PLAK!!
“Jaga kata-katamu itu, Aruna! Kau pikir kau bicara pada siapa?!”
Aruna, gadis yang baru saja ditampar itu menatap nanar pada sang ibu tiri. “Bu, aku tidak mungkin melakukan itu. Aku memiliki Julian, Bu…”
Lisa menatap Aruna dengan mata melebar karena marah. “Apa gunanya itu sekarang? Putra dari keluarga Ishak menyukaimu dan keluarga itu bisa menolong kesulitan keuangan kita! Aku tidak mau tau. Minggu depan kau akan mulai berkencan dengan Anton agar pernikahan kalian bisa dilaksanakan secepatnya!”
“Bu…”
“Sekali-kali jadilah berguna untuk keluarga!” Selesai berkata, Lisa membalikkan tubuh, mengambil tas tangannya dan keluar begitu saja dari rumah.
Aruna terhuyung dan berpegangan pada sandaran sofa dan berusaha duduk dengan menahan sesak di dadanya.
Apa yang tadi dikatakan oleh ibu tirinya itu?
Dirinya harus menikah dengan Anton? Playboy yang terkenal sejak Aruna SMA itu, memang mengejarnya. Aruna selalu menolaknya, karena ia telah memiliki Julian.
Ia dan Julian telah menjalin hubungan sejak lima tahun lalu. Bagaimana bisa ibu tirinya menjadikan ia sebagai alat untuk mengatasi keuangan mereka?
Lagipula, siapa yang telah hidup begitu boros? Menghabiskan sedikit demi sedikit aset-aset yang dulu dimiliki ayah Aruna?
Itu ibu tirinya dan saudara tirinya, Ferliana. Mereka berdua!
Lalu apa tadi yang dikatakan lagi oleh ibunya? Sekali-kali menjadi berguna untuk keluarga?
Ya Tuhan!
Semenjak ayahnya mengalami kecelakaan dan mengalami kebangkrutan perusahaan karena penipuan oleh asisten terpercayanya, dia lah yang menghidupi keluarga ini!
Aruna mengusap pipinya yang terasa panas dan membekas merah. Perlahan ia bangkit dan berjalan menuju kamar ayahnya yang tengah tertidur pulas.
“Ayah…” panggil Aruna pelan saat ia telah berada di tepi tempat tidur ayahnya yang menempati kamar kecil di lantai dua rumah, karena kamar utama ditempati oleh Lisa.
Melihat ayahnya masih terlelap, Aruna memanggil sekali lagi. “Ayah…”
Namun sang ayah tetap bergeming dan tak terbangun oleh panggilan Aruna. Aruna pun menghela napas sedih dan berbalik.
Satu-satunya harapan mungkin dengan meminta bantuan Julian. Ia mengeluarkan ponsel lalu menekan nomor Julian, kekasih Aruna.
“Halo… Jul…”
‘Aruna. Kok tumben jam segini menelepon. Biasanya kau sibuk mengurus makan malam ayahmu. Ada apa?’ Sebuah suara terdengar dari seberang telepon.
Aruna hendak membuka mulut untuk berkata, namun Julian di seberang sana lebih dulu menyelanya.
‘Ah, lupakan. Sebenarnya ini kebetulan kau meneleponku, Aruna. Ada suatu hal yang harus kita bicarakan juga.’
Aruna terkesiap. “Ada apa? Apakah ada sesuatu yang penting? Apa kau masih di kantor?”
Julian terdiam sejenak. ‘Tidak, aku sudah pulang dari kantor. Dan ya, ini cukup penting.’
“Ada kaitannya dengan kita?”
‘Ya… Ini memang tentang kita,’ jawab Julian.
Deg.
Perasaan gelisah serta merta menyerbu hati Aruna. “Ada.. apa tentang kita, Jul?” tanya Aruna hati-hati.
‘Emm… Aruna, sebenarnya aku…’
“Jul, apa sebaiknya kita bicara saat ketemu saja? Jika ini masalah penting, lebih baik kita bicara secara langsung,” Aruna dengan gugup memotong kalimat Julian. Perasaan gelisah di hatinya kian menjadi.
Entah ada apa, tapi ia seperti hendak menunda Julian mengeluarkan kalimatnya.
“Jul?”
Julian tidak menjawab Aruna beberapa detik. ‘Baiklah. Apa kau bisa keluar? Kita ketemu di Browners dalam setengah jam. Apa kau bisa?’
“Tapi… kalau sekarang, ibu baru keluar dan Ferli belum pulang. Tidak ada yang menjaga ayah di rumah,” ujar Aruna bingung. “Bagaimana jika besok? Sepulang kantor kita bertemu?”
Setelah beberapa saat, Julian menjawab. ‘Oke, besok. Agar tidak terlalu jauh, kita bertemu di Plaza Amerta dekat kantorku saja. Karena aku masih ada yang harus dilakukan setelah jam kantor besok.’
“Baik, besok di Plaza Amerta. Oh, ada coffee shop cukup enak disana. Kita ketemu disana saja.”
‘Ok.’
Sambungan telepon akhirnya usai setelah beberapa kalimat penutup. Namun rasa gelisah yang terjadi di hati Aruna, sama sekali tak mereda.
Ia hanya berusaha meyakinkan dirinya, bahwa rasa tak nyaman di hatinya ini, semata-mata karena perintah ibu tiri yang meminta dirinya menikah dengan Anton.
Ibu tirinya telah mengumpankan dirinya pada keluarga Ishak untuk mengatasi masalah keuangan mereka.
* * *
Keesokan harinya, seperti yang telah dijanjikan Aruna, ia datang ke Plaza Amerta sepulang kerja. Langkahnya terhenti di depan sebuah coffee shop di lantai tiga Plaza termegah di kotanya.
Aruna mengambil tempat duduk di sudut dekat jendela dengan tanaman artifisial yang ditata cantik di bawah jendela. Ia memesan Iced Mocha Latte dingin lalu menunggu kekasihnya --Julian-- dengan tenang.
Tak begitu lama, ia melihat seorang pria berperawakan cukup tinggi mengenakan setelan kemeja berwarna dadu dipadu celana katun berwarna coklat gelap masuk ke dalam coffee shop dan melambai pada Aruna.
Dengan hati senang Aruna mengangkat tangan untuk membalas lambaian pria itu. Namun tangannya terhenti di udara, saat melihat pria itu tidak datang sendiri.
Seorang wanita berparas cukup cantik dengan polesan make up yang cukup nyata, berjalan di belakang pria itu. Raut wajahnya tampak datar namun mengulas senyum ke arah Aruna saat sang pria menoleh pada wanita itu.
“Ferli? Kenapa dia disini bersama Julian?” bisik Aruna bingung. Namun ia memilih membalas senyuman Ferli, saudara tirinya, lalu menyapa Julian saat mereka akhirnya tiba di meja tempat Aruna berada.
“Kau tidak menunggu lama, kan?” Julian bertanya.
“Tidak, aku baru sampai dan sudah memesan minuman. Apa kau mau aku pesankan juga? Vietnam drip?” Aruna menawarkan dengan senyum kecil di bibir yang ia poles tipis dengan lip tint berwarna nude.
“Tidak perlu. Kami tidak akan lama, Aruna.”
“Kami?” Kening Aruna berkerut.
“Ya, aku dan Ferli. Kami ada urusan. Aku akan langsung saja bicara intinya,” sahut Julian lalu duduk setelah menggeser kursi di sebelahnya untuk Ferliana.
Tatapan Aruna jatuh pada keduanya bergantian. Ia semakin tidak mengerti mengapa Julian seolah mempersilahkan Ferliana duduk di samping Julian, sementara di sisinya pun masih ada satu kursi kosong.
“Ada… apa Jul?” Kalimat Aruna terdengar pelan dan sedikit ragu. Meskipun belum bisa menebak apa yang akan dibicarakan kekasihnya itu, namun dada Aruna mulai berdentum tak beraturan.
“Begini Aruna, aku tahu kita telah bersama selama lima tahun. Kita menjalani hubungan yang cukup baik..”
“Cukup baik?”
“Tolong jangan dipotong dulu. Biarkan aku selesai,” sergah Julian. “Namun ada masa memang aku mengalami titik jenuh dan sedikit bosan.”
‘Apa? Bosan?’ batin Aruna terkejut.
“Saat itulah, terjadi kekhilafan,” Julian menjeda kalimatnya.
Aruna menatap kedua mata Julian dengan pandangan kebingungan. Ia bisa menangkap sorot acuh namun juga sedikit kehati-hatian dari mata pria di depannya itu.
Dan sungguh ia tak menduga kalimat berikutnya akan terucap dari Julian, kekasihnya itu.
“Aruna,” Julian berdehem. “Sepertinya sudah saatnya kita sudahi hubungan kita. Ferliana sekarang bersamaku.”
“A-apa…?” Suara Aruna tercekat. Tenggorokannya terasa kering dan perih. Napasnya perlahan mulai memburu. “Maksudmu bagaimana?” “Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita, Aruna.” “Kenapa Jul? Aku berbuat salah apa? Kita bisa bicarakan baik-baik…” Aruna mencoba menahan dentum jantungnya yang menghentak sakit. Kedua matanya menyorot penuh kaget dan juga ketidakpahaman. Julian menghela napas berat. “Aku telah memikirkan ini matang-matang dan aku memutuskan ini bukan dalam waktu singkat, Aruna.” Melihat pandangan yang tanpa keraguan itu, Aruna tahu ia akan membuang tenaga percuma pada Julian. Ia lalu menoleh ke arah Ferliana dengan pandangan marah dan putus asa. “Kau…” Kalimat Aruna terhenti sesaat. Tenggorokannya terasa perih. “Kau sengaja melakukan ini, Fer? Kau tahu Julian adalah kekasihku dan kami akan bertunangan. Tiba-tiba Julian memutuskan aku lalu ingin bersamamu. Apa yang kau lakukan? Apa yang telah kau lakukan di belakangku??” Ferliana mengerjap. “Maaf, kak.. Aku… aku tidak
Kali ini pria di balik kemudi menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah Aruna hingga membuat Aruna memundurkan kembali kepalanya. Entah bagaimana sorot mata pria itu di balik kacamata hitamnya, namun Aruna bisa merasakan rasa dingin yang tiba-tiba menjalar di tengkuknya. “Jaga omongan Anda!” bentaknya kesal. Ia lalu berbalik lagi menengok ke arah kursi belakang. “Mai, tenang dulu. Iya nanti Ayah lihat dulu jadwal Ayah ya?” “Ngga mauuu!!! Ayah jahaaattt!! Aaaaahhhhnngg!!” Jeritan dan tangisan lalu terdengar cukup memekakkan telinga. ‘Oh, anaknya rupanya…’ Aruna melipat bibirnya ke dalam, sedikit merasa bersalah karena sempat menuduh pria di belakang kemudi itu sebagai penculik anak. “Mai… Ayah ini ada meeting. Ayah harus segera kembali ke kantor…” “Ngggaaaa!!! Jahaaattt!!!” Alih-alih mereda, tangisan itu kini terdengar lebih kencang. Bahkan terdengar kaki anak itu menghentak-hentak bagian belakang jok depan yang diduduki sang ayah. Sang ayah, alias pengemudi mobil yang Aruna tabr
Hari berikutnya. Pintu kayu berwarna coklat gelap itu terbuka perlahan. Aruna menjulurkan kepalanya dan kini ia bisa melihat seorang pria yang tergolek lemah di atas ranjang berukuran queen di dalam kamar itu. Pria yang sangat ia kasihi, yang demi dirinya, Aruna bersedia menelan semua kekecewaan dan amarah atas tindakan dan perlakuan dari ibu dan saudara tirinya. Kedua kaki Aruna melangkah pelan mendekati ranjang sang ayah. Sorot matanya yang redup mencerminkan kesedihan yang ia rasakan bertahun-tahun sejak kecelakaan itu terjadi. Ya. Kecelakaan. Kecelakaan yang membuat ayahnya lumpuh dan kehilangan kemampuan bicaranya serta kehilangan semua aset berharga mereka. Di tengah keterpurukan mereka dan ayahnya yang saat itu belum sadar dari koma nya berbulan-bulan, sekretaris sekaligus orang kepercayaan ayahnya berkhianat hingga perusahaan ayah Aruna pun mengalami kebangkrutan. “Yah… bangun sebentar ya Yah. Minum dulu obatnya…” Aruna duduk di tepian ranjang dan menepuk lembut bahu aya
Aruna sekarang berada di Plaza Amerta. Salah satu plaza terbesar dan termegah di ibukota ini. Entah ke berapa kali Aruna menghela napas, karena saat ini Aruna harus merelakan tabungannya terpakai demi menambahkan uang yang kurang untuk membeli kosmetik pesanan Lisa. Ibu tirinya menggunakan ancaman yang sama. Apabila Aruna tidak membelikannya, ia akan mengusir Aruna dan ayahnya ke jalanan. Rumah yang mereka tempati, sesungguhnya adalah milik ayah Aruna. Namun entah kapan dan bagaimana, kepemilikan rumah tersebut telah beralih menjadi milik ibu tirinya. Mereka sebenarnya sejak lama bisa saja menendang Aruna dan ayahnya ke luar dari rumah, namun Lisa masih membutuhkan Aruna untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah dan menghidupi dirinya dan Ferliana. Ayah Aruna memiliki dana asuransi atas kecelakaan yang ia alami. Namun dana tersebut dikuasai pula oleh sang ibu tiri, untuk keperluan dirinya sendiri beserta putrinya. Sementara untuk makan sehari-hari dan listrik, Aruna lah yang harus me
Aruna terhenyak kaget. “Kaya denger suara anak kecil. Apa salah denger kali ya…” gumam Aruna was was. “Duh… apa jangan-jangan suara ‘penghuni’ toilet ini?” Aruna bergidik lalu buru-buru memasukkan lembaran uang itu ke dalam tasnya. Tok tok tok. “Kak…. Apa ada orang di situ…” Suara kecil lirih terdengar lagi. Aruna menajamkan pendengarannya. “Itu… siapa yang ngetuk?” “Aku, Kak. Mau minta tolong…” ‘Ah, benar. Ini suara anak kecil. Manusia kah?’ “Tolongin Kak. Aku udah lama di sini ga bisa keluar…” Aruna mengernyitkan kening. “Apa kamu terjebak di situ?” “Iya Kak…” “Ya ampun!” Aruna bergegas berdiri dan keluar dari bilik toilet. Ia lalu beralih ke pintu di sebelah biliknya tadi. “Dek, kamu di sini?” “Iya Kak…” jawabnya lemah. Aruna lalu mencoba mendorong pintu toilet itu dengan kuat. “Kakak ngapain?” Terdengar suara kecil itu bertanya. “Kakak coba buka paksa pintunya…” jawab Aruna sambil terus mendorong pintu toilet itu. “Jangan Kak, nanti rusak. Nanti kebuka pintunya!” se
Aruna berhenti dan berdiri kaku di tempatnya. Jantungnya berdebar cepat dengan sedikit rasa khawatir menyergap. Ia menggigiti bibir bawahnya dan berharap pria itu tidak marah dan tidak akan melampiaskan kemarahan kepadanya. “Tunggu sebentar,” Pria itu berkata lagi. Ia berdiri dari posisi berjongkoknya sedari tadi. “Terima kasih,” ungkapnya singkat. Ia lalu menoleh pada Mai, menggandeng tangan kecil gadis itu lalu membawanya pergi menjauh dari pandangan Aruna. Aruna tersenyum simpul, lalu mengangkat bahunya. Ia pun berbalik kembali ke tujuan semula. Outlet kosmetik langganan ibunya. Baru lima langkah Aruna berjalan, tampak ia menepuk jidatnya sedikit keras. “Astaga! Lupa! Uang si Ayah Dingin itu!” Aruna membalikkan tubuh. Matanya memindai mencoba menemukan kedua sosok ayah anak itu. Nihil. Mereka berdua telah benar-benar hilang dari pandangan Aruna. * * * Pagi berikutnya, Aruna telah berada di dalam ruangan kantornya. Aruna telah bekerja sebagai anak magang di PT. Niskala Constr
Aruna masih terpaku di tempatnya berdiri, ketika beberapa pegawai staf senior hilir mudik dengan tergesa, seolah tempat ini akan diterpa bencana. Selang beberapa helaan napas, Aruna bergegas menuju ruang pantri di lantai itu dan dengan seksama mengikuti petunjuk yang tertera pada botol. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati meskipun hal ini baru pertama kali ia lakukan. Menyeduh teh aneh yang ia baru dengar namanya, dengan langkah demi langkah yang harus sesuai petunjuk. Begitu selesai, Aruna meletakkan tiga cangkir teh yang telah berhasil ia buatkan ke atas nampan lalu membawanya keluar dengan hati-hati. Aruna sempat mendengar sedikit suara gaduh di lorong area lift, ia menduga bahwa sang CEO telah datang. Dengan langkah yang terjaga ia keluar dari pantri dan bergegas menuju ruang pak Direktur yang berada satu lantai di atas. Ada keceriaan terpampang di wajah Aruna, karena ia berkesempatan melihat sang CEO yang konon katanya sangat sulit terlihat oleh khalayak umum. Ia membaya
“Hey kamu, pak CEO memanggilmu,” tegur pak Direktur ketika melihat Aruna yang masih berdiri membelakangi dirinya dan sang CEO duduk.Kedua tangan Aruna kian memeluk nampan dengan erat. Perlahan ia naikkan nampan itu hingga menutupi setengah wajahnya, lalu ia berbalik perlahan.“Y-ya Pak?”“Kamu menjatuhkan itu,” ujar sang CEO dengan arah matanya yang meruncing ke satu titik di lantai.Aruna menggeser pandangannya mengikuti arah mata sang CEO.Ia terkesiap mendapati name tagmiliknya yang tergeletak di sana. Tanpa menunggu detik berikutnya berlalu, ia bergegas mengambil name tag miliknya dan menyimpannya ke dalam saku blazer.“Apa kamu tidak bangga menjadi bagian dari keluarga besar PT Niskala?” suara rendah dan dingin itu memalu lagi jantung Aruna hingga membuatnya kesulitan bernapas normal.Sementara tiga pasang mata milik pak Direktur, pak General Manager dan pak Manager