Aruna menutup pintu kamar di mana ayahnya berada.Ia baru saja selesai mengurus makan dan obat untuk ayahnya. Ia lalu turun menuju dapur untuk membereskan sisa-sisa makan malam Ferliana kecuali sang ibu tiri karena tengah keluar rumah sejak sore tadi. Setelah menyelesaikannya, ia kembali ke kamar miliknya di lantai atas.Kamar berukuran tiga kali empat dengan cat berwarna gading itu hanya berisikan ranjang sederhana serta lemari pakaian dua pintu juga satu meja kecil dengan cermin yang di patri di dinding.Kaki jenjang Aruna membawa dirinya hingga ke tepian ranjang dan mengempas tubuhnya di sana.Pikirannya seharian ini cukup terganggu.“Pak Brahmana menawari pekerjaan ini atas permintaan nona Maira, Nona. Karena itu pak Brahmana mengesampingkan semua kriteria ketat yang menjadi standar dalam seleksi pemilihan pengasuh untuk keluarganya.”Aruna terngiang perkataan Fathan siang tadi, saat mengantarnya kembali ke gedung milik PT. Niskala Construction.“Beliau memang sempat ingin membata
“Kamu yakin mak lampir dan anaknya itu pergi dan gak akan pulang sampai nanti malam?” Aruna mengangguk mantap menjawab pertanyaan yang dilontarkan Shanti. Kedua tangannya terus bergerak mengeluarkan pakaian-pakaian dari dalam lemari ke atas ranjangnya. Shanti datang membantu Aruna untuk mengemas segala sesuatu yang perlu dibawa untuk keluar dari rumah itu. Bahkan melalui Shanti pula, Aruna menemukan rumah kontrakan sederhana untuk tempatnya tinggal bersama sang ayah. “Akhirnya… lu punya nyali juga buat hengkang dari sini, Run.” “Heh, enak aja! Dari dulu juga nyali sih udah ada. Tapi modal yang kagak ada!” rutuk Aruna sewot. “Hehehe. Iyee, iye.” Shanti terkekeh sambil melipat helai demi helai pakaian yang dikeluarkan dan diletakkan Aruna di atas ranjang, lalu menyusunnya ke dalam koper. “Kagak perlu rapih rapih amat, Shan. Yang penting cepet.” “Iya oke,” jawab Shanti lalu mempercepat gerakannya dalam melipat. “Lu kagak ngerasa pengen ngomong aja ama tu mak lampir, kalo lu mau h
‘Terima kasih, Pak. Saya sudah selesai dengan urusan saya. Namun saya butuh sekitar dua hari lagi untuk menuntaskan semuanya. Saya bisa mulai hari Sabtu.’ Fathan terdiam dengan ponsel di tangan yang ia aktifkan mode kerasnya dan mengarahkan pandangan pada Brahmana yang tengah menandatangani beberapa dokumen. “Tuan?” Brahmana menjawab Fathan hanya dengan lirikan tajamnya. Meski tanpa suara dan tanpa kata, namun Fathan langsung mengerti. Ia mengangkat ponsel mendekat ke wajahnya. “Sebaiknya Anda mulai hari Jumat, Nona. Tidak mundur dari itu.” Tidak terdengar jawaban langsung dari seberang telepon, hingga sekian detik kemudian. ‘Baiklah. Jumat. Oya pak Fathan, tolong sampaikan terima kasih saya pada pak CEO karena mengizinkan saya mengambil gaji di muka.’ “Ya, nanti saya sampaikan.” Sambungan telepon itu lalu berakhir. Fathan memasukkan ponselnya ke dalam saku jas dan menunggu respon dari sang bos besar yang duduk di seberangnya. “Kontrak sudah ditandatangani dan nona Aruna aka
Hari yang sangat terik di luar, namun semua orang di dalam gedung milik PT. Niskala Construction bekerja dengan nyaman oleh embusan sejuk pendingin udara. Beberapa orang tampak sibuk dengan berkas di meja mereka, beberapa lainnya tampak tengah memasukkan data ke komputer di depan mereka. Sementara di lantai dua puluh tujuh, di satu kubikel departemen produksi, Aruna terlihat tengah membenahi barang-barang miliknya yang memang ia simpan di tempat kerjanya. Tangan yang semula sibuk memasukkan alat tulis dan juga beberapa map, terhenti. Matanya yang berlarian ke setiap sudut di kubikel miliknya, jatuh pada kalender meja berukuran kecil yang ia letakkan di sudut kanan. Ia meraih kalender meja tersebut dan memandang lekat pada deretan angka-angka di sana. Bibirnya sesaat mengulas senyum ketika melihat angka yang dilingkari spidol biru. “Anniversary tahun ke dua tampaknya tidak bisa aku alami…” bisiknya pada diri sendiri. Tangannya kemudian perlahan memasukkan kalender itu ke dalam bok
“Ibu!”Lisa menarik kuat-kuat lengan Aruna hingga boks plastik yang dipegang Aruna terjatuh.“Kamu kabur kemana hah?! Anak tak tau diri! Anak durhaka! Seenaknya kamu meninggalkan kewajiban kamu di rumah dan hendak menghancurkan pertunangan dengan keluarga Ishak?!” Lisa berseru nyaring. Tangannya menarik lagi lengan Aruna lalu mendorongnya kuat-kuat.“Ah!” Aruna terdorong dan tersandung hingga ia terjerembab jatuh.DUAG!Kaki Ferliana menendang boks plastik milik Aruna hingga tutupnya terbuka dan isi di dalamnya berhamburan.Tidak banyak orang yang berlalu lalang di sekitar pelataran parkir itu, dan posisi pos satpam cukup jauh di depan. Itulah mengapa ibu-anak itu begitu berani bersikap kasar.“Katakan dimana tua bangka suamiku itu?!” Lisa mendekat.“Suami?” Kepala Aruna terangkat dan menatap penuh sarkasme pada ibu tirinya itu. “Suami apa bu? Ibu tidak pernah memperlakukan ayah seperti suamimu! Kau hanya memeras harta ayah dan setelah ayah tak berdaya, kau menganggapnya seakan gak pe
Langit siang itu terlihat cerah dengan terik mentari yang menyengat menerpa kulit telanjang lengan Aruna.Ia menatap bangunan luar biasa megah dan merasa khawatir ia salah tempat.Wajahnya menoleh kanan dan kiri untuk memastikan bahwa ia berada di alamat yang sesuai dalam catatan yang ia pegang.Ojek online yang membawanya kemari, telah lama pergi. Aruna hanya berharap, ia benar-benar berada di tempat yang benar.Karena jika tidak, ia merasa yakin akan kesulitan mendapatkan ojek online yang memenuhi pesanan yang ia buat.Tempat ini sungguh jauh dari jalan utama dan cukup sulit untuk memasuki area ini. Mereka bahkan harus memperlihatkan KTP mereka di gerbang depan tadi hanya agar diperbolehkan memasuki kawasan perumahan ini.“Pak, maaf. Apakah ini kediaman bapak Brahmana?” Akhirnya Aruna memberanikan diri bertanya pada satpam yang berjaga di dalam pos di bagian kanan gerbang tinggi rumah megah itu.“Iya Neng, betul. Neng dari mana?” tanya balik satpam tersebut.“Saya Aruna, Pak. Saya d
Telah sekitar satu jam Aruna menunggu Maira selesai belajar dengan seorang pengajar yang ia dengar bernama Miss Della. Kemudian dua jam berikutnya ia menemani Maira untuk mempersiapkan keperluan sang nona kecil untuk sekolah keesokan harinya. Dengan ceria, Maira menjelaskan apa saja yang ia lakukan setiap harinya di rumah. Ada rasa prihatin yang menyelinap di hati Aruna tatkala mendengar semua rutinitas Maira yang sangat berbeda dari anak seusia Maira pada umumnya. Jam di dinding menunjukkan angka dua dengan jarum panjang menuju angka delapan. Dua puluh menit lagi menuju jam tiga sore. Sore itu guru piano Maira berhalangan hadir dan Aruna berada di ruang santai untuk menemani Maira memakan camilan sehatnya. “Kak Una, nemenin Mai bobo kan?” Maira bertanya dengan mulut mengunyah snack yang dibuat khusus oleh koki kediaman di sana. Snack itu dibuat menyerupai beberapa bentuk hewan. Maira Gavaputri, adalah nama lengkap anak perempuan putri Brahmana. Perempuan kecil ini memiliki mata
Sepasang manik gelap pekat itu kemudian bersirobok dengan lingkar milik Aruna, tatkala ia menengadah. Aruna tertegun sekian detik. Rasa terkejut yang sewajarnya terjadi padanya, tengah digantikan dengan rasa asing yang terasa mengikatnya tanpa permisi. Pemilik wajah berahang siku itu begitu dekat untuk dinikmati oleh Aruna. Manik serupa kelam malam yang tengah menatapnya datar itu, seakan menyedotnya masuk untuk tenggelam pada pesona dingin nan misterius yang terpancar kuat darinya. Wajah tampan tanpa ekspresi itu begitu memikat Aruna dalam beberapa detik yang terasa berlalu demikian lambat, memenjara Aruna dengan napas yang tercekat. “Ayah!” pekikan riang Maira menarik paksa Aruna dalam kesadarannya yang sempat terhempas pada pria yang dipanggil ‘ayah’ oleh Maira. “Oh. Emm.. ma-maaf Pak,” Aruna tergagap dan langsung mundur cepat sembari melepas pegangannya pada lengan pria itu, setelah menepis getaran aneh yang mengusik di dalam rongga dadanya. Pria itu --Brahmana-- tidak mer