Aruna masih terpaku di tempatnya berdiri, ketika beberapa pegawai staf senior hilir mudik dengan tergesa, seolah tempat ini akan diterpa bencana.
Selang beberapa helaan napas, Aruna bergegas menuju ruang pantri di lantai itu dan dengan seksama mengikuti petunjuk yang tertera pada botol.
Ia melakukannya dengan sangat hati-hati meskipun hal ini baru pertama kali ia lakukan. Menyeduh teh aneh yang ia baru dengar namanya, dengan langkah demi langkah yang harus sesuai petunjuk.
Begitu selesai, Aruna meletakkan tiga cangkir teh yang telah berhasil ia buatkan ke atas nampan lalu membawanya keluar dengan hati-hati.
Aruna sempat mendengar sedikit suara gaduh di lorong area lift, ia menduga bahwa sang CEO telah datang.
Dengan langkah yang terjaga ia keluar dari pantri dan bergegas menuju ruang pak Direktur yang berada satu lantai di atas.
Ada keceriaan terpampang di wajah Aruna, karena ia berkesempatan melihat sang CEO yang konon katanya sangat sulit terlihat oleh khalayak umum. Ia membayangkan hari ini bisa saja sebagai hari keberuntungannya.
Membayangkan bisa menyerap aura karismatik CEO dan mendapat sedikit dari keberuntungan dari yang dimiliki oleh orang nomor satu di perusahaan ini.
Langkah Aruna terhenti, manakala ia melihat satu rombongan pria berjas berjalan menuju ruang direktur.
Pak Direktur berjalan di sisi pria tinggi berjas abu muda, berada paling depan dengan sedikit mengobrol.
Sementara satu orang yang tampak seperti seorang asisten berada di belakang pria berjas abu bersisian dengan General Manager, lalu dua orang lainnya yang bertubuh tinggi tegap dengan semacam earpiece terpasang di telinga mereka, berada paling belakang.
Rombongan itu sempat berhenti sejenak saat berada tepat depan pintu direktur. Pak direktur membukakan pintu sendiri dan mempersilahkan pria dalam setelan jas abu muda untuk masuk.
Pria berjas abu muda itu memutar tubuh lalu melangkah masuk. Dan tepat saat itulah mata Aruna menangkap sosok pria berjas muda itu dari samping, dengan jelas.
Aruna mendesak keningnya hingga berkerut. Ia mencoba mengingat pria yang tampak familiar itu. Wajah dengan hidung mancung itu. Memorinya berputar pada malam dan siang kemarin.
Bola mata Aruna membelalak seolah hendak lompat keluar dari tempatnya.
“Di-dia… CEO Da-Dananjaya Group??!”
Ia mengingatnya sekarang.
Pria yang memberikan lembaran-lembaran uang seratus ribuan di plaza kemaren malam dengan anak yang terjebak di toilet, itu adalah pria yang sama dengan yang dilihatnya barusan!
Pria itu CEO Dananjaya Group?!
Dananjaya Group, sebuah holding company dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar negara ini. Belasan anak perusahaan yang tergabung di dalamnya adalah perusahaan-perusahaan yang memimpin di industri masing-masing.
Sebuah entitas yang membuat merinding pesaing-pesaingnya dalam lini bisnis yang sama. Dan di pucuk pimpinannya, adalah pria Tak Sopan dan Tak Peka itu!
Ayah dari anak yang membasahi celananya di toilet karena tak tahan dan malah dimarahi sang ayah.
Dan PT Niskala Construction ini, hanyalah salah satu perusahaan di bawah Dananjaya Group!
“Mampus! Mampus!” umpat Aruna berbisik pada dirinya sendiri.
Dirinya langsung teringat kata-kata makian yang dilontarkan di hadapan sang CEO itu, belum lagi jemarinya yang benar-benar lancang menunjuk-tunjuk muka sang CEO, saat pria itu mengabaikan dirinya sehabis menyenggolnya.
Keringat dingin mulai mengucur di pelipis Aruna. Kepalanya celingukan kanan dan kiri berusaha mendapati seseorang menggantikan dirinya membawakan minuman ini ke ruang Direktur.
“Kemana si om Yan dan Nunik, sih?! Giliran lagi begini, tu orang dua kaya makhluk goib aja, ngilang!” Aruna merasakan seluruh sendi tubuhnya lemas.
“Habislah riwayatku di perusahaan ini. Tamat sudah mimpi bekerja di sini. Aruna, kau akan menjadi pengangguran…” ratapnya lirih.
“Aruna, ngapain kamu masih berdiri di sini? Cepat bawakan minumannya ke dalam!” tegur pak Dharma Manager Produksi, mengagetkan Aruna.
“Pak, Sa-saya…”
“Ayo cepat. Kalau kau masih doyan kerja di sini, jangan buang waktu lagi,” tegas pak Dharma.
Ingin rasanya Aruna menangis dan berteriak, ‘ngga buru-buru masuk ke dalam sana pun karena aku masih doyan kerja di sini, Pak!’
“Tunggu apalagi? Ayo cepat!” Pak Dharma tampak mendelik dan berkata kesal pada Aruna.
Tak punya pilihan lain, Aruna mengangguk gugup.
Dengan langkah setengah diseret, ia akhirnya mengikuti pak Dharma yang mendorong pintu ruang Direktur. Mempercepat langkah, Aruna berusaha bersembunyi di belakang punggung pak Dharma.
“Kamu ngapain? Sana letakkan minumannya di meja,” bisik pak Dharma dengan kepala menoleh sedikit ke belakang. Lalu ia segera beralih kepada tamu agung di depannya yang duduk di sisi kanan Direktur. “Maaf Pak, saya baru saja memesankan teh kesukaan Bapak, jadi agak telat menghidangkannya.”
Menggunakan kesempatan semua orang dalam ruangan itu yang tengah memperhatikan pak Dharma berkata, Aruna dengan kepala menunduk dalam-dalam, meletakkan tiga cangkir teh ke atas meja.
Ia bergegas membungkuk sekilas dan berbalik cepat untuk keluar dari ruangan tersebut.
“Tunggu,” suara rendah dan tegas itu menghantam jantung Aruna.
‘Tamat riwayatku!’
“Hey kamu, pak CEO memanggilmu,” tegur pak Direktur ketika melihat Aruna yang masih berdiri membelakangi dirinya dan sang CEO duduk.Kedua tangan Aruna kian memeluk nampan dengan erat. Perlahan ia naikkan nampan itu hingga menutupi setengah wajahnya, lalu ia berbalik perlahan.“Y-ya Pak?”“Kamu menjatuhkan itu,” ujar sang CEO dengan arah matanya yang meruncing ke satu titik di lantai.Aruna menggeser pandangannya mengikuti arah mata sang CEO.Ia terkesiap mendapati name tagmiliknya yang tergeletak di sana. Tanpa menunggu detik berikutnya berlalu, ia bergegas mengambil name tag miliknya dan menyimpannya ke dalam saku blazer.“Apa kamu tidak bangga menjadi bagian dari keluarga besar PT Niskala?” suara rendah dan dingin itu memalu lagi jantung Aruna hingga membuatnya kesulitan bernapas normal.Sementara tiga pasang mata milik pak Direktur, pak General Manager dan pak Manager
Hanya sekitar sepuluh menit Aruna berada dalam ruangan Manager, lehernya sedikit berkeringat. Namun ia telah bisa bernapas lega, karena ternyata pak Dharma hanya memperingatkan dirinya agar tidak seceroboh itu dan meminta Aruna menyimpan botol teh Rooibos kembali ke ruangan pak Dharma. Waktu masih menunjukkan satu jam setengah lagi sebelum seluruh staf dan pegawai di kantor itu dapat pulang. Aruna telah menenggelamkan dirinya menyelesaikan pekerjaan tambahan yang dilimpahkan padanya oleh Sandra. Hingga tiba waktu pulang, Aruna segera membenahi barang-barang miliknya dan bergegas meninggalkan lantai delapan belas menuju lantai dasar. Menyapa ala kadarnya pada beberapa rekan kerja dan sekuriti, ia memesan ojek online untuk mengantarkan dirinya ke satu tempat. Aruna tiba di`sebuah cafe empat puluh menit berikutnya. “Aruna!” Seorang wanita muda seumuran Aruna melambaikan tangan ketika Aruna melewati pintu masuk cafe itu. Aruna melemparkan senyumnya dan mempercepat langkah meng
Di satu kediaman di salah satu kawasan paling prestisius di ibukota. Ruang tengah sebuah rumah luar biasa besar yang menampilkan lantai kayu herringbone, dengan meja marmer Italia di atas permadani tebal dan halus. Seorang pria tengah berdiri berhadapan dengan seorang gadis kecil. Pria itu masih mengenakan setelan piyama dengan kimono keluaran brand ternama dari Italia yang membalut tubuh tinggi atletisnya. Wajah pria itu tampak muram, namun tidak mengurangi ketampanannya yang mengimbangi aktor kelas atas hollywood. Sementara gadis kecil yang berdiri di hadapannya, memeluk teddy bear berwarna coklat dengan menunjukkan raut wajah yang tak kalah suramnya. Wajahnya tampak memerah. Dengan sudut mata berkaca dan tampak begitu rapuh. “Aku ga mau ada nanny, Ayah. Aku maunya ayah!!” pekiknya histeris. Ia menghentak kaki lalu berlari menuju tangga klasik besar. “Mai!” Namun gadis kecil itu tidak memedulikan panggilan ayahnya sama sekali. Pria itu pun menghempas tubuh ke atas sofa dengan
Ruang sangat luas dengan furnitur kantoran yang dipesan dan didesain khusus didominasi dengan warna kelabu dan putih. Di satu sisi ruang dekat jendela besar yang mempersembahkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit, Brahmana duduk di atas kursi kerja besarnya dengan sebelah tangan di bawah dagu. “Ada lagi Tuan?” Seorang pria berambut lurus klimis dengan poni yang disisir ke samping, bertanya pada Brahmana. Ia membetulkan letak kacamatanya. “Sudah itu saja,” jawab Brahmana singkat. Pria yang berdiri di depan Brahmana itu mengangguk lalu membungkuk hormat dan berbalik badan. Namun baru beberapa langkah, Brahmana memanggilnya. “Tunggu Fathan.” Pria bernama Fathan itu, berbalik kembali. “Ya Tuan?” “Carikan seseorang untukku,” Brahmana menjeda kalimatnya. “Seorang wanita muda.” Kening Fathan, sekretaris Brahmana itu berkerut samar. “Wanita… muda?” tanyanya meyakinkan bahwa telinganya tidak salah dengar. “Jangan berpikir konyol,” sentak Brahmana. Fathan menelan kembali kalima
‘Kenapa harus hari ini sih…?’Aruna membatin.Kedua tangannya mengambil beberapa piring dari laci bawah lalu meletakkannya dengan hati-hati ke atas meja.Lisa tadi menghubunginya melalui telepon, bahwa Julian akan ikut makan malam bersama mereka malam ini dan tentu saja Aruna yang harus menyiapkan semuanya.Ibu tirinya itu masih di luar dan ketika Aruna bertanya mengapa tidak membeli makanan dari luar, Lisa hanya mengatakan bahwa lebih hemat jika Aruna yang memasak dan menyiapkannya.Karena itu, di sinilah Aruna sekarang.Alih-alih ia beristirahat di kamar lalu mengurusi ayahnya, ia malah berada di dapur untuk memulai segala kesibukan mempersiapkan makan malam dengan tambahan tamu di rumah mereka.Tamu yang sungguh ingin Aruna hindari untuk bertatap muka saat ini, demi kelangsungan hatinya yang tengah ia tata dari rasa sakit dan kecewa.Namun ia tak memiliki daya untuk menolak semua titah dan keinginan
Aruna terbatuk. Ia letakkan gelas di tangannya dan mengelap sedikit mulutnya dengan punggung tangan, ia lalu tersenyum masam dalam hati. Mengagumi, betapa hebat akting duo ibu anak itu. Lihai mengolah kata seakan merekalah yang menjadi korbannya selama ini. Tapi demi apapun, Aruna sangat enggan untuk mendebat mereka dan membela dirinya sendiri. Untuk apa? Julian tidak akan kembali padanya. Lalu itu juga tidak akan menjadikan duo ibu-anak itu bersikap lebih baik padanya. Justru akan sebaliknya, bertambah parah dan menjadi-jadi jika ia melakukan perlawanan. Belum lagi ancaman yang selalu dilontarkan sang ibu tiri. Menendang dirinya dan sang ayah keluar dari rumah ini. Bagaimana Aruna bisa membiarkan hal itu terjadi? Ia mengangkat kepala dan bersitatap dengan Julian yang ternyata telah lebih dulu melempar pandangan pada dirinya. Sorot mata itu terlihat memancarkan kecewa dan juga keterkejutan. Tapi Aruna tak ingin peduli. “Kau… tidak selayaknya bersikap seperti itu pada adik
“Berdasarkan olah CCTV di Amerta, target memasuki outlet Allioppe Co dan melakukan pembelanjaan sejumlah perawatan kecantikan di sana.” Brahmana mendengarkan seksama penuturan Fathan yang membacakan hasil pelacakan yang diperintahkan padanya kemarin. “Melihat seleranya terhadap kosmetik, kemungkinan besar target berasal dari golongan cukup berada, Tuan,” lanjut Fathan. “Hm.” Brahmana merespon singkat. Mereka berdua jelas paham, konsumen Allioppe Co adalah kalangan berduit. Allioppe Co adalah brand keluaran salah satu anak perusahaan dalam naungan Dananjaya Group, yaitu PT. Cosmo. PT. Cosmo mengeluarkan produk di bawah nama Allioppe Co dengan target sasaran menengah ke atas. Tentu saja, mengetahui bahwa wanita muda yang tengah mereka cari ini ternyata berbelanja di counter Allioppe Co, memberikan penilaian bahwa wanita tersebut termasuk kalangan berada. “Belum tentu,” Brahmana tiba-tiba berujar. “Ya?” Fathan mengangkat pandangannya dari berkas yang ia baca, ke arah Brahmana yang
Masih dalam balutan rasa kecewa dan sakit di relung dada, Aruna pada akhirnya berada di depan satu restoran ternama di kotanya. Kepalanya sedikit mendongak membaca plang restoran yang terlihat elegan dan menjatuhkan pandangan pada bangunan resto yang megah. Tarikan napas dalam dilakukannya perlahan. Dulu, saat ayahnya masih dalam keadaan sehat dan berjaya, ia sering makan di resto ini bersama sang ayah. Sekalipun mereka hanya hidup berdua sepeninggal ibu kandungnya, Aruna tidak menemukan ingatan bahwa ia kehilangan kasih sayang dari sebuah keluarga. Sang ayah berusaha menjalankan peranannya dengan baik, dan menjadi sahabat bagi Aruna. Namun sejak kehadiran Lisa dan Ferliana, sang ayah mulai lebih terfokus pada pekerjaannya. Rasa cinta yang besar milik Aruna pada sang ayah, menjadikan dirinya tidak menolak seorang ibu tiri dan juga saudara tiri yang dihadirkan Erwin. Dalam pikiran kanak-kanaknya saat itu, ia begitu senang memiliki seorang saudara dan ibu baru sekaligus, meski ke