Di saat Senin sampai Sabtu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, seharusnya Minggu bisa menjadi waktu yang tepat bagi Dara dan Raka menghabiskan waktu bersama. Minum teh di pagi hari, bercengkerama membahas kehidupan yang mereka jalani sampai petang datang. Namun—
“Mas, ini Minggu lho. Apa kudu kerja juga? Lembur sampai segitunya, kamu,” protes Dara masih dengan nada yang paling lembut yang dia miliki.
Matanya mengedip berulangkali untuk menanti jawaban dari sang suami yang sorot penglihatannya fokus pada layar laptop di depannya.
“Mas,” rengek Dara yang sudah berpindah duduk di sampingnya. Meraih tangan sang suami dan bermanja mendaratkan kepala pada bahu Raka.
“Mas, kamu nggak pengen sentuh aku, gitu? Kita udah lama nikah, kamu belum pernah tiduri aku, lho. Kamu nggak kepingin? Atau aku nggak menarik, ya di matamu?”
Hening, tidak ada yang terlontar dari mulut Raka. Hanya suara debum jari yang memukul balok-balok ceper di keyboard.
Dara menggembungkan kedua pipinya. Sungguh dia bosan. Tatapannya tertuju pada tudung saji di meja kecil dapur.
“Makan, yuk! Kamu belum sarapan, Mas,” ajak Dara. Masih terus berusaha memancing agar suara pria itu keluar.
“Mas Raka,” dengusnya, karena sadar bahwa usahanya tidak pernah dipedulikan. Ia geser tubuhnya sedikit menjauh dan lepaskan jeratan tangan kecilnya dari lengan Raka. Memangku kedua tangan itu di paha dengan seraut wajah memberengut.
Berharap bahwa pria itu respon dan membujuknya. Masih sama seperti bayangan tokoh fiksi yang dia ciptakan dalam kisahnya.
“Mulutmu nggak capek, Da ngoceh terus?” Justru hanya makian yang terlontar setelah Dara mencoba mulai dari kalimat paling pendek, dengan suara lembut mendayu sampai satu nada meninggi baru ditanggapi oleh pria itu. Lalu, kemudian mencetuskan bahwa Dara cerewet? Apa itu tidak keterlaluan?
Dara mendengus. Dadanya bergejolak, ia meremas ujung bajunya. Dia berdiri dan menghadapkan tubuh ke arah suaminya.
“Aku dari tadi ngajak kamu ngomong, Mas. Kamu nggak ada respon, aku. Lalu pas aku udah jengkel sama kamu, kamu bilang aku cerewet? Gila, kamu, ya?” cetus Dara.
“Kamu yang gila! Kamu punya mata, kan? Kamu lihat aku nganggur nggak? Kalau ngajak ngobrol itu tahu situasi, Dara!” bukannya membujuk, Raka justru berbalik menyalak.
Sepertinya impian untuk dibujuk itu hanya terkubur dibayangan.
“Mas!” Lagi suara Dara kian meninggi. Tidak salah bukan dia membela diri?
“Tahu waktu bagaimana? Sedangkan kamu aja nggak pernah ada waktu sama aku! Kamu kerja hari-hari tanpa henti! Hari libur pun kamu sibuk sendiri. Kamu tuh, cinta nggak sih, sama aku?! Kamu anggap aku ini apa?!” berang Dara.
Raka kembali menampakkan senyum meremehkan itu di wajahnya. Ia ikut bangkit dan tubuhnya sepuluh sentimeter lebih tinggi dari Dara. “Lihat! Lihat bagaimana kamu ngungkit hal bodoh itu.”
“Bodoh apanya?! Kamu yang aneh, Mas! Aku ini istrimu. Sudah sepatutnya aku marah saat kamu nggak mau luangin waktu buatku. Bahkan— harusnya kamu sadar, kalau aku masih perawan hingga setahun pernikahhan ini! Apa perlu aku ingetin kamu terus menerus? Kamu nikahin aku, tapi kamu anggurin aku, Mas!”
Emosi Dara meledak-ledak. Dia sungguh tidak habis pikir bagaimana bisa seorang laki-laki dewasa menahan sekuat hati keberadaannya yang dengan jelas telah menanti untuk disentuh?
“Benarkan apa kataku?! Kamu itu gila! Yang dibahas kalau nggak duit, waktu, ya seks! Otakmu dangkal, Dara! Harusnya kamu tahu kalau aku kerja juga buat kamu! Mau sampai kapan kita tinggal di rumah reyot ini?! Kamu nggak pengen pindah ke tempat yang lebih baik?”
“Nggak! Aku nggak peduli di mana kita tinggal, Mas! Buatku asalkan tidak kepanasan dan kehujanan aja udah cukup! Bisa makan tiap hari meski sama krupuk pun, aku tidak masalah. Aku hanya mau kamu angap aku! Sadar kalau kamu udah nggak sendiri. Ada orang lain yang butuh kehadiranmu!”
Dara kian berang. Matanya menyalak, tetapi pedih. Air mata yang tidak disangka-sangka malah banjir tidak terkira. Dia jengkel ketika harus kedapatan menangis di depan pria yang telah berulangkali mengutarakan ketidaksukaannya atas perilaku spontan wanita saat disakiti.
“Aku tanya sama kamu, Mas. Kali ini aku mohon jawab jujur.” Suara Dara melemah. Dia kembali duduk di kursi yang ia duduki sebelumnya. Membiarkan Raka yang masih berkacak pinggang membuang muka dari netra miliknya.
“Apa aku tidak menarik untukmu? Apa tubuhku bau? Ngomong, Mas. Ngomong apa aja yang buat kamu tidak tertarik padaku. Supaya aku bisa berbenah,” jelas Dara. Suaranya timbul tenggelam dan serak. Tidak, suara Dara memang sudah serak-serak basah.
“Aku pingin kamu—” Tangan Raka terangkat untuk menghentikan ucapan apa pun yang akan Dara lontarkan.
Laki-laki berambut cepak itu, menutup laptopnya serampangan dan menyahut brutal kunci motor beatnya kemudian keluar. Menutup pintu dengan kencang hingga membuat Dara berjengit karena kaget.
Ini bukan pertama kalinya, Dara. Mas Raka akan pulang saat pikirannya sudah tenang, pikiran lain dari dirinya mencoba untuk menghiburnya. Namun, dirinya sendiri— ragu kalau Raka bisa berubah. Oke, dia kembali, tapi untuk berubah?
“Aku tidak selamanya hanya menerima perlakuannya padaku seperti ini kan? Da— ayo! Kamu kudu cari tahu apa yang terjadi dengan suamimu,” katanya pada diri sendiri.
Seakan menarik temali paling kecil dari semangat juangnya. Sekalipun harus mengorek hati paling dalam. Di mana letak kesanggupan bertahan itu tinggal.
“Dengar Dara. Apa yang sudah disatukan oleh Tuhan tidak akan dipisahkan oleh manusia, benarkan?” Lagi, ia bermonolog.
“Tapi manusianya seperti nggak akan pernah mau dikritik, tolol! Dara, kamu tolol! Kamu adalah wanita bodoh yang masih bertahan hingga setahun ini!” Kali ini kalimat itu keluar. Dia marah dengan teriakan diisi kepalanya.
Dua sisi dalam dirinya bertarung melawan imannya. Satu menyalahkan satu menguatkan. Ini seperti bermain di labirin. Membingungkan dan Dara benar-benar butuh jalan keluar.
“Oke— aku akan ikuti kata hatiku. Apa pun jawabannya. Sepahit apa pun luka yang nantinya bakal aku temukan, aku akan hadapi. Meski dengan nangis darah,” gerutunya di akhir kalimat.
Jarum pada jam di dinding tertuju di angka tiga. Kebosanan melanda hidup Dara semenjak keputusannya menikah. Awalnya dia mengira bahwa ini perjuangan. Namun, setahun terlepas, mulai terasa bahwa ini memang kebodohan. Gadis dengan tinggi seratus enam puluh sentimeter itu, duduk di ruang tamu. Menghadap ke pintu. Mengubah tatanan kursi yang semula menghadap tembok. Dia benar-benar mencari kesibukan untuk mengalihkan pikirannya yang semerawut. Kemudian ia buka lagi laptopnya. Berkelit dengan cerita yang digarap sejak sebulan lalu. "Ini hal konyol yang sebetulnya, Dara," cecarnya pada diri sendiri. "Lihat! Orang di luar sana mengagumi bagaimana kau begitu mahir menata diksi tentang bagaimana seorang pria menjamah wanitanya. Sementara kamu sendiri merasakan sensasinya saja tidak pernah! Dusta apa lagi yang kamu ciptakan, huh?" kesalnya pada diri sendiri. Ia sempatkan untuk membaca setiap komentar. Dia balas dengan ungkapan terima kasih. Dan— di sinilah Dara sekarang. Merenungi
Brak! Suara dentum keras yang membuat tubuh Dara tersentak rasa kaget, sehingga pelukan erat mimpi indah itu segera menguar. Mata yang sebelumnya terpejam, seketika melebar dengan denyut di kepala yang terasa menyakitkan. Dara baru saja bermimpi? Namun mimpi itu begitu menghanyutkan perasaannya. “Mas? Syukurlah kamu pulang. Mau aku didihkan air untuk mandi?” tawar Dara. Ia bangkit dengan memegang sebelah kepalanya. Menarik paksa kesadaran dari nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Tangannya terulur hendak meraih lengan Raka, tetapi lekas ditepis oleh pria itu. “Nggak usah. Aku capek, mau tidur!” sungutnya dan mulai merangsek ke kamar. Di tempatnya Dara menatap punggung lebar yang dalam mimpi tadi dipeluknya dengan erat. Bukankah yang barusan adalah mimpi paling nyata? Mirisnya bahkan di dalam bunga tidur pun, Dara tidak ditakdirkan untuk melakukan hubungan indah sebuah penyatuan. Pandangannya kini beralih pada pintu yang salah satu engselnya terlepas. Dengusan napas frustasi kelu
Perang dingin terjadi sudah tiga hari. Dara tak lagi menawarkan apa pun pada pria yang hanya menumpang tidur di rumah itu. Keputusan bulat sudah Dara buat. Gadis berambut sepinggang itu menarik napas sangat-sangat dalam. Mengubur perasaan kecewa dan malu beberapa hari lalu untuk keberhasilan misinya. Ia raih ponsel yang teronggok tanpa nyawa di meja. Menekan nomor milik suaminya dan menantikan panggilan terjawab di seberang sana. "Terus aja gitu, awet banget kalau marah," omelnya. "Sabar Dara, kuatin sampe kamu tahu alasannya," sambungnya. Tangan lentik itu menyahut topi di lemari, memakainya dan memesan ojek guna mengantarnya ke kantor di mana sang suami bekerja. Jarum jam sudah tertuju di angka sembilan. Tapi, seperti biasa pria itu belum juga kembali. Setengah jam perjalanan di tengah hawa dingin yang merambat di sekujur tubuhnya. Dara mengencangkan pelukan jaket dan menatap gedung setinggi tiga lantai di hadapannya. "Ada yang bisa dibantu, Mbak?" Suara yang mengejutkan Da
Udara dingin menelisik masuk melalui kisi-kisi jendela kamar, Dara. Gadis itu menggigil, giginya bergemeltuk. Malam ini, untuk kesekian kalinya Raka berdusta padanya. Segala ucapannya memang tidak bisa dipercaya.“Aku tidak pernah tahu ke mana kapal kita berlayar, Mas. Kamu membuat semuanya semakin nggak jelas,” gerutunya dengan mata terpejam tetapi pikirannya kalut.Dipeluk oleh hawa yang nyaris membeku dan rasa kesal serta kantuk yang menderanya dengan berat. Akhirnya kesadarannya Dara lenyap. Gadis itu terlelap dan kembali mimpi indah hadir kembali. Tubuhnya bergerak maju mundur sendiri seolah membalas sodokan dari sang suami. Hingga tubuhnya terjerembab di atas lantai.“Akh!” pekiknya. Seketika hal indah dalam impiannya memudar seperti hujan guntur di luar yang membawa pergi semangat pagi para penghuni bumi.“Sial! Benar-benar biadab. Bisa-bisanya masih saja mimpi seperti itu. Bangun Dara! Andai kata Raka tidak mau menyentuhmu, banyak laki-laki di luar sana yang sudi, kan?”“Hah?!
Dara mendekati suaminya, senyum di bibirnya tidak luntur sedikit pun. Bahkan masih dengan menggunakan handuk untuk menutup tubuhnya yang tampak indah itu.“Mas! Ini ada apa, sih? Kamu— hari ini kamu buat aku bahagia,” ucap Dara. Ia duduk di kursi kayu tepat di ruang tamu. Tempat dia biasa makan dan juga mengerjakan seluruh naskah yang digarap.“Emang salah, ya? Kemarin kamu minta waktuku, kan? Sekarang masih diprotes lagi?” Tangan lentik milik suaminya itu sibuk memindahkan makanan yang sudah ia pesan ke piring. Membiarkan Dara mengawasi segala tindak tanduknya.“Ya, enggak, sih. Aku senang. Bahkan kalau kamu sampai tetap diam aja, aku punya pikiran akan mata-matai kamu. Maafkan, aku,” sesal Dara. Bibirnya manyun dan Raka tersenyum melihatnya.“Maaf, ya sudah buat kamu khawatir. Setelah ini, aku tidak akan pulang larut malam. Aku janji.”“Serius, Mas?” Raka mengangguk dan ia berjalan ke belakang tubuh istrinya. Ia merunduk dan juga melingkarkan kedua tangannya melewati bahu Dara. Ia d
“Jangan lupa dimakan, ya, Mas bekalnya.” Tangan kecil Dara mengulurkan kotak bekal untuk suaminya.Tekadnya bulat akan memperbaki semuanya, memulai kembali dari nol. Menumbuhkan kasih sayang dan cinta yang hampir padam karena salah paham.“Iya. Aku berangkat. Nggak usah telpon. Cari aja kesibukan sampai aku pulang, Da. Kita sudah sepakat kalau nggak akan bahas masalah ini lagi,” pesan Raka. Mewanti-wanti agar Dara tidak curiga padanya lagi.“Dimengerti, Mas. Baiklah, aku juga mau berangkat. Kamu hati-hati, ya.” Dara membungkuk untuk mencium punggung tangan sang suami. Namun, belum sempat ia berhasil meraih tangan besar itu, Raka sudah meninggalkannya.Bola mata besar milik Dara kian melebar menatap punggung sang suami. Ia menghembuskan napas pasrah mengerem diri agar tidak banyak bicara ataupun protes hanya masalah sepele seperti ini.Sepeda kayuh kembali mengiringi perjalanan Dara. Ia tiba di sekolah tempatnya mengajar pukul enam lebih tiga puluh menit. Setengah jam sebelum lonceng b
Satu minggu terlewat. Masa bulanan Dara usai. Malam ini ia mempersiapkan diri. Memakai pakaian yang sangat tipis. Ia sempatkan untuk mampir ke toko pakaian dalam yang dia lewati setiap pergi ke sekolah. Ia rogoh kocek yang tidak murah. Seratus lima puluh ribu hanya untuk lingrie yang tampak kekurangan bahan itu.Bahkan, Dara seperti tidak mengenakan apa pun. Lekukan tubuhnya tampak terlihat jelas. Ujung dadanya menyembul hendak merobek kain tipis itu.“Sialan Dara. Ini terlalu seksi. Kuharap Mas Raka menyukainya.” Ia mematut diri di depan cermin. Senyumnya merekah. Melatih diri menggoda suaminya. Bahkan ia berpose layaknya wanita penghibur.“Sempurna, Dara! Jangan sampai suamimu mencaci dirimu dengan cap wanita murahan!”“Tidak akan, menggoda suami itu tidak berdosa, kok.”“Yap! Aku setuju. Merendahkan diri dan martabat di depan suami sama sekali tidak salah,” jawabnya pada pemikiran yang selalu saja berdemo di kepalanya.Pukul lima, seharusnya Raka sudah pulang. Tapi yang datang hany
“Seperti kemarin nggak usah telpon aku, Da. Sekalian aku minta uang bensin, ya. Semua uang yang aku punya aku kasih ke kamu kemarin,” katanya tanpa melirik ke arah Dara. Tangannya sibuk mengaitkan kancing kemeja pada bagian tangan yang dia kenakan.Dara menatap suaminya, ia masih terpaku di bibir ranjang. Matanya tidak kehilangan kekaguman untuk pria itu. Namun mendengar ucapan Raka membuatnya berpikir keras. Dia memberi nafkah tahu hanya titip uang saja?“Berapa, Mas? Emang bensinnya udah habis banget, ya?”“Buat jaga-jaga, Da. Sekalian uang rokokku juga. Kasih dua ratuslah,” jawabnya enteng.Tanpa memprotes Dara menarik laci nakas plastik yang ada di pinggir tempat tidur, meraih dombet salem miliknya dan menjumput keluar uang pecahan terbesar negeri ini dua lembar.“Kalau bisa rokoknya dikurangi dulu, ya, Mas. Nggak baik juga buat kesehatan,” tegur Dara.“Ikhlas nggak, sih? Kalau ngasih, ya ngasih aja nggak usah cerewet!” dengus Raka.“Nggak cerewet, Mas. Aku Cuma takut nanti pas ki
Selama ini dia hidup serba ada, serba bisa tetapi, siapa yang sangka bahwa anaknya berjuang mati-matian untuk bertahan hidup dan mempertahankan kehidupan. Berjuang menemukan sebuah kebahagiaan."Bisakah kita membuat janji dengannya? Aku tidak sabar bertemu dengan Prilly, Wisnu," lirih Veily."Bersabarlah, Sayang. Panggil dia Dara sampai kita berhasil meyakinkan kenyataan ini. Sepertinya kita butuh bantuan Abby untuk ini, aku yakin saat ini mereka bersama," tutur Wisnu."Sebaiknya jangan beritahu Abby sebelum kalian memberitahukannya pada Dara. Kalian bisa bayangkan kalau Dara tahu lebih lama ketimbang Abby? Ayolah, kalian pasti bisa merasakannya," sela Faiz. Apa yang dikatakannya bukankah benar, memang seharusnya mereka memberitahu Dara baru Abby, bukan terbalik, jika tidak ingin Dara kian kecewa.Entah bagaimana tanggapan wanita itu nanti, Wisnu dan Veily hanya berharap bahwa Dara menerima juga memaafkan keduanya.**Sebuah mobil silver ber
[Aku kirim sesuatu ke rumah, pakai untuk malam nanti, ya. Aku akan jemput pukul tujuh] begitulah isi pesan yang diketik oleh Abby pada Dara. Kini wanita yang tengah beristirahat di ruang guru tersebut hanya mampu cengar-cengir membayangkan pertemuan mereka setelah tiga hari. Dara selayaknya seorang remaja yang jatuh cinta, astaga memalukan! Namun, adakah kata memalukan untuk sebuah cinta? Bahkan cinta itu menuntun pada hal gila, bukankah begitu?Dara hanya membalasnya dengan satu kata, okay' kemudian dia kembali mempersiapkan materi yang akan dia berikan untuk anak didiknya di pelajaran yang akan datang. Dara juga perlu mempelajari banyak hal di sekolah itu. Mengenal seluk-beluk, apa yang diizinkan juga tidak diizinkan. Mengenal pada guru dan juga mengenal murid yang ada di sana.Sementara di sisi lain kota yang jauh dari hiruk-pikuk suara kendaraan, Wisnu dan Veily melongo hampir tidak percaya dengan yang dia lihat. Veily tidak henti-hentinya menitikan air ma
"Hai! Selamat pagi!" sapa Dara, dia berjalan menuju mejanya dan meletakkan tasnya, tanpa duduk. Berdiri di samping meja yang cukup keren di matanya.Suara balasan dari mereka sungguh membuat Dara bersemangat, mereka ramah dan mungkin remaja brutal tidak akan ada di sana, kecuali kekasihnya yang selalu bersikap demikian. Dara mengulas senyumnya ketika mengingat tiga hari dia bahkan belum bertemu dengan pria itu."Okay, saya rasa kalian sudah tahu kalau saya adalah Sandara. Guru bahasa kalian, ini adalah jam pertama untuk saya jadi, ada yang mau memulai kelas?" Dara menatap mereka satu persatu. Kagum, pakaian bersih, rapi, dan berseragam lengkap. Mereka semua cantik dan rupawan."Mulai dengan perkenalan, Bu. Bagaimana jika hari ini sedikit santai, agar kami mengenal guru terbaik kami," teriak salah satu murid yang duduk di barisan tengah dari depan pun dari samping."Okay, apa perlu membuat kartu nama layaknya anak paud?" Mereka tertawa dengan pertanyaan ya
Wisnu terus membeberkan mulai dari kelahiran, penyakit Cloe dan juga sampai kejadian Cloe menikah dan meninggal. Juga permintaan maaf karena saat Cloe ada di Indonesia dalam waktu yang cukup lama mereka bahkan tidak pulang ke Indonesia. Sungguh mungkin banyak orang mengira bahwa mereka orang tua yang pilih kasih, tidak adil juga menyebalkan. Namun, keduanya terus bercerita setiap kendala yang terjadi, bagaimana Veily down dengan berita yang berurutan, penyakit Cloe yang menyita perhatian.Larasita terus mendengarkan dengan sesekali mengangguk-angguk. Dia begitu memahami semuanya, kenapa tidak? Dia sudah tua dan banyak memakan pahit manis, asin legitnya kehidupan yang begitu terkadang menguras emosi."Jadi begitu, Bu. Kamu sungguh frustasi dengan semuanya. Menantu saya juga baru saja meninggal dua Minggu yang lalu," jelasnya lagi."Saya turut berduka untuk kehilangan itu, Tuan, Nyonya. Ya! Dara… saya menemukan bayi itu tepat saat kecelakaan itu terjadi. Kejadiannya sangat cepat dan tra
"Baik, bagus sekali! Terima kasih, Pak. Terima kasih sudah mau membantu kami," katanya. Wisnu segera mengakhiri panggilan dan segera mendekati istri dan rekannya."Kabar bagus, apa yang kita cari bisa kita temukan saat ini. Kita harus bergerak, polisi sudah mengirimkan alamat padaku." Senyum Wisnu terulas sempurna, begitupun dengan Veily dan pria yang akrab dikenal sebagai Faiz itu langsung beranjak.Ketiganya menelusuri jalanan, cukup jauh dari tempat kejadian. Pantas saja mereka tidak akan menemukan informasi apa pun di sekitar lokasi, jadi orang itu ternyata membawanya hampir keluar kota."Kita mau ke mana ini, Wisnu?" gumam Veily yang tampak kebingungan dengan jalanan yang kini mulai tampak cukup sepi, berderet-deret rumah yang berjarak cukup jauh."Kita hampir tiba, Sayang. Nah! Lihat bangunan hijau itu, di sana adalah panti asuhan. menurut informasi dari pihak kepolisian, wanita dengan nama yang selalu kita jumpai di setiap artikel membawa bayi itu
Kini bahkan Abby kembali menatapnya dengan sorot mata yang begitu memperlihatkan bahwa dia begitu mendambakan dirinya."Abby… serius?" Abby mengangguk, dia menarik kursinya agar lebih dekat dengan Dara. Menarik dagu wanita itu dan tidak menghiraukan pramusaji yang tengah sibuk dengan makanan keduanya."Apakah aku pernah bermain-main denganmu? Apakah semua yang terlewat tampak seperti sebuah sandiwara?" Lagi-lagi Dara menggelengkan kepalanya. Apakah Dara gila jika menganggap semua yang dilakukan oleh Abby adalah sebuah kebohongan. Dia bahkan rela melakukan apa pun untuk wanita itu bukan? Sejak awal, ya! Sejak awal."Tidak sama sekali, By." Abby mendekatkan bibirnya pada bibir Dara, mengecupnya pelan dan melumatnya sesaat sebelum semua perhatian beralih pada mereka berdua."Tunggu sampai papa dan mamaku tenang. Terutama Mama, kamu pasti sudah tahu semuanya bukan? Sejujurnya tanggapan mereka tidak begitu berarti, tetapi aku tetap anak mereka Dara, jika usahaku tidak dihargai maka, dengan
Bukan hanya kesedihan. Kekalutan dan juga marah menyelimuti hati Ravella, apa yang bisa dia banggakan sekarang? Mertua prianya sekarat di rumah sakit yang tidak akan pernah tahu selamat atau tidak. Kemudian mertua perempuannya pun tidak mau tahu tentang dirinya. Dulu, cucu laki-laki itu menjadi tameng untuknya bisa bertahan hidup mewah dengan semua kepemilikan Raka yang menyeret kehidupan kelam Ravella menjadi sebuah mimpi yang menjadi nyata.Namun sekarang? Bahkan untuk bangkit dari duduk yang telah dilalui beberapa jam lalu lamanya saja tidak mampu. Anak yang merengek pun tidak berhasil menyadarkan dia dari semua yang baru saja terjadi. Menerima kenyataan di mana dia akan kembali mlarat, kere, dan tidak akan ada yang mau menampung seorang janda dengan anak.Matanya menatap kosong seluruh ruangan yang sudah mulai surut dari keramaian. Vella sendirian dengan tangisan balita yang ingin sekali dia bungkam."Diamlah! Kehadiranmu bahkan tidak membantu apa pun saat ini!" Hanya bisa terus m
“Tidak masalah, Dara. Kamu tahu, Tuan dan Nyonya Wisnu adalah orang berkelas, dia selalu memberikan dukungan pada siapapun yang terkena masalah dalam rumah tangganya. Kamu beruntung bertemu dengannya. Sayangnya kamu tahu sendiri, bahkan kehidupan anaknya sendiri rumit. Aaron… jelas kamu pasti tahu banyak tentang dia bukan?” Dara mengangguk karena memang dia sudah mengetahui semua tentang pria itu.“Baiklah. Aku tunggu kamu jam sepuluh. Jangan terlambat okay, kita akan buat kejutan untuk pria itu. Biarkan dia mendekam di penjara sampai mati dan membayar seluruh rasa sakit yang kamu alami. Setelah ini kamu akan menjadi jutawan,” kelakar pria botak yang kerap menyebut dirinya dengan nama Bobby.Sepeninggalan Bobby, Dara merasa sedikit tenang, dia harus bersiap untuk mengikuti persidangan. Sungguh dia begitu merindukan bercengkerama dengan Abby, sayangnya dia sama sekali tidak membalas pesan yang dikirim oleh Dara sampai masalah Raka usai dan Dara benar-benar membantu memenjarakan Raka bu
Dara berjalan dengan gontai, dia datang bersama dengan Abby dan keluarga, tetapi harus pulang sendiri. Beginikah rasanya kembali tidak dianggap? Tanpa terasa air matanya menetes. Dara kesal harus menjadi wanita yang lemah setelah mengenal cinta lagi. Dara ingin menjadi layaknya dulu, wanita yang kuat dan terus berjuang."Jika dulu aku bisa bertahan selama dua tahun, kenapa bersama Abby, sehari sudah layaknya seabad. Beginikah rasanya dicintai tetapi mengecewakan?" Dara menghela napasnya dengan dalam.Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di dekatnya, Dara yang berada di trotoar jalan menoleh untuk melihat siapa yang berhenti untuknya."Dara? Masuklah, Nak. Kamu sendirian? Aku kira kamu pulang bersama dengan Abby," seru Veily. Benar sekali, wanita itu ternyata belum pulang hanya duduk di sebuah mobil dan melihat segala tingkah Dayyana yang tidak puas-puasnya melukai Abby. Padahal jelas pria itu sudah dewasa dan tahu apa yang dilakukan olehnya. Dia mengerti dan bisa membedakan mana yang baik