“Besok tidak perlu datang, ya. Ibu ada pertemuan dengan kakak Bina Karya, jadi kalian libur kalau ada kesulitan bisa langsung chat ibu,” tutur Dara.
Ia menatap satu persatu anak didiknya. “Baik, Bu.” Serempak. Sepuluh murid remaja tanggung itu mengemas semua buku dan bersiap pamit mencium punggung tangan Dara.
Memberikan jam tambahan belajar bagi anak-anak tingkat sekolah dasar. Pekerjaan sampingan yang— apa saja dia lakoni demi menunjang kehidupan bersama dengan Raka.
Gadis itu melirik jam yang lekat di dinding. Senja sudah menyambutnya. Ia mengintip di balik kaca buram yang ada di kanan pintu, melihat apakah hari ini ada keajaiban untuk Raka?
Desahan kecewa kudu ditelan gadis dua puluh enam tahun itu. Berjalan ke kursi kayu dan memutuskan untuk mengetik naskah yang dia garap. Melupakan pertengkaran yang semalam seperti berputar dalam ingatan.
“Kamu menamparku, Mas? Sejak kapan, kamu tega lakukan ini?” Suara Dara bergetar. Dia terkejut dengan kemajuan perilaku Raka yang semakin hari kian aneh. Kemajuan? Benarkah?
“Makanya jadi wanita itu jaga mulut! Memangnya apa yang kamu sumbangkan untuk rumah tangga ini?!” teriaknya dengan suara yang tidak hanya melukai telinga, tapi juga dada Dara.
“Kamu mempertanyakannya? Benarkah, Mas? Kamu mulai memperhitungkan usahaku? Apa kamu lupa aku bahkan tidak pernah merasakan istirahat demi keluarga ini! Demi kita! Aku kelabakan cari tambahan kerja, mulai dari cuci gosok pakaian orang, ngajar, ngasih—”
“Lalu?! Lalu apa maumu? Minta ganti padaku? Merasa bahwa rumah tangga ini menyengsarakanmu, begitu?!” sergah Raka dengan mata menyalak galak. Dadanya membusung bak menantang gulat gadis di hadapannya.
Sedang, netra Dara sudah memerah sejak tamparan keras mendarat di pipi kanannya. Pedih, dan merobek harapan indah tentang sebuah pernikahan harmonis— sekali lagi.
Dara menggeleng. Usahanya untuk membendung teluk kecil di matanya gagal. Genagan air itu tetap luruh di pipinya. Setidaknya, rasa perih pada penglihatannya hilang. Namun, kelemahan menjadi begitu jelas terihat pada dirinya.
Raka menarik satu sudut bibirnya. “Apa maksud senyummu, Mas?” lirih Dara mempertanyakan makna dari senyum ditengah kekalutan pondasi rumah tangga mereka.
“Mentertawakan sikap cengengmu! Kamu yang mulai pertengkaran ini, Dara! Kalau tidak minta ditiduri, kamu selalu minta uang! Apa nggak ada hal lain di otakmu selain dua perkara itu?!”
Kali ini Dara yang mendengus cukup keras. Ia membuang muka sekilas ke samping dan kembali mengarahkan mata ke muka sang suami.
“Mas! Aku istrimu. Apa aneh kalau aku minta sedikit saja nafkah darimu? Aku bahkan tidak pernah meminta untuk kepentinganku sendiri. Aku beli sesuatu untuk masak buat makan kita berdua. Aku juga ingin merasakan betapa indah dan bahagianya wanita di luaran sana yang tidur dalam dekapan suaminya. Apa itu salah?!”
“Kalau tidak rela melakukan semua demi suamimu, lebih baik kau perg—”
“Mas Raka! Cukup! Cukup, aku tidak pernah ingin berdebat denganmu. Aku tahu, pada akhirnya aku selalu salah,” potong Dara. Ia berbalik badan dan lantas pergi ke kamar.
Berharap Raka menyusul, mendekapnya dan membisikkan kata maaf. Selayaknya angan-angan yang terus dia tulis di dalam novel buatannya. Menciptakan laki-laki yang penuh dengan kasih.
Akan tetapi, bayangan itu harus pupus. Raka tidak pernah masuk ke kamar. Bahkan dia tidak mandi, pun mengganti bajunya. Semalaman, tidur di lantai ruang tamu beralaskan tikar dan memunggungi keberadaan Dara.
Aku mencintaimu, Mas. Aku tahu, berani berkelung dengan asmara maka, harus siap terluka. Aku tahu. Aku memaafkanmu malam ini. Sama seperti sebelum ini. Semoga Tuhan berikan kamu kesehatan dan rejeki yang meluas, agar kau tidak perlu lembur dan melampiaskan rasa lelahmu padaku, batin Dara. Sebuah harapan yang dilantunkan pada sang maha pemberi segalanya.
“Akh! Kepalaku ingin pecah!” Ia frustasi. Melempar punggung pada sandaran kursi kayu dan menyorot layar laptop yang masih menyala.
Sudah dua jam berada di depan benda canggih itu, tetapi ia baru mengumpulkan lima ratus dua puluh tiga kata. Sedang yang dia butuhkan setidaknya seribu kata dalam satu bab.
Pikirannya tidak mampu berkonsentrasi. Dara menyambar ponselnya untuk mencari tahu keberadaan Raka. Dia tidak bisa terus didiamkan pria itu. Hanya Raka temannya. Hanya Raka yang— setidaknya membuat dirinya nyaman dulu.
“Kalau hanya ingin membahas masalah semalam sebaiknya kita akhiri telpon ini,” sembur Raka saat menjawab panggilan dari istrinya.
“Tidak, Mas. Kamu sudah makan?” Suara lembut penuh perhatian itu kembali meluncur dari bibir seksi Dara.
“Dara—” Terdengar helaan napas yang mengatakan bahwa pria itu bosan. Jemu dengan pertanyaan basa-basi dari Dara. “Bisa tidak kalau telpon aku, tuh pertanyaannya bukan tentang makan? Aku kerja dan kamu telpon cuma buat tanya apa aku sudah makan? Dara, ini konyol! Kita bukan remaja, kita sudah menikah. Jangan buang-buang waktuku!” cecar Raka.
“Membuang waktumu? Kamu beranggapan begitu, Mas? Aku bahkan—” Panggilannya terputus. Kesekian kalinya, Raka tidak pernah mau mendengar ucapannya.
Aku bahkan tidak pernah mendapatkan waktumu, Mas. Kamu pergi pagi, pukul enam sudah meninggalkan rumah. Kantor mana yang buka di jam sepagi itu? Pukul sebelas malam kamu baru pulang. Jam kerjamu jauh lebih panjang dibandingkan menghabiskan waktu denganku, hanya suara hati. Desah batin yang sama sekali belum pernah Dara utarakan. Bukankah miris? Bersama tapi masing-masing.
Di saat Senin sampai Sabtu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, seharusnya Minggu bisa menjadi waktu yang tepat bagi Dara dan Raka menghabiskan waktu bersama. Minum teh di pagi hari, bercengkerama membahas kehidupan yang mereka jalani sampai petang datang. Namun—“Mas, ini Minggu lho. Apa kudu kerja juga? Lembur sampai segitunya, kamu,” protes Dara masih dengan nada yang paling lembut yang dia miliki.Matanya mengedip berulangkali untuk menanti jawaban dari sang suami yang sorot penglihatannya fokus pada layar laptop di depannya.“Mas,” rengek Dara yang sudah berpindah duduk di sampingnya. Meraih tangan sang suami dan bermanja mendaratkan kepala pada bahu Raka.“Mas, kamu nggak pengen sentuh aku, gitu? Kita udah lama nikah, kamu belum pernah tiduri aku, lho. Kamu nggak kepingin? Atau aku nggak menarik, ya di matamu?”Hening, tidak ada yang terlontar dari mulut Raka. Hanya suara debum jari yang memukul balok-balok ceper di keyboard.Dara menggembungkan kedua pipinya. Sungguh dia bosan.
Jarum pada jam di dinding tertuju di angka tiga. Kebosanan melanda hidup Dara semenjak keputusannya menikah. Awalnya dia mengira bahwa ini perjuangan. Namun, setahun terlepas, mulai terasa bahwa ini memang kebodohan. Gadis dengan tinggi seratus enam puluh sentimeter itu, duduk di ruang tamu. Menghadap ke pintu. Mengubah tatanan kursi yang semula menghadap tembok. Dia benar-benar mencari kesibukan untuk mengalihkan pikirannya yang semerawut. Kemudian ia buka lagi laptopnya. Berkelit dengan cerita yang digarap sejak sebulan lalu. "Ini hal konyol yang sebetulnya, Dara," cecarnya pada diri sendiri. "Lihat! Orang di luar sana mengagumi bagaimana kau begitu mahir menata diksi tentang bagaimana seorang pria menjamah wanitanya. Sementara kamu sendiri merasakan sensasinya saja tidak pernah! Dusta apa lagi yang kamu ciptakan, huh?" kesalnya pada diri sendiri. Ia sempatkan untuk membaca setiap komentar. Dia balas dengan ungkapan terima kasih. Dan— di sinilah Dara sekarang. Merenungi
Brak! Suara dentum keras yang membuat tubuh Dara tersentak rasa kaget, sehingga pelukan erat mimpi indah itu segera menguar. Mata yang sebelumnya terpejam, seketika melebar dengan denyut di kepala yang terasa menyakitkan. Dara baru saja bermimpi? Namun mimpi itu begitu menghanyutkan perasaannya. “Mas? Syukurlah kamu pulang. Mau aku didihkan air untuk mandi?” tawar Dara. Ia bangkit dengan memegang sebelah kepalanya. Menarik paksa kesadaran dari nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Tangannya terulur hendak meraih lengan Raka, tetapi lekas ditepis oleh pria itu. “Nggak usah. Aku capek, mau tidur!” sungutnya dan mulai merangsek ke kamar. Di tempatnya Dara menatap punggung lebar yang dalam mimpi tadi dipeluknya dengan erat. Bukankah yang barusan adalah mimpi paling nyata? Mirisnya bahkan di dalam bunga tidur pun, Dara tidak ditakdirkan untuk melakukan hubungan indah sebuah penyatuan. Pandangannya kini beralih pada pintu yang salah satu engselnya terlepas. Dengusan napas frustasi kelu
Perang dingin terjadi sudah tiga hari. Dara tak lagi menawarkan apa pun pada pria yang hanya menumpang tidur di rumah itu. Keputusan bulat sudah Dara buat. Gadis berambut sepinggang itu menarik napas sangat-sangat dalam. Mengubur perasaan kecewa dan malu beberapa hari lalu untuk keberhasilan misinya. Ia raih ponsel yang teronggok tanpa nyawa di meja. Menekan nomor milik suaminya dan menantikan panggilan terjawab di seberang sana. "Terus aja gitu, awet banget kalau marah," omelnya. "Sabar Dara, kuatin sampe kamu tahu alasannya," sambungnya. Tangan lentik itu menyahut topi di lemari, memakainya dan memesan ojek guna mengantarnya ke kantor di mana sang suami bekerja. Jarum jam sudah tertuju di angka sembilan. Tapi, seperti biasa pria itu belum juga kembali. Setengah jam perjalanan di tengah hawa dingin yang merambat di sekujur tubuhnya. Dara mengencangkan pelukan jaket dan menatap gedung setinggi tiga lantai di hadapannya. "Ada yang bisa dibantu, Mbak?" Suara yang mengejutkan Da
Udara dingin menelisik masuk melalui kisi-kisi jendela kamar, Dara. Gadis itu menggigil, giginya bergemeltuk. Malam ini, untuk kesekian kalinya Raka berdusta padanya. Segala ucapannya memang tidak bisa dipercaya.“Aku tidak pernah tahu ke mana kapal kita berlayar, Mas. Kamu membuat semuanya semakin nggak jelas,” gerutunya dengan mata terpejam tetapi pikirannya kalut.Dipeluk oleh hawa yang nyaris membeku dan rasa kesal serta kantuk yang menderanya dengan berat. Akhirnya kesadarannya Dara lenyap. Gadis itu terlelap dan kembali mimpi indah hadir kembali. Tubuhnya bergerak maju mundur sendiri seolah membalas sodokan dari sang suami. Hingga tubuhnya terjerembab di atas lantai.“Akh!” pekiknya. Seketika hal indah dalam impiannya memudar seperti hujan guntur di luar yang membawa pergi semangat pagi para penghuni bumi.“Sial! Benar-benar biadab. Bisa-bisanya masih saja mimpi seperti itu. Bangun Dara! Andai kata Raka tidak mau menyentuhmu, banyak laki-laki di luar sana yang sudi, kan?”“Hah?!
Dara mendekati suaminya, senyum di bibirnya tidak luntur sedikit pun. Bahkan masih dengan menggunakan handuk untuk menutup tubuhnya yang tampak indah itu.“Mas! Ini ada apa, sih? Kamu— hari ini kamu buat aku bahagia,” ucap Dara. Ia duduk di kursi kayu tepat di ruang tamu. Tempat dia biasa makan dan juga mengerjakan seluruh naskah yang digarap.“Emang salah, ya? Kemarin kamu minta waktuku, kan? Sekarang masih diprotes lagi?” Tangan lentik milik suaminya itu sibuk memindahkan makanan yang sudah ia pesan ke piring. Membiarkan Dara mengawasi segala tindak tanduknya.“Ya, enggak, sih. Aku senang. Bahkan kalau kamu sampai tetap diam aja, aku punya pikiran akan mata-matai kamu. Maafkan, aku,” sesal Dara. Bibirnya manyun dan Raka tersenyum melihatnya.“Maaf, ya sudah buat kamu khawatir. Setelah ini, aku tidak akan pulang larut malam. Aku janji.”“Serius, Mas?” Raka mengangguk dan ia berjalan ke belakang tubuh istrinya. Ia merunduk dan juga melingkarkan kedua tangannya melewati bahu Dara. Ia d
“Jangan lupa dimakan, ya, Mas bekalnya.” Tangan kecil Dara mengulurkan kotak bekal untuk suaminya.Tekadnya bulat akan memperbaki semuanya, memulai kembali dari nol. Menumbuhkan kasih sayang dan cinta yang hampir padam karena salah paham.“Iya. Aku berangkat. Nggak usah telpon. Cari aja kesibukan sampai aku pulang, Da. Kita sudah sepakat kalau nggak akan bahas masalah ini lagi,” pesan Raka. Mewanti-wanti agar Dara tidak curiga padanya lagi.“Dimengerti, Mas. Baiklah, aku juga mau berangkat. Kamu hati-hati, ya.” Dara membungkuk untuk mencium punggung tangan sang suami. Namun, belum sempat ia berhasil meraih tangan besar itu, Raka sudah meninggalkannya.Bola mata besar milik Dara kian melebar menatap punggung sang suami. Ia menghembuskan napas pasrah mengerem diri agar tidak banyak bicara ataupun protes hanya masalah sepele seperti ini.Sepeda kayuh kembali mengiringi perjalanan Dara. Ia tiba di sekolah tempatnya mengajar pukul enam lebih tiga puluh menit. Setengah jam sebelum lonceng b
Satu minggu terlewat. Masa bulanan Dara usai. Malam ini ia mempersiapkan diri. Memakai pakaian yang sangat tipis. Ia sempatkan untuk mampir ke toko pakaian dalam yang dia lewati setiap pergi ke sekolah. Ia rogoh kocek yang tidak murah. Seratus lima puluh ribu hanya untuk lingrie yang tampak kekurangan bahan itu.Bahkan, Dara seperti tidak mengenakan apa pun. Lekukan tubuhnya tampak terlihat jelas. Ujung dadanya menyembul hendak merobek kain tipis itu.“Sialan Dara. Ini terlalu seksi. Kuharap Mas Raka menyukainya.” Ia mematut diri di depan cermin. Senyumnya merekah. Melatih diri menggoda suaminya. Bahkan ia berpose layaknya wanita penghibur.“Sempurna, Dara! Jangan sampai suamimu mencaci dirimu dengan cap wanita murahan!”“Tidak akan, menggoda suami itu tidak berdosa, kok.”“Yap! Aku setuju. Merendahkan diri dan martabat di depan suami sama sekali tidak salah,” jawabnya pada pemikiran yang selalu saja berdemo di kepalanya.Pukul lima, seharusnya Raka sudah pulang. Tapi yang datang hany