Masih dalam balutan rasa kecewa dan sakit di relung dada, Aruna pada akhirnya berada di depan satu restoran ternama di kotanya. Kepalanya sedikit mendongak membaca plang restoran yang terlihat elegan dan menjatuhkan pandangan pada bangunan resto yang megah. Tarikan napas dalam dilakukannya perlahan. Dulu, saat ayahnya masih dalam keadaan sehat dan berjaya, ia sering makan di resto ini bersama sang ayah. Sekalipun mereka hanya hidup berdua sepeninggal ibu kandungnya, Aruna tidak menemukan ingatan bahwa ia kehilangan kasih sayang dari sebuah keluarga. Sang ayah berusaha menjalankan peranannya dengan baik, dan menjadi sahabat bagi Aruna. Namun sejak kehadiran Lisa dan Ferliana, sang ayah mulai lebih terfokus pada pekerjaannya. Rasa cinta yang besar milik Aruna pada sang ayah, menjadikan dirinya tidak menolak seorang ibu tiri dan juga saudara tiri yang dihadirkan Erwin. Dalam pikiran kanak-kanaknya saat itu, ia begitu senang memiliki seorang saudara dan ibu baru sekaligus, meski ke
Aruna menelan ludah dengan susah payah. “I-iya…?” katanya gugup tanpa menolehkan kepalanya. “Lain kali hati-hati. Saya tidak suka orang yang ceroboh,” sambung pemilik suara berat itu dengan penuh tekanan. ‘Asem!’ rutuk Aruna dalam hati. ‘Apa urusannya dengan diriku kalau dia suka atau tidak orang ceroboh??’ “Sa--” Belum lagi Aruna meneruskan kalimatnya, ia merasakan embusan sedikit angin yang berasal dari langkah pria pemilik suara itu. Kali ini Aruna menoleh dan mendapati pria angkuh itu berlalu begitu saja melewati dirinya, diikuti dua pria lain di belakangnya. “Ish!!” Kembali ia merutuk jengkel. Ia berdiri dan mengempas bokongnya kembali ke kursi dengan tatapan memicing ke arah Bos Besar itu menjauh menuju ruang VIP mereka. “Ngapain kamu tadi nyebut namaku segala?” Aruna lalu beralih pada pria di seberangnya. “Kamu tuh kenapa, Baby?” tanya Anton dengan raut wajah bingung. Aruna menjawabnya dengan helaan napas. Ia mengambil gelas berisi air putih yang memang sudah ada di at
Kedua mata pria itu menatapnya lekat, seakan tengah memindai Aruna. Pintu tetiba terbuka kembali dan sang General Manager menampakkan diri lagi. Dengan tergopoh ia melangkah mendekat pada pria jangkung di depan Aruna. “Maaf Pak, saya lupa meninggalkan pesan pada Aruna,” ujarnya. Ia lalu beralih pada Aruna dan menyambung kata. “Aruna, turuti semua perkataan beliau. Ini perintah.” Aruna terhenyak. “Perintah, Pak?” “Ya,” ujar sang General Manager tegas. Ia lalu menoleh kembali pada pria jangkung itu dan mengangguk hormat. “Saya permisi kembali, Pak. Silahkan dilanjutkan.” “Ya. Terima kasih,” sambut pria jangkung itu datar. General Manager yang bertubuh cukup gempal itu lalu melenggang keluar setelah mengangguk hormat sekali lagi pada pria jangkung itu. Aruna kian bertanya-tanya. Mengapa seseorang sekelas General Manager di perusahaan bonafide seperti PT Niskala Construction bersikap begitu hormat pada pria jangkung yang duduk di depannya itu? Dan mengapa pula sang GM harus menge
“Pa-pak! Ka-kantor C… CEO??” Aruna berbisik panik. “Ya. Kita di sini, ke ruang CEO Dananjaya Group,” jawab Fathan tenang. “Tu-tunggu!” Terlambat. Fathan telah mendorong pintu itu hingga terbuka lebar, lalu membalik tubuhnya dan berkata. “Ayo masuk, Nona.” Glek. Aruna mematung di tempatnya. Telapak tangan terasa berkeringat dengan dada yang berdentum kuat tak beraturan, melebih normal. Entah dia punya salah apa di masa lalu, sepertinya hari ini akan jadi hari paling sial dalam hidupnya. Begitulah yang terpikirkan dalam benak Aruna. “Nona? Aruna?” Fathan menunggu dengan tatapan menegur. Akhirnya Aruna tersadar dan dengan langkah terseret, ia memasuki ruangan yang bak ruang eksekusi baginya itu. Tak terhitung berapa kali ia menelan ludah susah payah dengan jemari saling memilin gelisah, ia akhirnya berada dalam ruangan besar yang merupakan ruang kerja milik CEO Dananjaya Group. Ruang milik pria yang pernah ia tunjuk-tunjuk mukanya dan ia umpat secara kasar. Ruang milik pria ya
Aruna menutup pintu kamar di mana ayahnya berada.Ia baru saja selesai mengurus makan dan obat untuk ayahnya. Ia lalu turun menuju dapur untuk membereskan sisa-sisa makan malam Ferliana kecuali sang ibu tiri karena tengah keluar rumah sejak sore tadi. Setelah menyelesaikannya, ia kembali ke kamar miliknya di lantai atas.Kamar berukuran tiga kali empat dengan cat berwarna gading itu hanya berisikan ranjang sederhana serta lemari pakaian dua pintu juga satu meja kecil dengan cermin yang di patri di dinding.Kaki jenjang Aruna membawa dirinya hingga ke tepian ranjang dan mengempas tubuhnya di sana.Pikirannya seharian ini cukup terganggu.“Pak Brahmana menawari pekerjaan ini atas permintaan nona Maira, Nona. Karena itu pak Brahmana mengesampingkan semua kriteria ketat yang menjadi standar dalam seleksi pemilihan pengasuh untuk keluarganya.”Aruna terngiang perkataan Fathan siang tadi, saat mengantarnya kembali ke gedung milik PT. Niskala Construction.“Beliau memang sempat ingin membata
“Kamu yakin mak lampir dan anaknya itu pergi dan gak akan pulang sampai nanti malam?” Aruna mengangguk mantap menjawab pertanyaan yang dilontarkan Shanti. Kedua tangannya terus bergerak mengeluarkan pakaian-pakaian dari dalam lemari ke atas ranjangnya. Shanti datang membantu Aruna untuk mengemas segala sesuatu yang perlu dibawa untuk keluar dari rumah itu. Bahkan melalui Shanti pula, Aruna menemukan rumah kontrakan sederhana untuk tempatnya tinggal bersama sang ayah. “Akhirnya… lu punya nyali juga buat hengkang dari sini, Run.” “Heh, enak aja! Dari dulu juga nyali sih udah ada. Tapi modal yang kagak ada!” rutuk Aruna sewot. “Hehehe. Iyee, iye.” Shanti terkekeh sambil melipat helai demi helai pakaian yang dikeluarkan dan diletakkan Aruna di atas ranjang, lalu menyusunnya ke dalam koper. “Kagak perlu rapih rapih amat, Shan. Yang penting cepet.” “Iya oke,” jawab Shanti lalu mempercepat gerakannya dalam melipat. “Lu kagak ngerasa pengen ngomong aja ama tu mak lampir, kalo lu mau h
‘Terima kasih, Pak. Saya sudah selesai dengan urusan saya. Namun saya butuh sekitar dua hari lagi untuk menuntaskan semuanya. Saya bisa mulai hari Sabtu.’ Fathan terdiam dengan ponsel di tangan yang ia aktifkan mode kerasnya dan mengarahkan pandangan pada Brahmana yang tengah menandatangani beberapa dokumen. “Tuan?” Brahmana menjawab Fathan hanya dengan lirikan tajamnya. Meski tanpa suara dan tanpa kata, namun Fathan langsung mengerti. Ia mengangkat ponsel mendekat ke wajahnya. “Sebaiknya Anda mulai hari Jumat, Nona. Tidak mundur dari itu.” Tidak terdengar jawaban langsung dari seberang telepon, hingga sekian detik kemudian. ‘Baiklah. Jumat. Oya pak Fathan, tolong sampaikan terima kasih saya pada pak CEO karena mengizinkan saya mengambil gaji di muka.’ “Ya, nanti saya sampaikan.” Sambungan telepon itu lalu berakhir. Fathan memasukkan ponselnya ke dalam saku jas dan menunggu respon dari sang bos besar yang duduk di seberangnya. “Kontrak sudah ditandatangani dan nona Aruna aka
Hari yang sangat terik di luar, namun semua orang di dalam gedung milik PT. Niskala Construction bekerja dengan nyaman oleh embusan sejuk pendingin udara. Beberapa orang tampak sibuk dengan berkas di meja mereka, beberapa lainnya tampak tengah memasukkan data ke komputer di depan mereka. Sementara di lantai dua puluh tujuh, di satu kubikel departemen produksi, Aruna terlihat tengah membenahi barang-barang miliknya yang memang ia simpan di tempat kerjanya. Tangan yang semula sibuk memasukkan alat tulis dan juga beberapa map, terhenti. Matanya yang berlarian ke setiap sudut di kubikel miliknya, jatuh pada kalender meja berukuran kecil yang ia letakkan di sudut kanan. Ia meraih kalender meja tersebut dan memandang lekat pada deretan angka-angka di sana. Bibirnya sesaat mengulas senyum ketika melihat angka yang dilingkari spidol biru. “Anniversary tahun ke dua tampaknya tidak bisa aku alami…” bisiknya pada diri sendiri. Tangannya kemudian perlahan memasukkan kalender itu ke dalam bok