Share

2 : Suami Boros

Satu tahun terlewat. Bukan hal mudah bagi Dara menjalani kehidupan penuh dengan luapan emosi setiap harinya. Tidak sampai satu bulan hubungan harmonis yang menjanjikan itu. Nyatanya setiap waktu Dara dan Raka bisa saja memiliki pendapat yang bertentangan.

“Kamu di mana, Mas? Ini sudah jam sembilan, kenapa belum pulang juga?” tanya Dara dengan suara lembut. Dia lelah bertengkar dan harus terus menunggu sang suami pulang larut sepanjang waktu 24x7.

“Dua jam lagi aku balik, Da. Kamu tidur dulu saja, nggak usah nunggu aku balik.”

“Tapi, Mas. Aku—” panggilan terputus tanpa Dara mampu menyelesaikan kalimatnya.

Gadis itu mengusap wajah gusar. Ada desir perih dalam perutnya. Ia kembali membuka dompet yang teronggok di meja. Sudah puluhan kali dia membukanya dan mendapati hal yang tidak akan berubah. Sama sekali tidak dilihat uang di sana. kecuali koin lima ratus rupiah untuk penunggu.

“Ck! Sampai mata belekan juga nggak bakal beranak kan duit ini,” gerutunya. Ia kembali melempar dompet bewarna salem itu di atas meja, tergeser jauh hingga terjatuh di atas lantai saking kerasnya Dara melontarkannya.

Desing motor matic Raka terdengar. Dara meninggalkan kegiatannya yang sudah berjalan lima jam di kursi kayu itu, menarik pantat untuk menyambut kedatangan sang suami. Ini bukan lagi jam sebelas, tetapi lebih tiga puluh tiga menit.

“Kenapa belum tidur?” Begitu daun pintu yang menderit itu menyambut Raka, lontaran pertanyaan itu juga menggelontor keluar dari mulutnya.

“Aku menunggumu, Mas. Lagian kenapa kamu terus balik malem-malem, sih, Mas?” Ia merebut pelan tas jinjing Raka. Meletakkannya di meja bersisihan dengan laptop miliknya.

“Banku tadi bocor. Lain kali nggak usah nungguin. Kamu bisa kan langsung tidur.”

“Aku pengen ngobrol bareng kamu. Pengen makan malem bareng kamu, Mas.”

“Aku sudah makan,” jawab Raka, seraya melepaskan dua kancing kemeja yang sudah seharian mencekik lehernya. Kemudian dua kancing di pergelangan tangan.

Bahu Dara merosot. “Tapi aku belum. Mas gajian kan hari ini?”

“Terus?” Dara mengerutkan dahi. Matanya menyipit tajam seakan ingin memperjelas kata terus yang baru saja terucap dari bibir suaminya.

“Maksudnya terus gimana, Mas? Gaji ngajarku belum keluar. Hasil nulis juga belum cair, nunggu akhir bulan,” papar Dara. Sekuat hati dia menahan gejolak emosinya.

“Aku nggak ada, Dara. Lima ratus ribu aku buat beli ban. Aku bilang kan tadi banku bocor. Terus lima puluh ribu lagi—"

"Ban lima ratus ribu? Kamu beli ban apa? Ban tronton? Lagian kenapa nggak ditambal aja, sih?" sergah Dara kaget. Ban apa semahal itu? Apa berlapis baja?

"Bannya udah banyak tambalan Dara. Kudu diganti, udah gak bisa ditolong."

"Ya tapi lima ratus ribu— sumpah, kamu beli ban tronton, ya?" Dara tertawa geli. Mencoba mengajak suaminya bercanda, kendati batin dan pikirannya menolak alasan gila itu. Kemarahannya sudah diubun-ubun. Namun, Dara hanya bisa mengeram tertahan.

Raka menimpali senyum Dara. "Ini lucu— Dara." Lantas raut wajahnya kembali masam. Seolah senyum itu adalah balasan dari ejekan Dara sebelumnya.

"Terus, sekarang gimana? Aku nungguin kamu, aku belum masak belum makan sejak pagi, Mas."

"Aku udah makan tadi ada temen punya hajat."

"Lha aku? Aku gimana, Mas? Aku juga punya perut, aku laper. Cuma ada lima ratus perak di dompetku, Mas Raka.” Dara mendengus pelan. Dia masih tidak ingin menunjukkan bagaimana dia begitu kesal sekarang.

"Aku yakin masih ada sisa kan? Gaji kamu dua setengah juta, berarti masih ada dua juta dong," imbuh Dara. Mencari sisa-sia upah barangkali ada. Dara berdiri di sisi sang suami. Tangannya menengadah untuk meminta uang sisa gaji sang suami dengan balutan senyum antusias.

"Satu juta aku buat bayar kontrakan kita. Seratus buat bensin sama rokok. Tiga ratus buat bayar utang temen. Terus—"

"Cukup! Sekarang berapa pun sisanya bagi aku, Mas. Aku mau beli mi instan buat ngeganjel perutku yang udah perih sejak pagi,” seru Dara. Dia sudah tidak tahan. Perutnya hanya digelontor dengan air putih saja sejak bangun tidur, karena tadi, Raka bilang kalau sabar dulu sampai nanti malem ya, aku gajian. Nyatanya Dara kudu terima kenyataan perutnya kelat dan bisa saja asam lambung.

"Maaf, Dara nggak ada."

Rahang Dara jatuh. Matanya membeliak tidak percaya.

"Mas! Uang dua setengah juta habis sehari? Terus besok kita mau makan apa?! Kamu—" Dara kehabisan kata. Ia daratkan bokong di kursi kayu dan meraup wajah. Memijit pelipis juga pangkal hidung. Matanya berkunang-kunang menahan semua yang baru saja dia dapatkan.

"Kamu sebenernya niat gak sih, berumah tangga sama aku?" lirih Dara. Dia lelah.

"Kalau aku gak niat ngapain aku nikahin kamu sampe rela diusir dari rumah gedongku sendiri? Gila kamu, ya?!" bentak Raka.

"Terus kalau niat kenapa setiap gajian sedikit aja kamu gak mikirin aku! Ada aja uangnya kamu pakai sendiri. Atau jangan-jangan kamu jajan diluaran sana?!" tuduh Dara.

Plak!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status