“Pa-pak! Ka-kantor C… CEO??” Aruna berbisik panik. “Ya. Kita di sini, ke ruang CEO Dananjaya Group,” jawab Fathan tenang. “Tu-tunggu!” Terlambat. Fathan telah mendorong pintu itu hingga terbuka lebar, lalu membalik tubuhnya dan berkata. “Ayo masuk, Nona.” Glek. Aruna mematung di tempatnya. Telapak tangan terasa berkeringat dengan dada yang berdentum kuat tak beraturan, melebih normal. Entah dia punya salah apa di masa lalu, sepertinya hari ini akan jadi hari paling sial dalam hidupnya. Begitulah yang terpikirkan dalam benak Aruna. “Nona? Aruna?” Fathan menunggu dengan tatapan menegur. Akhirnya Aruna tersadar dan dengan langkah terseret, ia memasuki ruangan yang bak ruang eksekusi baginya itu. Tak terhitung berapa kali ia menelan ludah susah payah dengan jemari saling memilin gelisah, ia akhirnya berada dalam ruangan besar yang merupakan ruang kerja milik CEO Dananjaya Group. Ruang milik pria yang pernah ia tunjuk-tunjuk mukanya dan ia umpat secara kasar. Ruang milik pria ya
Aruna menutup pintu kamar di mana ayahnya berada.Ia baru saja selesai mengurus makan dan obat untuk ayahnya. Ia lalu turun menuju dapur untuk membereskan sisa-sisa makan malam Ferliana kecuali sang ibu tiri karena tengah keluar rumah sejak sore tadi. Setelah menyelesaikannya, ia kembali ke kamar miliknya di lantai atas.Kamar berukuran tiga kali empat dengan cat berwarna gading itu hanya berisikan ranjang sederhana serta lemari pakaian dua pintu juga satu meja kecil dengan cermin yang di patri di dinding.Kaki jenjang Aruna membawa dirinya hingga ke tepian ranjang dan mengempas tubuhnya di sana.Pikirannya seharian ini cukup terganggu.“Pak Brahmana menawari pekerjaan ini atas permintaan nona Maira, Nona. Karena itu pak Brahmana mengesampingkan semua kriteria ketat yang menjadi standar dalam seleksi pemilihan pengasuh untuk keluarganya.”Aruna terngiang perkataan Fathan siang tadi, saat mengantarnya kembali ke gedung milik PT. Niskala Construction.“Beliau memang sempat ingin membata
“Kamu yakin mak lampir dan anaknya itu pergi dan gak akan pulang sampai nanti malam?” Aruna mengangguk mantap menjawab pertanyaan yang dilontarkan Shanti. Kedua tangannya terus bergerak mengeluarkan pakaian-pakaian dari dalam lemari ke atas ranjangnya. Shanti datang membantu Aruna untuk mengemas segala sesuatu yang perlu dibawa untuk keluar dari rumah itu. Bahkan melalui Shanti pula, Aruna menemukan rumah kontrakan sederhana untuk tempatnya tinggal bersama sang ayah. “Akhirnya… lu punya nyali juga buat hengkang dari sini, Run.” “Heh, enak aja! Dari dulu juga nyali sih udah ada. Tapi modal yang kagak ada!” rutuk Aruna sewot. “Hehehe. Iyee, iye.” Shanti terkekeh sambil melipat helai demi helai pakaian yang dikeluarkan dan diletakkan Aruna di atas ranjang, lalu menyusunnya ke dalam koper. “Kagak perlu rapih rapih amat, Shan. Yang penting cepet.” “Iya oke,” jawab Shanti lalu mempercepat gerakannya dalam melipat. “Lu kagak ngerasa pengen ngomong aja ama tu mak lampir, kalo lu mau h
‘Terima kasih, Pak. Saya sudah selesai dengan urusan saya. Namun saya butuh sekitar dua hari lagi untuk menuntaskan semuanya. Saya bisa mulai hari Sabtu.’ Fathan terdiam dengan ponsel di tangan yang ia aktifkan mode kerasnya dan mengarahkan pandangan pada Brahmana yang tengah menandatangani beberapa dokumen. “Tuan?” Brahmana menjawab Fathan hanya dengan lirikan tajamnya. Meski tanpa suara dan tanpa kata, namun Fathan langsung mengerti. Ia mengangkat ponsel mendekat ke wajahnya. “Sebaiknya Anda mulai hari Jumat, Nona. Tidak mundur dari itu.” Tidak terdengar jawaban langsung dari seberang telepon, hingga sekian detik kemudian. ‘Baiklah. Jumat. Oya pak Fathan, tolong sampaikan terima kasih saya pada pak CEO karena mengizinkan saya mengambil gaji di muka.’ “Ya, nanti saya sampaikan.” Sambungan telepon itu lalu berakhir. Fathan memasukkan ponselnya ke dalam saku jas dan menunggu respon dari sang bos besar yang duduk di seberangnya. “Kontrak sudah ditandatangani dan nona Aruna aka
Hari yang sangat terik di luar, namun semua orang di dalam gedung milik PT. Niskala Construction bekerja dengan nyaman oleh embusan sejuk pendingin udara. Beberapa orang tampak sibuk dengan berkas di meja mereka, beberapa lainnya tampak tengah memasukkan data ke komputer di depan mereka. Sementara di lantai dua puluh tujuh, di satu kubikel departemen produksi, Aruna terlihat tengah membenahi barang-barang miliknya yang memang ia simpan di tempat kerjanya. Tangan yang semula sibuk memasukkan alat tulis dan juga beberapa map, terhenti. Matanya yang berlarian ke setiap sudut di kubikel miliknya, jatuh pada kalender meja berukuran kecil yang ia letakkan di sudut kanan. Ia meraih kalender meja tersebut dan memandang lekat pada deretan angka-angka di sana. Bibirnya sesaat mengulas senyum ketika melihat angka yang dilingkari spidol biru. “Anniversary tahun ke dua tampaknya tidak bisa aku alami…” bisiknya pada diri sendiri. Tangannya kemudian perlahan memasukkan kalender itu ke dalam bok
“Ibu!”Lisa menarik kuat-kuat lengan Aruna hingga boks plastik yang dipegang Aruna terjatuh.“Kamu kabur kemana hah?! Anak tak tau diri! Anak durhaka! Seenaknya kamu meninggalkan kewajiban kamu di rumah dan hendak menghancurkan pertunangan dengan keluarga Ishak?!” Lisa berseru nyaring. Tangannya menarik lagi lengan Aruna lalu mendorongnya kuat-kuat.“Ah!” Aruna terdorong dan tersandung hingga ia terjerembab jatuh.DUAG!Kaki Ferliana menendang boks plastik milik Aruna hingga tutupnya terbuka dan isi di dalamnya berhamburan.Tidak banyak orang yang berlalu lalang di sekitar pelataran parkir itu, dan posisi pos satpam cukup jauh di depan. Itulah mengapa ibu-anak itu begitu berani bersikap kasar.“Katakan dimana tua bangka suamiku itu?!” Lisa mendekat.“Suami?” Kepala Aruna terangkat dan menatap penuh sarkasme pada ibu tirinya itu. “Suami apa bu? Ibu tidak pernah memperlakukan ayah seperti suamimu! Kau hanya memeras harta ayah dan setelah ayah tak berdaya, kau menganggapnya seakan gak pe
Langit siang itu terlihat cerah dengan terik mentari yang menyengat menerpa kulit telanjang lengan Aruna.Ia menatap bangunan luar biasa megah dan merasa khawatir ia salah tempat.Wajahnya menoleh kanan dan kiri untuk memastikan bahwa ia berada di alamat yang sesuai dalam catatan yang ia pegang.Ojek online yang membawanya kemari, telah lama pergi. Aruna hanya berharap, ia benar-benar berada di tempat yang benar.Karena jika tidak, ia merasa yakin akan kesulitan mendapatkan ojek online yang memenuhi pesanan yang ia buat.Tempat ini sungguh jauh dari jalan utama dan cukup sulit untuk memasuki area ini. Mereka bahkan harus memperlihatkan KTP mereka di gerbang depan tadi hanya agar diperbolehkan memasuki kawasan perumahan ini.“Pak, maaf. Apakah ini kediaman bapak Brahmana?” Akhirnya Aruna memberanikan diri bertanya pada satpam yang berjaga di dalam pos di bagian kanan gerbang tinggi rumah megah itu.“Iya Neng, betul. Neng dari mana?” tanya balik satpam tersebut.“Saya Aruna, Pak. Saya d
Telah sekitar satu jam Aruna menunggu Maira selesai belajar dengan seorang pengajar yang ia dengar bernama Miss Della. Kemudian dua jam berikutnya ia menemani Maira untuk mempersiapkan keperluan sang nona kecil untuk sekolah keesokan harinya. Dengan ceria, Maira menjelaskan apa saja yang ia lakukan setiap harinya di rumah. Ada rasa prihatin yang menyelinap di hati Aruna tatkala mendengar semua rutinitas Maira yang sangat berbeda dari anak seusia Maira pada umumnya. Jam di dinding menunjukkan angka dua dengan jarum panjang menuju angka delapan. Dua puluh menit lagi menuju jam tiga sore. Sore itu guru piano Maira berhalangan hadir dan Aruna berada di ruang santai untuk menemani Maira memakan camilan sehatnya. “Kak Una, nemenin Mai bobo kan?” Maira bertanya dengan mulut mengunyah snack yang dibuat khusus oleh koki kediaman di sana. Snack itu dibuat menyerupai beberapa bentuk hewan. Maira Gavaputri, adalah nama lengkap anak perempuan putri Brahmana. Perempuan kecil ini memiliki mata
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m