di sisi kiri masih melekat di tubuh sang pengantin wanita. Riasan di wajahnya terlihat memudar oleh keringat.
“Sementara kita tinggal di sini dulu, ya? Sampai aku dapat kerja yang lebih baik,” tukas pria berpotongan rambut cepak itu. Tangannya bertaut menggenggam jemari lembut nan kecil milik Dara, istrinya.
Perempuan itu mengangguk. “Kurasa ini sudah cukup baik untuk bernaung di bawah terik panas matahari dan badai saat hujan, Mas.” Tidak masalah di mana pun dia tinggal. Ia pernah tinggal di tempat yang lebih buruk dari tempat itu.
Raka, pria itu mengembangkan senyum. Ia lantas menyeret langkah beriringan dengan sang istri guna memasuki bangunan yang tidak lebih dari enam kali lima meter2 itu.
Tuas pintu didorong masuk dan suara derit menyedihkan mereka dengar. Aroma apak menyeruak menusuk penciuman keduanya. Spontan Raka melepaskan genggaman tangannya dari Dara dan mengibaskan telapak tangan di depan muka, mengusir bebauan yang asing di hidung.
Sorot matanya meliar, memindai setiap sudut yang ada di tempat baru. Kamar mandi berada tepat di sebelah dapur. Satu kamar tidur di sisi kiri pintu masuk dengan ukuran yang tidak terlalu besar, juga tidak terlalu sempit. Cukup untuk tidur keduanya. Kemudian tidak ada lagi sekat antara jalan menuju dapur dan juga ruang tamu.
Jendela dengan bingkai kayu usang dengan kaca buram di tengahnya yang— mungkin fungsinya untuk mengintip penunjung, persis berada di sebelah kanan pintu utama.
Dara menggigit bibir bawah bagian dalam. Tangannya terasa keram. Ia meletakkan tas jinjing yang sudah dia tenteng sejak pulang dari KUA tadi. Lantas ia menjauh dari pintu. Menjelajah ruangan sempit yang akan menjadi tempat berpulang.
“Kita akan buat rumah ini nyaman, Mas. Mungkin sedikit polesan cat bisa membuatnya lebih segar,” tukas Dara. Tangannya menggeser tirai anti air sebagai pengganti pintu kamar mandi.
“Tentu. Warna apa yang kau mau?” Raka melongok meniti bakal kamar tempatnya rehat kala balik dari penatnya bekerja.
“Sepertinya kita tidak butuh cat. Kita plamir saja, biar lebih hemat. Toh, fungsinya juga sama saja kan?”
Raka mengangguk tanpa menoleh ke arah Dara. Matanya masih sibuk mengawasi tembok-tembok penuh dengan lubang di depannya. Bahkan ada sudut yang lembab.
Jelas saja dia setuju dengan gagasan itu. Uangnya hanya tersisa lima ratus ribu. Tidak ada harta lagi di koper yang diseretnya ke mana-mana sejak tadi. Hal tragis dalam hidupnya baru saja terjadi. Berdalih dengan pernikahan ini penderitaannya akan musnah.
Dara duduk di sisi dipan dengan kasur tipis tanpa seprei berwarna biru. Memuntahkan isi dalam tas hitam berukuran sedang itu, kemudian disusun pada lemari plastik yang sudah disediakan oleh pemilik gubuk.
“Mas, maafkan aku. Karena aku kamu harus mengalami hal ini,” sesal Dara. Ia menghentikan aktivitasnya dan meraih vieny hand sang suami, mengisi sela-sela kosong di sana.
Raka menimpuk punggung tangan Dara lalu meremasnya lembut. “Ini pilihanku. Jadi— tidak perlu ada yang disesalkan. Setiap pria dewasa pasti akan menentukan pilihannya. Dan pendirianku berakhir bersamamu, Da. Jadi tolong jangan buat aku kecewa telah memilihmu,” timpal Raka dengan binar mata penuh pengharapan.
Tanpa kau minta, aku juga tidak berniat meninggalkan bahkan menyiakanmu, Mas. Kita akan berjuang bersama mulai hari ini, batin Dara.
“Aku yakin, mereka memaafkan kamu, Mas. Kamu anaknya, satu-satunya lagi. Jadi, jika ada waktu luang kamu boleh mampir ke rumah ibu dan ayahmu,” balas Dara. Sekarang ia rebahkan kepalanya di bahu suaminya. Gelar yang baru dua jam disandang laki-laki dengan tinggi seratus tujuh puluh sentimeter itu.
“Sudahlah, aku tidak berniat membahas mereka lagi. Kalau sudah diusir, berarti mereka memutus kontak denganku. Aku tidak mau mengemis. Selama ini aku sudah menurut sepanjang usia anak-anak, remaja hingga, dua puluh lima tahun, Da. Kemudian, tiga tahun berikutnya saat aku mengenalmu dan meminta izin menikah bersamamu, jawaban mereka apa? Malah ngusir aku dan menghinamu.”
Terdengar jelas emosi yang kuat di nada bicaranya. Bagaimana tidak, dia sudah terus menuruti apa saja pinta orangtuanya. Namun, satu permintaannya justru berakhir dengan— ya, pengusiran.
“Mereka tetap orangtuamu, Mas. Pelan-pelan, ya. Aku yakin kalau—”
“Aku lapar. Sebaiknya kamu beli mie,” sela Raka memutus obrolan. Sungguh dia muak jika membahas tentang kejadian pagi tadi.
Lagi, Dara mengangguk. Ia menarik diri dan menatap wajah Raka yang sekarang sibuk sudah berdiri membelakangi tubuhnya. Dia tahu bagaimana perasaan pria itu. Marah, kecewa, sedih, bahkan mungkin juga menyesal.
Satu tahun terlewat. Bukan hal mudah bagi Dara menjalani kehidupan penuh dengan luapan emosi setiap harinya. Tidak sampai satu bulan hubungan harmonis yang menjanjikan itu. Nyatanya setiap waktu Dara dan Raka bisa saja memiliki pendapat yang bertentangan.“Kamu di mana, Mas? Ini sudah jam sembilan, kenapa belum pulang juga?” tanya Dara dengan suara lembut. Dia lelah bertengkar dan harus terus menunggu sang suami pulang larut sepanjang waktu 24x7.“Dua jam lagi aku balik, Da. Kamu tidur dulu saja, nggak usah nunggu aku balik.”“Tapi, Mas. Aku—” panggilan terputus tanpa Dara mampu menyelesaikan kalimatnya.Gadis itu mengusap wajah gusar. Ada desir perih dalam perutnya. Ia kembali membuka dompet yang teronggok di meja. Sudah puluhan kali dia membukanya dan mendapati hal yang tidak akan berubah. Sama sekali tidak dilihat uang di sana. kecuali koin lima ratus rupiah untuk penunggu.“Ck! Sampai mata belekan juga nggak bakal beranak kan duit ini,” gerutunya. Ia kembali melempar dompet bewarna
“Besok tidak perlu datang, ya. Ibu ada pertemuan dengan kakak Bina Karya, jadi kalian libur kalau ada kesulitan bisa langsung chat ibu,” tutur Dara.Ia menatap satu persatu anak didiknya. “Baik, Bu.” Serempak. Sepuluh murid remaja tanggung itu mengemas semua buku dan bersiap pamit mencium punggung tangan Dara.Memberikan jam tambahan belajar bagi anak-anak tingkat sekolah dasar. Pekerjaan sampingan yang— apa saja dia lakoni demi menunjang kehidupan bersama dengan Raka.Gadis itu melirik jam yang lekat di dinding. Senja sudah menyambutnya. Ia mengintip di balik kaca buram yang ada di kanan pintu, melihat apakah hari ini ada keajaiban untuk Raka?Desahan kecewa kudu ditelan gadis dua puluh enam tahun itu. Berjalan ke kursi kayu dan memutuskan untuk mengetik naskah yang dia garap. Melupakan pertengkaran yang semalam seperti berputar dalam ingatan.“Kamu menamparku, Mas? Sejak kapan, kamu tega lakukan ini?” Suara Dara bergetar. Dia terkejut dengan kemajuan perilaku Raka yang semakin hari k
Di saat Senin sampai Sabtu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, seharusnya Minggu bisa menjadi waktu yang tepat bagi Dara dan Raka menghabiskan waktu bersama. Minum teh di pagi hari, bercengkerama membahas kehidupan yang mereka jalani sampai petang datang. Namun—“Mas, ini Minggu lho. Apa kudu kerja juga? Lembur sampai segitunya, kamu,” protes Dara masih dengan nada yang paling lembut yang dia miliki.Matanya mengedip berulangkali untuk menanti jawaban dari sang suami yang sorot penglihatannya fokus pada layar laptop di depannya.“Mas,” rengek Dara yang sudah berpindah duduk di sampingnya. Meraih tangan sang suami dan bermanja mendaratkan kepala pada bahu Raka.“Mas, kamu nggak pengen sentuh aku, gitu? Kita udah lama nikah, kamu belum pernah tiduri aku, lho. Kamu nggak kepingin? Atau aku nggak menarik, ya di matamu?”Hening, tidak ada yang terlontar dari mulut Raka. Hanya suara debum jari yang memukul balok-balok ceper di keyboard.Dara menggembungkan kedua pipinya. Sungguh dia bosan.
Jarum pada jam di dinding tertuju di angka tiga. Kebosanan melanda hidup Dara semenjak keputusannya menikah. Awalnya dia mengira bahwa ini perjuangan. Namun, setahun terlepas, mulai terasa bahwa ini memang kebodohan. Gadis dengan tinggi seratus enam puluh sentimeter itu, duduk di ruang tamu. Menghadap ke pintu. Mengubah tatanan kursi yang semula menghadap tembok. Dia benar-benar mencari kesibukan untuk mengalihkan pikirannya yang semerawut. Kemudian ia buka lagi laptopnya. Berkelit dengan cerita yang digarap sejak sebulan lalu. "Ini hal konyol yang sebetulnya, Dara," cecarnya pada diri sendiri. "Lihat! Orang di luar sana mengagumi bagaimana kau begitu mahir menata diksi tentang bagaimana seorang pria menjamah wanitanya. Sementara kamu sendiri merasakan sensasinya saja tidak pernah! Dusta apa lagi yang kamu ciptakan, huh?" kesalnya pada diri sendiri. Ia sempatkan untuk membaca setiap komentar. Dia balas dengan ungkapan terima kasih. Dan— di sinilah Dara sekarang. Merenungi
Brak! Suara dentum keras yang membuat tubuh Dara tersentak rasa kaget, sehingga pelukan erat mimpi indah itu segera menguar. Mata yang sebelumnya terpejam, seketika melebar dengan denyut di kepala yang terasa menyakitkan. Dara baru saja bermimpi? Namun mimpi itu begitu menghanyutkan perasaannya. “Mas? Syukurlah kamu pulang. Mau aku didihkan air untuk mandi?” tawar Dara. Ia bangkit dengan memegang sebelah kepalanya. Menarik paksa kesadaran dari nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Tangannya terulur hendak meraih lengan Raka, tetapi lekas ditepis oleh pria itu. “Nggak usah. Aku capek, mau tidur!” sungutnya dan mulai merangsek ke kamar. Di tempatnya Dara menatap punggung lebar yang dalam mimpi tadi dipeluknya dengan erat. Bukankah yang barusan adalah mimpi paling nyata? Mirisnya bahkan di dalam bunga tidur pun, Dara tidak ditakdirkan untuk melakukan hubungan indah sebuah penyatuan. Pandangannya kini beralih pada pintu yang salah satu engselnya terlepas. Dengusan napas frustasi kelu
Perang dingin terjadi sudah tiga hari. Dara tak lagi menawarkan apa pun pada pria yang hanya menumpang tidur di rumah itu. Keputusan bulat sudah Dara buat. Gadis berambut sepinggang itu menarik napas sangat-sangat dalam. Mengubur perasaan kecewa dan malu beberapa hari lalu untuk keberhasilan misinya. Ia raih ponsel yang teronggok tanpa nyawa di meja. Menekan nomor milik suaminya dan menantikan panggilan terjawab di seberang sana. "Terus aja gitu, awet banget kalau marah," omelnya. "Sabar Dara, kuatin sampe kamu tahu alasannya," sambungnya. Tangan lentik itu menyahut topi di lemari, memakainya dan memesan ojek guna mengantarnya ke kantor di mana sang suami bekerja. Jarum jam sudah tertuju di angka sembilan. Tapi, seperti biasa pria itu belum juga kembali. Setengah jam perjalanan di tengah hawa dingin yang merambat di sekujur tubuhnya. Dara mengencangkan pelukan jaket dan menatap gedung setinggi tiga lantai di hadapannya. "Ada yang bisa dibantu, Mbak?" Suara yang mengejutkan Da
Udara dingin menelisik masuk melalui kisi-kisi jendela kamar, Dara. Gadis itu menggigil, giginya bergemeltuk. Malam ini, untuk kesekian kalinya Raka berdusta padanya. Segala ucapannya memang tidak bisa dipercaya.“Aku tidak pernah tahu ke mana kapal kita berlayar, Mas. Kamu membuat semuanya semakin nggak jelas,” gerutunya dengan mata terpejam tetapi pikirannya kalut.Dipeluk oleh hawa yang nyaris membeku dan rasa kesal serta kantuk yang menderanya dengan berat. Akhirnya kesadarannya Dara lenyap. Gadis itu terlelap dan kembali mimpi indah hadir kembali. Tubuhnya bergerak maju mundur sendiri seolah membalas sodokan dari sang suami. Hingga tubuhnya terjerembab di atas lantai.“Akh!” pekiknya. Seketika hal indah dalam impiannya memudar seperti hujan guntur di luar yang membawa pergi semangat pagi para penghuni bumi.“Sial! Benar-benar biadab. Bisa-bisanya masih saja mimpi seperti itu. Bangun Dara! Andai kata Raka tidak mau menyentuhmu, banyak laki-laki di luar sana yang sudi, kan?”“Hah?!
Dara mendekati suaminya, senyum di bibirnya tidak luntur sedikit pun. Bahkan masih dengan menggunakan handuk untuk menutup tubuhnya yang tampak indah itu.“Mas! Ini ada apa, sih? Kamu— hari ini kamu buat aku bahagia,” ucap Dara. Ia duduk di kursi kayu tepat di ruang tamu. Tempat dia biasa makan dan juga mengerjakan seluruh naskah yang digarap.“Emang salah, ya? Kemarin kamu minta waktuku, kan? Sekarang masih diprotes lagi?” Tangan lentik milik suaminya itu sibuk memindahkan makanan yang sudah ia pesan ke piring. Membiarkan Dara mengawasi segala tindak tanduknya.“Ya, enggak, sih. Aku senang. Bahkan kalau kamu sampai tetap diam aja, aku punya pikiran akan mata-matai kamu. Maafkan, aku,” sesal Dara. Bibirnya manyun dan Raka tersenyum melihatnya.“Maaf, ya sudah buat kamu khawatir. Setelah ini, aku tidak akan pulang larut malam. Aku janji.”“Serius, Mas?” Raka mengangguk dan ia berjalan ke belakang tubuh istrinya. Ia merunduk dan juga melingkarkan kedua tangannya melewati bahu Dara. Ia d
Selama ini dia hidup serba ada, serba bisa tetapi, siapa yang sangka bahwa anaknya berjuang mati-matian untuk bertahan hidup dan mempertahankan kehidupan. Berjuang menemukan sebuah kebahagiaan."Bisakah kita membuat janji dengannya? Aku tidak sabar bertemu dengan Prilly, Wisnu," lirih Veily."Bersabarlah, Sayang. Panggil dia Dara sampai kita berhasil meyakinkan kenyataan ini. Sepertinya kita butuh bantuan Abby untuk ini, aku yakin saat ini mereka bersama," tutur Wisnu."Sebaiknya jangan beritahu Abby sebelum kalian memberitahukannya pada Dara. Kalian bisa bayangkan kalau Dara tahu lebih lama ketimbang Abby? Ayolah, kalian pasti bisa merasakannya," sela Faiz. Apa yang dikatakannya bukankah benar, memang seharusnya mereka memberitahu Dara baru Abby, bukan terbalik, jika tidak ingin Dara kian kecewa.Entah bagaimana tanggapan wanita itu nanti, Wisnu dan Veily hanya berharap bahwa Dara menerima juga memaafkan keduanya.**Sebuah mobil silver ber
[Aku kirim sesuatu ke rumah, pakai untuk malam nanti, ya. Aku akan jemput pukul tujuh] begitulah isi pesan yang diketik oleh Abby pada Dara. Kini wanita yang tengah beristirahat di ruang guru tersebut hanya mampu cengar-cengir membayangkan pertemuan mereka setelah tiga hari. Dara selayaknya seorang remaja yang jatuh cinta, astaga memalukan! Namun, adakah kata memalukan untuk sebuah cinta? Bahkan cinta itu menuntun pada hal gila, bukankah begitu?Dara hanya membalasnya dengan satu kata, okay' kemudian dia kembali mempersiapkan materi yang akan dia berikan untuk anak didiknya di pelajaran yang akan datang. Dara juga perlu mempelajari banyak hal di sekolah itu. Mengenal seluk-beluk, apa yang diizinkan juga tidak diizinkan. Mengenal pada guru dan juga mengenal murid yang ada di sana.Sementara di sisi lain kota yang jauh dari hiruk-pikuk suara kendaraan, Wisnu dan Veily melongo hampir tidak percaya dengan yang dia lihat. Veily tidak henti-hentinya menitikan air ma
"Hai! Selamat pagi!" sapa Dara, dia berjalan menuju mejanya dan meletakkan tasnya, tanpa duduk. Berdiri di samping meja yang cukup keren di matanya.Suara balasan dari mereka sungguh membuat Dara bersemangat, mereka ramah dan mungkin remaja brutal tidak akan ada di sana, kecuali kekasihnya yang selalu bersikap demikian. Dara mengulas senyumnya ketika mengingat tiga hari dia bahkan belum bertemu dengan pria itu."Okay, saya rasa kalian sudah tahu kalau saya adalah Sandara. Guru bahasa kalian, ini adalah jam pertama untuk saya jadi, ada yang mau memulai kelas?" Dara menatap mereka satu persatu. Kagum, pakaian bersih, rapi, dan berseragam lengkap. Mereka semua cantik dan rupawan."Mulai dengan perkenalan, Bu. Bagaimana jika hari ini sedikit santai, agar kami mengenal guru terbaik kami," teriak salah satu murid yang duduk di barisan tengah dari depan pun dari samping."Okay, apa perlu membuat kartu nama layaknya anak paud?" Mereka tertawa dengan pertanyaan ya
Wisnu terus membeberkan mulai dari kelahiran, penyakit Cloe dan juga sampai kejadian Cloe menikah dan meninggal. Juga permintaan maaf karena saat Cloe ada di Indonesia dalam waktu yang cukup lama mereka bahkan tidak pulang ke Indonesia. Sungguh mungkin banyak orang mengira bahwa mereka orang tua yang pilih kasih, tidak adil juga menyebalkan. Namun, keduanya terus bercerita setiap kendala yang terjadi, bagaimana Veily down dengan berita yang berurutan, penyakit Cloe yang menyita perhatian.Larasita terus mendengarkan dengan sesekali mengangguk-angguk. Dia begitu memahami semuanya, kenapa tidak? Dia sudah tua dan banyak memakan pahit manis, asin legitnya kehidupan yang begitu terkadang menguras emosi."Jadi begitu, Bu. Kamu sungguh frustasi dengan semuanya. Menantu saya juga baru saja meninggal dua Minggu yang lalu," jelasnya lagi."Saya turut berduka untuk kehilangan itu, Tuan, Nyonya. Ya! Dara… saya menemukan bayi itu tepat saat kecelakaan itu terjadi. Kejadiannya sangat cepat dan tra
"Baik, bagus sekali! Terima kasih, Pak. Terima kasih sudah mau membantu kami," katanya. Wisnu segera mengakhiri panggilan dan segera mendekati istri dan rekannya."Kabar bagus, apa yang kita cari bisa kita temukan saat ini. Kita harus bergerak, polisi sudah mengirimkan alamat padaku." Senyum Wisnu terulas sempurna, begitupun dengan Veily dan pria yang akrab dikenal sebagai Faiz itu langsung beranjak.Ketiganya menelusuri jalanan, cukup jauh dari tempat kejadian. Pantas saja mereka tidak akan menemukan informasi apa pun di sekitar lokasi, jadi orang itu ternyata membawanya hampir keluar kota."Kita mau ke mana ini, Wisnu?" gumam Veily yang tampak kebingungan dengan jalanan yang kini mulai tampak cukup sepi, berderet-deret rumah yang berjarak cukup jauh."Kita hampir tiba, Sayang. Nah! Lihat bangunan hijau itu, di sana adalah panti asuhan. menurut informasi dari pihak kepolisian, wanita dengan nama yang selalu kita jumpai di setiap artikel membawa bayi itu
Kini bahkan Abby kembali menatapnya dengan sorot mata yang begitu memperlihatkan bahwa dia begitu mendambakan dirinya."Abby… serius?" Abby mengangguk, dia menarik kursinya agar lebih dekat dengan Dara. Menarik dagu wanita itu dan tidak menghiraukan pramusaji yang tengah sibuk dengan makanan keduanya."Apakah aku pernah bermain-main denganmu? Apakah semua yang terlewat tampak seperti sebuah sandiwara?" Lagi-lagi Dara menggelengkan kepalanya. Apakah Dara gila jika menganggap semua yang dilakukan oleh Abby adalah sebuah kebohongan. Dia bahkan rela melakukan apa pun untuk wanita itu bukan? Sejak awal, ya! Sejak awal."Tidak sama sekali, By." Abby mendekatkan bibirnya pada bibir Dara, mengecupnya pelan dan melumatnya sesaat sebelum semua perhatian beralih pada mereka berdua."Tunggu sampai papa dan mamaku tenang. Terutama Mama, kamu pasti sudah tahu semuanya bukan? Sejujurnya tanggapan mereka tidak begitu berarti, tetapi aku tetap anak mereka Dara, jika usahaku tidak dihargai maka, dengan
Bukan hanya kesedihan. Kekalutan dan juga marah menyelimuti hati Ravella, apa yang bisa dia banggakan sekarang? Mertua prianya sekarat di rumah sakit yang tidak akan pernah tahu selamat atau tidak. Kemudian mertua perempuannya pun tidak mau tahu tentang dirinya. Dulu, cucu laki-laki itu menjadi tameng untuknya bisa bertahan hidup mewah dengan semua kepemilikan Raka yang menyeret kehidupan kelam Ravella menjadi sebuah mimpi yang menjadi nyata.Namun sekarang? Bahkan untuk bangkit dari duduk yang telah dilalui beberapa jam lalu lamanya saja tidak mampu. Anak yang merengek pun tidak berhasil menyadarkan dia dari semua yang baru saja terjadi. Menerima kenyataan di mana dia akan kembali mlarat, kere, dan tidak akan ada yang mau menampung seorang janda dengan anak.Matanya menatap kosong seluruh ruangan yang sudah mulai surut dari keramaian. Vella sendirian dengan tangisan balita yang ingin sekali dia bungkam."Diamlah! Kehadiranmu bahkan tidak membantu apa pun saat ini!" Hanya bisa terus m
“Tidak masalah, Dara. Kamu tahu, Tuan dan Nyonya Wisnu adalah orang berkelas, dia selalu memberikan dukungan pada siapapun yang terkena masalah dalam rumah tangganya. Kamu beruntung bertemu dengannya. Sayangnya kamu tahu sendiri, bahkan kehidupan anaknya sendiri rumit. Aaron… jelas kamu pasti tahu banyak tentang dia bukan?” Dara mengangguk karena memang dia sudah mengetahui semua tentang pria itu.“Baiklah. Aku tunggu kamu jam sepuluh. Jangan terlambat okay, kita akan buat kejutan untuk pria itu. Biarkan dia mendekam di penjara sampai mati dan membayar seluruh rasa sakit yang kamu alami. Setelah ini kamu akan menjadi jutawan,” kelakar pria botak yang kerap menyebut dirinya dengan nama Bobby.Sepeninggalan Bobby, Dara merasa sedikit tenang, dia harus bersiap untuk mengikuti persidangan. Sungguh dia begitu merindukan bercengkerama dengan Abby, sayangnya dia sama sekali tidak membalas pesan yang dikirim oleh Dara sampai masalah Raka usai dan Dara benar-benar membantu memenjarakan Raka bu
Dara berjalan dengan gontai, dia datang bersama dengan Abby dan keluarga, tetapi harus pulang sendiri. Beginikah rasanya kembali tidak dianggap? Tanpa terasa air matanya menetes. Dara kesal harus menjadi wanita yang lemah setelah mengenal cinta lagi. Dara ingin menjadi layaknya dulu, wanita yang kuat dan terus berjuang."Jika dulu aku bisa bertahan selama dua tahun, kenapa bersama Abby, sehari sudah layaknya seabad. Beginikah rasanya dicintai tetapi mengecewakan?" Dara menghela napasnya dengan dalam.Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di dekatnya, Dara yang berada di trotoar jalan menoleh untuk melihat siapa yang berhenti untuknya."Dara? Masuklah, Nak. Kamu sendirian? Aku kira kamu pulang bersama dengan Abby," seru Veily. Benar sekali, wanita itu ternyata belum pulang hanya duduk di sebuah mobil dan melihat segala tingkah Dayyana yang tidak puas-puasnya melukai Abby. Padahal jelas pria itu sudah dewasa dan tahu apa yang dilakukan olehnya. Dia mengerti dan bisa membedakan mana yang baik