Share

Dibuang Suami Setelah Menikah
Dibuang Suami Setelah Menikah
Penulis: Az Zidan

1 : Pengusiran dan Kehidupan Baru

Berdiri di depan sebuah bangunan reyot yang tidak tampak layak untuk ditinggali. Sepasang suami istri yang baru saja resmi menikah itu saling beradu pandang.

Kebaya putih dan wiru cokelat dengan belahan di sisi kiri masih melekat di tubuh sang pengantin wanita. Riasan di wajahnya terlihat memudar oleh keringat.

“Sementara kita tinggal di sini dulu, ya? Sampai aku dapat kerja yang lebih baik,” tukas pria berpotongan rambut cepak itu. Tangannya bertaut menggenggam jemari lembut nan kecil milik Dara, istrinya.

Perempuan itu mengangguk. “Kurasa ini sudah cukup baik untuk bernaung di bawah terik panas matahari dan badai saat hujan, Mas.” Tidak masalah di mana pun dia tinggal. Ia pernah tinggal di tempat yang lebih buruk dari tempat itu.

Raka, pria itu mengembangkan senyum. Ia lantas menyeret langkah beriringan dengan sang istri guna memasuki bangunan yang tidak lebih dari enam kali lima meter2 itu.

Tuas pintu didorong masuk dan suara derit menyedihkan mereka dengar. Aroma apak menyeruak menusuk penciuman keduanya. Spontan Raka melepaskan genggaman tangannya dari Dara dan mengibaskan telapak tangan di depan muka, mengusir bebauan yang asing di hidung.

Sorot matanya meliar, memindai setiap sudut yang ada di tempat baru. Kamar mandi berada tepat di sebelah dapur. Satu kamar tidur di sisi kiri pintu masuk dengan ukuran yang tidak terlalu besar, juga tidak terlalu sempit. Cukup untuk tidur keduanya. Kemudian tidak ada lagi sekat antara jalan menuju dapur dan juga ruang tamu.

Jendela dengan bingkai kayu usang dengan kaca buram di tengahnya yang— mungkin fungsinya untuk mengintip penunjung, persis berada di sebelah kanan pintu utama.

Dara menggigit bibir bawah bagian dalam. Tangannya terasa keram. Ia meletakkan tas jinjing yang sudah dia tenteng sejak pulang dari KUA tadi. Lantas ia menjauh dari pintu. Menjelajah ruangan sempit yang akan menjadi tempat berpulang.

“Kita akan buat rumah ini nyaman, Mas. Mungkin sedikit polesan cat bisa membuatnya lebih segar,” tukas Dara. Tangannya menggeser tirai anti air sebagai pengganti pintu kamar mandi.

“Tentu. Warna apa yang kau mau?” Raka melongok meniti bakal kamar tempatnya rehat kala balik dari penatnya bekerja.

“Sepertinya kita tidak butuh cat. Kita plamir saja, biar lebih hemat. Toh, fungsinya juga sama saja kan?”

Raka mengangguk tanpa menoleh ke arah Dara. Matanya masih sibuk mengawasi tembok-tembok penuh dengan lubang di depannya. Bahkan ada sudut yang lembab.

Jelas saja dia setuju dengan gagasan itu. Uangnya hanya tersisa lima ratus ribu. Tidak ada harta lagi di koper yang diseretnya ke mana-mana sejak tadi. Hal tragis dalam hidupnya baru saja terjadi. Berdalih dengan pernikahan ini penderitaannya akan musnah.

Dara duduk di sisi dipan dengan kasur tipis tanpa seprei berwarna biru. Memuntahkan isi dalam tas hitam berukuran sedang itu, kemudian disusun pada lemari plastik yang sudah disediakan oleh pemilik gubuk.

“Mas, maafkan aku. Karena aku kamu harus mengalami hal ini,” sesal Dara. Ia menghentikan aktivitasnya dan meraih vieny hand sang suami, mengisi sela-sela kosong di sana.

Raka menimpuk punggung tangan Dara lalu meremasnya lembut. “Ini pilihanku. Jadi— tidak perlu ada yang disesalkan. Setiap pria dewasa pasti akan menentukan pilihannya. Dan pendirianku berakhir bersamamu, Da. Jadi tolong jangan buat aku kecewa telah memilihmu,” timpal Raka dengan binar mata penuh pengharapan.

Tanpa kau minta, aku juga tidak berniat meninggalkan bahkan menyiakanmu, Mas. Kita akan berjuang bersama mulai hari ini, batin Dara.

“Aku yakin, mereka memaafkan kamu, Mas. Kamu anaknya, satu-satunya lagi. Jadi, jika ada waktu luang kamu boleh mampir ke rumah ibu dan ayahmu,” balas Dara. Sekarang ia rebahkan kepalanya di bahu suaminya. Gelar yang baru dua jam disandang laki-laki dengan tinggi seratus tujuh puluh sentimeter itu.

“Sudahlah, aku tidak berniat membahas mereka lagi. Kalau sudah diusir, berarti mereka memutus kontak denganku. Aku tidak mau mengemis. Selama ini aku sudah menurut sepanjang usia anak-anak, remaja hingga, dua puluh lima tahun, Da. Kemudian, tiga tahun berikutnya saat aku mengenalmu dan meminta izin menikah bersamamu, jawaban mereka apa? Malah ngusir aku dan menghinamu.”

Terdengar jelas emosi yang kuat di nada bicaranya. Bagaimana tidak, dia sudah terus menuruti apa saja pinta orangtuanya. Namun, satu permintaannya justru berakhir dengan— ya, pengusiran.

“Mereka tetap orangtuamu, Mas. Pelan-pelan, ya. Aku yakin kalau—”

“Aku lapar. Sebaiknya kamu beli mie,” sela Raka memutus obrolan. Sungguh dia muak jika membahas tentang kejadian pagi tadi.

Lagi, Dara mengangguk. Ia menarik diri dan menatap wajah Raka yang sekarang sibuk sudah berdiri membelakangi tubuhnya. Dia tahu bagaimana perasaan pria itu. Marah, kecewa, sedih, bahkan mungkin juga menyesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status