Brak! Suara dentum keras yang membuat tubuh Dara tersentak rasa kaget, sehingga pelukan erat mimpi indah itu segera menguar. Mata yang sebelumnya terpejam, seketika melebar dengan denyut di kepala yang terasa menyakitkan. Dara baru saja bermimpi? Namun mimpi itu begitu menghanyutkan perasaannya. “Mas? Syukurlah kamu pulang. Mau aku didihkan air untuk mandi?” tawar Dara. Ia bangkit dengan memegang sebelah kepalanya. Menarik paksa kesadaran dari nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Tangannya terulur hendak meraih lengan Raka, tetapi lekas ditepis oleh pria itu. “Nggak usah. Aku capek, mau tidur!” sungutnya dan mulai merangsek ke kamar. Di tempatnya Dara menatap punggung lebar yang dalam mimpi tadi dipeluknya dengan erat. Bukankah yang barusan adalah mimpi paling nyata? Mirisnya bahkan di dalam bunga tidur pun, Dara tidak ditakdirkan untuk melakukan hubungan indah sebuah penyatuan. Pandangannya kini beralih pada pintu yang salah satu engselnya terlepas. Dengusan napas frustasi kelu
Perang dingin terjadi sudah tiga hari. Dara tak lagi menawarkan apa pun pada pria yang hanya menumpang tidur di rumah itu. Keputusan bulat sudah Dara buat. Gadis berambut sepinggang itu menarik napas sangat-sangat dalam. Mengubur perasaan kecewa dan malu beberapa hari lalu untuk keberhasilan misinya. Ia raih ponsel yang teronggok tanpa nyawa di meja. Menekan nomor milik suaminya dan menantikan panggilan terjawab di seberang sana. "Terus aja gitu, awet banget kalau marah," omelnya. "Sabar Dara, kuatin sampe kamu tahu alasannya," sambungnya. Tangan lentik itu menyahut topi di lemari, memakainya dan memesan ojek guna mengantarnya ke kantor di mana sang suami bekerja. Jarum jam sudah tertuju di angka sembilan. Tapi, seperti biasa pria itu belum juga kembali. Setengah jam perjalanan di tengah hawa dingin yang merambat di sekujur tubuhnya. Dara mengencangkan pelukan jaket dan menatap gedung setinggi tiga lantai di hadapannya. "Ada yang bisa dibantu, Mbak?" Suara yang mengejutkan Da
Udara dingin menelisik masuk melalui kisi-kisi jendela kamar, Dara. Gadis itu menggigil, giginya bergemeltuk. Malam ini, untuk kesekian kalinya Raka berdusta padanya. Segala ucapannya memang tidak bisa dipercaya.“Aku tidak pernah tahu ke mana kapal kita berlayar, Mas. Kamu membuat semuanya semakin nggak jelas,” gerutunya dengan mata terpejam tetapi pikirannya kalut.Dipeluk oleh hawa yang nyaris membeku dan rasa kesal serta kantuk yang menderanya dengan berat. Akhirnya kesadarannya Dara lenyap. Gadis itu terlelap dan kembali mimpi indah hadir kembali. Tubuhnya bergerak maju mundur sendiri seolah membalas sodokan dari sang suami. Hingga tubuhnya terjerembab di atas lantai.“Akh!” pekiknya. Seketika hal indah dalam impiannya memudar seperti hujan guntur di luar yang membawa pergi semangat pagi para penghuni bumi.“Sial! Benar-benar biadab. Bisa-bisanya masih saja mimpi seperti itu. Bangun Dara! Andai kata Raka tidak mau menyentuhmu, banyak laki-laki di luar sana yang sudi, kan?”“Hah?!
Dara mendekati suaminya, senyum di bibirnya tidak luntur sedikit pun. Bahkan masih dengan menggunakan handuk untuk menutup tubuhnya yang tampak indah itu.“Mas! Ini ada apa, sih? Kamu— hari ini kamu buat aku bahagia,” ucap Dara. Ia duduk di kursi kayu tepat di ruang tamu. Tempat dia biasa makan dan juga mengerjakan seluruh naskah yang digarap.“Emang salah, ya? Kemarin kamu minta waktuku, kan? Sekarang masih diprotes lagi?” Tangan lentik milik suaminya itu sibuk memindahkan makanan yang sudah ia pesan ke piring. Membiarkan Dara mengawasi segala tindak tanduknya.“Ya, enggak, sih. Aku senang. Bahkan kalau kamu sampai tetap diam aja, aku punya pikiran akan mata-matai kamu. Maafkan, aku,” sesal Dara. Bibirnya manyun dan Raka tersenyum melihatnya.“Maaf, ya sudah buat kamu khawatir. Setelah ini, aku tidak akan pulang larut malam. Aku janji.”“Serius, Mas?” Raka mengangguk dan ia berjalan ke belakang tubuh istrinya. Ia merunduk dan juga melingkarkan kedua tangannya melewati bahu Dara. Ia d
“Jangan lupa dimakan, ya, Mas bekalnya.” Tangan kecil Dara mengulurkan kotak bekal untuk suaminya.Tekadnya bulat akan memperbaki semuanya, memulai kembali dari nol. Menumbuhkan kasih sayang dan cinta yang hampir padam karena salah paham.“Iya. Aku berangkat. Nggak usah telpon. Cari aja kesibukan sampai aku pulang, Da. Kita sudah sepakat kalau nggak akan bahas masalah ini lagi,” pesan Raka. Mewanti-wanti agar Dara tidak curiga padanya lagi.“Dimengerti, Mas. Baiklah, aku juga mau berangkat. Kamu hati-hati, ya.” Dara membungkuk untuk mencium punggung tangan sang suami. Namun, belum sempat ia berhasil meraih tangan besar itu, Raka sudah meninggalkannya.Bola mata besar milik Dara kian melebar menatap punggung sang suami. Ia menghembuskan napas pasrah mengerem diri agar tidak banyak bicara ataupun protes hanya masalah sepele seperti ini.Sepeda kayuh kembali mengiringi perjalanan Dara. Ia tiba di sekolah tempatnya mengajar pukul enam lebih tiga puluh menit. Setengah jam sebelum lonceng b
Satu minggu terlewat. Masa bulanan Dara usai. Malam ini ia mempersiapkan diri. Memakai pakaian yang sangat tipis. Ia sempatkan untuk mampir ke toko pakaian dalam yang dia lewati setiap pergi ke sekolah. Ia rogoh kocek yang tidak murah. Seratus lima puluh ribu hanya untuk lingrie yang tampak kekurangan bahan itu.Bahkan, Dara seperti tidak mengenakan apa pun. Lekukan tubuhnya tampak terlihat jelas. Ujung dadanya menyembul hendak merobek kain tipis itu.“Sialan Dara. Ini terlalu seksi. Kuharap Mas Raka menyukainya.” Ia mematut diri di depan cermin. Senyumnya merekah. Melatih diri menggoda suaminya. Bahkan ia berpose layaknya wanita penghibur.“Sempurna, Dara! Jangan sampai suamimu mencaci dirimu dengan cap wanita murahan!”“Tidak akan, menggoda suami itu tidak berdosa, kok.”“Yap! Aku setuju. Merendahkan diri dan martabat di depan suami sama sekali tidak salah,” jawabnya pada pemikiran yang selalu saja berdemo di kepalanya.Pukul lima, seharusnya Raka sudah pulang. Tapi yang datang hany
“Seperti kemarin nggak usah telpon aku, Da. Sekalian aku minta uang bensin, ya. Semua uang yang aku punya aku kasih ke kamu kemarin,” katanya tanpa melirik ke arah Dara. Tangannya sibuk mengaitkan kancing kemeja pada bagian tangan yang dia kenakan.Dara menatap suaminya, ia masih terpaku di bibir ranjang. Matanya tidak kehilangan kekaguman untuk pria itu. Namun mendengar ucapan Raka membuatnya berpikir keras. Dia memberi nafkah tahu hanya titip uang saja?“Berapa, Mas? Emang bensinnya udah habis banget, ya?”“Buat jaga-jaga, Da. Sekalian uang rokokku juga. Kasih dua ratuslah,” jawabnya enteng.Tanpa memprotes Dara menarik laci nakas plastik yang ada di pinggir tempat tidur, meraih dombet salem miliknya dan menjumput keluar uang pecahan terbesar negeri ini dua lembar.“Kalau bisa rokoknya dikurangi dulu, ya, Mas. Nggak baik juga buat kesehatan,” tegur Dara.“Ikhlas nggak, sih? Kalau ngasih, ya ngasih aja nggak usah cerewet!” dengus Raka.“Nggak cerewet, Mas. Aku Cuma takut nanti pas ki
“Emang bener apa yang dikatakan Mama, kalau kamu nggak pantes dijadikan istri.” Ia masih terus mengujikesabaran Dara.“Cukup, Mas! Kamu apa-apaan, sih? Setiap hari kamu pulang kalau nggak ngeluh capek ya marah-marah. Aku salah apa, sih sama kamu? Aku udah berusaha buat jadi istri yang baik buatmu. Lagian, ini masih awal bulan—”“Justru itu! Awal bulan harusnya aku bisa makan daging! Paling nggak, ikan! Ini malah cuma tempe!”“Mas uang yang kamu kas—”“Benar kan?! Kamu, tuh emang wanita paling ribet! Aku lembur dan kasih kamu uang banyak bilangnya aku nggak ada waktu buat kamu. Tapi giliran aku pulang tepat waktu malah kamu mau ungkit-ungkit nafkah yang aku kasih. Yang kuranglah, yang inilah, itulah!”“Barangkali kamu lupa, kamu lembur pun nggak ada nafkah yang kamu kasih ke aku!”“Oh, mau perhitungan?! Selama setahun penuh aku udah bayar rumah tempat tinggalmu!”“Bukan hanya aku yang tinggal! Tapi kita berdua dan itu sudah menjadi kewajibanmu, Mas! Kenapa kamu terus salahin aku, sih?