Satu tahun terlewat. Bukan hal mudah bagi Dara menjalani kehidupan penuh dengan luapan emosi setiap harinya. Tidak sampai satu bulan hubungan harmonis yang menjanjikan itu. Nyatanya setiap waktu Dara dan Raka bisa saja memiliki pendapat yang bertentangan.
“Kamu di mana, Mas? Ini sudah jam sembilan, kenapa belum pulang juga?” tanya Dara dengan suara lembut. Dia lelah bertengkar dan harus terus menunggu sang suami pulang larut sepanjang waktu 24x7.
“Dua jam lagi aku balik, Da. Kamu tidur dulu saja, nggak usah nunggu aku balik.”
“Tapi, Mas. Aku—” panggilan terputus tanpa Dara mampu menyelesaikan kalimatnya.
Gadis itu mengusap wajah gusar. Ada desir perih dalam perutnya. Ia kembali membuka dompet yang teronggok di meja. Sudah puluhan kali dia membukanya dan mendapati hal yang tidak akan berubah. Sama sekali tidak dilihat uang di sana. kecuali koin lima ratus rupiah untuk penunggu.
“Ck! Sampai mata belekan juga nggak bakal beranak kan duit ini,” gerutunya. Ia kembali melempar dompet bewarna salem itu di atas meja, tergeser jauh hingga terjatuh di atas lantai saking kerasnya Dara melontarkannya.
Desing motor matic Raka terdengar. Dara meninggalkan kegiatannya yang sudah berjalan lima jam di kursi kayu itu, menarik pantat untuk menyambut kedatangan sang suami. Ini bukan lagi jam sebelas, tetapi lebih tiga puluh tiga menit.
“Kenapa belum tidur?” Begitu daun pintu yang menderit itu menyambut Raka, lontaran pertanyaan itu juga menggelontor keluar dari mulutnya.
“Aku menunggumu, Mas. Lagian kenapa kamu terus balik malem-malem, sih, Mas?” Ia merebut pelan tas jinjing Raka. Meletakkannya di meja bersisihan dengan laptop miliknya.
“Banku tadi bocor. Lain kali nggak usah nungguin. Kamu bisa kan langsung tidur.”
“Aku pengen ngobrol bareng kamu. Pengen makan malem bareng kamu, Mas.”
“Aku sudah makan,” jawab Raka, seraya melepaskan dua kancing kemeja yang sudah seharian mencekik lehernya. Kemudian dua kancing di pergelangan tangan.
Bahu Dara merosot. “Tapi aku belum. Mas gajian kan hari ini?”
“Terus?” Dara mengerutkan dahi. Matanya menyipit tajam seakan ingin memperjelas kata terus yang baru saja terucap dari bibir suaminya.
“Maksudnya terus gimana, Mas? Gaji ngajarku belum keluar. Hasil nulis juga belum cair, nunggu akhir bulan,” papar Dara. Sekuat hati dia menahan gejolak emosinya.
“Aku nggak ada, Dara. Lima ratus ribu aku buat beli ban. Aku bilang kan tadi banku bocor. Terus lima puluh ribu lagi—"
"Ban lima ratus ribu? Kamu beli ban apa? Ban tronton? Lagian kenapa nggak ditambal aja, sih?" sergah Dara kaget. Ban apa semahal itu? Apa berlapis baja?
"Bannya udah banyak tambalan Dara. Kudu diganti, udah gak bisa ditolong."
"Ya tapi lima ratus ribu— sumpah, kamu beli ban tronton, ya?" Dara tertawa geli. Mencoba mengajak suaminya bercanda, kendati batin dan pikirannya menolak alasan gila itu. Kemarahannya sudah diubun-ubun. Namun, Dara hanya bisa mengeram tertahan.
Raka menimpali senyum Dara. "Ini lucu— Dara." Lantas raut wajahnya kembali masam. Seolah senyum itu adalah balasan dari ejekan Dara sebelumnya.
"Terus, sekarang gimana? Aku nungguin kamu, aku belum masak belum makan sejak pagi, Mas."
"Aku udah makan tadi ada temen punya hajat."
"Lha aku? Aku gimana, Mas? Aku juga punya perut, aku laper. Cuma ada lima ratus perak di dompetku, Mas Raka.” Dara mendengus pelan. Dia masih tidak ingin menunjukkan bagaimana dia begitu kesal sekarang.
"Aku yakin masih ada sisa kan? Gaji kamu dua setengah juta, berarti masih ada dua juta dong," imbuh Dara. Mencari sisa-sia upah barangkali ada. Dara berdiri di sisi sang suami. Tangannya menengadah untuk meminta uang sisa gaji sang suami dengan balutan senyum antusias.
"Satu juta aku buat bayar kontrakan kita. Seratus buat bensin sama rokok. Tiga ratus buat bayar utang temen. Terus—"
"Cukup! Sekarang berapa pun sisanya bagi aku, Mas. Aku mau beli mi instan buat ngeganjel perutku yang udah perih sejak pagi,” seru Dara. Dia sudah tidak tahan. Perutnya hanya digelontor dengan air putih saja sejak bangun tidur, karena tadi, Raka bilang kalau sabar dulu sampai nanti malem ya, aku gajian. Nyatanya Dara kudu terima kenyataan perutnya kelat dan bisa saja asam lambung.
"Maaf, Dara nggak ada."
Rahang Dara jatuh. Matanya membeliak tidak percaya.
"Mas! Uang dua setengah juta habis sehari? Terus besok kita mau makan apa?! Kamu—" Dara kehabisan kata. Ia daratkan bokong di kursi kayu dan meraup wajah. Memijit pelipis juga pangkal hidung. Matanya berkunang-kunang menahan semua yang baru saja dia dapatkan.
"Kamu sebenernya niat gak sih, berumah tangga sama aku?" lirih Dara. Dia lelah.
"Kalau aku gak niat ngapain aku nikahin kamu sampe rela diusir dari rumah gedongku sendiri? Gila kamu, ya?!" bentak Raka.
"Terus kalau niat kenapa setiap gajian sedikit aja kamu gak mikirin aku! Ada aja uangnya kamu pakai sendiri. Atau jangan-jangan kamu jajan diluaran sana?!" tuduh Dara.
Plak!
“Besok tidak perlu datang, ya. Ibu ada pertemuan dengan kakak Bina Karya, jadi kalian libur kalau ada kesulitan bisa langsung chat ibu,” tutur Dara.Ia menatap satu persatu anak didiknya. “Baik, Bu.” Serempak. Sepuluh murid remaja tanggung itu mengemas semua buku dan bersiap pamit mencium punggung tangan Dara.Memberikan jam tambahan belajar bagi anak-anak tingkat sekolah dasar. Pekerjaan sampingan yang— apa saja dia lakoni demi menunjang kehidupan bersama dengan Raka.Gadis itu melirik jam yang lekat di dinding. Senja sudah menyambutnya. Ia mengintip di balik kaca buram yang ada di kanan pintu, melihat apakah hari ini ada keajaiban untuk Raka?Desahan kecewa kudu ditelan gadis dua puluh enam tahun itu. Berjalan ke kursi kayu dan memutuskan untuk mengetik naskah yang dia garap. Melupakan pertengkaran yang semalam seperti berputar dalam ingatan.“Kamu menamparku, Mas? Sejak kapan, kamu tega lakukan ini?” Suara Dara bergetar. Dia terkejut dengan kemajuan perilaku Raka yang semakin hari k
Di saat Senin sampai Sabtu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, seharusnya Minggu bisa menjadi waktu yang tepat bagi Dara dan Raka menghabiskan waktu bersama. Minum teh di pagi hari, bercengkerama membahas kehidupan yang mereka jalani sampai petang datang. Namun—“Mas, ini Minggu lho. Apa kudu kerja juga? Lembur sampai segitunya, kamu,” protes Dara masih dengan nada yang paling lembut yang dia miliki.Matanya mengedip berulangkali untuk menanti jawaban dari sang suami yang sorot penglihatannya fokus pada layar laptop di depannya.“Mas,” rengek Dara yang sudah berpindah duduk di sampingnya. Meraih tangan sang suami dan bermanja mendaratkan kepala pada bahu Raka.“Mas, kamu nggak pengen sentuh aku, gitu? Kita udah lama nikah, kamu belum pernah tiduri aku, lho. Kamu nggak kepingin? Atau aku nggak menarik, ya di matamu?”Hening, tidak ada yang terlontar dari mulut Raka. Hanya suara debum jari yang memukul balok-balok ceper di keyboard.Dara menggembungkan kedua pipinya. Sungguh dia bosan.
Jarum pada jam di dinding tertuju di angka tiga. Kebosanan melanda hidup Dara semenjak keputusannya menikah. Awalnya dia mengira bahwa ini perjuangan. Namun, setahun terlepas, mulai terasa bahwa ini memang kebodohan. Gadis dengan tinggi seratus enam puluh sentimeter itu, duduk di ruang tamu. Menghadap ke pintu. Mengubah tatanan kursi yang semula menghadap tembok. Dia benar-benar mencari kesibukan untuk mengalihkan pikirannya yang semerawut. Kemudian ia buka lagi laptopnya. Berkelit dengan cerita yang digarap sejak sebulan lalu. "Ini hal konyol yang sebetulnya, Dara," cecarnya pada diri sendiri. "Lihat! Orang di luar sana mengagumi bagaimana kau begitu mahir menata diksi tentang bagaimana seorang pria menjamah wanitanya. Sementara kamu sendiri merasakan sensasinya saja tidak pernah! Dusta apa lagi yang kamu ciptakan, huh?" kesalnya pada diri sendiri. Ia sempatkan untuk membaca setiap komentar. Dia balas dengan ungkapan terima kasih. Dan— di sinilah Dara sekarang. Merenungi
Brak! Suara dentum keras yang membuat tubuh Dara tersentak rasa kaget, sehingga pelukan erat mimpi indah itu segera menguar. Mata yang sebelumnya terpejam, seketika melebar dengan denyut di kepala yang terasa menyakitkan. Dara baru saja bermimpi? Namun mimpi itu begitu menghanyutkan perasaannya. “Mas? Syukurlah kamu pulang. Mau aku didihkan air untuk mandi?” tawar Dara. Ia bangkit dengan memegang sebelah kepalanya. Menarik paksa kesadaran dari nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Tangannya terulur hendak meraih lengan Raka, tetapi lekas ditepis oleh pria itu. “Nggak usah. Aku capek, mau tidur!” sungutnya dan mulai merangsek ke kamar. Di tempatnya Dara menatap punggung lebar yang dalam mimpi tadi dipeluknya dengan erat. Bukankah yang barusan adalah mimpi paling nyata? Mirisnya bahkan di dalam bunga tidur pun, Dara tidak ditakdirkan untuk melakukan hubungan indah sebuah penyatuan. Pandangannya kini beralih pada pintu yang salah satu engselnya terlepas. Dengusan napas frustasi kelu
Perang dingin terjadi sudah tiga hari. Dara tak lagi menawarkan apa pun pada pria yang hanya menumpang tidur di rumah itu. Keputusan bulat sudah Dara buat. Gadis berambut sepinggang itu menarik napas sangat-sangat dalam. Mengubur perasaan kecewa dan malu beberapa hari lalu untuk keberhasilan misinya. Ia raih ponsel yang teronggok tanpa nyawa di meja. Menekan nomor milik suaminya dan menantikan panggilan terjawab di seberang sana. "Terus aja gitu, awet banget kalau marah," omelnya. "Sabar Dara, kuatin sampe kamu tahu alasannya," sambungnya. Tangan lentik itu menyahut topi di lemari, memakainya dan memesan ojek guna mengantarnya ke kantor di mana sang suami bekerja. Jarum jam sudah tertuju di angka sembilan. Tapi, seperti biasa pria itu belum juga kembali. Setengah jam perjalanan di tengah hawa dingin yang merambat di sekujur tubuhnya. Dara mengencangkan pelukan jaket dan menatap gedung setinggi tiga lantai di hadapannya. "Ada yang bisa dibantu, Mbak?" Suara yang mengejutkan Da
Udara dingin menelisik masuk melalui kisi-kisi jendela kamar, Dara. Gadis itu menggigil, giginya bergemeltuk. Malam ini, untuk kesekian kalinya Raka berdusta padanya. Segala ucapannya memang tidak bisa dipercaya.“Aku tidak pernah tahu ke mana kapal kita berlayar, Mas. Kamu membuat semuanya semakin nggak jelas,” gerutunya dengan mata terpejam tetapi pikirannya kalut.Dipeluk oleh hawa yang nyaris membeku dan rasa kesal serta kantuk yang menderanya dengan berat. Akhirnya kesadarannya Dara lenyap. Gadis itu terlelap dan kembali mimpi indah hadir kembali. Tubuhnya bergerak maju mundur sendiri seolah membalas sodokan dari sang suami. Hingga tubuhnya terjerembab di atas lantai.“Akh!” pekiknya. Seketika hal indah dalam impiannya memudar seperti hujan guntur di luar yang membawa pergi semangat pagi para penghuni bumi.“Sial! Benar-benar biadab. Bisa-bisanya masih saja mimpi seperti itu. Bangun Dara! Andai kata Raka tidak mau menyentuhmu, banyak laki-laki di luar sana yang sudi, kan?”“Hah?!
Dara mendekati suaminya, senyum di bibirnya tidak luntur sedikit pun. Bahkan masih dengan menggunakan handuk untuk menutup tubuhnya yang tampak indah itu.“Mas! Ini ada apa, sih? Kamu— hari ini kamu buat aku bahagia,” ucap Dara. Ia duduk di kursi kayu tepat di ruang tamu. Tempat dia biasa makan dan juga mengerjakan seluruh naskah yang digarap.“Emang salah, ya? Kemarin kamu minta waktuku, kan? Sekarang masih diprotes lagi?” Tangan lentik milik suaminya itu sibuk memindahkan makanan yang sudah ia pesan ke piring. Membiarkan Dara mengawasi segala tindak tanduknya.“Ya, enggak, sih. Aku senang. Bahkan kalau kamu sampai tetap diam aja, aku punya pikiran akan mata-matai kamu. Maafkan, aku,” sesal Dara. Bibirnya manyun dan Raka tersenyum melihatnya.“Maaf, ya sudah buat kamu khawatir. Setelah ini, aku tidak akan pulang larut malam. Aku janji.”“Serius, Mas?” Raka mengangguk dan ia berjalan ke belakang tubuh istrinya. Ia merunduk dan juga melingkarkan kedua tangannya melewati bahu Dara. Ia d
“Jangan lupa dimakan, ya, Mas bekalnya.” Tangan kecil Dara mengulurkan kotak bekal untuk suaminya.Tekadnya bulat akan memperbaki semuanya, memulai kembali dari nol. Menumbuhkan kasih sayang dan cinta yang hampir padam karena salah paham.“Iya. Aku berangkat. Nggak usah telpon. Cari aja kesibukan sampai aku pulang, Da. Kita sudah sepakat kalau nggak akan bahas masalah ini lagi,” pesan Raka. Mewanti-wanti agar Dara tidak curiga padanya lagi.“Dimengerti, Mas. Baiklah, aku juga mau berangkat. Kamu hati-hati, ya.” Dara membungkuk untuk mencium punggung tangan sang suami. Namun, belum sempat ia berhasil meraih tangan besar itu, Raka sudah meninggalkannya.Bola mata besar milik Dara kian melebar menatap punggung sang suami. Ia menghembuskan napas pasrah mengerem diri agar tidak banyak bicara ataupun protes hanya masalah sepele seperti ini.Sepeda kayuh kembali mengiringi perjalanan Dara. Ia tiba di sekolah tempatnya mengajar pukul enam lebih tiga puluh menit. Setengah jam sebelum lonceng b