Share

3 : Bersama Tapi Masing-masing

“Besok tidak perlu datang, ya. Ibu ada pertemuan dengan kakak Bina Karya, jadi kalian libur kalau ada kesulitan bisa langsung chat ibu,” tutur Dara.

Ia menatap satu persatu anak didiknya. “Baik, Bu.” Serempak. Sepuluh murid remaja tanggung itu mengemas semua buku dan bersiap pamit mencium punggung tangan Dara.

Memberikan jam tambahan belajar bagi anak-anak tingkat sekolah dasar. Pekerjaan sampingan yang— apa saja dia lakoni demi menunjang kehidupan bersama dengan Raka.

Gadis itu melirik jam yang lekat di dinding. Senja sudah menyambutnya. Ia mengintip di balik kaca buram yang ada di kanan pintu, melihat apakah hari ini ada keajaiban untuk Raka?

Desahan kecewa kudu ditelan gadis dua puluh enam tahun itu. Berjalan ke kursi kayu dan memutuskan untuk mengetik naskah yang dia garap. Melupakan pertengkaran yang semalam seperti berputar dalam ingatan.

“Kamu menamparku, Mas? Sejak kapan, kamu tega lakukan ini?” Suara Dara bergetar. Dia terkejut dengan kemajuan perilaku Raka yang semakin hari kian aneh. Kemajuan? Benarkah?

“Makanya jadi wanita itu jaga mulut! Memangnya apa yang kamu sumbangkan untuk rumah tangga ini?!” teriaknya dengan suara yang tidak hanya melukai telinga, tapi juga dada Dara.

“Kamu mempertanyakannya? Benarkah, Mas? Kamu mulai memperhitungkan usahaku? Apa kamu lupa aku bahkan tidak pernah merasakan istirahat demi keluarga ini! Demi kita! Aku kelabakan cari tambahan kerja, mulai dari cuci gosok pakaian orang, ngajar, ngasih—”

“Lalu?! Lalu apa maumu? Minta ganti padaku? Merasa bahwa rumah tangga ini menyengsarakanmu, begitu?!” sergah Raka dengan mata menyalak galak. Dadanya membusung bak menantang gulat gadis di hadapannya.

Sedang, netra Dara sudah memerah sejak tamparan keras mendarat di pipi kanannya. Pedih, dan merobek harapan indah tentang sebuah pernikahan harmonis— sekali lagi.

Dara menggeleng. Usahanya untuk membendung teluk kecil di matanya gagal. Genagan air itu tetap luruh di pipinya. Setidaknya, rasa perih pada penglihatannya hilang. Namun, kelemahan menjadi begitu jelas terihat pada dirinya.

Raka menarik satu sudut bibirnya. “Apa maksud senyummu, Mas?” lirih Dara mempertanyakan makna dari senyum ditengah kekalutan pondasi rumah tangga mereka.

“Mentertawakan sikap cengengmu! Kamu yang mulai pertengkaran ini, Dara! Kalau tidak minta ditiduri, kamu selalu minta uang! Apa nggak ada hal lain di otakmu selain dua perkara itu?!”

Kali ini Dara yang mendengus cukup keras. Ia membuang muka sekilas ke samping dan kembali mengarahkan mata ke muka sang suami.

“Mas! Aku istrimu. Apa aneh kalau aku minta sedikit saja nafkah darimu? Aku bahkan tidak pernah meminta untuk kepentinganku sendiri. Aku beli sesuatu untuk masak buat makan kita berdua. Aku juga ingin merasakan betapa indah dan bahagianya wanita di luaran sana yang tidur dalam dekapan suaminya. Apa itu salah?!”

“Kalau tidak rela melakukan semua demi suamimu, lebih baik kau perg—”

“Mas Raka! Cukup! Cukup, aku tidak pernah ingin berdebat denganmu. Aku tahu, pada akhirnya aku selalu salah,” potong Dara. Ia berbalik badan dan lantas pergi ke kamar.

Berharap Raka menyusul, mendekapnya dan membisikkan kata maaf. Selayaknya angan-angan yang terus dia tulis di dalam novel buatannya. Menciptakan laki-laki yang penuh dengan kasih.

Akan tetapi, bayangan itu harus pupus. Raka tidak pernah masuk ke kamar. Bahkan dia tidak mandi, pun mengganti bajunya. Semalaman, tidur di lantai ruang tamu beralaskan tikar dan memunggungi keberadaan Dara.

Aku mencintaimu, Mas. Aku tahu, berani berkelung dengan asmara maka, harus siap terluka. Aku tahu. Aku memaafkanmu malam ini. Sama seperti sebelum ini. Semoga Tuhan berikan kamu kesehatan dan rejeki yang meluas, agar kau tidak perlu lembur dan melampiaskan rasa lelahmu padaku, batin Dara. Sebuah harapan yang dilantunkan pada sang maha pemberi segalanya.

“Akh! Kepalaku ingin pecah!” Ia frustasi. Melempar punggung pada sandaran kursi kayu dan menyorot layar laptop yang masih menyala.

Sudah dua jam berada di depan benda canggih itu, tetapi ia baru mengumpulkan lima ratus dua puluh tiga kata. Sedang yang dia butuhkan setidaknya seribu kata dalam satu bab.

Pikirannya tidak mampu berkonsentrasi. Dara menyambar ponselnya untuk mencari tahu keberadaan Raka. Dia tidak bisa terus didiamkan pria itu. Hanya Raka temannya. Hanya Raka yang— setidaknya membuat dirinya nyaman dulu.

“Kalau hanya ingin membahas masalah semalam sebaiknya kita akhiri telpon ini,” sembur Raka saat menjawab panggilan dari istrinya.

“Tidak, Mas. Kamu sudah makan?” Suara lembut penuh perhatian itu kembali meluncur dari bibir seksi Dara.

“Dara—” Terdengar helaan napas yang mengatakan bahwa pria itu bosan. Jemu dengan pertanyaan basa-basi dari Dara. “Bisa tidak kalau telpon aku, tuh pertanyaannya bukan tentang makan? Aku kerja dan kamu telpon cuma buat tanya apa aku sudah makan? Dara, ini konyol! Kita bukan remaja, kita sudah menikah. Jangan buang-buang waktuku!” cecar Raka.

“Membuang waktumu? Kamu beranggapan begitu, Mas? Aku bahkan—” Panggilannya terputus. Kesekian kalinya, Raka tidak pernah mau mendengar ucapannya.

Aku bahkan tidak pernah mendapatkan waktumu, Mas. Kamu pergi pagi, pukul enam sudah meninggalkan rumah. Kantor mana yang buka di jam sepagi itu? Pukul sebelas malam kamu baru pulang. Jam kerjamu jauh lebih panjang dibandingkan menghabiskan waktu denganku, hanya suara hati. Desah batin yang sama sekali belum pernah Dara utarakan. Bukankah miris? Bersama tapi masing-masing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status