Pukul satu setelah Dara pulang dari sekolah. Ia kirim pesan kepada semua wali murid yang memercayakan anak-anak mereka untuk diberikan pelajaran tambahan di rumahnya. Dara memulangkan sepedanya terlebih dulu. Ia memesan ojek seperti dulu.Setengah jam, ia sudah berada di bangunan tiga lantai itu. Dara menatap dari luar sebelum ia berani masuk ke dalam.“Ada apa, Mbak? Masuk saja kalau ada keluhan bisa langsung ke customer servis,” ujar satpam yang dulu juga sempat Dara temui.“Iya, Pak. Terima kasih.” Meninggalkan senyum yang mengembang untuk penjaga itu, kemudian Dara melangkah masuk ke bangunan tiga lantai itu.Disambut kembali dengan satpam yang membukakan pintu. Lantas diarahkan ke sebuah meja informasi yang dibutuhkan oleh Dara.“Boleh ceritakan keluhannya, Kak?”Dara menggigit bibir bawah bagian dalam. Dia ke sini bukan karena ada masalah dengan sim card di ponselnya. Melainkan dengan sang suami. Tapi, begitu tiba di tempat itu, ia tidak tahu harus berkata apa sekarang? Tidak mu
Setengah jam perjalanan dari kantor Aaron. Mata Dara membeliak tidak percaya melihat begitu anehnya bangunan yang ada di depannya saat ini. Ia langkahkan kaki melewati penjagaan yang hanya menatapnya dengan tatapan aneh tidak bisa diartikan. Tapi sorot mata laki-laki bertubuh kekar dengan dada menonjol bak perempuan itu sangat sangar.“Permisi,” izin Dara dengan takut-takut. Tidak lucu jika dia diseret keluar lagi. Namun ketakutannya tidak terbukti, gadis ini berhasil memasuki lorong gelap. Koridor dengan bangunan bata-bata estetik diterangi oleh lampu-lampu neon dengan pendar berwarna kuning.“Ini tempat apa, sih?” gerutu Dara tanpa menghentikan langkah. Ia terus menerobos masuk, suasana kian riuh. Dara bisa mendengar teriakan, desahan, dan juga suara cambukan— jika tidak salah.Bulu kuduk Dara bergidik. Aku masuk ke lubang setan kah? Batinnya berkecamuk. Bibir bagian dalamnya digigit dengan kuat untuk meredakan rasa gelisah yang timbul.Lagi, Dara merasa terkejut. Di ujung gang itu,
“Terima kasih sudah memberi tumpangan,” ucap Dara seraya turun dari mobil Aaron.“Jangan sungkan, Dara. Baiklah aku permisi,” pamit Aaron. Memberikan senyum hangat pada Dara kemudian melajukan mobilnya kembali saat daun pintu itu merapat kembali.Rahang Dara jatuh dan bahunya merosot. Dia tidak mendapati motor suaminya ada di halaman rumah. Artinya pria itu belum pulang atau memutuskan untuk tidak kembali.Semangat Dara sudah tidak bisa kembali. Setelah mandi ia hanya termangu di depan laptop. Biasanya membaca kolom komentar dari para reader-nya akan membuat mood-nya membaik. Akan tetapi hari ini Dara sangat kehilangan semangat juangnya.“Kamu kenapa, sih, Mas? Udah buat teka-teki aneh, sekarang menghindar dan juga jauhi aku. Mana bisa aku didiemin gini terus?” gerutunya seraya memeluk lututnya dan meletakkan kepalanya di atas lutut.Memikirkan begitu banyak kepingan puzzle yang harus Dara satukan membuatnya lelah dan tertidur. Di atas lantai dan juga didekap hawa dingin. Lantas tub
Lelah fisik dan juga pikiran Dara membuatnya pasrah. Tidak lagi menunggu kabar dari Raka. Juga tidak mengirimi pria itu pesan singkat. Dara tidak mau berjuang sendiri. Sekarang ia sibuk menata diri. Menguatkan mental agar kelak entah kapan waktu itu tiba, segala kebusukan dan juga tipuan Raka terbongkar, dia siap menerima semua konsekuensinya. Termasuk jika dirinya harus menjanda.Semalam tidurnya terlampau nyenyak hingga membuat terlambat bangun. Dara buru-buru menarik baju asal-asalan karena hari jum’at para guru dibebaskan memakai seragam apa saja yang penting batik.Ia tarik batik bewarna cokelat tua itu dan sesuatu yang tampak tebal dan berisi itu mencuat keluar. Beberapa kertas putih mirip struk-struk belanja pun ikut berserakan di lantai.“Apa-apaan?” gerutunya. Ia membungkuk dan memungut amplop cokelat tebal itu dan juga mencangkup kertas-kertas dengan berbagai ukuran panjang yang bervariasi.Matanya memicing, pusat pikirannya jelas menduga bahwa itu adalah uang. Tidak mungkin
Baru keluar dari rumah, sosok di ambang pagar rendah yang terbuat dari bambu miliknya membuat Dara jenggah. Ingin rasanya dia masuk kembali ke rumah untuk menghindarinya. Dara tahu betul siapa wanita itu. Ratu gosip yang suka melebih-lebihkan ceritanya.“Dara!” panggilnya dengan suara mendayu dan centil.“Maaf Bu, saya buru-buru sudah terlambat,”pamit Dara. Ia menuntun sepedanya hendak keluar dari pekerangan sempit rumahnya itu.“Cie yang kemarin baru diantar sama laki-laki tajir. Udah mulai sok jual mahal. Jadi selama ini kamu jarang kumpul dengan tetangga karena mau simpan bangkai, ya?” celetuknya yang langsung membuat Dara menghentikan langkah kaki.“Apa maksud Ibu? Jangan suka menebar fitnah, ya. Jangan sampai mulut Anda menjadi masalah untuk Anda sendiri!” ancam Dara.Dia sibuk dengan urusannya sendiri dari bangun hingga mau menutup mata lagi. Mana sempat Dara ngerumpi dengan ibu-ibu yang kurang kerjaan? Masalah hidupnya sendiri saja tidak karuan banyaknya.“Semua orang di sini
Sudah satu pekan sejak kejadian itu, Raka tidak pulang ke rumah. Dara sungguh tidak peduli, ia jalani kehidupan sebagaimana mestinya. Gadis itu pergi ke sekolah dan pulang untuk mencuci serta setrika pakaian orang, lantas memberikan pelajaran tambahan pada muridnya.Saat ini, ia lebih betah berada di sekolah. Bersama dengan anak-anak membuat hidupnya sedikit penuh dengan warna.“Miss, kenapa belum ada yang jemput aku, ya?” Langkah kaki mungil Leanor berhenti di sisi Dara, ia mengikuti posisi sang guru yang menunduk untuk membereskan kursi-kursi di kelas.“Oh— benarkah? Kalau begitu kita bisa menunggu Papa sambil bermain, bagaimana?”“Aku bosan, aku juga ngantuk, Miss,” keluhnya.Sejenak Dara berpikir. “Bagaimana kalau main ke rumah, Miss? Tapi di rumah Miss juga tidak ada mainan, bagaimana, dong?” tutur Dara seraya membelai pipi Leanor.“It’s okay. Aku boleh numpang tidur di sana kan?” Seketika Dara tersenyum hangat.“Tentu saja. Baiklah kalau begitu tunggu sebentar. Miss harus beres
Pukul lima petang, deru mobil terdengar di pinggir jalan rumah Dara. Gadis itu mengintip dari kaca buram di jendelanya. Ia lantas membuka pintu saat mengetahui siapa orang yang turun dengan terburu-buru dari mobil.“Maaf, Dara,” serunya saat sudah berada dekat dengan Dara yang berdiri di ambang pintu.“Tidak masalah, Pak. Lea aman bersama saya.”“Sungguh, ini tidak seharusnya terjadi. Mana ada terlambat selama tiga jam? Ini gila,” umpatnya lirih tidak mau Lea mendengarnya.“Dia sedang makan. Mari masuk.” Aaron melangkahkan kaki masuk ke dalam hunian wanita muda itu.Sama halnya dengan Lea, seraut wajah pria itu tampak biasa. Sejujurnya Dara malu, tetapi kenapa? Ini memang kehidupan yang sedang dia jalani bukan?“Bapak bisa temani Lea makan,” tawar Aaron.“Tidak, Dara. Ini sudah cukup merepotkanmu.”“Saya tidak merasa begitu, Pak.”“Berhenti memanggilku bapak, Dara. Aku tidak setua itu,” katanya dengan sunggingan senyum guna mencairkan situasi yang terasa begitu formal dan kaku.Dara p
“A! Bajingan kamu! Laki-laki nggak guna!” teriak Dara murka. Ia lepaskan kekecewaan, lara, luka yang sudah terlanjur mengoyak seluruh tubuhnya. Secara mental dan juga fisiknya. Dia lelah dan ingin menyerah sekarang juga.Gadis berambut panjang itu berhasil kabur dari amukan sang suami yang kian menggila. Raka menendang, menampar bahkan memukul berulangkali tubuh Dara tanpa ampun. Ia lontarkan kata-kata yang membuat harga diri Dara hancur.Wanita murahan!Wanita gatel!Wanita nggak guna!Kepalanya berdenyut jika mengingat itu semua, ini juga diakibatkan oleh benturan, tetapi bukan itu yang membuatnya menangis.Aku mencinta baru sekali, Tuhan. Lantas kenapa Kau datangkan pria seperti itu? Tidak adakah makluk lain selain dia? Kenapa aku begitu dibuat yakin dengan perjuangannya? Kemudian aku dibuang begitu saja? Batinnya terus berkesinambung.“Nggak ada gunanya lo teriak," sergah seseorang yang Dara tidak sadari keberadaannya sebelum itu.Ia tolehkan kepala beserta tubuhnya. Mencari tahu