Share

6 : Mimpi Terindah

Brak!

Suara dentum keras yang membuat tubuh Dara tersentak rasa kaget, sehingga pelukan erat mimpi indah itu segera menguar. Mata yang sebelumnya terpejam, seketika melebar dengan denyut di kepala yang terasa menyakitkan. Dara baru saja bermimpi? Namun mimpi itu begitu menghanyutkan perasaannya.

“Mas? Syukurlah kamu pulang. Mau aku didihkan air untuk mandi?” tawar Dara. Ia bangkit dengan memegang sebelah kepalanya. Menarik paksa kesadaran dari nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Tangannya terulur hendak meraih lengan Raka, tetapi lekas ditepis oleh pria itu.

“Nggak usah. Aku capek, mau tidur!” sungutnya dan mulai merangsek ke kamar.

Di tempatnya Dara menatap punggung lebar yang dalam mimpi tadi dipeluknya dengan erat. Bukankah yang barusan adalah mimpi paling nyata? Mirisnya bahkan di dalam bunga tidur pun, Dara tidak ditakdirkan untuk melakukan hubungan indah sebuah penyatuan.

Pandangannya kini beralih pada pintu yang salah satu engselnya terlepas. Dengusan napas frustasi keluar begitu saja. Bahunya melorot, kepayahan. Namun, langkah kakinya tetap mendekati kejadian perkara yang menimpanya barusan.

“Bisa tidak kalau marah tanpa merusak properti,” gumamnya. Tangannya berusaha mendirikan pintu yang sudah jeblok itu dan mengganjal dengan kursi di bagian belakangnya.

“Mas,” panggil Dara saat ia telah tiba di kamar.

Tidak putus asa gadis itu menawarkan dirinya. “Mas Raka.” Ia bisikkan nama sang suami dengan mesra tepat di depan telingan pria itu.

“Bangunlah sebentar saja. Aku janji setelah merasakan sekali, aku tidak akan menagihnya padamu. Kumohon,” pinta Dara.

Ia arahkan tangan lebar dengan jari yang berurat itu ke dada. Harusnya bagian tubuh yang menantang kencang nan kenyal itu mampu membangkitkan kelakian Raka.

“Sentuh aku, Mas,” desah Dara. Matanya terpejam, merasakan sentuhan tangan Raka yang di mana dia sendiri yang menggerakkan telapak gede itu. Ia terbuai, ini berhasil. Dara larut dalam birahinya.

Sekarang ia tarik naik daster tanpa lengan dengan panjang sebatas lutut itu untuk memperlihatkan bagaimana mulus dan bersih kulit eksotis Dara. Ia akan melakukan apa pun demi mendapatkan kenyataan dari mimpi tadi.

Dia terlalu berharap dan dipeluk rasa lelah atas penantiannya, hingga kini Dara melakukan apa pun demi mendapatkan keinginannya selama ini.

“Lihatlah, kau akan menyukainya, Mas Raka.” Dara membuka diri. Ia melepaskan seluruh pakaian yang melekat pada tubuh.

Sedang Raka yang memiringkan tubuh membelakangi gadis itu memejamkan mata seolah tidak ada apa pun yang terjadi di sana.

Dara menarik bahu suaminya agar terlentang. Ia mengungkung tubuh kurus sang suami. Mengarahkan pusat dadanya pada bibir Raka. Saat ujung bagian tubuh berwarna merah muda itu menyentuh mulut Raka, gadis itu mendesah basah.

“Mas,” erang Dara. Tubuhnya bergetar seluruhnya. Ada yang berlarian dalam persendiannya yang tiba-tiba melemahkan seluruh otot. Dara bak kehilangan ketahanan.

“Berhenti, Dara!” Raka justru memekik dan mendorong tubuh bugil Dara ke ruang kosong di sisinya. Hingga perempuan itu terguling dan mendarat cukup kencang di kasur dengan napas yang tersendat.

“Sudah gila kamu, Dara! Kelakuan sudah seperti wanita murahan! Kamu pelacur, Dara!” geram Raka.

Muka Dara mengerut. Tidak percaya dengan apa yang mencuat keluar dari kerongkogan suaminya sendiri. Secara kilat, matanya terasa pedih bak terpercik abu. Napasnya sesak mendengar cacian yang dengan mudah lolos dari bibir laki-laki yang jelas-jelas adalah suaminya sendiri.

Mulut Dara seakan terkunci. Dia ingin meledakkan amarah dan protes, tetapi ada sesuatu yang menimpa dada hingga membuatnya kesulitan berbicara.

“Sudah betul aku tidak pulang! Malu aku melihatmu seperti itu, Dara! Di otakmu hanya ada seks dan seks!”

“Cukup!” Dara memegangi dadanya. Ia menarik selimut untuk membungkus tubuhnya.

“Kau bilang aku wanita murahan?! Aku merendahkan diriku di hadapanmu! Kau suamiku dan aku istrimu! Apa pantas kau menuduhku begitu?! Bahkan hingga kini aku masih menjaga kesucianku! Aku memberinya padamu! Tapi dengan mudahnya kamu menolakku mentah-mentah!”

“Karena kamu tidak pernah tahu waktu untuk meminta!” sengit Raka.

“Kapan?! Kapan waktu yang tepat untukku minta hakku, Mas! Tunjukkan kapan waktu itu! Tunjukkan!” Dara menjerit dengan derai air mata yang terus membanjiri pipinya.

Dia murka pada dirinya sendiri. Kenapa harus menangis? Air mata bajingan.

“Kau menolakku seolah aku tidak pantas untuk penyatuan sakral itu, Mas. Kau begitu jijik padaku. Apa arti dari perjuanganmu? Apa yang membuatmu begitu menolak kehadiranku?” suara Dara kembali melemah.

Berulang kali ia remas dadanya, bahkan tidak jarang dia pukul dada itu. Berharap bahwa rasa sakit itu menyingkir. Akan tetapi bukannya pergi justru kian dalam mengorek lara dalam ruang sempit di dada Dara.

“Aku muak melihatmu!” Pria itu kembali keluar. Menutup pintu kamar dengan sangat kencang. Dara yakin jika kelakuan pria itu akan terdengar dari luar rumahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status