Aruna sekarang berada di Plaza Amerta. Salah satu plaza terbesar dan termegah di ibukota ini. Entah ke berapa kali Aruna menghela napas, karena saat ini Aruna harus merelakan tabungannya terpakai demi menambahkan uang yang kurang untuk membeli kosmetik pesanan Lisa.
Ibu tirinya menggunakan ancaman yang sama. Apabila Aruna tidak membelikannya, ia akan mengusir Aruna dan ayahnya ke jalanan.
Rumah yang mereka tempati, sesungguhnya adalah milik ayah Aruna. Namun entah kapan dan bagaimana, kepemilikan rumah tersebut telah beralih menjadi milik ibu tirinya.
Mereka sebenarnya sejak lama bisa saja menendang Aruna dan ayahnya ke luar dari rumah, namun Lisa masih membutuhkan Aruna untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah dan menghidupi dirinya dan Ferliana.
Ayah Aruna memiliki dana asuransi atas kecelakaan yang ia alami. Namun dana tersebut dikuasai pula oleh sang ibu tiri, untuk keperluan dirinya sendiri beserta putrinya. Sementara untuk makan sehari-hari dan listrik, Aruna lah yang harus menanggungnya.
Karena itu, seolah perjanjian tanpa hitam di atas putih, Aruna dan ayahnya bisa tinggal di sana, namun Aruna harus bersedia menjadi tulang punggung dan melakukan semua pekerjaan rumah tangga di keluarga itu.
“Kenapa mereka ngga pake otak dikit sih ya… Hidup kita sudah ngga kaya dulu lagi. Kenapa ngga sedikit nurunin standar kosmetik mereka sih? Astaga…” Aruna tak henti-hentinya mendumel sambil melebarkan langkah menuju outlet khusus kosmetik langganan ibu tirinya.
Merek kosmetik yang dipakai ibu tirinya memang hanya ada di Plaza ini dan di satu Plaza lain yang jaraknya lebih jauh dari tempat tinggal Aruna.
Meskipun varian dan seri yang dipakai ibu tiri Aruna adalah varian terendah dan termurah, namun tetap saja bagi Aruna, kosmetik dengan harga mahal sangatlah tidak penting dengan kondisi keuangan mereka.
Pernah Aruna terpikir untuk membelikan barang ‘kw’ alias tiruan, namun hingga saat ini, Aruna tak mendapatkan replika dari merek kosmetik tersebut.
“Ah, itu dia…” desah Aruna lega saat melihat outlet yang hendak dituju berada sekitar sepuluh meter lagi darinya.
Baru saja Aruna akan melangkahkan kakinya, suara ponsel miliknya berdering.
“Halo? Ya Bu? Runa baru sampai di Plaza, Bu. Ya Bu. Oke…” singkat Aruna menjawab telepon dari ibu tirinya. Tanpa menghentikan langkah, ia menjawab dan sesekali mengangguk seolah pihak yang menelepon ada di hadapannya.
Bug!
Seseorang dengan badan yang lebih tinggi dan besar dari dirinya, menubruk bahu kiri Aruna, hingga ponsel terlepas dari tangannya.
“Aduh…” Aruna bergegas memungut ponselnya dari lantai granit plaza. Alisnya bertaut dan memeriksa keadaan ponselnya. Dengan gusar ia menoleh pada orang yang tadi menabraknya.
Matanya membulat sempurna, saat mendapati orang yang baru saja menabraknya berjalan melewati dirinya begitu saja tanpa meminta maaf padanya.
Dengan tatapan seolah hendak mencabik orang itu, Aruna bergegas menyusul dan menarik lengan orang tak sopan tersebut.
“Hey!” seru Aruna gusar. “Punya sopan santun gak sih? Kamu habis nabrak orang lalu melengos begitu aja? Apa kamu…” Kalimat Aruna terhenti.
Orang itu telah berbalik dan menghadap Aruna. Aruna mengernyitkan kening mendapati wajah orang itu yang tampak tak asing.
Rahang tegas dan kokoh yang membingkai sepasang alis cukup lebat dengan mata bermanik hitam pekat serta hidung mancung sempurna di atas lekukan bibir yang indah. Aruna terpesona sekian detik.
Pria itu berdecak enggan.
“Kamu butuh berapa?” tanyanya dingin dan tanpa ekspresi, yang menyadarkan Aruna dari terkesimanya.
Aruna tergagap. “A- apa?”
“Kamu butuh berapa?” ulang pria itu sambil mengeluarkan dompet dari saku celananya. “Tidak perlu membuat keributan. Katakan saja perlu berapa?”
Tangan pria itu lalu menyodorkan sekitar dua puluh lembar kertas berwarna merah dengan gambar presiden pertama negara ini dengan wakilnya.
“Cukup?” tanyanya tak sabar pada Aruna yang masih terbengong berdiri.
“A-apa….”
“Kurang? Berapa lagi?” Tangan pria itu kembali mengeluarkan beberapa belas lembar kertas merah lagi. “Saya hanya membawa cash segini di dompet.”
Darah dalam tubuh Aruna serasa mendidih mendengar kalimat-kalimat yang dilontarkan pria itu tanpa konfirmasi. Apa dia pikir, Aruna sedang berdagang? Meski lembaran warna merah itu benar-benar menggoda iman, namun harga diri Aruna tidak semurah itu!
“Cepatlah, ambil ini. Saya sedang terburu-buru,” tukas pria itu sedikit kesal. Kontan saja itu meledakkan Aruna dari kubah kesabarannya.
“Heh! Anda pikir semua bisa diselesaikan dengan uang begitu saja?! Apa Anda tidak diajari sopan santun?” jari telunjuk Aruna teracung di depan wajah pria itu. Meski ia harus menaikkan tinggi-tinggi lengannya, karena postur pria itu yang jauh lebih tinggi darinya.
Pria itu tampak mengernyitkan dahinya. “Bukankah memang demikian?”
“Apa?”
“Uang menyelesaikan semuanya,” ulangnya dingin. “Sudahlah, tak perlu retorika. Ambil uang ini, waktu saya jauh lebih penting.” Berkata demikian, ia meletakkan berlembar-lembar uang itu ke tangan Aruna lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya yang tertunda karena Aruna.
“Hey!!” Aruna berseru gusar. Namun pria itu terus berlalu tanpa menghiraukan seruan Aruna.
Beberapa lembar uang terjatuh dari tangan Aruna. Aruna bergegas memungut uang tersebut tatkala menyadari beberapa pasang mata tengah memperhatikan dirinya.
Dengan perasaan malu dan kesal luar biasa, Aruna urung menuju outlet kosmetik tujuannya. Ia melangkahkan kaki menuju toilet perempuan di lantai itu.
“Sial! Sial!” gerutu Aruna pelan. Ia lalu memasuki salah satu bilik toilet dan duduk di atas kloset tertutup. Ia memandangi lembaran merah yang kini ada di pangkuannya. Hatinya tergelitik untuk menghitung jumlah uang di tangannya itu.
Satu… Dua… Tiga… Dua puluh tujuh…
“Dua juta tujuh ratus!” pekik Aruna tertahan. Ia langsung menutup mulutnya begitu sadar ia berada di toilet umum.
‘Hanya kesenggol bahu, dan adu urat yang ngga sampai tiga menit, aku dapat uang dua juta tujuh ratus…’ ujar Aruna dalam hati.
“Kalau ini jadi pekerjaan, enak banget. Sehari bisa dapat berapa nih…” desisnya lagi dengan satu sudut bibir terangkat.
“Eh, hussh!! Jangan mata duitan, Aruna! Stop! Kamu ga akan ambil duit dari orang arogan dan gak punya sopan santun seperti pria tadi itu kan?” Aruna menepuk pelipisnya sendiri.
“Meskipun dia ganteng dan seperti banyak duit, bukan berarti kamu iya iya aja sama kelakuan sombong kaya gitu,” monolog Aruna. Ia memandangi lagi lembaran di pangkuannya.
Ia memang tergoda untuk menggunakan uang itu untuk membeli kosmetik pesanan ibu tirinya. Sehingga uang tabungan Aruna tak mesti terganggu.
Tapi… Ini sungguh bertentangan dengan nurani Aruna.
“Jika aku ambil uang ini, bukan berarti aku menyetujui tindakan angkuh dan tak sopannya itu, kan? Lagian jika mau dikembalikan, kembalikan ke mana?”
Ketika perdebatan antara dirinya sendiri itu berlangsung, sebuah ketukan kecil terdengar di sisi kanan bilik Aruna.
“Kak… Kakak yang di sana… Bisa dengar aku, ga?”
Aruna terhenyak kaget. “Kaya denger suara anak kecil. Apa salah denger kali ya…” gumam Aruna was was. “Duh… apa jangan-jangan suara ‘penghuni’ toilet ini?” Aruna bergidik lalu buru-buru memasukkan lembaran uang itu ke dalam tasnya. Tok tok tok. “Kak…. Apa ada orang di situ…” Suara kecil lirih terdengar lagi. Aruna menajamkan pendengarannya. “Itu… siapa yang ngetuk?” “Aku, Kak. Mau minta tolong…” ‘Ah, benar. Ini suara anak kecil. Manusia kah?’ “Tolongin Kak. Aku udah lama di sini ga bisa keluar…” Aruna mengernyitkan kening. “Apa kamu terjebak di situ?” “Iya Kak…” “Ya ampun!” Aruna bergegas berdiri dan keluar dari bilik toilet. Ia lalu beralih ke pintu di sebelah biliknya tadi. “Dek, kamu di sini?” “Iya Kak…” jawabnya lemah. Aruna lalu mencoba mendorong pintu toilet itu dengan kuat. “Kakak ngapain?” Terdengar suara kecil itu bertanya. “Kakak coba buka paksa pintunya…” jawab Aruna sambil terus mendorong pintu toilet itu. “Jangan Kak, nanti rusak. Nanti kebuka pintunya!” se
Aruna berhenti dan berdiri kaku di tempatnya. Jantungnya berdebar cepat dengan sedikit rasa khawatir menyergap. Ia menggigiti bibir bawahnya dan berharap pria itu tidak marah dan tidak akan melampiaskan kemarahan kepadanya. “Tunggu sebentar,” Pria itu berkata lagi. Ia berdiri dari posisi berjongkoknya sedari tadi. “Terima kasih,” ungkapnya singkat. Ia lalu menoleh pada Mai, menggandeng tangan kecil gadis itu lalu membawanya pergi menjauh dari pandangan Aruna. Aruna tersenyum simpul, lalu mengangkat bahunya. Ia pun berbalik kembali ke tujuan semula. Outlet kosmetik langganan ibunya. Baru lima langkah Aruna berjalan, tampak ia menepuk jidatnya sedikit keras. “Astaga! Lupa! Uang si Ayah Dingin itu!” Aruna membalikkan tubuh. Matanya memindai mencoba menemukan kedua sosok ayah anak itu. Nihil. Mereka berdua telah benar-benar hilang dari pandangan Aruna. * * * Pagi berikutnya, Aruna telah berada di dalam ruangan kantornya. Aruna telah bekerja sebagai anak magang di PT. Niskala Constr
Aruna masih terpaku di tempatnya berdiri, ketika beberapa pegawai staf senior hilir mudik dengan tergesa, seolah tempat ini akan diterpa bencana. Selang beberapa helaan napas, Aruna bergegas menuju ruang pantri di lantai itu dan dengan seksama mengikuti petunjuk yang tertera pada botol. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati meskipun hal ini baru pertama kali ia lakukan. Menyeduh teh aneh yang ia baru dengar namanya, dengan langkah demi langkah yang harus sesuai petunjuk. Begitu selesai, Aruna meletakkan tiga cangkir teh yang telah berhasil ia buatkan ke atas nampan lalu membawanya keluar dengan hati-hati. Aruna sempat mendengar sedikit suara gaduh di lorong area lift, ia menduga bahwa sang CEO telah datang. Dengan langkah yang terjaga ia keluar dari pantri dan bergegas menuju ruang pak Direktur yang berada satu lantai di atas. Ada keceriaan terpampang di wajah Aruna, karena ia berkesempatan melihat sang CEO yang konon katanya sangat sulit terlihat oleh khalayak umum. Ia membaya
“Hey kamu, pak CEO memanggilmu,” tegur pak Direktur ketika melihat Aruna yang masih berdiri membelakangi dirinya dan sang CEO duduk.Kedua tangan Aruna kian memeluk nampan dengan erat. Perlahan ia naikkan nampan itu hingga menutupi setengah wajahnya, lalu ia berbalik perlahan.“Y-ya Pak?”“Kamu menjatuhkan itu,” ujar sang CEO dengan arah matanya yang meruncing ke satu titik di lantai.Aruna menggeser pandangannya mengikuti arah mata sang CEO.Ia terkesiap mendapati name tagmiliknya yang tergeletak di sana. Tanpa menunggu detik berikutnya berlalu, ia bergegas mengambil name tag miliknya dan menyimpannya ke dalam saku blazer.“Apa kamu tidak bangga menjadi bagian dari keluarga besar PT Niskala?” suara rendah dan dingin itu memalu lagi jantung Aruna hingga membuatnya kesulitan bernapas normal.Sementara tiga pasang mata milik pak Direktur, pak General Manager dan pak Manager
Hanya sekitar sepuluh menit Aruna berada dalam ruangan Manager, lehernya sedikit berkeringat. Namun ia telah bisa bernapas lega, karena ternyata pak Dharma hanya memperingatkan dirinya agar tidak seceroboh itu dan meminta Aruna menyimpan botol teh Rooibos kembali ke ruangan pak Dharma. Waktu masih menunjukkan satu jam setengah lagi sebelum seluruh staf dan pegawai di kantor itu dapat pulang. Aruna telah menenggelamkan dirinya menyelesaikan pekerjaan tambahan yang dilimpahkan padanya oleh Sandra. Hingga tiba waktu pulang, Aruna segera membenahi barang-barang miliknya dan bergegas meninggalkan lantai delapan belas menuju lantai dasar. Menyapa ala kadarnya pada beberapa rekan kerja dan sekuriti, ia memesan ojek online untuk mengantarkan dirinya ke satu tempat. Aruna tiba di`sebuah cafe empat puluh menit berikutnya. “Aruna!” Seorang wanita muda seumuran Aruna melambaikan tangan ketika Aruna melewati pintu masuk cafe itu. Aruna melemparkan senyumnya dan mempercepat langkah meng
Di satu kediaman di salah satu kawasan paling prestisius di ibukota. Ruang tengah sebuah rumah luar biasa besar yang menampilkan lantai kayu herringbone, dengan meja marmer Italia di atas permadani tebal dan halus. Seorang pria tengah berdiri berhadapan dengan seorang gadis kecil. Pria itu masih mengenakan setelan piyama dengan kimono keluaran brand ternama dari Italia yang membalut tubuh tinggi atletisnya. Wajah pria itu tampak muram, namun tidak mengurangi ketampanannya yang mengimbangi aktor kelas atas hollywood. Sementara gadis kecil yang berdiri di hadapannya, memeluk teddy bear berwarna coklat dengan menunjukkan raut wajah yang tak kalah suramnya. Wajahnya tampak memerah. Dengan sudut mata berkaca dan tampak begitu rapuh. “Aku ga mau ada nanny, Ayah. Aku maunya ayah!!” pekiknya histeris. Ia menghentak kaki lalu berlari menuju tangga klasik besar. “Mai!” Namun gadis kecil itu tidak memedulikan panggilan ayahnya sama sekali. Pria itu pun menghempas tubuh ke atas sofa dengan
Ruang sangat luas dengan furnitur kantoran yang dipesan dan didesain khusus didominasi dengan warna kelabu dan putih. Di satu sisi ruang dekat jendela besar yang mempersembahkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit, Brahmana duduk di atas kursi kerja besarnya dengan sebelah tangan di bawah dagu. “Ada lagi Tuan?” Seorang pria berambut lurus klimis dengan poni yang disisir ke samping, bertanya pada Brahmana. Ia membetulkan letak kacamatanya. “Sudah itu saja,” jawab Brahmana singkat. Pria yang berdiri di depan Brahmana itu mengangguk lalu membungkuk hormat dan berbalik badan. Namun baru beberapa langkah, Brahmana memanggilnya. “Tunggu Fathan.” Pria bernama Fathan itu, berbalik kembali. “Ya Tuan?” “Carikan seseorang untukku,” Brahmana menjeda kalimatnya. “Seorang wanita muda.” Kening Fathan, sekretaris Brahmana itu berkerut samar. “Wanita… muda?” tanyanya meyakinkan bahwa telinganya tidak salah dengar. “Jangan berpikir konyol,” sentak Brahmana. Fathan menelan kembali kalima
‘Kenapa harus hari ini sih…?’Aruna membatin.Kedua tangannya mengambil beberapa piring dari laci bawah lalu meletakkannya dengan hati-hati ke atas meja.Lisa tadi menghubunginya melalui telepon, bahwa Julian akan ikut makan malam bersama mereka malam ini dan tentu saja Aruna yang harus menyiapkan semuanya.Ibu tirinya itu masih di luar dan ketika Aruna bertanya mengapa tidak membeli makanan dari luar, Lisa hanya mengatakan bahwa lebih hemat jika Aruna yang memasak dan menyiapkannya.Karena itu, di sinilah Aruna sekarang.Alih-alih ia beristirahat di kamar lalu mengurusi ayahnya, ia malah berada di dapur untuk memulai segala kesibukan mempersiapkan makan malam dengan tambahan tamu di rumah mereka.Tamu yang sungguh ingin Aruna hindari untuk bertatap muka saat ini, demi kelangsungan hatinya yang tengah ia tata dari rasa sakit dan kecewa.Namun ia tak memiliki daya untuk menolak semua titah dan keinginan